Jumat, 09 Februari 2018

Marxisme

Karl Marx adalah seorang filsuf, ekonom, sosiolog sekaligus aktivis politik. Hidupnya tak jauh dari akademik yang membuatnya selalu mengasingkan diri dari rutinitas kehidupan sosial. Atas berbagai pemikirannya yang radikal, Marx menghabiskan umurnya migrasi ke berbagai tempat karena pandangan-pandangannya yang tak diterima oleh penguasa setempat. Lahir hingga besar di Jerman, ia kemudian berpindah-pindah ke Perancis, Belgia, dan Inggris sebagai rangkaian perjalanan untuk menyelesaikan karya-karya penting yang sangat berpengaruh bagi masyarakat.
Dalam berbagai literatur, buah pemikiran Marx sering disebut merupakan karya bersama yang ia ciptakan bersama Friedrich Engels. Keduanya menjadi teman sekaligus kolaborator yang menghasilkan berbagai karya penting selama lebih kurang empat puluh tahun.[1] Engels bukanlah tokoh sekreatif Marx, tetapi ia memiliki pengetahuan sejarah yang luas dan berkepribadian kuat.[2] Namun dalam pendapat yang lain, Marx disebut tokoh pemikir yang dalam. Sehingga lewat bantuan Engels, ia mampu menuangkan berbagai pemikirannya ke dalam tulisan.[3] Terlepas dari hal tersebut, Engels jelas membantu konsentrasi Marx dalam pengerjaan karya-karya besarnya lewat pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Memahami pemikiran Marx tak bisa dilepaskan dari pemikirannya tentang dialektika dan materialisme. Konsep ini menempati posisi sentral dalam tradisi pemikiran Marxis.[4]  Pemikirannya tentang dialektika merupakan inspirasi dari gurunya, Hegel. Antagonisme tesis-antitesis pemikiran milik Hegel digeser Marx ke dunia nyata yang kemudian menghasilkan teori tentang konflik. Pemikiran Marx tentang dialektika dan materialisme sebenarnya bukan merupakan sistem teoritis yang utuh. Bahkan cenderung mendapat perhatian kecil dari Marx. Dalam karya Das Kapital ia lebih menjelaskan secara terperinci mengenai capitalist accumulation dan theory of surplus value.[5]
Dalam memahami pemikiran Marx, sebenarnya kita harus mengetahui tentang pemikiran-pemikiran yang ditentangnya. Marx jelas melawan sistem kapitalistis sebagaimana yang masih bertahan hingga kini. Sebuah sistem ekonomi yang mengakui hak kepemilikan pribadi. Marx hidup dalam proses industrialisasi masif di Eropa yang mempromosikan gagasan-gagasan liberalisme, terutama soal hak milik pribadi. Marx mengkritik habis tentang hak milik karena baginya kebebasan individu untuk mengumpulkan properti yang dilindungi negara justru akan berakibat pada perlombaan individu dalam pengumpulan kapital (capitalist accumulation). Pembiaran oleh negara atas hal itu sama dengan pembiaran negara atas sifat rakus manusia dalam penumpukan kapital tanpa batas yang berdampak buruk bagi golongan individu lain yang tak dapat bersaing dalam pengumpulan kapital.
Sebagai seorang filsuf, Marx membuat keberpihakan kepada golongan yang tertindas oleh sistem kapitalis. Karena baginya kekuatan moral filsuf adalah bertindak untuk mengubah sistem salah.[6] Menurutnya, masyarakat kapitalis justru menghasilkan ketidaksetaraan. Ia melihat sistem yang demikian membuat golongan miskin akan tetap miskin dan golongan kaya akan semakin kaya. Lewat cara pandang yang radikal, ia melihat bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat dengan kepemilikan bersama atas properti. Sebuah sistem yang ia kenalkan dengan istilah komunisme.
Gagasan Marx selanjutnya dikenal dengan istilah “surplus value” atau teori nilai lebih yaitu pertukaran yang tidak proporsional antara nilai pakai dan nilai tukar. Secara menarik, McDonald memberikan komparasi antara konsep surplus value dengan labor value. Merujuk pemikiran Ricardo, labor value menilai setiap komoditas selalu proporsional antara kuantitas yang diberikan dengan hasil pendapatan yang diperoleh. Sebagai pemikir liberalisme awal, Ricardo dkk berasumsi bahwa kompetisi sempurna dapat terjadi secara alamiah dalam pasar tenaga kerja dan pasar komoditas.[7] Menurut Marx, fakta yang terjadi justru berkebalikan. Keuntungan yang didapat para kapitalis lebih tinggi dibanding alat produksi yang diberikan. Kelebihan untung ini didapat dari kelebihan kerja yang diberikan buruh akibat tidak diberikannya kompensasi secara setimpal. Konsep inilah yang ia kenalkan dengan istilah surplus value (teori nilai lebih). Tujuan kapitalis untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya diperoleh dengan cara memaksimalisasi jam kerja buruh dan menekan rendah kesejahteraan mereka. Dalam perhitungan ekonomi, teori nilai lebih Marx gunakan sebagai indikator penindasan yang terjadi di masyarakat kapitalis.
Membaca riwayat dan pemikiran Marx lewat karya McDonald, setidaknya kita dituntut untuk mengetahui lebih dahulu tentang gambaran besar tentang tokoh tersebut. Setidaknya pembaca punya fondasi pengetahuan tentang kondisi sosiohistoris dan pandangan Marx tentang kapitalisme dan komunisme. Pasalnya, McDonald terlihat mencoba menguliti ide-ide penting yang ditelurkan Marx dengan cara lugas namun mendalam.
McDonald menaruh Marx sebagai tokoh sepertiga akhir dalam bukunya, boleh jadi asumsinya para pembaca sudah mempunyai latar belakang sejarah pemikiran Eropa yang cukup ketika masuk dalam pembahasan Marx. Hal yang paling kentara adalah kemunculan istilah bourgeois dan proletariat yang ia gunakan untuk membedakan kelas sosial di masyarakat saat itu. Istilah borjuis digunakan Marx untuk merujuk kepada sebuah kelas sosial baru yang tergolong dalam middle class yang terbentuk lewat kepemilikan unit industri dalam sistem ekonomi kapitalis. Sementara istilah proletar ia gunakan untuk menjelaskan kelas sosial rendah yang merupakan pekerja di pabrik-pabrik milik golongan borjuis. Konteks sosiohistoris sangat penting untuk menjelaskan munculnya dua istilah tersebut, yang digunakan Marx dalam menyusun konsep materialisme dialektis.  
Sebagaimana pengertian liberal yang berasal dari gejala sosial, komunis pada mulanya juga merupakan fenomena sosial yang merujuk pada kelompok tertentu di masyarakat. Hal ini boleh jadi luput dijelaskan oleh McDonald. Dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa Marx telah dijuluki sebagai kaum komunis[8] sebelum ia membuat kerangka konseptual yang lebih mendalam tentang pengertian komunis itu sendiri. Artinya istilah komunis memang telah ada sebelum gagasan Marx tentang komunisme. Dalam sejarah awalnya, komunisme merupakan faham dan gerakan penghapusan sistem monarki di Perancis yang berkembang tahun 1830-an. Istilah ini merujuk pada perkumpulan masyarakat yang menghendaki peran negara dalam mengampu aktivitas-aktivitas penting manusia di tangan negara.[9]

Daftar Rujukan:
McDonald, Lee Cameron. (1962) Western Political Theory: from Its Origins to the Present
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ball, Terence, Richard Dagger, Daniel O’neill (2009) Political Ideologies and The Democratic Ideal. Boston: Pearson.
Noer, Deliar. (1982) Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta: Persada.




[1] Terence Ball dkk, Political Ideologies and The Democratic Ideal (Boston, 2009), 141.
[2] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory: from Its Origins to the Present (New York, 1962), 489.
[3] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Persada, 1982), 150-1.
[4]Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Gramedia Pustaka Utama, 2004), 282.
[5] Op. Cit., McDonald, 491.
[6] Ibid., 492.
[7] Ibid., 499.
[8] Ibid., 489.
[9] Op. Cit., Noer, 153-4

Pemikiran-Pemikiran tentang Liberalisme

A. Pengantar
Sumbangan Barat (Eropa) dalam tradisi keilmuan dan pemikiran politik diyakini merupakan tonggak awal perkembangan faham-faham politik di seluruh dunia. Tanpa mengucilkan peradaban-peradaban di belahan bumi lainnya pada rentang periode yang sama, sejarah menunjukkan bahwa tanah Eropa menghasilkan berbagai konsep politik yang solid dan koheren hingga pada gilirannya pemikiran politik Barat banyak diadaptasi oleh berbagai entitas politik di berbagai tempat, atau sekurang-kurangnya sekadar dipelajari. Atas sumbangan tersebut, telah banyak akademisi mencoba merangkum pemikiran politik Barat sebagai wujud dokumentasi warisan intelektual agar terus dikaji dan dikembangkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.[1]
Dalam melacak pemikiran politik Barat, peran peradaban Yunani kuno memiliki peran yang sangat penting. Yunani kuno dianggap sebagai nenek moyang ‘kita’ dalam lingkungan politik, baik secara ideologi, mitologi, dan simbolis.[2] Berbagai istilah yang dikenal lahir di sana seperti monarki, tirani, oligarki, aristokrasi, demokrasi dan lain sebagainya menjadi legitimasi yang fundamen di atas bangunan politik sebagai ilmu pengetahuan. Lewat perspektif yang berbeda, Suhelmi menilai pemikiran Barat berbeda dengan tradisi pemikiran Yunani kuno. Pasalnya, ada konsep kelahiran kembali (rebirth) dari “puing-puing” kehancuran peradaban tersebut. Oleh karenanya, ia menyebut pemikiran Barat berhutang budi kepada peradaban Yunani—termasuk Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam.[3]
Salah satu sumbangan pemikiran politik Barat yang terkenal hingga kini adalah liberalisme. Ia merupakan istilah yang berasal dari bahasa Latin liber, yang artinya “bebas”. Dalam sejarah pemikiran politik barat, ideologi liberalisme masuk kategori yang hadir belakangan di antara berbagai ideologi politik yang lain. Namun, liberalisme muncul sebagai konsep politik justru pada awal abad ke-19 lewat nama partai politik Liberales di Spanyol yang membawa misi perubahan sistem negara menjadi pemerintahan konstitusional.[4] Liberalisme awalnya dikenal sebagai istilah yang bermakna “murah hati” dan “toleran” (generous and tolerant) di dalam masyarakat. Ia digunakan untuk merujuk pada orang yang memperlakukan orang lain dengan cara yang santun (gentleman).[5] Pada perkembangan selanjutnya, liberal (dan liberalisme) menjadi sebuah istilah yang merujuk pada suatu cara pandang dan ideologi dalam pemikiran politik hingga saat ini.
B. Permulaan Liberalisme
Dalam perkembangan sejarah, liberalisme menjadi faham yang terkenal dan sangat berpengaruh dalam rentang periode yang panjang. Liberalisme tidak ditemukan sekaligus dan tak ada tokoh yang mengakuisisi liberalisme sebagai miliknya pribadi. Sebagaimana disebut di atas, konsep politik ini lahir dari fenomena di masyarakat yang merujuk pada sikap individu yang murah hati dan toleran. Oleh karenanya, liberalisme merupakan mozaik pemikiran yang dikembangkan oleh banyak tokoh dan perkembangannya adalah sebuah proses dari wacana publik yang berkembang di masyarakat. Sehingga secara umum, proses keberterimaan faham liberalisme menjadi konsensus alami di masyarakat.
Walau muncul belakangan, liberalisme merupakan sebuah ideologi politik pertama di dunia. Sebagai ideologi, liberalisme merupakan seperangkat nilai yang mengendalikan manusia pada kebenaran mutlak tentang konsep hak asasi manusia yang tak boleh dilanggar oleh siapapun. Mengutip ball, ideologi adalah seperangkat ide yang koheren dan komprehensif yang menjelaskan dan mengevalusi kondisi sosial, membantu orang memahami peran manusia dalam masyarakat, dan menyediakan program sosial dan tindakan politik.[6] Oleh karenanya, liberalisme mengatur tindakan manusia untuk bertindak sesuai kebenaran mutlak yang dipercayainya.
Dari perspektif historis, perkembangan awal liberalisme di daratan Eropa muncul karena tiga faktor: Pertama, fenomena perkembangan seni dan kreativitas yang berlepas dari dogma-dogma agama kristen pada abad 14-15 yang dikenal sebagai abad pencerahan (Enlightenment atau Renaissance). Bahkan, semua ciri liberalisme merupakan aspek penting yang diciptakan masa ini.[7] Tradisi pencerahan yang lahir di tanah Italia membawa spirit sekularisme pada perkembangan pemikiran manusia Eropa. Faktor kedua adalah progresivitas penemuan alat-alat mekanis yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat dalam satu masa yang dikenal dengan revolusi industri (scientific revolution). Perkembangan sain dan teknologi yang cepat saat itu membawa perubahan masyarakat secara signifikan dari masyarakat agraris menjadi industri. Sementara, Ball melihat hal ini dari kacamata lain dengan menyebutnya sebagai fase “exploration new world” untuk mencari wilayah kehidupan baru. Fenomena ini menjadi simbol kebebasan berpikir dan munculnya harapan baru bagi para individu yang menolak nilai-nilai konservativisme di masyarakat dengan cara meninggalkan wilayahnya. Terakhir, adalah peristiwa sejarah dinamai Reformasi Gereja (Protestant Reformation), sebuah gerakan yang menuntut domestifikasi gereja dari urusan-urusan sosial dan politik.[8]
Dari faktor-faktor di atas, fenomena reformasi gereja menjadi peristiwa sejarah yang berdampak sangat penting terhadap masyarakat Eropa. Lewat konsep “calling” (panggilan Tuhan),  manusia mengubah perspektif mereka tentang pentingnya konsep determinasi hidup yang mewajibkan manusia berusaha dalam kehidupannya. Dalam sejarahnya, peristiwa ini bermula saat seorang pendeta Kardinal Jerman, Martin Luther menempelkan 99 tuntutannya di pintu-pintu gereja pada tahun 1521. Namun, realitasnya Martin Luther hanyalah merupakan bagian dari gelombang protes yang sudah muncul sebelumnya. Ia ibarat letupan besar di antara letupan-letupan kecil, hanya saja pendeta ini melakukan pembangkangan dalam momentum sejarah yang tepat. Penemuan mesin cetak pada masa itu dijadikan medium memperluas pemikirannya hingga menghasilkan kesadaran luas di masyarakat dan memperoleh banyak dukungan pada gerakannya. Perlindungan Raja Jerman terhadap keselamatan nyawanya menjadikan nafas reformasi bersejarah ini semakin ekslatif dan mampu mengubah kebijakan gereja yang meyampuri urusan politik dan keamanan. Namun, pergerakan yang menghasilkan sekte Protestan dalam agama Kristiani ini bukan peristiwa sederhana. Prosesnya mengorbankan banyak perang sipil dan menciptakan revolusi di berbagai kerajaan Eropa. Anehnya, tak ada jejak pemikiran liberal pada sosok religius Luther, bahkan ia sendiri tak pernah menuntut reformasi pemisahan antara negara dengan gereja. Namun, secara tidak diinginkan para tokoh reformasi geraja justru menciptakan jalan bagi terciptanya pemikiran-pemikiran liberalisme di tengah masyarakat.
Lebih dari tiga abad, gagasan tentang liberalisme berdialektis dengan kondisi politik yang ada untuk memperjuangkan kebebasan individu. Selama era Kerajaan Suci Romawi, dominasi gereja telah secara dalam menyetir bagaimana manusia berpikir dan berkehendak. Kebenaran merupakan monopoli Gereja, dan tak diperbolehkannya penafsiran ajaran agama. Segala pembangkangan pemikiran dari perspektif yang dimiliki gereja dilabeli murtad (atau tukang sihir) dan bisa diganjar mati. Membonceng berbagai peristiwa sejarah yang berdarah sebagaimana dijelaskan di atas, liberalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan (movement) dengan inti perjuangannya adalah kebebasan rasionalitas dan kehendak bebas. Namun, proses keduanya tak berjalan sekaligus. Kehendak bebas (individual conscience) sebagai perwujudan dari pikiran bebas yang muncul belakangan seiring dengan semangat perlawanan bersama pada kekuasaan Kristiani.
Gagasan tentang liberalisme terus berkembang seiring dengan masih relevannya ideologi tersebut sampai hari ini. Mengingat arah tulisan ini banyak mengutip gagasan filsuf-filsuf klasik, secara praktis penulis mengambil garis batas untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran awal tentang liberalisme. Tulisan Schapiro menjadi panduan yang tepat untuk menjelaskan ciri-ciri gagasan liberalisme. Dalam bukunya yang berjudul “Liberalis: History and Its Meaning”, Schapiro menggambarkan ciri-ciri awal pemikiran Liberalisme dari tokoh klasik Sokrates hingga Presiden ke-32 Amerika Serikat Franklin D. Rossevelt. Menurutnya, ada sepuluh konsep kunci tentang liberalisme yang ditemukan pada semua pemikir liberal.[9] Lantaran gagasan yang saling berkelindan satu sama lain, secara proporsional penulis mencoba menggabungkan ciri-ciri yang sebangun agar tak ada kesan konsep yang terpisah-pisah. Agar tak bias dengan berbagai konsep liberal yang kita kenal saat ini, secara spesifik tulisan ini hanya membahas tentang liberalisme di bidang politik.
C. Ciri Pemikiran Liberal
·         Nature
Para pemikir liberal berangkat dari kondisi alamiah manusia (state of nature). Para filsuf dari berbagai era secara khas membangun hipotesis tentang keadaan manusia tanpa pemerintah (negara) yang digambarkan dalam versi yang berbeda-beda. Asumsi mereka tentang keadaan alamiah sangat bergantung pada proses pembelajaran hidup yang mereka alami, walhasil premis dan kesimpulan pada akhirnya banyak yang saling bertolak belakang. Misalnya tentang sifat alamiah manusia yang digambarkan secara kontras oleh Hobbes dan Locke. Filsuf pertama menilai sifat dasar manusia adalah jahat dan mementingkan diri sendiri. Sedangkan, Locke melihat sebaliknya yang kemudian diamini dan dilengkapi oleh Rousseau bahwa sifat-sifat buruk manusia terbentuk akibat struktur sosial. Bahkan, bagi Roussseau manusia bersifat netral, sifat baik/buruk dipelajarinya dari masyarakat.[10]
Kesamaan pemikir liberal soal alam adalah tentang hukum alam (law of nature). Bahwasanya, pembentukan institusi politik merupakan gerak alami yang berasal dari kebutuhan manusia. Meminjam istilah Yunani, manusia sebagai makhluk sosial saling membutuhkan dan bekerja sama. Namun, wujud institusi politik yang ideal menurut para pemikir liberal berbeda-beda didasarkan pada fakta sosiohistoris yang terjadi di wilayah.
·         Rasionalitas
Ciri penting liberalisme yang kedua adalah akal budi (reason). Secara umum, akal budi adalah inti pemikiran liberalisme yang berlepas dari batasan-batasan yang berciri transendental. Secara historis, gagasan liberalisme adalah gerakan pembangkangan pada doktrin Katolikisme. Sebagaimana nafas Abad Pencerahan (Rainessance), nalar menjadi pemandu manusia berkehendak. Gagasan ini diteruskan oleh keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang mampu menjawab segala persoalan yang dihadapinya dengan kekuatan akal. Manusia renaisans adalah manusia yang berpikir merdeka (bebas) dan memiliki human dignity dan self-determination.[11] Gagasan tentang kebebasan berpikir bertalian secara langsung dengan kebebasan bertindak. Atas nama hak asasi manusia, liberalis memperjuangkan kebebasan individu di bidang sosial, politik, ekonomi, dan agama.
·         Sekularisme
Berangkat dari konsep akal budi sebelumnya, progresivitas nalar manusia bisa dikalahkan oleh fanatisme, dogmatisme, dan ketidakmasukakalan.[12] Akibat perkembangan ilmu pengetahuan, manusia berlomba menaklukan alam dengan ilmu pengetahuan. Kebenaran diukur berdasarkan parameter sains dan teknologi. Manusia mendewakan rasio dan perlahan memitoskan agama. Gagasan ini berhubungan langsung dengan konsep serba duniawi (worldly) yang kemudian dikenal dengan istilah sekularisme.
·         Toleransi
Ciri khas lain yang cukup fundamental dari liberalisme adalah sikap toleransi. Sebagaimana asal kata liber adalah toleran, sikap menghargai kebebasan orang lain merupakan bagian dari liberalisme itu sendiri. John Locke adalah tokoh pionir yang menceritakan pentingnya penghargaan kepada orang lain. Atas prakarsanya yang diakui luas, Locke dikenal sebagai bapak HAM dunia. Dalam esai-esainya tentang toleransi (Letter Concerning Toleration), ia mencontohkan kebebasan memeluk agama sebagai sikap yang harus dihargai oleh semua orang. Baginya, keliru jika pemerintah memaksa seseorang untuk memeluk agama tertentu. Agama merupakan ranah privat yang tak bisa diintervensi oleh pemerintah.[13]
Serupa dengan Locke, Voltaire juga mengkritik adanya intoleransi beragama semasa hidupnya. Latar belakang keduanya yang merupakan seorang penganut Protestan (Calvinis) tentu menjadi motif penting mengapa kedua filsuf ini perhatian pada kebebasan beragama. Mereka sepakat bahwa agama lepas dari campur tangan pemerintah sebatas tak ada kekacauan publik yang ditimbulkannya. Namun yang menarik, pada masa itu, Voltaire sudah lebih terbuka dengan mengatakan bahwa orang Turki, China, dan Yahudi adalah saudaranya.[14] Gagasan tentang kebebasan dari kedua tokoh ini kemudian berkembang pada toleransi dalam segala hal yang kemudian terkenal dengan jargon “justice for all.”
·         Kebebasan intelektual
Tradisi rasionalisme Renaissance membawa manusia pada kebebasan untuk memikirkan segala hal. Sebagaimana pemikiran tentang toleransi beragama, kebebasan intelektual merupakan upaya perjuangan terhadap pembatasan yang dilakukan negara dan gereja. Di hampir semua negara Eropa, terjadi penyensoran terhadap materi cetak yang jelas mengekang kebebasan intelektual. Filsuf yang mengkritik sensor buku atas nama kebebasan berpikir adalah John Milton dalam karyanya Areopagitica. Milton menyebut rendah pemerintah dan gereja yang ‘menahan’, ‘memenjarakan’, dan menganggap buku sebagai penjahat. Milton menganalogikan jika manusia membunuh manusia artinya mengingakari ciptaan Tuhan. Jika manusia menghancurkan buku maka ia membunuh rasio sekaligus ciptaan dari ciptaan Tuhan.[15]
Gerakan pencerahan intelektual yang diprakarsai oleh institusi pendidikan bergerak lamban akibat pembatasan tersebut. Namun, pendidikan tetap merupakan tempat orang-orang mencari gagasan liberalisme. Dalam roman Emile, Rousseau menggambarkan pentingnya pendidikan sedari kecil untuk membentuk sifat alamiah manusia dengan pendidikan natural. Pendapat ini diteruskan oleh Thomas Jefferson yang menggagas sistem pendidikan dasar, umum, gratis, dan sekular. Menurutnya, pendidikan dasar menjadi instumen perbaikan bagi kondisi masyarakat miskin dan menggali talenta berbakat yang terkubur dalam masyarakat negara.[16]
Selain institusi pendidikan sebagai wahana diseminasi pemikiran liberal, konsep pendidikan sendiri yang menganggap manusia sebagai makhluk rational liberal. Dalam pandangan liberalisme, manusia memiliki potensi yang sama dalam intelektual secara individual. Lewat konsep equal opportunity dalam liberalisme, setiap orang dipersilakan masuk dalam sistem pendidikan untuk kepentingannya sendiri.
·         Ekonomi
Ilmuan sosial Max Weber melihat hubungan antara Protestanisme dengan perkembangan komersialisme.  Dalam konsep “etika protestan”, Weber menyatakan bahwa gagasan-gagasan puritanisme agama mempengaruhi pemikiran manusia tentang pengejaran ekonomi. Perwujudan asketisme pada agama bukan dengan hidup seadanya, tetapi berusaha menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya merupakan bagian dari nilai keagamaan. Tepat atau tidaknya kaitan tersebut, faktanya gerakan liberal menyebar ke semua bidang; sosial, ekonomi, dan politik. Aspek inti dari perjuangan tersebut adalah pencarian kebebasan ekonomi.[17]
Konsep awal liberalisme ekonomi adalah masyarakat diberikan kebebasan untuk mengejar kepentingan pribadi. Gagasan ini dikemukakan oleh kelompok pemikir Perancis bernama Physiocrats yang meminta pemerintah untuk menghilangkan batasan dan regulasi, serta membiarkan setiap orang berkompetisi di pasar. Konsep ini berkembang menjadi sistem ekonomi negara yang dikenal dengan sistem “laissez faire”. Gagasan ini di         sempurnakan oleh Adam Smith dengan konsep “invisible hands” yang mana peran negara tak terlihat dalam kegiatan ekonomi. Dengan kata lain, adanya pertemuan antarkepentingan swasta akan menghasilkan kesejahteraan nasional, yang menguntungkan bagi pemerintah, bisnis, dan buruh.[18]
·         Pemerintah
Perundang-undangan atau demokrasi adalah kata kunci dari model pemerintahan yang dijalankan oleh pemerintahan liberal. Melalui sejarah yang panjang, liberalis menunjukkan bahwa kebebasan dan hak sipil merupakan prinsip yang harus diakomodasi dalam sistem pemerintahan. Sebelum menjadi demokratis, negara-negara Eropa merupakan negara monarki absolut. Dalam memperoleh sistem pemerintahan yang diinginkan, para pemikir liberal mengajukan berbagai argumentasi dan analisis tentang ide seputar negara, asal muasal, fungsi, kekuasaan, dalam mencapai tujuan yang dikehendaki.[19] 
Walaupun sebagian negara Eropa melaksanakan revolusi dalam menerapkan model pemerintahan liberal, namun sejatinya liberal adalah mekanisme yang melarang kekerasan dan penuh dengan kebaikan. Para filsuf liberal mengajukan konsep “kontrak sosial” sebagai wujud komitmen bersama dalam menjaga harmoni bernegara. Inggris dan Perancis menjadi tanah pertama yang menjalankan kontrak antara rakyat dengan pemerintah. Di Inggris, John Locke menyampaikan gagasan yang komprehensif tentang bentuk negara yang terbaik untuk mengakhiri kekacauan dan ketidaktentuan dalam penyelenggaraan negara. Untuk melindungi hak-hak tersebut, pemerintah harus dibatasi dan representatif[20] yang kenal luas dengan nama pembagian kekuasaan, Trias Politica. Locke juga menyampaikan tiga hak dasar kemanusiaan yang tak bisa dilanggar oleh siapapun: hak hidup, kebebasan, dan hak kepemilikan (harta). Menariknya, Locke justru menganjurkan kekerasan (revolusi) jika pemerintah melanggar hak-hak dasar kemanusiaan tersebut, lalu membentuk pemerintahan baru.
Gagasan utama dalam pemikiran politik Montesquieu dan Rousseau adalah tentang pentingnya kontrak sosial sebagai jalan untuk menghentikan keadaan alamiah agar dapat mewujudkan sebuah keberlangsungan hidup yang teratur dan damai. Serupa dengan Locke, Montesquieu juga mengonsepsikan pemisahan kekuasaan dengan trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif), ajaran Montesquieu bertujuan untuk melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah negara. Sedangkan, Rousseau melalui bukunya Du Contract Social mencetuskan pemerintahan harus demokratis dimana kekuasaan berada di tangan rakyat. Namun, negara sebagai mandataris rakyat hadir sebagai penjamin kehidupan masyarakat dari anarki sosial. Gagasan Rousseau tampak mirip dengan pemikiran Hobbes tentang keadaan alamiah manusia pra negara yang mendorong terbentuknya kontrak sosial. Namun, Rousseau bertentangan dengan premis-premis Hobbes soal sifat-sifat alamiah manusia. Pada perkembangan selanjutnya, pemikiran Montesquieu dan Rousseau memberikan dampak yang signifikan dalam kehidupan bernegara, struktur hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, antara kekuasaan negara dan individu.
D. Kesimpulan
Perkembangan liberalisme mengalami kemajuan pesat setelah periode Reformasi Protestan dan masa Renaissance. Lewat proses yang panjang, liberalisme merupakan sebuah gerakan (movement) dengan inti perjuangan tentang kebebasan rasionalitas dan kehendak bebas. Atas kemuakan bersama terhadap sistem politik yang ada sebelumnya, walhasil proses keberterimaan faham liberalisme menjadi konsensus alami di masyarakat.
Sebagai ideologi, liberalisme merupakan seperangkat nilai yang mengendalikan manusia pada kebenaran mutlak tentang konsep hak asasi manusia yang tak boleh dilanggar oleh siapapun. Liberalisme adalah ideologi yang netral, objektif, dan berdasarkan fakta, oleh karenanya ia menjadi ideologi yang paling adaptif terhadap perkembangan sosial. Tak heran jika pemikiran liberalisme masih relevan hingga saat ini.
Liberalisme adalah antitesis kekangan negara terhadap rakyatnya. Makanya berbagai konsep yang ia ajukan adalah upaya seminimal mungkin campur tangan negara. Ide ini terlihat jelas dalam bentuk laissez faire dan the invisible hand di bidang ekonomi. Negara mengambil peran minimal dan mengkhususkan diri pada penyediaan infrastruktur, perlindungan hak asasi manusia, penegakkan hukum, dan pengamanan negara.
Sebagaimana dikemukakan dalam berbagai literatur, sumbangan pemikiran Locke, Montesquieu, dan Rousseau tentang negara dan kekuasaan sangat berpengaruh pada letupan revolusi sosial di berbagai negara Barat. Bahkan, gagasan ketiganya disempurnakan dalam penerapan prinsip check and balance dan akuntabilitas di negara-negara demokratis. Seiring dengan munculnya kelas sosial baru menggantikan model yang lama, model pemerintahan liberal demokratis menjadi sistem yang diterima oleh semua dunia Eropa, bahkan masyarakat global hingga kini.
Referensi
Ball, Terence, Richard Dagger, Daniel O’neill (2009) Political Ideologies and The Democratic Ideal. Boston: Pearson.
Heywood, Andrew. (2004) Political Theory: an Introduction. New York: Palgrave Macmillan.
Rowe, Christopher, Malcolm Schofield. (2001) Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Schapiro, J Salwyn. Liberalism: History and It’s Meaning, (-, 1958), hlm. 9.
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.



[1] Sekurang-kurangnya, Sabine dan McDonald, termasuk tulisan ilmuan Indonesia seperti Suhelmi dan Deliar Noer.
[2] Christopher Rowe, Malcolm Schofield, Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi, (Raja Grafindo Persada: 2001), hlm. 5.
[3] Ia mengadaptasi tesis “with disintegration comes rebirth” milik Arnold Tynbee. Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 1.
[4] J Salwyn Schapiro, Liberalism: History and It’s Meaning, (-, 1958), hlm. 9.
[5] Terence Ball dkk, Political Ideologies and The Democratic Ideal (Boston, 2009), hlm. 44.
[6] Ibid., hlm. 5.
[7] Op.cit., hlm. 21.
[8] Ball menambah satu faktor lagi yakni peristiwa wabah kolera luas yang terjadi pada abad ke14 yang mematikan sepertiga penduduk Eropa atau dikenal sebagai peristiwa Black Death. Pemikiran konservatif banyak terkubur bersama jasad yang tewas, terutama para bangsawasan. Op.cit., hlm. 48.
[9] Op.cit., Schapiro, hlm. 17-26.
[10] Op.cit., Suhelmi, hlm. 247.
[11] Ibid., hlm. 300.
[12] Op.cit., Schapiro, hlm. 18.
[13] Op.cit., Ball, hlm. 54.
[14] Op.cit., hlm. 108.
[15] Ibid., hlm. 101.
[16] Ibid., hlm. 21.
[17] Op.cit., Ball, hlm. 61.
[18] Op.cit., hlm. 23.
[19] Ibid.
[20] Andrew Heywood, Political Theory: an Introduction (New York, 2004), hlm.268.

Konsep Negara dan Kekuasaan oleh Montesquieu dan Rousseau

        Setelah kungkungan Arab Skolastik yang penuh dengan dogmatisme Gereja, Eropa memasuki fase baru yang memproduksi antitesis pemikiran sebelumnya. Dalam bab “the Eighteen Century” McDonald menjelaskan secara kronologis bagaimana pemikiran dan filsafat negara-negara modern saat ini sangat bergantung pada Perancis, Inggris, Jerman pada masa itu. Dalam perkembangan teori politik, ia memotret poin-poin pembangunan progresif yang ditorehkan abad tersebut. Salah satunya adalah perubahan orientasi filsafat baru yang disebut dengan Pencerahan (the enlightment), dimana pergerakan kefilsafatan menghasilkan kesadaran tentang penolakan terhadap otoritas agama terhadap seni, moral, politik, dan pengetahuan.[1] Pemikiran mengambil alih kewenangan agama dalam sebagai tolok ukur segala hal.
Perkembangan sains dan teknologi yang begitu cepat mengakibatkan perubahan dalam struktur sosial dan pemikiran secara radikal. Membawa semangat pelepasan diri dari dogma gereja, manusia mengukur segala sesuatu, terutama kebenaran, lewat parameter sains dan teknologi. Kemajuan terjadi di berbagai lini kehidupan. Eropa memulai fase revolusi pemikiran dimana posisi agama atau kepercayaan yang tak masuk akal atau dipahami panca indera dinggap hanya mitos belaka. Dalam bahasa McDonald, segala hal didiskusikan dan dianalisis.[2]
Pada abad ke-18, ketika Inggris menggagas orientasi negara merkantilisme yang ekspansif, Perancis muncul sebagai “lahan subur” penciptaan berbagai pemikiran dan filsafat politik modern yang terkenal hingga saat ini. Tanpa maksud mengabaikan “telur” pemikiran para filsuf Inggris seperti John Locke dan Thomas Hobbes, setidaknya daratan Perancis menjadi penerus filsafat politik yang penting hingga kini. Oleh karena itu, tulisan ini hendak diarahkan pada periode penting tahun 1700-an, yakni buah pemikiran filsuf-filsuf terkenal Perancis.
            The philosophes adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada filsuf besar Perancis. Montesquieu dan Rousseau adalah dua nama besar yang tak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran Abad Pencerahan. Penyandingan nama mereka terjadi bukan semata soal kesamaan sosiohistoris, tetapi ide keduanya tentang “kontrak sosial” merupakan diskursus penting yang terus dipelajari hingga kini.
            Gagasan utama dalam pemikiran politik Montesquieu dan Rousseau adalah tentang pentingnya kontrak sosial sebagai jalan untuk menghentikan keadaan alamiah agar dapat mewujudkan sebuah keberlangsungan hidup yang teratur dan damai. Montesquieu mengonsepsikan dimana adanya pemisahan kekuasaan dengan trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif), ajaran Montesquieu bertujuan untuk melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah negara. Ide ini merupakan modifikasi dari gagasan pembagian kekuasaan milik John Locke. Sedangkan, Rousseau melalui bukunya Du Contract Social mencetuskan pemerintahan harus demokratis dimana kekuasaan berada di tangan rakyat. Namun, negara sebagai mandataris rakyat hadir sebagai penjamin kehidupan masyarakat dari anarki sosial. Gagasan Rousseau tampak mirip dengan pemikiran Hobbes tentang keadaan alamiah manusia pra negara yang mendorong terbentuknya kontrak sosial. Namun, Rousseau bertentangan dengan premis-premis Hobbes soal sifat-sifat alamiah manusia. Pada perkembangan selanjutnya, pemikiran Montesquieu dan Rousseau memberikan dampak yang signifikan dalam kehidupan bernegara, struktur hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, antara kekuasaan negara dan individu.
            Rousseau memberikan argumen dimana kekuasaan dialihkan dari kerajaan kepada kehendak rakyat yang menghasilkan model demokrasi absolut. Sedangkan Montesquieu tidak memusatkan pemikirannya kepada siapa yang memegang tampuk pemerintahan. Bagi Montesquieu, hal yang lebih penting adalah eksistensi sebuah konstitusi yang akan melindungi negara dari kekuataan despotik, dan hal ini bisa dihindari dengan adanya pembagiaan kekuasaan. Secara umum, pemikiran Rousseau terlihat fundamental namun tak teknis. Jika negara menggunakan konsep eksekutif-legislatif-yudikatif, pemikiran Rousseau tak mampu menjelaskan pembagian rakyat yang duduk di jabatan-jabatan tersebut. Namun, gagasan Rousseau menjadi landasan soal tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya, sebagai bagian penting dari prinsip negara modern. Sementara, gagasan Montesquieu menjadi panduan aplikatif dalam pembentukan negara dengan mencakup tentang hukum, pemisahan kekuasaan, bentuk negara, dan lainnya.[3] Namun, kesamaan keduanya terletak pada model ideal sistem negara yang bergantung pada jumlah penguasa yang hendak diakomodasikan.[4] Sebuah pemikiran yang berakar dari gagasan Aristoteles tentang plutokrasi (monarki, aristokrasi, dan demokrasi).
Di tengah pesatnya pemikiran Abad Pencerahan, Rousseau justru muncul untuk mengkritiknya. Terlepas adanya kesamaan dalam filsafat politik di antara mereka, pemikiran Rousseau merupakan sebuah pemberontakan intelektual terhadap zamannya. Laju sains dan teknologi dianggapnya telah menyebabkan kerusakan akhlak dan dekadensi kebudayaan yang berujung pada kehancuran ras manusia. Dikenal sebagai sosok la sensibilite, pemikiran Rousseau menjadi cikal bakal pemikiran Romantisme Eropa yang muncul kemudian dengan mengenalkan konsep manusia kembali ke alam. Dalam fitrahnya, manusia perlu mementingkan emosi dan menekan aspek rasionalitas dalam berpikir. Dari titik ini, terlihat bahwa ia justru membalikkan optimisme pencerahan menjadi pesimisme total.[5]
            Sebagaimana dikemukakan dalam berbagai literatur, sumbangan pemikiran Montesquieu dan Rousseau tentang negara dan kekuasaan sangat berpengaruh pada peristiwa sejarah besar yang dikenal Revolusi Perancis. Bahkan, gagasan keduanya disempurnakan dalam prinsip check and balance di negara-negara demokratis. Dalam sejarah Perancis, pemikiran keduanya tentang “perjanjian rakyat dengan penguasa” menjadi simbol kemenangan rakyat atas sistem monarki absolut lewat penggulingan Raja Louis XIV. Namun ada fakta sejarah yang berkata lain. Kerangka pemikiran mereka tentang konsep kebersamaan justru diejawantahkan pada makna kebersamaan untuk negara. Jalan pemikiran tersebut mudah menghasilkan pemerintahan totaliter yang hanya baik untuk kepentingan negerinya. Revolusi Perancis memunculkan sosok Jenderal Napoleon Bonaparte sebagai pionir pergerakan nasional yang berciri chauvinistis dan ekspansif. Semboyan-semboyan nasionalistik Perancis yang terkenal “liberte, egalite, and fraternite” menjadi legalitas nasional untuk menaklukan Eropa daratan yang kelak menghancurkan Perancis sendiri akibat kalah perang.
           




