Jumat, 27 Juli 2012

PELABUHAN CIREBON DAN JALUR SUTERA Suatu Kajian Aspek Perdagangan Nusantara Masa Klasik


PELABUHAN CIREBON DAN JALUR SUTERA
Suatu Kajian Aspek Perdagangan Nusantara Masa Klasik




Disusun Oleh: Muhammad Ridho Rachman (0806343973)


DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
SEJARAH EKONOMI INDONESIA

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2010


1.      PENDAHULUAN
Sebelum kedatangan bangsa Barat, kegiatan perdagangan di wilayah kepulauan Nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Jalur perdagangan darat dimulai dari Cina (Tiongkok) melalui Asia Tengah, Turkestan sampai ke Laut Tengah. Jalur ini juga berhubungan dengan jalan—jalan kalifah dari India. Jalur ini terkenal dengan sebutan “Jalur Sutera”. Penamaan ini menurut Sedyawati, dkk (1993) didasarkan pada kenyataan bahwa selain sutera yang menjadi komoditi penting, juga penamaan ini bermakna figuratif yang melambangkan jalinan—jalinan lembut (selembut sutera) dari hubungan budaya yang senatiasa terjadi mengikuti jalannya pedagangan tersebut. Sejauh ini, jalur perdagangan lewat darat inilah yang merupakan jalur tertua yang menghubungkan Cina dengan Eropa.
Jalur perniagaan melalui jalur laut juga dimulai melalui Laut Cina Selatan, Calicut (India), lalu ke Teluk Persia, melalui Syam sampai ke Laut Tengah; atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah (Iskandar: 2005). Bertambahnya varian jalur yakni melalui jalur laut merupakan hasil modernisasi yang berkembang pada masanya dan merupakan pilihan bijak menghindari kerasnya iklim darat dan perampokan pedagang di jalan, walau nantinya modus perampokan juga berkembang dengan istilah perompak atau bajak laut. Jalur laut dikenal dengan sebutan “Jalur Sutera” juga. Suatu jalur yang dalam bahasa Inggris disebut Silk Road yang antara tahun 1988—1997 menjadi program UNESCO dalam rangka Pengembangan Kebudayaan yang turut diprakarsai oleh Indonesia (Lapian: 1996). Singkatnya Silk Road menjadi suatu kajian penting dunia yang mencoba digali oleh UNESCO demi menjaga peninggalan suatu peradaban besar dunia kala itu.
Perjalanan menuju Eropa dari Laut Cina tidak bisa tidak, pasti melintasi suatu perairan di Asia Tenggara. Perjalanan bolak—balik antara Cina—Eropa menyentuh suatu “dunia kecil” di kawasan itu yang telah bergulat lama dengan laut yang menghubungkan antarpenduduknya, walau hanya  menyusuri pantai antarpusat pemerintahan (kerajaan). Teknologi perkapalan dan pengetahuan navigasi sederhana telah diketahui oleh penduduk kawasan tersebut.
Menjadi tempat persilangan jaringan lalu lintas yang menghubungkan benua Barat dan benua Timur membuat wilayah ini bergeliat dan menanggapinya dengan respon positif. Kajian konfrehensif telah dilalukan oleh J.C van Leur dalam disertasinya mengenai perdagangan Asia Tenggara masa awal sampai keterlibatan VOC. Ia menemukan bahwa perdagangan di masa itu lebih banyak bersifat perdagangan barang—barang lux, dengan kata lain volume barang kecil namun bernilai tinggi (pedlling trade). Teorinya kemudian disanggah oleh Meilink-Roelofsz dengan Bulk Trade-nya (1962) yang kemudian diperkuat oleh Manguin yang mengatakan bahwa pada masa awal itu sudah ada kapal—kapal Asia Tenggara yang berukuran besar. Namun, dalam tulisan ini tidak akan membahas hal itu lebih jauh.
Letak geografis kepulauan Indonesia yang berada dalam jalur pelayaran dan perdagangan dunia membuat laut, selat, dan pulau—pulau yang berada di sekitar Selat Karimata dan Selat Malaka menjadi tempat persinggahan kapal dagang dari berbagai penjuru dunia. selain itu yang menarik kedatangan bangsa asing ke kepulauan Nusanatara adalah hasil produk yang terkenal sebagai mata dagangan ekspor yang sangat laris di pasaran adalah cengkeh, pala, bunga pala, kayu cendana, dan lada (Didik: 2001)
Jalur Sutera dengan rute lalu lintas melalui Laut Tengah, Samudera Hindia, dan Laut Cina Selatan meramaikan jalur pelayaran Selat Malaka. Pada konteks inilah muncul Kota Pasai yang terletak di ujung Pulau Sumatera yang berperan sebagai Bandar niaga dalam jaringan perdagangan tersebut. Pasai sebagai Kerajaan Islam mulai memainkan peranan penting yang menghubungkan Malaka, Jawa, dan Kejaan—kerajaan Islam lainnya. Perkembangan lebih lanjut ialah bermunculannya kota—kota di Jawa, termasuk di dalamnya kota pelabuhan Cirebon yang aktif memainkan peranan penting terutama di dunia perdagangan. Kota Cirebon yang terletak di tepi sungai merupakan pelabuhan yang baik sebab dapat dilayari kapal—kapal besar sampai jauh ke pedalaman. Di daerah pedalaman dihasilkan beras dan bahan pangan lainnya sebagai komoditi ekspor, ditambah pula dengan pemerintahan yang stabil mendorong Cirebon sebagai salah satu kota pelabuhan yang penting tempat berkembangnya perdagangan, agama, dan kebudayaan.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menemukan faktor—faktor yang mendukung terbentuknya Cirebon sebagai kota pelabuhan di Jalur Sutera peran aktif masyakatnya dalam mendukung pelabuhan Cirebon dalam meramaikan hubungan dagang internasional dilihat dari sejarah pertumbuhan masyarakat dan kawasan.







2.      ISI
Cirebon sebagai Pelabuhan
Pelabuhan bukan hanya sempat untuk berlabuh, melainkan juga, sebagaimana terkandung dalam kata bandar, tempat berkumpul untuk berdagang. Istilah dalam bahasa Inggris, seperti harbour mengacu kepada fungsinya sebagai tempat berlindung atau berteduh, sedangkan kata port melihat peranan pelabuhan sebagai pintu gerbang, tempat kapal dan perahu keluar masuk. Dengan kata lain pelabuhan merupakan penghubung antara dunia seberang laut dengan daerah pedalaman (Lapian:LIPI). Cirebon memang sebuah kota yang tidak bisa dilepaskan dari citranya sebagai Kota Pelabuhan. Sejak awal sekali, kehidupan “perairan” sudah melekat dengan kota ini. Adapun cikal—bakal kota Cirebon berawal dari abad kelima sejalan dengan dicanangkannya program pembangunan sungai—sungai di seluruh Jawa Barat oleh Purmawarman. Program pembangunan itu berupa memperkokoh, memperlebar, dan memperdalam sungai yang dilakukan oleh seluruh masyarakat sebagi karya bakti. Pelaksanaannya dimulai dengan memperkokoh pinggiran Sungai Gangga di wilayah Indraprahasta (Cirebon Girang) tahun 332 Saka (411 Masehi).
Dimulai dari ketertarikan pihak Cina dengan pelabuhan Cirebon. Hal ini terlihat mercusuar buatan mereka. Kemudian mereka membuat perwakilan dagang Cina untuk Nagari Singapura (pelabuhan yang terletak di Teluk Cirebon). Pembukaan ini memang didasarkan pada kenyataan bahwa Cirebon merupakan pelabuhan yang ramai.
Keramaian itu tentu saja tidak terlepas dari perkembangan perdagangan internasional, khususnya yang berhubungan dengan “Jalur Sutera” lautan. Hal itu menemui bentuknya dalam sistem transportasi laut, setelah sistem pelayaran laut yang lebih baik ditemukan (mengenal perkembangan, lebih jauh lihat sejarah nasional Indonesia jilid III). Yang jelas faktor ekonomi ini yang menjadi motivasi yang kuat dibukanya pusat—pusat perdagangan baru, seperti dijelaskan oleh Sedyawati, dkk. (1992:2) berikut ini:
“Sudah sejak lama terjadi perdagangan antara kawasan dunia Barat dan Timur. Para pedagang yang melintasi berbagai negara menempuh beribu—ribu mil, didorong untuk memperoleh barang—barang dagangan dari negeri—negeri jauh, yang dinilai amat berharga. Bagi orang—orang Eropa, daya tarik utama dari dunia Timur adalah sutera dan rempah—rempah. Berbagai jalan yang ditempuh untuk menghubungkan Timur dengan Barat dalam upaya perdagangan itu. Jalan darat melintasi dataran Asian ditempuh dengan kuda (untuk daerah padang rumput) atau unta (untuk daerah padang pasir), sedangkan jalan laut melalui Laut Tengah, Samudera India, dan Laut Cina Selatan ditempuh dengan kapal…”
Dengan ditemukannya jalur sutera lewat laut, maka muncul pelabuhan—pelabuhan baru sebagai psaut—pusat perdagangan yang membentang dari Cina sampai ke Eropa. Di nama Nusantara termasuk ke dalam jaringan perdagangan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan melalui sumber sejarah Majapahit yang berasal pada masa Hayam Wuruk yang menyebutkan 33 tempat yang dinamai nusa (artinya temmpat—tempat di sisi laut) dan 47 tempat yang disebut “naditirapradesa” (artinya tempat—tempat di sisi sungai) yang berperan sebagai pangkalan dalam jaringan lalu lintas air (Pigeaud, 1960: 108—112; Sedyawati, 1985: 350). Begitu juga dengan Cirebon, letak geografisnya di daerah pesisir pantai Pulau Jawa tentu saja termasuk ke dalam mata rantai dalam perdagangan internasional (jalur sutera) pada masa itu.
Tak dapat disangkal lagi bahwa Cirebon merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarbangsa. Lokasinya di antara Jawa Barat dan Jawa Timur membuatnya berperan sebagai jembatan antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas.
Terbentuknya Cirebon tidak dapat dipisahkan dari sejarah pesisir utara Pulau Jawa secara keseluruhan. Cirebon tidak hanya mempunyai hubungan dengan Demak, Banten, Tuban, dan Gresik, melainkan juga dengan bandar—bandar seberang lautan seperti Pasai dan Campa. Hal tersebut berkaitan erat pula dengan sejarah persebaran agama Islam dan peranan Cirebon dalam hal itu di Jawa Barat. Berkenaan dengan persebaran Islam itu tokoh Sunan Gunung Jati yang bersemayam di Cirebon, yang juga mendirikan kerajaan Banten, menduduki peranan sentral, baik sebagai tokoh yang memimpin perkembangan politik di kawasan ini.
Sejarah kota Cirebon inherent dengan sejarah sosialisasi Islam di wilayah Jawa Barat, Nusantara, dan Asia Tenggara, dimana hampir seluruh wilayah tersebut, sekaligus menjadi perferi dan imbasan perdagangan internasional jarak jauh (Jalur Sutera).
Hubungan Pelabuhan Dengan Pedalaman
