Jumat, 27 Juli 2012

Tugas review mata kuliah sejarah agraria


Tugas review mata kuliah sejarah agraria
Oleh : Muhammad Ridho Rachman (0806343973)

            Abad 19 merupakan abad penting bagi perkembangan pertanian Indonesia. Sejak abad itu, eksploitasi atau komersialisasi pertanian oleh kapitalis Barat (pemerintah dan swasta) merambah jauh sampai ke tingkat pedesaan.
            Pada pertengahan abad ke-19, di Hindia Belanda dicetuskan suatu undang-undang baru mengenai sistem penanaman yang dikenal dengan “cultuurstelsel”. Sistem ini diperkenalkan oleh Gubernur Jendral van den Bosch. Pada dasarnya, sistem ini merupakan salah satu strategi yang tepat dalam mengembangkan pertanian di nusantara masa itu. Jika dilihat dari prinsip dasarnya sistem tanam paksa (istilah yang dirasa cocok bagi menurut masyarakat pribumi) memberikan dampak yang sangat positif, seperti pewajiban bagi rakyat untuk menanam tanaman pasaran dunia, hasilnya diserahkan ke pemerintah sesuai kuota, kelebihan produksi dibiayai pemerintah, dan kegagalan panen ditanggung pemerintah. Jika dilihat sekilas memang sistem ini tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan rakyat secara umum, walaupun tujuan utama dari sistem ini adalah untuk menggenjot keuntungan yang maksimal untuk melunasi hutang-piutang Belanda, termasuk yang diwariskan VOC pada masa pendudukannya di Hindia Belanda.
            Terkait dengan masalah yang dikemukakan di atas, tulisan ini akan membahas mengenai kebaikan dan keburukan yang ditimbulkan suatu sistem baru itu yang jika dilihat dari berbagai sumber banyak argumen yang berbeda dari para pakar ilmu sejarah.
            Cultuurstelsel menuai banyak perhatian para ilmuan terlebih ketika hasil dari penelitian seorang antropolog terkemuka, Clifford Geertz. Dalam hasil penelitiannya, ia mengatakan pertanian di Jawa (ia menyebutnya dengan nama “Indonesia Dalam”) telah mengalami involusi. Ia melihat bahwa angka pertumbuhan produksi pangan (padi) tidak dapat melebihi angka pertumbuhan penduduk. Hal ini menjadi masalah karena penduduk rata-rata hanya memiliki tanah sekitar 0.4 hektar. Menurutnya, jika ditarik dari masa cultuurstelsel memberikan ekses yang negatif seperti wajib pajak, tanah pacasan, masyarakat dipaksa bertani.
Dilihat dari sumber-sumber sejarah yang ada, banyak bantuan-bantuan dari pemerintah dalam kebijakan cultuurstelsel ini seperti yang telah dipaparkan di atas. Namun, menurut Geertz adanya suatu sifat masyarakat yang ia sebut dengan “enggan menanggung risiko”. Masyarakat Jawa menurutnya enggan menerima suatu budaya baru (padahal baik), hingga berdampak “penyebaran kemiskinan” pada masyarakat. Namun teori ini mendapat kritikan bahwa bagaimana bisa dengan mudahnya ajaran Hindu-Buddha dan yang lainnya masuk ke nusantara.
Fasseur dan Elson melihat satu sisi lain dari kebijakan cultuurstelsel. Mereka melihat bahwa cultuurstelsel mampu menyejahterakan rakyat. Hal ini dilihat dari peningkatan ekspor Hindia Belanda serta jumlah uang yang beredar di masyarakat. Bahkan disebutkan sebagai zaman keemasan masyarakat pribumi karena dapat melunasi dengan cepat hutang-hutang Belanda. Elson menambahkan, cultuurstelsel memberikan inspirasi kepada penduduk pribumi untuk meningkatkan kesejahteraannya dengan mengubah pola tanam padi ke tebu dan memacu terbukanya lapangan kerja di luar pertanian dan munculnya pekerja bebas yang tidak terkait dengan sistem tradisional.
Knight setuju dengan meningkatnya komoditas ekspor, namun ia tidak setuju cultuurstelsel menyejahterakan rakyat. Menurutnya, kalangan yang memeroleh keuntungan hanyalah sampai ke mandor dan planter, lebih dari 75% keuangan beredar di kalangan atas, tidak menyentuh ke rakyat pada umumnya. Ia menambahkan, perubahan pola tanam dari padi ke tebu pada dasarnya tidak ada pilihan lain agar tetap mempertahankan kehidupan subsisten mereka.
James Scott mengatakan salah satu penyebab mengapa orang-orang Asia Tenggara tetap para petaninya subsisten karena masalah “ekonomi moral”. Hampir sama dengan teori “enggan menaggung risiko” Geertz, Scott melihat bahwa para petani tidak seperti enterpreuner yang mencari peluang. Justru sebaliknya, istilah yang masih sering terdengar, “dahulukan selamat”, “cari aman” adalah moral petani yang dimiliki Jawa.
Kebijakan cultuurstelsel pada kenyataannya bagi penduduk pribumi berdampak negatif. Apalagi misalkan ada pembukuan mandor yang dilebihkan (menguntungkan) atau paksaan bekerja untuk mencapai hasil produksi yang diinginkan. Para pakar cenderung menulis sejarah dari atas (history from above), tidak seperti yang dikemukakan Mark Bloch yakni history from bellow. Jadi ada kecenderungan para peneliti keliru dalam mendapatkan informasi yang mereka terima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar