Sabtu, 25 Agustus 2018

Selintas: Gambaran Sistem Pemilihan Umum Nasional 2019 (studi keilmuan)



Di antara macam-macam prosedur formal politik, pemilihan umum diyakini merupakan mekanisme prosedural paling manipulatif yang mempengaruhi seluruh kelembagaan negara. Pemilu menjadi satu-satunya prosedur demokrasi yang melegitimasi tindakan dan wewenang tokoh politik (dalam lembaga eksekutif atau legislatif) yang awalnya hanya seorang kontestan pemilu. Fungsinya sebagai alat sirkulasi politik dan regenerasi kekuasaan yang damai diyakini merupakan instrumen yang paling berpengaruh dari semua institusi politik (ACE Project: 2001).
Pada tingkatan paling dasar, pemilu merupakan metode translasi suara menjadi “kursi” dalam sistem demokrasi. Dari pemilu diharapkan proses politik yang berlangsung akan melahirkan suatu pemerintahan baru yang sah, demokratis dan benar-benar mewakili pemilih. Secara umum, substansi pemilu sebenarnya terbatas pada operasionalisasi tiga hal; formulasi elektoral yang membahas sistem pemilihan, besaran daerah pemilihan (district magnitude), dan strukturisasi kertas suara (ballot structure). Lewat tiga topik tersebut, tulisan ini hendak menguraikan format kepemiluan nasional yang akan dilaksanakan pada pemilu 2019 berdasarkan perspektif komparatif historis.
Tahun 2019, Pemilu di Indonesia akan memilih 575 anggota DPR, 136 anggota DPD, serta anggota DPRD (Provinsi maupun Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2019–2024. Dalam kondisi yang normal, Indonesia menggelar pemilu setiap 5 tahun sekali. Kosekuensinya, ribuan jabatan publik tersebut hanya berumur 5 tahun, dan dikocok ulang untuk periode berikutnya. Yang menarik, pemilu Legislatif tahun depan dilaksanakan bersamaan dengan Pemilihan umum Presiden Indonesia 2019.
Walaupun tidak substantif, alasan efisiensi biaya dan efektivitas waktu menjadi faktor yang cukup besar di balik penggabungan tersebut. Pemilu 2019 diprediksi akan menghabiskan Rp16 triliun, artinya biaya yang terpangkas setengah dari anggaran pemilu tahun 2014. Sementara dari sisi waktu, setidaknya proses ini akan memotong waktu tiga bulan lebih singkat dibanding pemilu 2004-2014. Namun argumentasi yang paling penting adalah adanya asumsi akademis yang menyatakan bahwa skenario ini akan membawa tren penguatan sistem presidensial Indonesia.

Sistem Pemilihan
Concurrent election atau lebih dikenal dengan pemilu serentak dalam konteks Indonesia adalah penyelenggaraan pemilu legislatif yang dilakukan secara bersamaan dengan pemilu eksekutif nasional (presiden dan wakilnya). Cukup beragam model pemilu serentak yang dikenal di dunia, pemilu serentak bahkan termasuk menyelenggarakan pemilu untuk tingkat supra-nasional, yakni pemilihan anggota parlemen Eropa secara berbarengan dengan pemilu nasional, regional atau lokal (Haris: 2014). Dengan beragamnya faktor yang mempengaruhi pemilu serentak, varian yang sudah diterapkan di luar menjadi hipotesis model pemilihan serentak yang akan digelar 2019.
Secara format tak ada perbedaan yang berarti selain poin keserentakan legislatif-eksekutif di tingkat nasional. Besar kemungkinan fenomena-fenomena Pemilu 2019 akan sama dengan agenda-agenda sebelumnya. Namun, tentunya banyak implikasi teoritis yang menjelaskan adanya perbedaan signifikan yang akan terjadi terhadap hasil pemilu tersebut. Terkait hal-hal di atas, sebenarnya tulisan ini hendak mendiskusikan seberapa besar dampak yang ingin dihasilkan dari mekanisme elektoral seperti itu.    
Hingga pemilu ke-15 yang akan digelar tahun depan, para pemangku kebijakan tetap sepakat untuk menerapkan sistem pemilu proporsional (proportional representation) dengan hasil yang diakui kesuksesannya. Berbagai perubahan yang dilakukan pada gelaran berikutnya dilakukan atas dasar evaluasi pada pelaksanaan sebelumnya. Namun, perubahan yang dibuat sebatas pada aspek teknis pada sistem proporsional. Sebagaimana disebut di atas, pemilu serentak 2019 mempunyai semangat besar terhadap asas pemilu adil-demokratis dan penguatan sistem pemerintahan RI. Di samping itu, efisiensi dan efektivitas menjadi pertimbangan lain yang membuat pelaksanaannya pemilu nasional digabung, sebatas dalam koridor yang diperbolehkan secara hukum yuridis.
Konflik politik antara eksekutif-legislatif yang berujung pada deadlock merupakan tesis Scott Mainwaring yang tak terbantahkan akibat kombinasi sulit presidensialisme dan multipartisme. Indonesia menjadi bukti tentang fenomena keterbelahan politik karena legislatif dan eksekutif dikuasai oleh partai politik yang berbeda. Dalam perspektif lain, pemilu Indonesia selalu menghasilkan “the minority president” karena dominannya kekuatan parlemen atas pemerintah. oleh karena itu, mekanisme perimbangan penyelenggaraan kekuasaan sering menghasilkan instabilitas dan praktik transaksional. Dalam konteks ini, hipotesis tentang pemilu serentak mencoba menawarkan solusi terbaik menuju penguatan sistem presidensial yang efektif.
Kajian-kajian akademis menjadi salah satu rujukan alasan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan usulan menguji materi Undang-Undang No. 42 Tahum 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lewat keputusan No 14/PUU-11/2013 Tentang Pemilihan Umum Serentak. Sejalan dengan pertimbangan tersebut, penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Legislatif secara serentak akan lebih dari sisi anggaran dan singkat dari sisi waktu.