Kota—kota dagang biasanya berperan sebagai pusat ekonomi di wilayahnya, denga fungsinya sebagai jalur ekspor-impor ke daerah pedalaman terpencil, yang dihubungkan dengan jalan sungai dan darat. Hal ini sejalan dengan pendapa T.D. Sudjana (1995) yang mengatakan bahwa terbentuknya pelabuhan sangat dimungkinkan dengan adanya kebutuhan: jasa angkutan, berkenaan dengan adanya arus perdagangan melalui transportasi kelautan.
Adanya hubungan timbal-balik itu membuat pelabuhan dan pedalaman pada posisi saling membutuhkan. Untuk itulah dimana sarana dan prasarana transportasi dibangun agar memudahkan arus barang baik dari pelabuhan maupun ke pelabuhan.
Wilayah Cirebon memang didukung oleh wilayah pedalaman yang dapat diandalkan sebagai pemasok bahan—bahan pertanian. Daerah pedalaman yang mengelilingi Cirebon merupakan wilayah penyangga yang tanahnya subur dan terdiri atas dataran rendah, dataran tinggi, bahkan beberapa buah gunung berapi, seperti Gunung Ciremai, Gunung Tampomas, dan Gunung Sawal. Dari wilayah ini dihasilkan produksi pertanian dalam jumlah besar, seperti sayur—mayur, buah—buahan, macam—macam daging serta terutama padi dan indigo.[1] Dari berbagai catatan sejak abad ke-15 sampai awal abad ke-20 ternyata komoditi ekspor yang paling banyak yaitu gula, beras, kopi, dan indigo.[2]
Dari produksi pertanian yang berasal dari daerah pedalaman ini, Cirebon menjadi pelabuhan yang ramai sebab bahan—bahan pertanian ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat internasional. Kenyataan ini menjadikan Cirebon terkenal sebagai salah satu penghasil beras di Jawa. Semua itu bisa dilihat dari tulisan Uka Tjandrasasmita (1996), ia mengatakan bahwa Cirebon sudah menjadi bandar dagang yang terkenal di Pulau Jawa pada masa pra-Islam, dimana waktu itu masih di bawah kekuasaan kerajaan Sunda Padjajaran. Dan mengalami masa pertumbuhan dan perkembangannya pada masa Kerajaan Islam yakni pada kisaran abad ke-17. Bandar Cirebon masuk dalam perdagangan dunia melalui Sunda Kelapa dalam catatan harian (Dagh Regioster) dari abad tersebut.
Dengan banyaknya para pedagan dari mancanegara ke Pelabuhan Cirebon, tentu saja banyak pula barang—barang yang berasal dari luar masuk ke Cirebon. Barang—barang itulah yang sangat dibutuhkan masyarakat di wilayah pedalaman sebab masyarakat pedalan tidak memproduksi barang—barang tersebut. Adapun barang—barang tersebut meliputi: barang—barang yang asing dan menarik, yang pasti barang—barang itu belum dapat diporduksi oleh masyarakaat pedesaan, seperti logam besi, emas, dan perak. Serta tekstil halus seperti sutera dan barang—barang keramik halus. Di samping barang—barang impor, ada juga barang—barang produksi khas daerah pantai yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pedalaman, yaitu garam, terasi, dan ikan asin.
Perkembangan Cirebon sebagai kota pelabuhan didukung oleh sistem pemerintahan yang cukup baik, serta adanya jalan—jalan darat meskipun kondisinya belum tentu baik. Jalan darat yang menghubungkan Cirebon  dengan daerah—daerah di pedalaman itu mungkin telah dibuat sejak masa kekuasaan Kerajaan Padjajaran. Jaringan darat yang sudah ada ditambah lagi dengan adanya jalur transportasi sungai yang menghubungkan pusat—pusat ekonomi yang mendorong para petani, pedagang, dan pengrajin untuk meningkatkan aktivitas mereka. Kegiatan para petani dan pengrajin mengikuti perkembangan perdagangan di pelabuhan. Pantaslah bila dikatakan bahwa Cirebon merupakan sebuah kerajaan maritim yang juga sekaligus kerajaan agraris.
Sarana Transportasi
Sarana yang paling menunjang dalam aktivitas perniagaan adalah alat transportasi. Mengenai alat transportasi itu, para antropolog memperkirakan bahwa perahu (alat transpotasi air yang paling sederhana)  sudah dipergunakan manusia sejak kurang lebih 25.000 tahun yang lalu, ketika manusia purba dari dataran Asia Tenggara bermigrasi menyebar ke pulau—pulau di selatan sampai ke Irian, Australia, dan pasifik.
Masyarakat Cirebon memiliki tradisi maritim yang kuat. Posisinya di jalur perdagangan internasional yang menghubungkan jaur perniagaan Malaka dan Maluku mendorong Cirebon menjadi pelabuhan transito. Keadaan ini didukung oleh kondisi masyarakatnya yang telah memiliki tradisi maritim yang bentuknya berupa teknologi pembuatan perahu. Kemampuannya melahirkan berbagai jenis perahu seperti perahu layar, perahu bercadik, perahu lesung, dan rakit. Pengetahuan, kemahiran, dan pengalaman mereka telah dapat mengusai kesukaran alam laut sehingga perahu—perahu yang dihasilkan bentuknya disesuaikan dengan jenis keperluannya. Jenis perahu menangkap ikan di pesisir pantai dan di muara—muara tentunya berbeda dengan perahu-perahu yang digunakan di laut yang dalam. Begitupun, untuk jenis perahu sebagai alat pengangkut barang dan penumpang jarak dekat berbeda dengan eprahu untuk pelayaran jarak jauh.[3]