Daftar Pustaka:
McDonald, Lee Cameron. (1962) Western Political Theory: from Its Origins to the Present
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


[1] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory: from Its Origins to the Present (New York, 1962), 339.
[2] Ibid, 340.
[3] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Gramedia Pustaka Utama, 2004), 226.
[4] Ibid, 254.
[5] Ibid, 243.

Politik versi Plato dan Aristoteles

           Pentingnya warisan intelektual zaman Yunani kuno yang berlangsung dari abad 8-6 SM hingga abad 2 M diyakini sebagai tonggak awal kelahiran berbagai ilmu pengetahuan. Yunani kuno secara tipikal lebih kita anggap sebagai nenek moyang ‘kita’ dalam lingkungan politik, baik secara ideologi, mitologi, dan simbolis.[1] Berbagai istilah yang dikenal lahir di sana seperti monarki, tirani, oligarki, aristokrasi, demokrasi dan lain sebagainya menjadi legitimasi yang fundamen di atas bangunan politik sebagai ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, tak ada pernah habis penyampaian kredit dialamatkan kepada peradaban Yunani kuno saat karya akademis yang membahas asal muasal ilmu pengetahuan.
            Setidaknya, periode pusat peradaban Yunani kuno berlangsung pada abad 5-4 SM saat entitas masyarakat yang bernama Athena menjadi tempat kontestasi ide dan pengetahuan yang sangat filosofis. Sejak kelahiran hingga perkembangannya dewasa ini, pemikiran dan filsafat politik Barat sangat dipengaruhi oleh filsuf Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles. Jejak pengaruh Aristoteles, misalnya, bisa dilacak dalam karya The Prince Marchiavelli, gagasan pemisahan kekuasaan L’esprit de lois Montesquieu, Teori Hegel tentang konstitusi negara sebagai ekspresi kesadaran diri negara, gagasan Marx tentang hubungan ekonomi dan politik.[2] Secara spesifik, tulisan ini akan membahas tentang periode penting lahirnya ilmu pengetahuan lewat representasi para tokohnya.
            Sokrates, Plato, dan Aristoteles adalah tiga tokoh Yunani kuno masyhur yang paling banyak diteliti ilmuwan. Representasi atas ketiganya tak lepas dari sumbangan mereka kepada ilmu pengetahuan lewat tulisan dan institusi pendidikan (akademi) yang mereka bentuk. Secara genealogis, keterkaitan ketiganya adalah hubungan antara guru dan murid. Sokrates adalah guru Plato, dan Plato adalah guru Aristoteles. Dalam berbagai karya akademis, kesinambungan dan kontradiksi pemikiran antara Sokrates, Plato, dan Aristoteles dijadikan satu sebagai usaha menunjukkan gambaran besar tentang pemikiran Yunani klasik. Namun, penggandengan antara Plato dan Aristoteles lebih sering muncul karena beberapa alasan. Selain karena gagasan keduanya yang lebih kompatibel dan relevan hingga kini dibandingkan Sokrates, faktanya warisan intelektual Sokrates adalah upaya dokumentasi yang dilakukan oleh Plato. Oleh karenanya, penceritaan tentang pemikiran Sokrates sering mengalami pembiasan hingga diimajinasikan sebagai “Sokrates”-nya Plato. Terkait hal itu, sumbangan Plato dianggap sangat signifikan dengan menyebut seluruh sejarah filsafat Barat, termasuk pemikiran Aristoteles (serta para filsuf Yunani setelahnya) hanyalah rangkaian dari catatan kaki Plato.[3] Lepas dari hal tersebut, sebagaimana judulnya, tulisan ini memang secara spesifik membahas pemikiran Plato dan Aristoteles.
            Gagasan utama dalam pendekatan politik atas pemikiran Plato dan Aristoteles bahwa kerja intelektual keduanya adalah upaya untuk mencapai masyarakat yang baik. Konsepsi virtue (kebajikan) menurut mereka adalah tujuan eksistensi manusia yang ideal dalam entitas masyarakat tertinggi (negara). Namun, arah pemikiran Plato bergerak pada relasi pengertian negara dengan aspek jiwa manusia, sedangkan Aristoteles memandang negara sebagai suatu bentuk lanjutan dari kumpulan-kumpulan yang ada dan berbentuk kecil.[4] Plato memberikan pemaknaan mendalam atas prinsip kebajikan, hingga menurutnya pembentukan negara adalah jalan paling efektif menuju kehidupan manusia yang penuh dengan kebajikan. Tak heran jika ia memformulasikan konsep raja-filsuf (the Philospher king) sebagai pemimpin ideal sebuah negara. Istilah negarawan[5] yang mengandung pengertian lebih dari sekadar seorang kepala negara, setidaknya mendekati konsep pemimpin yang dibayangkan oleh Plato.
            Istilah manusia zoon politikon bukan sekadar konsep yang Aristoteles kemukakan, tetapi merupkan premis dasar adanya negara. Bagi Aristoteles, manusia membutuhkan negara sebagai tempat mereka menjalin kontak, relasi, interaksi, dan kolaborasi. Menurutnya, orang yang tak memerlukan masyarakat dan negara, artinya ia tak menjalankan fitrahnya. Ia sepakat dengan Plato tentang keberadaan negara sebagai penjamin proses kesempurnaan hidup manusia lewat peran institusi pendidikan.
            Dari pemikiran keduanya, kita dapati bahwa konsep negara adalah unit kekuasaan tertinggi di mana tiap manusia di dalamnya mendedikasikan diri dan bertukar kepentingan. Dengan istilah yang berlainan, kedunya menilai negara merupakan wahana perwujudan nilai-nilai virtue. Mereka tak melihat kemungkinan pengimpelementasian nilai-nilai virtue: wisdom, courage, temperance, dan justice[6] di atas entitas negara. Padahal  dalam perkembangan dunia modern, konsep supranasional yang diperkenalkan oleh ilmuan merupakan proses alamiah manusia yang saling membutuhkan satu sama lain. Sifat manusia sebagai makhluk sosial direpresentasikan oleh negara, lalu negara menjalankan sifat sosialnya dengan melakukan kerjasama antarnegara.
            Sebenarnya, perbedaan sosiohistoris atau state of nature antara kondisi modern dan masa Yunani kuno yang membuat gagasan kerjasama internasional tak pernah terbayangkan oleh pemikir Yunani kuno. Mereka hidup dalam ratapan kehancuran Athena dalam perang Peloponnesos, hingga membuat proyeksi kontras atas model pemerintahan dan negara sebelumnya. Negara saat itu bersifat saling invasif untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Selain itu, pesatnya perkembangan teknologi dan industri saat ini mengubah peta global dari awalnya negara bersifat self-sufficient berubah menjadi saling bergantung yang mengharuskan mereka bekerja sama untuk meraih keuntungan masing-masing. Dari pespektif liberal, kerjasama antarnegara mempromosikan saling pengertian, toleransi, dan saling ketergantungan.[7]
Perihal kerjasama, sebenarnya Plato telah menyampaikan konsep tentang nilai-nilai kolektivisme. Gagasan ini adalah akar pemikiran tentang gagasan komunisme dan antiindividualisme sebagaimana yang dikembangkan oleh Marx dan pengikutnya. Bahkan, pemikiran Plato bisa disebut lebih ekstrim dengan menyebut istri dan anak adalah bagian dari common properties. Harapan Plato bahwa tanggung jawab bersama atas anak-anak negara bisa menjadikan mereka sebagai manusia unggul yang tak terikat oleh ikatan keluarga dan mempunyai loyalitas penuh kepada negara.[8] Walaupun ada alasan-alasan luhur dari gagasan Plato, justru kritik dengan mudah muncul perihal kekhawatiran jika yang terjadi adalah “pengabaian bersama” oleh para laki-laki. Terlepas dari hal tersebut, lagi-lagi konsep kolektivisme Plato terbatas pada skup negara.
Gambaran tentang negara Yunani kuno jelas sangat berbeda dengan konsep negara modern. Menurut Sabhine, kunci memahami pemikiran mereka adalah pemahaman tentang konsep the Greek city-states.[9] Sebagai gambaran, negara Athena saat itu hanya dihuni kurang lebih 100 ribu jiwa[10] dengan luas yang lebih kecil dari provinsi Jakarta sekarang[11] yang memungkinkan setiap orang berinteraksi satu sama lain dan menerapkan sistem pemerintahan demokrasi langsung. Selain itu, dalam struktur politik mereka tak dikenal perbedaan antara negara dan masyarakat. Artinya, ketika orang membicarakan masyarakat, maka ia sedang membicarakan negara. Tak heran, semua orang terbiasa membangun solusi bagi kemaslahatan negara, sebagaimana contoh pionir dalam tokoh Plato dan Aristoteles.


Daftar Pustaka:
Heywood, Andrew. (2004) Political Theory: an Introduction. New York: Palgrave Macmillan.
McDonald, Lee Cameron. (1962) Western Political Theory: from Its Origins to the Present New York: Harcort, Brace & World.
Noer, Deliar. (1982) Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta: Persada.
Rowe, Christopher, Malcolm Schofield. (2001) Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sabhine, George H.(1959) A History of Political Theory London: George G. Harrap.
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
           



[1] Christopher Rowe, Malcolm Schofield, Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi, (Raja Grafindo Persada: 2001), 5.
[2] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Gramedia Pustaka Utama, 2004), 5.
[3] Ibid, 36.
[4] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Persada, 1982), 28.
[5] Merriam-webster dictionary mengartikan statesman sebagai “a wise, skillful, and respected political leader”. Sedangkan Longman Dictionary menggunakan istilah “one who is respected as being wise, honourable, and fair”.
[6] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory: from Its Origins to the Present (New York, 1962), 19.
[7] Andrew Heywood, Political Theory: an Introduction (New York, 2004), 105.
[8] Suhelmi, Opcit, 40
[9] George H. Sabhine, A History of Political Theory (London, 1959), 17.
[10] Noer, Opcit, 3
[11] Suhelmi, Opcit, 27.