Besaran Daerah Pemilihan
District Magnitude atau lebih dikenal dengan daerah pemilihan (dapil) dibentuk berdasarkan wilayah administrasi dan/atau jumlah penduduk. Ia bicara tentang berapa banyak wakil yang dicalonkan untuk dipilih di suatu daerah pemilihan. Secara umum, di Indonesia, pembagian dapil dilakukan berdasarkan wilayah administrasi tertentu. Namun, praktik pen-dapil-an pemilu legislatif dilakukan dengan pertimbangan pemerataan jumlah suara. Pemutakhiran dapil dilakukan atas kedua aspek tersebut dengan tetap memperhatikan prinsip kesetaraan nilai dan proporsionalitas.
Regulasi pemilu 2019 tak melakukan modifikasi hal yang prinsipil terhadap besaran dapil. Rasanya terlalu krusial melakukan perubahan sistem dapil terhadap konsep tiga jenis pemilu yang akan dilaksanakan. Pada district magnitude anggota DPR, sistem pemilihan yang
digunakan adalah Sistem Proporsional (daftar terbuka) sehingga menganut prinsip berwakil banyak (multi member constituency). Sedangkan pemilihan DPD menggunakan sistem sistem majoritarian berwakil banyak yang berbasis di provinsi. Sedangkan, pemilihan presiden dan wakil presiden menggunakan sistem yang digunakan adalah plurality (50% + 1) (Haris: 2014).
Konsep dapil lebih relevan untuk pemilihan DPR dan DPD, karena pilpres menggunakan district magnitude seluruh wilayah NKRI. Pembahasan yang menarik muncul perihal pemilihan DPR. Namun, pada intinya penambahan penambahan atau pengurangan dapil dalam satu provinsi tidak mempengaruhi kursi yang ada. Hal itu sejalan dengan urutan pembahasan hukum yang mendahulukan alokasi kursi.
Di level DPR RI, terjadi penambahan 15 dapil untuk menyesuaikan kebijakan penambahan 15 kursi baru. Paduan angka 15 & 15 sebenarnya hanya kebetulan, bukan asumsi yang berasal dari penambahan 1 kursi untuk 1 dapil baru. Sementara, ketentuan dapil DPRD belum rampung dibahas oleh KPU RI dan DPR RI. Pada prinsipnya, dapil di kabupaten/kota lebih dinamis karena perkembangan daerah otonomi baru (DOB) dan perubahan penduduk (Surbakti: 2016). Dengan perubahan kebijakan UU Pemilu 2017 yang lebih sentralistis, harapannya praktik utak-atik dapil tidak terjadi lagi di daerah. Pasalnya pada UU Pileg lalu, kebijakan pen-dapil-an menjadi ranah KPU daerah. Sehingga fenomena dapil loncat (dapil superman) terjadi sebagai siasat pemenangan kandidat-kandidat tertentu.
Pembagian dapil sebenarnya berkaitan erat dengan mekanisme penentuan pemenang pemilu atau yang lazim disebut metode konversi suara. Diskusi tentang metode konversi suara mengalami dinamika yang positif ke arah perbaikan kualitas dan representasi. Sejak reformasi hingga pileg 2014, model Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) menjadi prinsip yang terus dipertahankan. Penggunaan BPP bukan berarti tanpa masalah, sebab kelemahan utamanya, koefisien BPP antar satu daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lainnya nilainya tidak sama (berbeda-beda), ada yang lebih mahal dan ada yang lebih murah (Haris: 2014). Oleh karenanya, perubahan metode konversi suara menjadi terobosan yang cukup penting pada pemilu 2019 dengan menggunakan metode konversi suara “Sainte Lague” murni.
Metode Sainte Lague termasuk metode penghitungan yang efektif dan efisien. Hal ini dikarenakan oleh metode penghitungan Sainte Lague ini menyediakan cara perhitungan perolehan suara kursi partai yang sederhana dan berlangsung dalam satu tahap perhitungan. Metode ini bisa menghilangkan munculnya potensi adanya sisa kursi yang tidak terbagi habis dalam satu kali tahap perhitungan (www.britannica.com).

Strukturisasi Kertas Suara
Pakar pemilu menganjurkan bahwa sebisa mungkin kertas suara dibuat agar mudah mengerti oleh semua pemilih. Hal ini ditujukan untuk memaksimalkan partisipasi dan mengurangi risiko suara “tidak sah” (ACE Project: 2001). Oleh karena itu dalam praktiknya sering memerlukan penggunaan simbol, gambar, foto, dan warna agar menyerhanakan tugas pemilih suara (voter) dalam menentukan pilihannya.
Salah satu konsekuensi pemilu model proporsional seperti di Indonesia adalah struktur kertas suara categorial ballots yang hanya mewajibkan pemilih untuk memilih satu pilihan. Kondisinya jelas berbeda dengan model kertas suara di negara yang menggunakan sistem pemilu mayoritas atau campuran yang memilih lebih dari satu pilihan dalam satu kertas suara (ordinal ballot). Bahkan, saat pemilu Orde Baru dengan model proporsional dengan daftar tertutup, pemilih hanya dihadapkan oleh tiga jenis lambang dan warna yang kontras satu dengan lainnya. Namun, sejak 2009 kertas suara dengan daftar terbuka menjadi tantangan tersendiri bagi para pemilih.
Tahun 2019 dipastikan model proporsional dengan daftar terbuka akan tetap digunakan. Namun, isu krusial terkait surat suara bukan terletak pada kertas pilihan calon legislatif, melainkan pada kertas suara pemilihan presiden-wakil presiden. Pasalnya, penyelenggaraan yang diserentakkan berpengaruh besar terhadap pilihan kandidat dan partai politik. pada poin tersebut, format kertas suara (ballot structure) merupakan bagian yang mendapat perubahan signifikan atas model pemilu 2019.
Dalam PKPU Nomor 15 Tahun 2018, partai-partai yang lolos parliamentary treshold 2014 mempunyai hak pencantuman logonya dalam kertas suara calon presiden dan wakil presiden. Artinya hanya sepuluh partai parlemen yang mempunyai privilese khusus tersebut. Secara teknis, logo partai-partai itu akan dicetak di bawah foto pasangan usungan mereka. Sementara, Partai Bulan Bintang dan partai-partai baru lainnya tak dicantumkan, walaupun mereka mendukung pasangan tertentu. Dalam perspektif Coattail Effect theory, konsep ini jelas memberikan insentif bagi partai legislatif 2014. Preferensi pemilih terhadap pasangan capres-cawapres akan berkorelasi positif terhadap partai-partai pendukungnya.
Konsekuensi regulasi tersebut jelas bertentangan dengan prinsip kesetaraan di antara partai-partai yang berkompetesi. Partai-partai nonparlemen tak mendapat insentif dari format kertas suara walaupun mereka mendukung pasangan calon tertentu. Dalam penyusunan pasal PKPU tersebut, KPU sebenarnya mengambil aspek kepastian hukum dari UU Pemilu tahun 2017. Situasi dilematis seperti inilah yang cukup sering dialami KPU, antara aspek ideal atau formal yuridis. Sebenarnya, hilangnya akomodasi suara partai baru dalam penyusunan PKPU bisa diantisipasi lewat mekanisme legislasi. Jika DPR RI memahami prinsip idealitas dalam kertas suara, tentu regulasi PKPU bisa berkata lain. Namun sayangnya, prinsip mengikat dalam rapat konsultasi KPU RI dengan DPR RI tak dimanfaatkan stakeholders terkait untuk menyuarakan kepentingan sebagaimana yang dimaksud di atas.

Referensi:
Ace Project. (2001). Sistem Pemilu (terj). Stockholm: International IDEA.
Haris, Syamsuddin (ed). (2016). Pemilu Nasional Serentak 2019. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Electoral Research Institute, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Surbakti, Ramlan. Penataan Ulang Dapil. Kompas 1 November 2016.

Partisipasi Politik dalam Struktur Politik Era Demokrasi Terpimpin


Latar Belakang
            Pembahasan tentang partisipasi politik tak bisa dilepaskan dari keberadaan warganegara yang mendiami wilayah yuridiksi suatu negara. Warganegara (citizen) merupakan elemen penting, di samping keberadaan wilayah dan pemerintah, pembentuk struktur negara. Dengan demikian, partisipasi politik akan menyinggung sistem dan kehidupan politik pemerintahan di mana sistem politik tersebut berlangsung.
Secara harfiah, partisipasi politik berarti keikutsertaan dalam proses politik. Menurut Miriam Budiarjo,  partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara, secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (Budiardjo: 1988) Sedangkan menurut Huntington dan Nelson, Partisipasi Politik yakni kegiatan warganegara yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah (Huntington dan Nelson: 1994).
Dari perspektif di atas, partisipasi politik di Indonesia telah berlangsung jauh sebelum Indonesia berdiri secara formal. Rakyat (pengertian lain dari warganegara) merupakan bagian yang terus-menerus diikutsertakan dalam proses politik. Bahkan dalam sistem pemerintahan kolonial, partisipasi politik juga tampak sebagai bagian dari usaha-usaha untuk mendapatkan hak politik kemerdekaan. Namun, para ahli membatasi pembahasan partisipasi politik dalam konteks negara pascakolonial. Pasalnya pemerintah mewujudkan partisipasi rakyat sebagai bagian dari upaya pengelolaan negara. Secara umum, partisipasi politik bisa dalam bentuk terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Huntington dan Nelson: 1994).
Di negara-negara demokratis, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan masing-masing. Hal tersebut diwujudkan melalui kegiatan bersama untuk nenetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat (Budiarjo: 3).

Permasalahan
            Pascakemerdekaan, Indonesia menjalankan sistem pemerintahan demokratis sebagai wujud komitmen tinggi terhadap kedaulatan rakyat. Namun demikian Indonesia telah berulangkali menyelenggarakan sistem politik bervariasi. Bervariasinya sistem politik tersebut berpangkal pada perbedaan wawasan tentang bagaimana sistem politik demokrasi itu seharusnya cukup tangguh untuk melaksanakan pembangunan dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya praktek diktatorial.
Studi sejarah tentang demokrasi Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan menunjukkan adanya empat model pelaksanaan yang mempunyai warna tersendiri. Namun, fase proklamasi kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda (1945-1949), dimaknai sebagai model pemerintahan yang tidak murni buatan Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia tak mandiri dalam menyusun model pemerintahan yang efektif bagi rakyat Indonesia. Saat itu, wacana tentang partisipasi politik jauh dari pembahasan yang penting. Oleh karenanya, para pakar memasukkan periode pemerintahan efektif baru benar-benar terjadi saat Indonesia menjalankan pemerintahan secara mandiri sekitar tahun 1950-an. Yaitu masa demokrasi konstitusional, yang menonjolkan peran parlemen, serta partai-partai dan yang karena itu dinamakan Demokrasi Parlementer.
            Merasa bahwa penyelenggaraan negara tak efektif, Presiden Soekarno saat itu mengubah demokrasi Indonesia yang lebih menguatkan sistem presidensialisme. Baginya, berbagai krisis sosial disebabkan struktur politik yang terlalu terbuka (liberal) dalam wujud demokrasi parlementer. Hal itu terjadi karena kelompok-kelompok politik (dan partai politik) sangat berorientasi pada kepentingan ideologinya sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan politik nasional secara menyeluruh. Oleh karenanya, Sistem demokrasi liberal dirasa tidak cocok diterapkan di Indonesia.

Pertanyaan Penelitian
Implementasi kebebasan berkumpul dan berserikat pada Demokrasi Parlementer terlihat jelas dengan masifnya aktivitas berbagai partai politik. Euforia sebelum dan sesudah pemilu pertama Indonesia tahun 1955 menandai tingginya tingkat partisipasi politik warganegara. Bahkan kesulitan teknis kepemiluan yang diikuti 172 partai politik dapat diantisipasi oleh peran aktif setiap fungsionaris partai untuk menjelaskan prosedur pemilu (Feith: X). Namun, prosedur demokrasi yang terlampau hebat justru berdampak negatif seperti persaingan tidak sehat dan kekacauan di masyarakat.
Dengan kondisi parlemen dan masyarat yang terus tak stabil, presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959, sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah politik yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara. salah satu kebijakan Demokrasi Terpimpin yang kontras dari sistem parlementer adalah kebijakan penyederhanaan partai politik.
Sebagaimana diketahui, partai politik merupakan salah satu saluran partisipasi politik warganegara. Partai politik dibentuk tidak hanya dengan tujuan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan tetapi juga bertujuan untuk bisa menjadi wadah penampung aspirasi masyarakat yang dilaksanakan melalui fungsinya sebagai jembatan antara yang memerintah dan yang diperintah. Oleh karena itu, pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menghasilkan pertanyaan soal bagaimana bentuk partisipasi politik pada masa Demokrasi Terpimpin?

Landasan Teoritik
            Telah dijelaskan di atas bahwa konsep partisipasi politik adalah proses ikut sertanya warganegara dalam kehidupan politik di suatu negara. Menurut Miriam, fokus utamanya adalah usaha-usaha untuk mempengaruhi (Budiardjo: 2). Artinya, pengertian tersebut berfokus lebih luas dari wujud kegiatan partisipatif dan bersifat abstrak. Miriam menggunakan istilah “political efficacy” untuk efek dari kegiatan politik yang dilakukan warganegara. Terlepas bahwa tindakan politik tersebut sedikit memberi pengaruh atau hanya menjadi perhatian pemangku kebijakan.
Untuk menjawab pertanyaan tentang partisipasi politik, tulisan ini akan diarahkan pada karya Huntington dan Nelson (1994) yang secara spesifik membahas tipikal partisipasi politik di negara berkembang. Penulis membuat model-model alternatif yang menghubungkan partisipasi politik dengan variabel-variabel pembangunan lainnya. Model tersebut tediri dari: model borjuis, otokratis, populis, dan teknokatis.
Mengacu kerangka teori yang dirumuskan Huntington dan Nelson, tulisan ini hendak menjawab pertanyaan penelitian dengan cara mencocokkan model partisipasi politik seperti apa yang diterapkan era Demokrasi Terpimpin. Tinjauan kesejarahan terhadap sistem pemerintahan pada era Demokrasi Terpimpin menunjukkan tujuan politik yang berbeda dengan era sebelumnya. Oleh karenanya, ia akan berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap model partisipasi politik pada masa itu.

Uraian
Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sebenarnya, simbol Demokrasi Terpimpin terpimpin mulai dominan sejak pertengahan tahun 1958 ketika terjadinya pertentangan antara pemerintah pusat dengan para pemimpin Sumatera yang mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) beberapa bulan sebelumnya. Menurut Feith (1988), pengambilalihan semua hak milik Belanda dalam bulan Desember 1957 menyebabkan timbulnya susunan politik baru, di mana pemerintah jauh lebih bersifat otoriter, sedangkan partai-partai dan parlemen sangat lemah. Soekarno dan para pemimpin Angkatan Bersenjata jauh lebih besar perannya.
Isi Dekrit Presiden adalah:
a. Pembubaran konstituante
b. Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.
c. Pembentukan MPRS dan DPAS

Dekrit Presiden mempunyai implikasi luas pada perubahan sistem ketatanegaraan dan peta politik Indonesia. Pertama, tindakan tersebut mengakhiri tugas kabinet, parlemen, dan periode sistem parlementer itu sendiri. Kedua, berakhirnya periode parlementer tersebut sekaligus mengakibatkan berakhirnya pula periode pemerintahan oleh partai politik. Ketiga, berubahnya sistem negara dari model parlementer ke model presidensial di bawah kekuasaan Presiden Sukarno.
Pandangan negatif Soekarno terhadap sistem liberal pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Pendapat Soekarno banyak diamini oleh berbagai lapisan masyarakat. Fragementasi politik yang terlalu besar berakibat luas tak hanya di tataran elite, namun juga di level masyarakat.
Menurut Ricklefs (2008), upaya ilmuan mendeskripsikan Demokrasi Terpimpin bercorak determinasi psiko-kultural sosok pemimpin Jawa. Isbodroini (1978) menggunakaan neo tradisionalisme dalam pemikiran Soekarno dengan corak pemikiran akomododatif (sinkretik). Soekarno dilihat sebagai pusat legitimasi kekuasaan yang diperlukan bagi pemimpin lainnya. Walaupun memang terlihat identik, Ricklefs banyak menganulir identifikasi yang tak sama antara Soekarno dengan raja-raja Jawa.


Struktur Politik
Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959, Sukarno menguaraikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang kemudian dinamakan Manipol (Manifestasi Politik) yang isinya berintikan USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Sebagai konsep politik negara, Manipol-USDEK harus diterima dan dijalankan dalam setiap aktifitas berbangsa dan bernegara. MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) yang merupakan institusi bentukan presiden menetapkan Manipol USDEK sebagai GBHN (Garis Besar Haluan Negara). GBHN menjadi alat pemersatu dalam upaya pembangunan nasional tanpa lagi melihat perbedaan ideologi politik dan identitas primordial. Temasuk dalam berbagai tingkatan pendidikan dan kantor pemerintahan.
Suatu badan lain yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diketuai oleh Presiden Soekarno yang fungsinya memberi masukan atau pertimbangan kepada presiden. sementara, DPR hasil Pemilu tahun 1955 tetap menjalankan tugasnya dengan landasar UUD 1945 dan dengan menyetujui segala perombakan yang dilakukan pemerintah, hingga dibentuk DPR baru. Namun, insiden penolakan RAPBN 1960 oleh DPR justru membuat Soekarno langsung menyusun komposisi DPR baru yang bernama DPR-GR (Gotong Royong). Melihat komposisinya, perbandingan perwakilan golongan Nasionalis, Islam, dan Komunis adalah 44, 43, 30 orang. Jika dibandingkan komposisi pemilu 1955, terjadi peningkatan untuk golongan Nasionalis dan Komunis. Kerugian bagi kelompok Islam. keputusan ini jelas mencerminkan salah satu ciri Demokrasi Terpimpin lewat perimbangan ideologi (Nasakom).
Soal perwakilan partai, terdapat variasi sikap dan pendapat. Mr Ishaq (tokoh senior PNI) mengatakan bahwa anggota partai mereka yang duduk di DPR-GR bukalah wakil PNI karena hubungan antara mereka dan PNI tidak ada lagi, sebab mereka duduk dalam DPR-GR itu atas hasil penunjukkan (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993). Salah satu bentuk perlawanan elite politik atas DPR-GR adalah “Liga Demokrasi” yang tersusun dari kelompok partai yang tak setuju dengan ide nondemokratis Soekarno.
Organisasi selanjutnya yang dibentuk Soekarno adalah Front Nasional yang dijadikan sebagai basis massa Soekarno dalam menggaungkan semangat nasionalisme dan revolusi. Selain itu Front Nasional dijadikan alat mobilisasi politik untuk pengerahan massa dalam menerima tamu negara, perayaan-perayaan hari bersejarah dan mengadakan kursus-kursus kader. Kursus-kursus kader ini dianggap penting karena merupakan usaha indoktrinasi yang paling ampuh (Febriani, 1990). PKI dan  ideologi komunis yang merupakan bagian dari ideologi Nasakom mendapat keuntungan yang besar atas indoktrinasi ini dan melakukan berbagai infiltasi kader ke berbagai institusi/lembaga politik dan masyarakat.
Sebenarnya hanya di sebagian masyarakat politik saja Manipol-USDEK diterima sepenuh hati, sedangkan di sebagian yang lain menaruh kecurigaan dan kekhawatiran. Manipol-USDEK itu sendiri tidaklah begitu jelas. Selain itu, bukan pula suatu upaya untuk menyelaraskan semua pola penting dari orientasi politik yang ada di Indonesia. Ideologi negara apapun belum mampu menjembatani perbedaan-perbedaan besar orientasi politik kutub aristokratis Jawa dan kutub kewiraswastaan Islam. Pada pelaksanaannya, Manipol-USDEK tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut. Jadi, banyak kalangan Islam yang kuat keyakinannya, khususnya dari suku bukan Jawa, melihat rumusan baru itu sebagai pemikiran yang asing. Karena itulah maka pelaksanaan manipol Usdek dapat disimpulkan dilakukan dengan paksaan.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka langkah yang diambil pemerintah Sukarno adalah melakukan seleksi dan penyederhanaan partai politik. Dengan dikeluarkanya Pen-pres No.7 1959 pada tanggal 31 Desember 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan partai maka menjadi pertanda dimulainya intervensi politik pemerintah terhadap partai-partai. Pemerintah hanya mengakui adanya 10 partai politik yaitu : PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Murba,   PSII, IPKI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam.
Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing dari Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan tujuan-tujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya. Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti Manipol-Usdek dan Nasakom.
Pada masa Orde Lama, fungsi pers secara tersurat terkandung dalam ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 yakni sebagai alat membangun kesadaran revolusi. Surat Ijin Terbit (SIT) diperketat dengan ketentuan 19 pasal yang msengandung janji pertanggungjawaban surat kabar atau majalah tersebut dalam mendukung Manipol Usdek. (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993).

Lembaga Ekonomi
Sebagaimana yang termaktub dalam Manipol Demokrasi Terpimpin, pemerintah mengambil beberapa kebijakan ekonomi penting guna menanggulangi keadaan ekonomi dan keuangan Indonesia mengalami masa suram. Untuk melaksanakan pembangunan Ekonomi Terpimpin, Kabinet Karya membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang dipimpin oleh Muh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang. Dalam waktu singkat, Depernas berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan tahun 1961-1969. Tahun 1963, Depernas diganti oleh Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Bappenas bertugas menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahunan, baik nasional maupun daerah, mengawai dan menilai pelaksanaan pembangunan dan menyiakan dan menilai mandataris untuk MPRS (Poesponegoro dan Notosusanto: 1993).
Dalam perjalanan pembangunan ekonomi, tim ekonomi Soekarno melihat bahayanya peredaran uang yang terlalu banyak di masyarakat. Untuk itu, upaya pemerintah untuk mengatasi inflasi adalah dengan cara melakukan sanering yang berlaku tanggal 25 Agustus 1959 pukul 06.00 pagi. Peraturan ini bertujuan mengurangi banyaknya uang yang beredar yang mengakibatkan tingginya angka inflasi untuk kepentingan perbaikan keuangan dan perekonomian negara.
Salah satu kebijakan Ekonomi Terpimpin adalah perjuangan reformasi agraria. Pada era yang lebih dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin inilah lahir momen yang sangat bersejarah, yakni diundangkannya UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA). Reformasi agraria ini menegaskan fungsi sosial dari tanah serta larangan dominasi pihak swasta dalam sektor agraria. Ini merupakan kemenangan kecil bagi kaum tani miskin. “Molornya” waktu pelaksanaan reformasi agraria itu, antara lain, karena perjuangan merebut kembali Irian Barat dari tangan kolonialis Belanda pada kurun waktu 1961-1963. Selain itu, ketidaksiapan birokrasi dan belum dicabutnya status negara dalam keadaan darurat perang (SOB) oleh militer turut memperlambat jalannya land reform.
 Dalam tataran politik, model pembangunan Demokrasi Terpimpin mendekati jenis partisipasi politik otokrasi, dimana sumber kekuatan politik terletak pada satu orang yaitu pemimpin negara (pemusatan kekuasaan). Konsep nasakom ialah konsep mempersatukan tiga ideologi yang sebenarnya memiliki landasan epistemologi berbeda, tapi berusaha disatukan sebagai ladasan philosofis kebangsaan.
Demokrasi terpimpin yang lahir sebagai antitesa dari kegagalan demokrasi liberal pada akhirnya menjadi sebuah sistem politik yang totaliter, otoriter dan bersifat diktaktor, begitu juga dengan konsep nasakom yang pada awalnya diciptakan untuk mempersatukan semua kekuataan-kekuatan politik yang ada, menjadi paham yang memaksakan homogenitas pemikiran, pihak-pihak yang tidak setuju dengan demokrasi terpimpin dan nasakom akan dijustifiaksi sebagai antek-antek neo imperialisme kolonialisme dan kontra revolusi.
   Pemusatan kekuasaan di tangan Soekarno menjadikan dirinya seorang tiran yang memberangus kebebasan berdemokrasi, lembaga-lembaga negara yang tidak sehaluan dengan arah kebijakanya kemudian dibubarkan. Demokrasi Terpimpin menutup partisipasi politik kelompok menengah. Beberapa tokoh politik tidak luput dari represifnya, mereka yang berasal dari Masyumi dan PSI, menjadi sasaran kebijakan demokrasi terpimpinya, mereka banyak dijebloskan ke penjara karena sikap politiknya yang bersebrangan dengan yang digariskan oleh penguasa.
Strategi kebijakan ekonomi Demokrasi Terpimpin sebenarnya mirip dengan model otokratis dengan mengedepankan upaya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Untuk mencapai kesejahteraan rakyat jelata, tidak bisa hanya dengan mengandalkan demokrasi politik saja. Akan tetapi perlu diadakannya pendemokrasian dalam segala bidang, terutama dalam bidang ekonomi. Lewat doktrin Ekonomi Terpimpin, Soekarno membangun tim-tim yang bekerja untuk membangkitkan perekonomian Indonesia. Keberadaan Bappenas mengawali konsep strategi pembangunan ekonomi tahunan dan jangka panjang pemerintah.
Implementasi reformasi agraria merupakan ciri penting dari model partisipasi politik otokratik. Usaha untuk meningkatkan perekonomian rakyat sekaligus menghapus tanah partikelir dan desa perdikan. Jika pemerintah mampu melaksanakan land reform itu, kecenderungan ke arah ketimpangan ekonomi akan diakibatkan pertumbuhan ekonomi akan bisa diatasi. Untuk mencapai hasil tersebut diperlukan konsentrasi kekuasaan negara dan pelaksanaan kebijakan pemerintah oleh birokrasi.
Pelaksanaan kebijakan ekonomi Demokrasi Terpimpin tak mampu memberikan dampak positif yang berarti terhadap pertumbuhan ekonomi. Bahwa segala tindakan moneter tak berhasil mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya (Poesponegoro dan Notosusanto: 1993). Proyek infrastruktur Mercusuar Ganefo dan Conefo tak mampu menahan laju inflasi yang terus meningkat setiap tahunnya.
Persatuan yang dislogankan melalui beberapa media propaganda ternyata hanya mampu mempersatukan elemen-elemen politik ditingkat permukaan saja, terbukti setelah pecah tragedi 30 September 1965 persatuan yang selama ini dipropagandakan pemerintah tidak mampu mencegah pembantaian terhadap jutaan orang-orang yang dituduh komunis. Konsep integralistik beberapa aliran ideologi yang dirumuskan oleh Soekarno terbukti telah gagal mempersatukan masyarakat Indonesia.

Kesimpulan
Dekrit Presiden mempunyai implikasi luas pada perubahan sistem ketatanegaraan dan peta politik Indonesia. Dalam tataran politik, model pembangunan Demokrasi Terpimpin mendekati jenis partisipasi politik otokrasi, dimana sumber kekuatan politik terletak pada satu orang yaitu pemimpin negara (pemusatan kekuasaan). Konsep nasakom ialah konsep mempersatukan tiga ideologi yang sebenarnya memiliki landasan epistemologi berbeda, tapi berusaha disatukan sebagai ladasan philosofis kebangsaan.
Implementasi reformasi agraria merupakan ciri penting dari model partisipasi politik otokratik. Selain itu, ciri khas doktrin Ekonomi Terpimpin, Soekarno membangun tim-tim yang bekerja untuk membangkitkan perekonomian Indonesia. Keberadaan Bappenas mengawali konsep strategi pembangunan ekonomi tahunan dan jangka panjang pemerintah. Sehingga, upaya total dalam membangun ekonomi terlihat masif dengan struktur lembaga-lembaga ekonmi yang dibuat.


Temuan Penelitian
Diskursus penting tentang partisipasi politik soal keikutsertaan dalam konteks proses politik. Ia adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalam memilih pimpinan negara, secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Namun, fakta tentang partisipasi politik pada masa Demokrasi Terpimpin dilakukan dengan cara otoriter lewat aksi represi memberangus kebebasan berdemokrasi dan membubarkan lembaga-lembaga negara yang tidak sehaluan dengan arah kebijakanya.
Lewat perspektif Huntington Nelson, pembangunan politik yang dilakukan Soekarno memang searah dengan model otokrasi. Secara sepihak, Soekarno melakukan satu perubahan penting di bidang politik dengan mengubah sistem pemerintahan parlementer ke sistem presidensial. Lewat berbagai institusi negara yang dibentuknya—termasuk orang-orang pilihanya, Soekarno melakukan penertiban politik lewat dokrin Manipol Usdek. Kemudian, ia menjalankan partipasi politik berdasarkan kerangka model otokratik di tahap pertama.


Implikasi Teori
Jika penggambaran di atas tepat, maka model pembangunan politik yang masa Demokrasi Terpimpin adalah otokratis. Partisipasi rakyat lebih banyak bersifat digerakkan (mobilized). Bahkan lebih jauh, doktrin politik Manipol Usdek menjadi wahana manipulasi yang sebenarnya kebijakan yang keliru yang dilakukan pemerintah Demokrasi Terpimpin, atau setidak-tidaknya belum dibutuhkan oleh masyarakat saat itu.
Kerangka analisis Huntington Nelson terhadap model partisipasi politik kemudian menimbulkan pertanyaan dalam konteks sejarah Indonesia. Dalam mengidentifikasi tipe partisipasi, sebenarnya apakah satu periode kekuasaan harus berangkat dari tahap satu lalu secara perlahan masuk ke tahap dua. Padahal, bisa saja pergantian penguasa bukan berarti harus mengulang lagi dari pertama. Sebagaimana temuan penelitian di atas, periode kekuasaan Demokrasi Terpimpin cocok dengan tahap satu model otokratik, namun tak bisa berlanjut pada tahap kedua karena terjadi tragedi sosial politik yang mengakibatkan runtuhnya kekuasaan Demokrasi Terpimpin.



Referensi
Argenti Gili, Dini Sri Istiningdias. 2017. Pemikiran Politik Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin. Karawang: Jurnal Politikom Indonesiana.
Budiardjo, Miriam (ed). 1998. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Obor Indonesia.
Feith, Hebert, Lance Castle, 1988. Pemilkiran Politik Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Huntington, Samuel, Joan Nelson. Partisipasi Politik. Jakarta: Rikena Cipta Press.
Poesponegoro Marwati, Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi
Zesfi Febriani Front Nasional pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965) 1990

Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi (Miriam Budiardjo, penyunting)


Latar Belakang
Perdebatan seputar demokrasi sering kali dikaitkan dengan permasalahan sosialisme dan kapitalisme. Dalam diskursus ini, masalah klasik yang sampai sekarang masih diperdebatkan adalah: apakah demokrasi, sebagai sebuah sistem politik, lebih mungkin hidup dalam sistem ekonomi kapitalisme liberal, atau justru dalam sistem ekonomi sosialis.
Dari sejarahnya, gagasan sosialisme merupakan antitesis dari pemikiran kapitalisme di bidang ekonomi. Argumen pokok pada keduanya adalah perbedaan cara pandang terhadap kesempatan ekonomi dan peran pemerintah. penganut pemikiran sosialis percaya bahwa ketidaksetaraan ekonomi yang terjadi di masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menguranginya lewat program yang menguntungkan golongan lemah/miskin. Sementara itu, penganut kapitalis melihat kesempatan individu untuk menjalankan aktivitas ekonomi perlu dilindungi oleh pemerintah dengan cara menyediakan pasar bebas.
Dalam bunga rampai Simposium Kapitalisme, Sosialisme, dan Demokrasi, Budiardjo (1984) mempertanyakan korelasi antara kapitalisme dengan demokrasi dan sosialisme dengan demokrasi. Buku ini melihat hubungan demokrasi dengan kapitalisme dan sosialisme sebagai konsep-konsep yang saling terkait, namun sekaligus kontradiktif. Semua ini tergantung pada perspektif apa yang digunakan. Dalam tataran keilmuan, kehadiran para intelektual revisionis di setiap pihak turut memperkuat keterkaitan yang pada awalnya merupakan konsep-konsep yang berseberangan.


Permasalahan
Dewasa ini, terdapat fakta yang yang sepertinya tidak bisa dibantah lagi: menyebarnya gelombang demokrasi. Bahkan dapat dikatakan bahwa era modern adalah era demokrasi. Padahal jika ditilik ke belakang, demokrasi sejak pencanangannya berjalan lamban. Pemikiran dan praktik demokrasi di ranah politik cenderung “dikubur” oleh praktik kekuasaan-kekuasaan berikutnya sejak redupnya era Yunani pada awal abad masehi. Barulah sekitar dua puluh tiga abad berikutnya, nilai-nilai demokrasi tersebut mulai “ditemukan” kembali lewat respon kontra atas kekuasaan politik yang dirasakan penuh ketidakadilan kepada masyarakat.
Dalam bukunya, Huntington menjelaskan dengan baik alasan-alasan timbulnya demokrasi era modern. Pada fase ketiga demokratisasi kurun 1970 hingga 1990-an, terjadi tren globalisasi demokrasi dengan sekurangnya terdapat enam puluh dua negara demokratis.[1] Sistem monarki kehilangan fungsi politiknya. Di sisi lain, fasisme dan komunisme yang pada pertengahan abad ke-20 diprediksi bakal mengalami kejayaan, justru ditinggalkan negara-negara penganutnya.
Atas kondisi tersebut, tulisan hendak mempertanyakan, apakah jatuhnya rezim sosialisme di berbagai negara pada akhir pada ke-20 menjadi penanda runtuhnya eksistensi sosialime? Jawaban dari pertanyaan ini selalu berujung pada relativitas jawaban: tergantung ideologi apa yang dipakai oleh pengamat. Seorang sosialis akan membela dengan berbagai cara dan penafsiran. Kalangan liberal pun sama. Bahkan, kini kehadiran para intelektual revisionis menautkan kedua konsep tersebut yang pada awalnya merupakan konsep-konsep yang berseberangan. Oleh karenanya, tujuan penulisan makalah ini diarahkan pada penjabaran fenomena empirik terciptanya sistem sosial demokrasi yang tidak lepas dari cita-cita paham kapitalisme dan sosialisme.  

Pembahasan
Kapitalisme
Dari perspektif historis, kapitalisme muncul dari perkembangan liberalisme di daratan Eropa. Setidaknya ada tiga faktor yang melatarbekalanginya. Faktor pertama, fenomena perkembangan seni dan kreativitas yang berlepas dari dogma-dogma agama Kristen pada abad 14-15 yang dikenal sebagai abad pencerahan (Enlightenment atau Renaissance). Bahkan, semua ciri liberalisme merupakan aspek penting yang diciptakan masa ini.[2] Tradisi pencerahan yang lahir di tanah Italia membawa spirit sekularisme pada perkembangan pemikiran manusia Eropa. Faktor kedua adalah progresivitas penemuan alat-alat mekanis yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat dalam satu masa yang dikenal dengan revolusi industri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat itu membawa perubahan masyarakat secara signifikan dari masyarakat agraris menjadi industri. Sementara, Ball dkk melihat hal ini dari kacamata lain dengan menyebutnya sebagai fase “exploration new world”[3] untuk mencari wilayah kehidupan baru atas penemuan-penemuan penting di bidang transportasi. Fenomena ini menjadi simbol kebebasan berpikir dan memunculkan harapan baru bagi para individu yang menolak nilai-nilai konservativisme di masyarakat dengan cara meninggalkan wilayahnya. Terakhir, faktor ketiga adalah peristiwa sejarah dinamai Reformasi Gereja (Protestant Reformation). Peristiwa tersebut merupakan sebuah gerakan yang menuntut domestifikasi gereja dari urusan-urusan sosial dan politik.[4]
Lahirnya kapitalisme menunggangi paham liberalisme. Atas nama “natural right” dan “human right” pemikiran liberal menyebar ke semua bidang; sosial, ekonomi, dan politik. Dalam bukunya, Schapiro menjelaskan sepuluh bidang turunan liberalisme. Pada poin kesembilan tentang ekonomi, ia mengatakan bahwa kondisi alamiah hukum ekonomi akan membawa manusia pada kekayaan. Manusia dimanapun didorong oleh motif ekonomi yang pada akhirnya menciptakan peningkatan produksi-konsumsi dan secara alamiah menghasilkan kesejahteraan bagi suatu negara.[5] Ball dkk (2014) dengan jelas membagi dua turunan liberalisme ke dalam merkantilisme dan kapitalisme.[6] Sebagaimana pada tulisan Pembelaan untuk Sosialisme, Kenneth J. Arow mengatakan bahwa kapitalisme berarti sistem ekonomi di mana aturan-aturan tentang hak milik pribadi yang terpisah (alienated) sepenuhnya dihormati, dimana produksi berlangung dalam satuan-satuan yang pemilik pribadinya membeli input dan menjual output, dan menggaji buruh melalui kontrak yang dicapai secara bebas.[7] Intinya, kebebasan individu untuk mengejar kepentingan pribadi merupakan gagasan dari liberalisme ekonomi atau kapitalisme liberal.

Sosialisme
Corak pengaturan ekonomi pada sistem kapitalisme tersebut telah dikritisi oleh kalangan sosialis sepanjang sejarah. Hak milik pribadi atas alat-alat produksi justru menghasilkan eksploitasi. Berbagai permasalahan di masyarakat terjadi akibat ketimpangan kepemilikan alat-alat produksi tersebut. Namun, pada awalnya sosialisme menunjukkan sifat alaminya yang nonrevolusioner dan nonradikal. Lewat tokoh-tokoh Saint-Simon, Forier, dan Robert Owen pada abad ke-18, sosialisme dicanangkan lewat pembaruan prosedur konstitusional dan demokratis.[8] Sosialisme terutama sangat kritis terhadap sistem hak milik pribadi dan alat-alat produksi lewat berbagai argumentasi dan pertimbangan moral demi mencapai cita-cita bersama.
Gagasan tersebut direvisi oleh pemikiran revisionis dari Karl Marx pada abad berikutnya yang berusaha merombak struktur sosial yang sudah mapan. Pada tahapan ini, gagasan sosialisme dipertajam. Disebutkan bahwa sosialisme adalah suatu sistem ekonomi yang keputusan di bidang ekonomi diambil dalam satuan-satuan yang dikuasai oleh negara atau oleh para pekerja.[9] Namun, gagasan Marx dikritik balik oleh pemikiran revisionis berikutnya, Eduard Bernstein yang mencanangkan sosialisme demokratik.
Eduard Bernstein dikenal sebagai “the father of revisionism”[10] karena memformulasikan tipe baru sosial demokrasi yang dikombinasikan dengan pembolehan hak-hak privat. Ia membantah prediksi krisis ekonomi Marx dan meminta Partai Sosialis Jerman berputar haluan dengan menempuh jalan konstitusional dalam mengimplementasikan gagasan sosialisme.[11] Bahkan, lewat perspektif yang lebih “kanan”, Bayard Rustin menyebut bahwa makna sosialisme yang sebenarnya adalah bersifat demokratis.[12] Artinya, bukan sosialisme jika gagasan dan program sosialis tak mempertahankan demokrasi.
Pandangan-pandangan tersebut mengoreksi pemikiran Marxist dan praktik sosialisme di Uni Soviet, Cina, dan lain-lain. Kajian revisionis berikutnya terus menguatkan bahwa praktik sosialisme bersesuaian dengan demokrasi. Sebagaimana yang Ball kemukakan bahwa substansi “the true socialism” adalah an equal vioce in decisions. Sosialisme serupa dengan demokrasi bahwa “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.[13]  Perspektif ini diklaim merupakan pemikiran awal sosialisme tentang hakikat persamaan manusia (equality).



Sosial Demokrasi: Mendekatkan Dua Ideologi
Sosialisme
Pada akhir abad ke-19, para pemikir Marxis mengalami percekcokan internal yang melakukan tafsiran berbeda-beda mengenai ajaran Marx. Perbedaan utamanya adalah soal cara mencapai tujuan (apakah melalui revolusi dan direct action) atau cukup dengan perubahan dan pebaikan (reform) secara partisi.[14] Seorang tokoh sosialis Jerman, Eduard Bernstein (1850-1932), mengkritik dua pilar ortodoks Marxisme—materialisme sejarah dan perjuangan kelas—dan menyodorkan alternatif berdasarkan efektivitas jalur politik dan kerjasama antarkelas.[15] Ia berpendapat bahwa tujuan dapat dicapai tanpa revolusi, yakni lewat jalur parlemen dan koalisi politik.
Dari titik itulah, arah perjuangan sosialisme mulai terbelah. Di pihak lain, kelompok yang memperjuangkan jalan revolusi tetap konsisten, termasuk Lenin yang berhasil menghidupkan cita-cita Marx lewat berdirinya negara Uni Soviet lewat perjuangan partai komunis. Lalu, ia menggabungkan partai-partai di berbagai negara yang sealiran dengan mendirikan Comintern (Komunisme Internasional) sebagai wadah tunggal monolitik yang mengawasi berbagai organisasi komunis di dunia. Saat itu, gagasan sosialisme yang revolusioner dikenal dengan nama komunisme.
Gagasan Bernstein yang bersifat kiri moderat menjadi penanda ciri sosialisme yang tak kontradiktif terhadap sistem politik yang ada. Gagasannya menyebar dalam kelompok kecil di Eropa, yakni golongan yang setuju dengan jalur politik dan kerjasama antarkelas.[16] Momentum keberhasilan partai-partai sosialis di Eropa dalam jalur pemilu membuat mereka semakin yakin bahwa perjuangan demokratis lewat jalur parlementer dapat dimanfaatkan untuk sedikit banyak mengubah masyarakat.[17] Gagasan tentang perjuangan parlemen sebenarnya sudah dimulai di Inggris lewat gerakan Fabian Society (sosialisme Fabian) sejak tahun 1884. Dengan bergabung bersama Partai Buruh, gerakan ini mampu memenangi pemilu 1924 yang mendudukan Ramsay MacDonald sebagai perdana menteri beraliran sosialis pertama di Inggris dengan berbagai kebijakan nasionalisasi aset dan sistem kesejahteraan sosial, termasuk fasilitas kesehatan gratis.[18]
Kapitalisme
Di pihak kapitalis, terdapat pula peninjauan terhadap sistem ekonomi berlandaskan laisser faire. Ekonom John Keynes mengkritik ekses sistem kapitalis yang mengakibatkan pengangguran besar dan menciptakan ketidakstabilan sosial. Oleh karenanya, ia mengajukan peran pemerintah untuk mengendalikan pasar bebas dan menciptakan lapangan kerja (sampai titik full employment). Pada intinya, ia menganjurkan campur tangan pemerintah (intervetionism) di bidang ekonomi untuk mengurangi aspek-aspek negatif dari kapitalisme.[19] Perubahan peran negara jelas membuat prediksi keruntuhan kapitalisme oleh Marx tak bisa terjadi. Wajah kapitalisme telah banyak berubah dibanding dengan kapitalisme pada awal revolusi industri yang dikecam Marx.
Perubahan-perubahan dalam pemikiran ekonomi kedua belah pihak ini telah membantu untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada dan menghasilkan model campuran dalam pengelolaan ekonomi. Ekonomi campuran (mixed economy) adalah sistem dimana motivasi untuk meraih keuntungan pribadi dibenarkan dalam usaha untuk meningkatkan produksi serta pertumbuhan ekonomi.[20] Namun, alat-alat produksi penting dikelola dan dikuasai oleh negara. Negara bertanggung jawab memelihara kompetisi ekonomi dan mengantisipasi terjadinya krisis akibat kegiatan ekonomi yang terlalu terbuka bebas.
Sosial demokrasi adalah sebuah ideologi kiri moderat yang muncul pada akhir abad ke-19 yang berakar dari gerakan sosialisme. Konsep tersebut kemudian terlembaga dalam model suatu negara yang dikenal dengan istilah welfare state yang mulai terbentuk di Eropa setelah Perang Dunia II. Pemerintah memberikan berbagai macam pelayanan sosial dengan skema perpajakan progresif sebagai upaya untuk meratakan tingkat ekonomi masyarakat. Di samping itu, pemerintah tetap memberikan kebebasan demokratis seperti kebebasan berbicara dan berorganisasi. Jadi, hak asasi baik ekonomi maupun politik, dapat tetap terselenggara secara seimbang.[21]
Pengimplementasian model sosialisme versi sosial demokrasi tak bisa menghindari kritik. Pengkritik sosial demokrasi yang berhaluan kiri atau kanan akan menuduh soal otentitas ideologinya. Dalam pembelaannya terhadap sosial demokratis, Gershman berpendapat bahwa solusi yang ditawarkan sistem sosialisme demokratis modern tak bisa diwujudkan oleh aliran kiri atau kanan. Lebih jauh ia mengatakan bahwa prospek pembaruan demokratis ini akan cerah karena terus menjadi tumpuan harapan kebangkitan politik yang demokratis.[22]


Kesimpulan
Gambaran di atas menunjukkan bahwa liberalisme dan sosialisme mempunyai variasi pemikiran yang mengalami perubahan dari gagasan awalnya. Pemaparan di atas juga menunjukkan baik sosialisme maupun kapitalisme perlu beradaptasi dengan sistem negara demokrasi sehingga membuat mereka tetap eksis. Berbagai pandangan teorisi revisionis dari kedua ideologi tersebut secara sadar memperkuat keterkaitan yang pada awalnya merupakan konsep-konsep yang berseberangan. Sebagaimana kesimpulan buku Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi yang menyatakan bahwa hubungan demokrasi dengan kapitalisme dan sosialisme sebagai konsep-konsep yang saling terkait, namun sekaligus kontradiktif. Semua ini tergantung pada perspektif apa yang digunakan.
Keduanya mempunyai kepentingan dengan nilai-nilai demokrasi tentang kebebasan, keadilan, persamaan, dan lainnya. Meskipun demikian, keduanya mempunyai penekanan yang berbeda. Kapitalisme menekankan aspek kebebasan (liberty) dari demokrasi, sementara sosialisme menekankan aspek lain, yakni persamaan (equality). Keduanya sebenarnya adalah dua nilai ideal yang memang dibutuhkan dalam demokrasi.


Referensi:
Budiardjo, Miriam. 1984. Simposium Kapitalisme, Sosialisme, dan Demokrasi. Jakarta: Gramedia.
Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga (terj). Jakarta: Grafiti Press.
Ball, Terence, Richard Dagger, Daniel O’neill. 2009. Political Ideologies and The Democratic Ideal. Boston: Pearson.
Schumpeter, Joseph A. 1994. Capitalism, Socialism and Democracy. New York: George Allen & Unwin.
Schapiro, J Salwyn. 1958. Liberalism: History and It’s Meaning.
Bernstein, Eduard. 1993. The Preconditions of Socialism. Cambridge University Press.
Sheri Berman. (tanpa tahun) “Understanding Social Democracy”. New York: Columbia University.

Sumber internet


[1] Samuel Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga (terj). 1997.
[2] Terence Ball, Richard Dagger, Daniel O’neill. 2009, Political Ideologies and The Democratic Ideal (Boston, 2009), hlm. 21
[3] Ibid., hlm. 49.
[4] Ball dan Dagger menambah satu faktor lagi yakni peristiwa wabah kolera luas yang terjadi pada abad ke 14 yang mematikan sepertiga penduduk Eropa atau dikenal sebagai peristiwa Black Death. Pemikiran konservatif banyak terkubur bersama jasad yang tewas, terutama para bangsawasan. Op.cit., hlm. 48.
[5] Salwyn Schapiro. 1958. Liberalism: History and It’s Meaning. Hlm. 22-23
[6] Op.cit., hlm. 61.
[7] Kenneth J. Arow “Pembelaan untuk Sosialisme” dalam Miriam Budiardjo, 1984. Simposium Kapitalisme, Sosialisme, dan Demokrasi. 33.
[8] Ibid, 7.
[9] Ibid, 33.
[10] https://www.britannica.com/biography/Eduard-Bernstein diakses pada 22 Mei 2018 pukul 10.30 WIB
[11] Dalam halaman pengantar buku Eduard Bernstein. 1993. The Preconditions of Socialism. Cambridge University Press (tanpa halaman)
[12] Op.cit., Budiardjo. hlm.  40.
[13] Op.cit., Ball hlm. 194.
[14] Op.cit., Budiardjo. hlm. 12.
[15] Sheri Berman. (tanpa tahun) “Understanding Social Democracy”. Columbia University. hlm. 8.
[16] Ibid, hlm. 9.
[17] Op.cit., Budiardjo. hlm. 13.
[18] Op Cit., Ball, hlm. 186.
[19] Op Cit., hlm. 16.
[20] Ibid.
[21] Op Cit., 17.
[22] Op Cit., 51.