Jumat, 27 Juli 2012

KERAJAAN AMANATUN


Lembar Tugas Mandiri
(Muhammad Ridho Rachman, 0806343973)
KERAJAAN AMANATUN
http://nttprov.go.id/ diunduh pada 3 Maret 2011 pukul 13.00 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Amanatun diunduh pada 3 Maret 2011 pukul 13.05 WIB
http://anakgununglakaan.blogspot.com/search?q=AMANATUN diunduh pada 3 Maret 2011 pukul 11.10 WIB
Kerajaan Amanatun (Onam) merupakan salah satu peradaban tertua di Pulau Timor, khususnya Timor Tengah Selatan. Amanatun terdiri dari dua kata yaitu Ama (bapak)dan Mnatu (emas) yang menggambarkan seorang raja yang mengenakan pakaian dan perhiasan terbuat dari emas. Dalam buku “Raja-Raja Amanatun Yang Berkuasa” Don Yesriel Yusa Bunanaek, menceritakan di zaman kuno leluhur orang Timor bermula dari kedatangan tiga bersaudara Tei Liu Lai, Kaes Sonbai, dan Tnai Pah Banunaek yang akhirnya memimpin tiga kerajaan-kerajaan besar: Tei mendirikan Kerajaan Belu, Kaes mendirikan Kerajaan Mollo, dan Bunanaek mendirikan Kerajaan Amanatun. Pada masa kolonial Hindia Belanda, Timor Tengah Selatan dikenal dengan nama Zuid Midden Timor hingga berganti menjadi Nusa Tenggara Timur dan menjadi bagian dari negara kesatuan Indonesia.
Di era kemerdekaan, Kerajaan Amanatun bersama Kerajaan Molo (Oenam) dan Kerajaan Amanuban (Banam) membentuk kabupaten Timor Tengah Selatan dengan ibukota SoE—Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 1920 kota SoE ditetapkan menjadi ibukota Nusa Tenggara Timur oleh tiga raja berkuasa dari kerajaan-kerajaan di sana. Yakni Raja Lay Akun Oetaman raja Molo, Raja Pae Nope raja Amanuban, dan Raja Kolo Banunaek raja Amanatun.
Dalam buku Bunanaek juga digambarkan lengkap mengenai hubungan para penguasa Timor dengan bangsa-bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda. Diceritakan pada 11 November 1749, Belanda dan Portugis memperebutkan tanah jajahan di Timor, konflik ini dikenal sebagai Perang Penfui. Kerajaan Amanatun memihak portugis karena tidak setuju dengan rencana Belanda yang ingin membagi wilayah Timor meski pada akhirnya Kerajaan Amanatun jatuh juga ke tangan Belanda yang berhasil mengalahkan Portugis.
Upaya penyatuan beberapa kerajaan yang ada di wilayah Timur Tengah Selatan dalam suatu wilayah administratif mulai tampak sejak dekade kedua abad ke-20. Pada 1920, Kota Soe ditetapkan menjadi ibukota Zuid Midden Timor atas kesepakatan bersama dari ketiga raja yang berkuasa di sana, yaitu Raja Lay Akun Oematan (Kerajaan Molo), Raja Pae Nope (Kerajaan Amanuban), dan Raja Kolo Banunaek (Kerajaan Amanatun).
Layaknya sebuah sistem kerajaan, pergantian pimpinan didasarkan atas garis keturunan yang mana anak laki-laki lah yang akan menggantikan kedudukan ayahnya. Atau pun dalam hal-hal tertentu dapat pula digantikan oleh adik raja. Adapun raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Amanatun adalah sebagai berikut: Tnai Pah Banunaek, Tsu Pah Banunaek, Nopu Banunaek, Bnao Banunaek I, Nifu Banunaek, Kili Banunaek, Bnao Banunaek II, Nono Luan Banunaek, Bnao Banunaek III, Bnao Banunaek IV, Bab’i Banunaek, Bnao Banunaek V (Bnao Nunkolo), Kusat Muti (Muti Banunaek I), Loit Banunaek, Muti Banunaek II, Kusa Banunaek, Kolo Banunaek (Abraham Zacharias Banunaek), serta Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek (Raja Laka Banunaek).
Setelah menjadi bagian NKRI, pusat pemerintahan Amanatun dipindahkan ke Kota Oinlasi dan hingga kini menjadi ibukota Kecamatan Amanatun Selatan. Bentuk pemerintahannya pun berubah menjadi daerah swapraja. Raja Laka Banunaek menjadi Kepala Daerah Swapraja Amanatun pertama. Jika di tengah-tengah pemerintahan sang raja meninggal dunia, maka sebagai penggatinya diangkatlah seorang Wakil Kepala Daerah Swapraja dari keturunan bangsawan.
Pemimpin Kerajaan Amanatun bersama dengan raja-raja lainnya yang tergabung di dalam Dewan Raja-Raja ikut berperan penting dalam pembentukan Provinsi NTT di mana sebelumnya wilayah ini termasuk ke dalam Provinsi Sunda Kecil. Pemerintah Indonesia sendiri yang kala itu masih berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) telah menguatkan berdirinya NTT dengan beberapa perkembangan kebijakan. Terakhir, melalui UU No. 69 Tahun 1958, terbentuklah daerah Swatantra Tingkat II di Nusa Tenggara Timur dengan 12 Kabupaten.
Sementara itu, tentang kelompok suku yang paling dominan dalam struktur sosial masyarakat Amanatun, buku ini menyebutkan nama Suku Missa, selain suku-suku lain yang lebih kecil jumlahnya seperti Suku Tkesnai, Suku Amafnya, Suku Nai Usu, dan lain-lainnya. Populasi penduduk Kerajaan Amanatun relatif tinggi. Tahun 1870, misalnya, tercatat jumlah penduduk Kerajaan Amanatun sudah melebihi angka 12.000 jiwa.
Sebelum masuknya agama Nasrani yang dibawa Portugis, penduduk Timor, termasuk warga Amanatun, masih menganut suatu kepercayaan atas Dewa Langit (Uis Neno) yang dinggap sebagai pencipta alam dan pemelihara kehidupan di dunia. Sejumlah ritual upacara yang ditujukan kepada Uis Neno dimaksudkan untuk meminta hujan, sinar matahari, mendapatkan keturunan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Orang Timor juga percaya kepada Dewa Bumi alias Uis Afu, juga sering disebut sebagai Dewi Uis Neo. Upacara yang ditujukan kepada Dewi Uis Neo adalah meminta berkah bagi kesuburan tanah yang sedang ditanami. Di samping itu, masyarakat Amanatun juga mempercayai adanya makhluk-makhluk gaib yang mendiami tempat-tempat tertentu, seperti di hutan, mata air, sungai, dan pohon yang dianggap angker. Ritual-ritual untuk menyucikan makhluk-makhluk gaib itu sering dilakukan dengan dipimpin oleh pejabat desa sekaligus pemuka adat.
Selain itu, roh-roh nenek moyang yang dianggap mempunyai pengaruh yang luas kepada jalan hidup manusia, juga disucikan oleh warga adat Amanatun. Berbagai malapetaka yang datang dinilai sebagai tindakan atau peringatan dari arwah leluhur terhadap mereka yang telah lalai dan berbuat jahat. Meskipun agama Kristen yang dibawa Portugis pada akhirnya secara formal telah diterima dan dipeluk oleh sebagian besar dari penduduk Timor, namun sebagian besar dari mereka masih percaya akan adanya dewa-dewa, makhluk-makhluk halus, roh nenek moyang, dan percaya akan ilmu sihir.
Terdapat beragam bentuk mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat Timor. Seperti dalam hal pertanian, dimana mata pencaharian dari sebagian besar orang Timor yang bermukim di daerah pedesaan adalah bercocok tanam di ladang. Jenis tanaman yang ditanam di ladang adalah jagung, yang merupakan makanan pokok, padi darat, ubi kayu, keladi, labu, sayur-sayuran, dan ada juga yang menanam kacang hijau, jeruk, kopi, tembakau, bawang, dan kedelai.
Selain bercocok tanam, mata pencaharian masyarakat Timor yang utama adalah dalam bidang peternakan. Ternak yang dipelihara diantaranya adalah sapi, kuda, kerbau, kambing, babi dan ternak unggas. Sebelum kedatangan orang Belanda ke timor, peternakan memang sudah ada, namun tidak mempunyai arti ekonomis yang berarti. Sapi, yang merupakan ternak yang paling banyak dipelihara oleh orang Timor pada masa sekarang, baru dimasukkan ke Timor pada tahu 1912 oleh pemerintah Belanda, dengan maksud untuk menambah bahan makanan bagi penduduk Timor dan juga bagi penduduk pulau Jawa. Mata pencaharian yang lain yang cukup penting terutama untuk masyarakat timor yang tinggal didaerah pantai, adalah menangkap ikan-ikan kecil, mencari kerang dan tripang. Pada waktu-waktu menjelang dan selama musim kemarau, bilamana air sungai menjadi kering, banyak orang-orang menangkap ikan di sungai-sungai dengan cara membendungnya dan kemudian mengeringkannya, atau dengan menggunakan sejenis serok. Orang Timor tidak melakukan penagkapan ikan dengan perahu ditengah laut.
Dan yang terakhir adalah perdagangan. Perdagangan biasanya berpusat di pasar-pasar yang ada di desa yang cukup besar, yang diadakan setiap minggu sekali. Para pedagang dari setiap daerah di sekitar desa yang sedang berhari pasar turut juga hadir untuk menjajakan barang dagangan mereka. Barang-barang yang di perjual belikan kebanyakan adalah bahan keperluan sehari-hari. Namun ternak, khususnya sapi dan kerbau sering juga di perdagangkan di pasar dalam jumlah yang besar.

1 komentar:

  1. Referensi tambahan silahkan kunjungi blog OnamTuan. Blog resmi Kerajaan Amnatun.

    BalasHapus