3.      PENUTUP
Terbentuknay dan berperannya Cirebon sebagai bandar niaga tidak terlepas dari perkembangan dunia internasional, yang disebabkan oleh motif ekonomi, politik, dan agama (walaupun dua aspek terakhir tidak dijelaskan secara konfrenesif). Ketiga unsur itu membentuk suatu formula yang berperan sebagai prime mover yang melandasi prilaku dan aktivitas setiap bangsa. Motif ekonomi mendorong bangsa untuk mencari komoditas yang bernilai tinggi, tidak peduli sejauh apa pun keberadaan komoditas itu. Hasrat ini memacu teknologi perkapalan dan navigasi yang mendorong pencarian wilayah—wilayah baru.
Peranan Cirebon sebagai bandar niaga atau kota pelabuhan di jalur sutera hendaknya dipahami pada konstelasi perkembangan dunia internasional. Pada konteks itulah, peranan Cirebon sebagai kota pelabuhan (sebagaimana kota pelabuhan di kota—kota lain) dapat dikatakan mempunyai tiga peran, yaitu sebagai centre of change, centre of integration, dan centre of culture.


[1] Adeng, Wiwi Kuswiyah, dkk. 1995. Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera. Jakarta: Depdikbud. Hlm. 53
[2] Susanto Zuhdi. 1996. Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera (kumpulan makalah diskusi ilmiah). Jakarta: Depdikbud. Hlm. 215
[3] Opcit. Hlm. 64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar