Jumat, 27 Juli 2012

Deskripsi 1


                Kira-kira jam 10 pagi Pak Franz masuk dan langsung duduk di kursi depan tanpa berkata sepatah kata pun. Mungkin ia mau mengumpulkan napas untuk langsung berkata panjang lebar di kuliah kedua Penulisan Populer, tapi ternyata tidak. Memang biasanya ia seperti itu, sejenak mengulur waktu menunggu murid-murid yang agak telat.
                Singkatnya, kuliah langsung dimulai. Pak Franz kembali menanyakan buku wajib mata kuliahnya, “menulis secara popular” yang ditulis oleh Ismail Marahimin (ia merupakan dosen Pak Franz, yang menurut saya Pak Franz cukup mengagumi beliau dari kata-katanya di kuliah pengantar senin lau). Beberapa mahasiswa mengangkat tangan, maksudnya mereka it belum punya buku yang diwajibkan Pak Franz.
                Secara pribadi saya cukup antusias dan serius dengan mata kuliah ini hal itu bisa dilihat dari latihan yang diberikan Pak Franz di kelas juga saya kerjakan di rumah dan saya sudah sedikit membaca buku Pak Ismail Marahimin. Tapi tak saya sangka, materi kuliah langsung masuk pada latihan tulisan deskripsi, longkap ke halaman 62, pastinya saya belum buka-buka halaman tersebut.
                Simple menurut saya materi kuliah Penpop seperti yang ia jelaskan di kuliah pertama. Mahasiswa tidak dituntut banyak, cukup beli buku asli (atau pinjam, usahakan untuk tidak foto kopi) dan menulis apa pun yang ada di pikiran masing-masing muridnya tanpa memikirkan sumber tulisan yang biasanya diminta sebagai tuntutan sebuah tulisan ilmiah.
                Saya mencoba rileks dengan Pak Franz, tapi seperti belum karena saya malah pilih duduk di kursi paling belakang seperti pertemuan pertama. Setelah menjelaskan singkat tentang deskriptif, saya pikir itu bukan termasuk penjelasan karena sangat singkat dan hanya penjelasan umum, ia meminta mahasiswa saling berpasangan, “tidak dalam satu jurusan, kalian saling tanya jawab mengenai informasi tentang kalian selama 15 menit, kemudian tuliskan informasi tersebut dengan tulisan deskripsi”. Cukup jelas perintahnya tanpa panjang lebar kelas riuh dengan suara anak-anak yang mencari pasangannya masing-masing.
                Saya agak diam sejenak mencari orang yang bisa diajak berpasangan, agak ragu dengan anak cewe yang ada di depan saya karena dia juga diam, bingung, dan tidak berpaling ke belakang. Cewe yang nge-pink pun nengok, sentak saya ajak dia untuk jadi pasangan tanya jawab saya. Cewe yang serba pink itu namanya Pipit Seytanintyas. Ternyata ia tipe cewe yang agak susah akrab dengan teman baru, lihat saja dari bicaranya yang terbata-bata, diam, dan banyak berpaling ke teman sejurusannya, Putri, yang ada di sebelahnya.
                Mencolok bahwa ia berasal dari jurusan Sastra Jepang dengan buku-buku yang bertuliskan huruf Jepang yang sengaja ia tunjukkan yang ditaruh di atas tasnya. Bahasanya agak kejawa-jawaan, medok, yang dengan cepat pikiran saya tertuju pada suatu desa di suatu pedalaman Jawa yang menjadi tempatnya berasal. Tetapi pikiran saya salah ketika saya tanyakan, “Pit, Lu orang Jawa?”. Ia jawab “bukan, aku tinggal di Kampung Rambutan dari kecil tapi aku lahir di Wonosobo, tapi itu juga numpang lahir doing karena kemudian keluargaku pindah ke Jakarta”. “Aduh kata ganti aku lagi, ribet dah..” terlintas dalam benak.
                Progres pembicaraan agak lama karena agak sulitnya ia berbicara santai dengan orang yang baru ia kenal. Terpaksa pertanyaan bertubi-tubi, saya ganti dengan penjelasan panjang lebar dengan bercerita tentang diri saya. Penjelasan itu saya mulai dengan perkenalan nama saya dan panjang lebar tentang jurusan ilmu sejarah, jurusan saya. Panjang lebar cerita itu saya selingi dengan pertanyaan, “pit, nanti lu niatnya mao ngambil skripsi atau nonskrip?”. Tapi agaknya pertanyaan ini agak kurang mantap dijawab oleh mahasiswa sastra semester 3, apalagi anaknya seperti Pipit, ia menjawab mau nonskrip karena lebih cepat tapi kemudian bingung, malah ia menceritakan anak Jepang lulusan 2010 kemarin semuanya ambil skripsi.
                Tiba-tiba tanya jawab anak-anak berhenti ketika Pak Franz, “absen sudah selesai belum?”. Absen dioper ke depan dari Dimas yang duduk paling belakang. Tak lama kemudian, Pak Franz menunjuk Putri lalu membereskan kertas-kertas di meja, memasukkan pulpen ke saku. Ia pamit, dan keluar. “waw, aduh” dalam pikiran saya. “waw, ko ditinggal ya… aduh, belom kelar.” Itu lah yang terpikir. Tapi sebelum keluar ia menyatakan bahwa kelas akan dimulai lagi tanggal 20 September. Sentak kelas ramai.
                Tanpa harus banyak memikirkan Pak Franz yang keluar duluan, saya kembali memfokuskan pada tulisan yang harus saya selesaikan dengan baik dan sebelum jam 12. Pipit malah tak terlihat serius yang juga membuyarkan keseriusan saya. Dimas yang menggerutu dan banyak komen ditambah putri, ketua kelas yang ditunjuk Pak Franz ikut membuyarkan konsentrasi sekelas.
                Sesekali Pipit bertanya, entah soal apa, saya lupa. Tapi itu ikut membuyarkan pula konsentrasi saya. “ya begitu lah, lagi-lagi sudah bel …”. Gerutuan saya yang selalu lambat dalam mengerjakan tugas di kelas. Anak-anak sudah selesai. Pipit malah menyerah ketika bel bordering, “udah deh, segini aja…”. Cepat-cepat saya selesaikan tulisan itu dengan keras mencari kalimat akhir yang cocok. Entah lah, tulisan permulaan itu dan saya pun masih belajar. Segitu lah kemampuan saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar