Jumat, 27 Juli 2012

INVOLUSI PERTANIAN: PROSES PERUBAHAN EKOLOGI DI INDONESIA


BAGIAN I
TITIK TOLAK, MENURUT TEORI DAN FAKTA

1. PENDEKATAN EKOLOGIS DALAM ANTROPOLOGI

Batas-batas Kemampuan Pendekatan Tradisional
Ada 3 pendekatan yang dipakai untuk membahas tentang terbentuknya kebudayaan manusia di suatu wilayah. Pertama, pendekatan antropogeografis yang menyatakan bahwa kebudayaan manusia itu dibentuk oleh kondisi-kondisi lingkungan. Contoh yang paling terkenal dari pendekatan ini adalah teori klimatologi Elsworth Huntington. Kedua, pendekatan posibilis yang menyatakan bahwa lingkungan itu tidak dipandang sebagai sebab, melainkan hanya sebagai pembatasan atau penyeleksi. Dan ketiga, pendekatan ekoloogs. Pendekatan yang terakhir ini berusaha untuk mencapai spesifikasi yang lebih tepat mengenai hubungan antara kegiatan manusia, transaksi biologism dan proses alam memasukkan semua itu ke dalam satu sistem analisa, yaitu ekosistem. Konsep ekoistem ini menekankan tentang kesalingtergantungan yang begitu penting antara kelompok organisme yang merupakan satu komunitas dengan keadaan alam yang bersangkutan di mana organisme-organisme itu hidup.

Ekologi Budaya
Perbedaan utama antara pendekatan ekologi budaya dengan pendekatan-pendekatan lainnya adalah Julian Steward, yang telah mengembangkan cara analisa ini, dengan keras membatasi penerapan konsep dan asas ekologi tersebut pada aspek-aspek tertentu saja dari kehidupan sosial kebudayaan manusia yang benar-benar cocok, bukan kepada seluruh kehidupan manusia secara luas dan besar-besaran. Tetapi berbeda dengan anggapan bahwa segala aspek kebudayaan itu saling berhubungan secara fungsional—seperti dalam doktrin antropologi yang masih sangat kuat, “holisme”—Steward berpendapat bahwa tingkat dan macam saling-hubungan itu tidaklah sama dalam segala aspek kebudayaan, melainkan bermacam-macam. Aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas, seperti pola-pola kebudayaan dan hubungan organisme, dinamakan oleh Steward “inti kebudayaan” atau cultural core, sedangkan aspek-aspe yang tidak begitu erat hubugannya dengan proses penyesuaian itu hanya diberi sebutan “aspek kebudayaan selebihnya”.

2. DUA BENTUK EKOSISTEM

Indonesia Dalam versus Indonesia Luar
Geertz membagi Indonesia dalam dua macam, yaitu Indonesia Dalam dan Indonesia Luar seperti dari arti kata “nusantara” yaitu pulau-pulau luar yang dimaksudkan pulau-pulau di luar Pulau Jawa. Geertz memaksudkan kata Indonesia Dalam adalah daerah yang memakai sistem pertanian “Pola Jawa” yaitu seluruh Pulau Jawa (kecuali Banten Selatan dan Priangan Selatan), Bali Selatan, Madura, dan Lombok Barat. Sedangkan Indonesia Luar adalah yang tidak memakai “Pola Jawa”.

Ladang
Gourou menyatakan ada empat ciri perladangan: 1) dijalankan di tanah tropis yang gersang; 2) berupa teknik pertanian yang elementer tanpa menggunakan alat-alat kecuali kampak; 3) kepadatan penduduk rendah; dan 4) menyangkut tingkat konsumsi yang rendah. Dari segi ekologi, ciri yang paling positif dari perladangan adalah perladangan lebih berintegrasi ke dalam struktur umum dari ekosistem alami yang sudah ada sebelum perladangan tersebut direncanakan.
Pembakaran hutan yang sudah ditebang pada dasarnya adalah cara untuk mempercepat proses pembusukan dan sekaligus untuk mengarahkan proses tersebut sedemikian rupa sehingga zat makanan yang dilepaskan tersalur sebanyak mungkin ke dalam tanaman pangan yang sudah dipilih. Dapat dikatakan bahwa perladangan merupakan suatu sistem yang di mana hutan alam dirubah mejadi hutan yang dapat dinikmati hasilnya.

Sawah
Sawah memiliki perbedaan yang sangat kontras dengan ladang karena sawah adalah suatu struktur buatan, sangat khusus, terus-menerus ditanami, dan terbuka. Menarik mengenai sawah adalah sawah sangat stabil atau tahan lama, sawah dapat menghasilkan hasil panen yang dapat dikatakan tidak berkurang dari tahun ke tahun, bahkan sering kali dua kali dalam setahun.
Dalam buku “Involusi Pertanian” karya Clifford Geertz dikatakan bahwa tanah sawah adalah tanah yang tipis tetapi hal ini tidak menjadi penghambat berkurangnya hasil produksi sawah. Tanah yang tipis ini diatasi dengan memasukkan zat hara yang diambil dari tanah, dengan penambahan nitrogen oleh ganggang kehijau-hijauan yang berkembang biak di dalam air yang hangat, dengan pembusukan kimiawi dan bakteriil dari bahan organik, termasuk sisa-sisa tanaman yang sudah dituai yang tertinggal di dalam air, dengan pengisian udara pada tanah dengan gerakan air sawah yang pelan-pelan, dan tentu saja, dengan fungsi-fungsi ekologis lainnya yang dilaksanakan oleh irigasi. Penyediaan dan pengontrolan air adalah aspek yang paling  penting dari penanaman padi, jika persediaan air cukup banyak dan terkontrol dengan baik, padi dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah dalam berbagai iklim. Bagi sawah, air merupakan faktor yang sangat penting daripada tipe tanah.
Karena air merupakan faktor penting, maka penyediaan dan pengontrolan air juga menjadi penting. Drainase menjadi lebih sulit dibandingkan irigasi karena air yang berlebih sama bahayanya dengan kekurangan air. Pengaturan air yang rumit inilah yang menyebabkan adanya pembangunan sistem pengontrolan air dan diperlukannya pengawasan serta perawatan yang baik bagi sistem ini.
Stabilitas yang tetap, zat makanan yang diambil dari “medium” (komunitas biotis) dan bukan dari “substratum” (tempat), kompleksitas teknis dan investasi karya yang cukup besar untuk membangun prasarana, ciri-ciri ini menimbulkan, dari segi sosiologi, sesuatu yang paling penting dari pertanian padi sawah: kecenderungan dan kemampuan untuk menyikapi meningkatnya jumlah penduduk dengan pemadatan (intesifikasi), maksudnya menyerap tenaga kerja lebih banyak di tanah yang diusahakan. Dalam perladangan, jika jumlah penduduk naik maka terjadi perluasan wilayah ladang. Berbeda dengan sawah, ekspansi wilayah persawahan terjadi lebih lambat dan kurang pasti. Para petani sawah lebih mementingkan bekerja lebih keras di sawah yang lama daripada membuat sawah yang baru. Apabila meningkatnya penduduk menyebabkan merosotnya habitat di ladang, maka sebaliknya dengan sawah, yang menyebabkan jumlah penduduk semakin meningkat. Kemudian, terjadi integrasi ekologis yang kompleks yang disebabkan oleh sifat sawah yang berfokus pada medium yang membatasi antara kawasan topografi, sumber daya air, dan zat-zat makanan yang terlarut.
Seperti telah disebutkan di atas, orang lebih cenderung memilih bekerja lebih keras untuk sawah baru seperti pembangunan sistem irigasi dan sebagainya dibandingkan dengan membuat sawah baru karena mereka berpikir bahwa hal ini lebih menguntungkan. Membuat sawah yang baru belum tentu akan mendapatkan hasil yang baik. Mereka, para petani, tidak ingin mengambil risiko dengan membuat sawah baru yang membutuhkan dana besar.
Ladang dan sawah merupakan dua sistem yang paling penting dan merupaka kerangka di mana ekonomi pertanian umum di neeri ini berkembang. Kedua sistem ini memberikan tanggapan yang berlawanan terhadap kekuatan-kekuatan yang menimbulkan kenaikan jumlah penduduk. Sistem yang satu bersifat dispersive (menyebarkan) dan tidak elastis, sedangkan yang lain bersifat concentrative (memusatkan) dan elastis. Hal ini memberikan penjelasan-penjelasan mengenai penyebaran penduduk yang tidak merata di Indonesia serta kerumitan sosial dan kebudayaan yang tidak terhindarkan sebagai akibat penyebara yang seperti itu.















BAGIAN II
PERWUJUDAN POLA TETAP

3. ZAMAN PURBA

Kenyataan geografis memainkan peran besar dalam mencegah orang membuka sawah di luar Jawa, di mana perladangan lebih mudah digarap dan dapat diterapkan secara lebih luas; lembah-lembah sungai yang kecil di celah-celah gunung berapi merupakan faktor pendorong kuat untuk menempatkan sawah disitu.
Mekarnya persawahan di Jawa sebelum Masehi pada umumnya diterangkan bahwa hal itu disebabkan oleh adanya kombinasi yang menguntungkan dari empat elemen dunia purba, yaitu api, air, tanah, api, udara. Api diperoleh dari gunung-gunung api yang berderet-deret di pulau Jawa yang menyediakan makanan untuk tumbuhan yang tidak terdapat pada yanah yang tipis. Air berasal dari sungai-sungai panjang maupun pendek, deras, dan mengandung lumpur alluvial. Tanah merupakan dataran tertutup yang landai dengan drainase yang baik, terbentuk oleh alur sungai dan gunung tersebut sangat cocok untuk teknik irigasi tradisional. Dan udara adalah hasil iklim yang agak lembab, dimana peralihan dari barat ke timur mengkondisikan agar udara tidak terlalu kering seperti gurun dan terlalu lembab seperti daerah-daerah lain di muka Bumi.
Persawahan di Jawa tidak seperti dataran yang maha luas seperti di China, tapi merupakan kantong-kantong alluvial yang terpisah dan merupakan kesatuan tersendiri yang masing-masing di garap secara intensif. Yang mula-mula boleh jadi telah muncul di dalam dan sekitar segiempat yang dibentuk oleh gunung Sumbing, Sindoro, Merbabu, dan Merapi, daerah yang sesudah abad ke-8 menjadi kemaharajaan Mataram. Persawahan yang telah maju hamper dapat dipastikan telah muncul untuk pertama kalinya.
Ekspansi persawahan diluar batas-batas kawasan ini dalam zaman pra-kolonial, belangsung secara lambat laun, coba-cona, setengah-setengah, dan maju-mundur. Dan pada dasarnya perluasan itu dapat terjadi dalam tiga jurusan; ke utara ke arah pantai laut Jawa dengan delta-deltanya, ke barat ke arah dataran Sunda, dank e timur kea rah kawasan (Pasuruan, Probolinggo, Banyuwangi, Besuki). Setiap kawasan itu memiliki kendala teknis masing-masing, tanah di panati laut Jawa merupakan tanah yang subur karena banyak endapan alluvial dan air sangat banyak, namun tanah cepat sekali menjadi paya-paya karena tanahnya terendam air laut dan banjir tidak dapat ditanggulangi dan dicegah. Tanah Sunda memilki air yang cukup banyak dan drainase yang baik namun tingkat kesuburan tanahnya rendah dan susunan topografinya tidak cocok untuk sawah. Dan daerah bagian timur kekurangan air. Pada waktu persawahan meluas dari daerah asalnya, di dataran-dataran tertutup kejawen, maka yang dihadapinya bukan hanya satumasalah saja, melainkan tiga masalah secara teknis yang berbeda-beda. Yaitu fungsi irigasi seringkali tidak cukup disadari: menyediakan air untuk tanah yang kalu kekurangan air akan menjadi gersang (fungsi pengairan), mengatur persediaan air yang cukup banyak namun tidak dapat dipastikan dan sangat sukar dikelola sehingga banjir tidak dapat dihindari dan dicegah (fungsi pengontrol), menyuburkan tanah dengan zat hara yang diangkutnya (fungsi penyburan). Dengan demikian, dapat dipahami mengapa perluasan sawah berlangsung dengan sangat lambat.
Karena hebatnya maslah-masalah air, panati utara tak pernah berhasil menjadi pusat pertanian yang setara dengan daerah pedalaman. Setelah peradaban itu mekar, dengan ragu-ragu ia akan maju kea rah panatai karena tertarik dengan ekonomi perdagangan di laut Jawa, namun semata-mata hanya selingan dari kegiatan bersawah yang terbatas. Ketika belanda tiba pada abad ke-17 pisat gaya berat pertaian masih  tetap berada di pedalaman, di daerah Mataram Purba, dimana terdapat berbagai kota dengan penduduk yang padat, sawah yang penuh dengan padi dan tanaman lainnya. Semua beras yang diangkut di sepanjang laut Jawa ke Maluku, Johor, Ambon, Banda biasanya berasal dari sini. (JP Coen)

4. ZAMAN PENJAJAHAN: LANDASAN VOC

VOC (Kompeni)
Ekonomi kolonial adalah ekonomi yang lahir dari perkawinan antara ekonomi dengan politik dan merupakan suatu ekonomi di mana hampir tidak ada perbedaan yang taam antara perdagangan bebas, pemboongan, kuota, dan monopoli, yang kesemuanya itu dilakukan di bawah bayang-bayang mulut meriam. Cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk melaksanakan usaha tersebut adalah dengan menjaga agar penduduk pribumi itetap dalam keadaan semula tetapi juga membuat mereka itu menghasilkan produk untuk pasaran dunia berupa pembentukan struktur ekonomi yang kadang-kadang disebut “dua muka” (dual), yang secara kronis, bahkan memang secara intrinsik, merupakan struktur yang tidak seimbang.
Hasil dari penetapan struktur ekonomi yang “dua muka” adalah ditetapkannya sistem Tanam Paksa atau dalam bahasa Inggris adalah cultivation system. Untuk lebih jauh, sistem dari Tanam Paksa ini secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut: pertama, petani dibebaskan dari pajak tanah dan sebagai gantinya para petani harus menanam tanaman ekspor milik pemerintah pada seperlima luas tanahnya atau, sebagai alternatif, bekerja selama 66 hari setiap tahun di perkebunan-perkebunan milik pemerinah atau proyek lain.
Pada dasarnya, sistem tanam paksa ini berfokus kepada ekspor yang laku di pasaran dunia seperti nila, kopi, teh, tembaka, lada, kina, kayu manis, kapas, sutera, cochenille (sebangsa bahan pewarna berasal dari serangga). Namun, dari kesemuanya hanya tebu dan kopi saja yang berhasil, sisanya mengalami kegagalan. Pada segi jenis tanaman yang dipaksakan ada dua kategori besar yaitu tanaman tahunan yang dapat ditanam di sawah bergiliran dengan padi, dan tanaman keras (tanaman yang berumur panjang) yang tidak dapat digilirkan dengan padi.
Dari perbedaan pada dua kategori besar tanaman yang dipaksakan akan memberi akibat pada komunias biotis yang sudah mapan, di mana kedua jenis tanman itu dimasukkan. Tanman yang cenderung membentuk hubungan mutualistis dengan komunitas serupa, bersama-sama mempergunakan habitat tanpa menimbulkan ketegangan pada kedua belah pihak. Tanaman keras (tanaman yang dipaksakan bukan rempah-rempah yang memang sudah ada sebelum Bekanda datang) sebaliknya cenderng ke arah hubungan insuler, menempati habitat yang belum dipergunakan dan menutup diri dari sistem-sistem pribumi sebagai kantong-kantong yang bebas. Akan tetapi, diperkirakan adalah seperti suatu ironi yang memang wajar, suatu parable yang sudah semestinya, bahwa hubungan yang mutualistis itulah yang dalam jangka panjang ternyata justru meugikan vitalitas ekonomi Indonesia.
Kedua tanaman utama itu memiliki perbedaan dalam hal tanah dan tenaga kerja. Tebu yang merupakan tanaman tahunan menyukai tanah dan lingkungan yang hampir sama dengan padi yaitu memerlukan irigasi dan tenaga kerja yang dibutuhkan selalu berubah-ubah tergantug dari musim. Sedang kopi yang termasuk tanaman keras lebih menyukai tempat-tempat pegunungan, tidak memerlukan irigasi, serta tenaga kerja yag dibutuhkan dalam penanaman kopi relatif tetap.
Dengan adanya sentra-sentra produksi tebu dan kopi membuat banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Pada tebu, kawedanaan-kawedanaan gula biasanya padat penduduk (biasanya kawedanaan yang padat penduduk adalah kawedanaan gula) amun tidak semua kawedanaan yang padat adalah kawedanaan gula. Kedua, meskipun kawedanaan gula biasanya adalah kawedanaan beras yang produktif, tetapi tidak semua kawedanaan beras adalah kawedanaan gula. Ketiga, pernyataan serupa itu berlaku juga untuk presentasi dari semua tanah yang dapat ditanami yang mendapat irigasi. Keempat, kalau kawedanaan-kawedanaan gula sama seklali tidak turut diperhitungkan, maka korelasi yang erat antara padi per hektar, kepadatan penduduk, dan presentasi dari luas tanah yang dapat ditanami yang mendapat irigasi akan menghilang atau sekurang-kurangnya sangat berkurang.
Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa statistik pertanian mengenai sektor petani dalam abad kesembilan belas tidak dapat diandalkan (dan juga sangat langka), baik yang mengenai luasnya tanah garapan maupun produksi tanaman makanan, menyebabkan kita mengalami kesukaran untuk menurut dengan bagaimana caranya orang-orang Jawa menangani masalah demgrafi. Di mana luas tanah semakin kecil namun penduduk semakin bertambah banyak secara signfikan. 

5. ZAMAN PENJAJAHAN: MEKAR

Munculnya kaum Industrialis besar.
Periode ini menceritakan tentang pergantian konsep lahan pertanian, yang sudah tereksploitasi pada masa tanam paksa dengan sistem yang dikelola oleh Pemerintahan Hindia Belanda dan diganti sistem penguasaan lahan pertanian yang dikelola oleh para pengusaha perkebunan besar di Hindia Belanda. Hal ini berkaitan dengan harga beberapa komoditas agraris yang meningkat pesat dalam beberapa dekade tahun terakhir belakangan, seperti Gula, Kopi, tembakau dan sebagainya sehingga menyebabkan pangsa pasar yang harus dikelola menjadi besar dan memberikan suatu kesulitan tersendiri bagi pemerintahan Hindia Belanda untuk mengatasinya. Di sisi lain, konsep Cultuurstelsel yang dijalankan dirasa tidak efisien lagi dan ketinggalan zaman, sehingga akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengganti konsep tersebut dengan sistem yang lebih fleksibel dan menghendaki kurikulum pasar.
Konsep ini menyebabkan terjadinya suatu pengalihan besar-besaran keuntungan ke tangan para pengusaha besar yang menjalankan roda perekonomiannya di Hindia Belanda. Di tambah dengan beberapa UU yang mendukung, seperti UU Tanah Agraria. Maka dengan cepatnya, tanah-tanah yang tadinya milik para petani disewa dan dijadikan laha-lahan tanaman komersial yang laku di pasaran. Hal ini, tak pelak menyebabkan suatu perubahan paradigma yang cukup tajam di kalangan petani, antara lain karena pada saat itu konsep tanam paksa yang dijalankan seolah-olah tereduksi dengan sendirinya dan digantikan oleh sistem kapitalis yang mementingkan laba dan hasil panen dengan menggunakan tenaga buruh-buruh upahan, yang pada waktu itu bekerja di perusahaan-perusahaan pengolah Tebu untuk menjadikannya sebagai Gula.
Dalam perkembangannya kemudian, terjadi pembelahan pada konsep masyarakat pedesaan yang ada pada waktu itu, terutama di daerah Jawa yang menjadi pusat daripada eksploitasi yang ada. Konsep tersebut dibagi menjadi dua, yang menurut istilahnya Geertz ialah kelompok masyarakat tuan tanah besar, yang mempunyai lahan dan ladang pertanian, dan kelompok masyarakat setengah budak yang diperas, dan sesuai dengan konteks pada waktu itu, yaitu dengan meningkat pesatnya jumlah penduduk yang ada, sedangkan lahan yang dikerjakan sedikit, menyebabkan terjadinya pembagian rezeki yang ada dengan membagi-bagikan jatah lahan yang harus digarap oleh para kelompok masyarakat ini, sehingga terjadilah suatu kemiskinan bersama yang berlarut-larut dari tahun ke tahun. Dalam kehidupan petani, pembagian ini juga dikenal dengan istilah golongan “Cukupan” dan golongan “Kekurangan”.

Pengembangan Indonesia Luar
Perkembangan yang berbeda terjadi di luar jawa ( Indonesia Luar). Di sini yang berkembang adalah pila-kantong, bukan pola yang mutualistis. Setidaknya ada tiga ciri khas dari pengembangan Indonesia Luar untuk menetapkan polanya.
Pertama, pengembangan yang terjadi di Indonesia Luar secara geografis hanya terbatas di tempat-tempat tertentu, lebih-lebih pada pengembangan sektor padat modal. Dari nilai ekspor Luar jawa tahun 1930 senilai f 600.000.000 sepertiganya berasal dari Sumatra pantai timur sendiri, dimana perkebunan-perkebunan tembakau, karet, teh, dan minyak  palma yang besar terpusat di satu daerah (yakni Deli dan sekitarnya) yang luasnya tak kurang dari 10.000 km2 atau kurang dari 1% dari luas jawa.
Kedua, fokus pengembangan tidak lagi ditujukan pada rempah-rempah, manis-manisan, dan bahan-bahan perangsang, melainkan dipusat pada produksi bahan mentah industri. Pada tahun 1900, karet, timah, dan minyak bumi, yang hamper seluruhnya hasil dari luar jawa, merupakan kira-kira 17 persen dari nilai ekspor Indonesia, 20 persen pada 1920; 37 persen pada 1930, dan  66 persen pada 1940. Ketiga, Kaum petani memainkan peranan yang relatif besar dalam ekonomi ekspor; dari seluruh ekspor Luar Jawa, pemilik tanah kecil mempunyai andil kira-kira 35 persen dibandingkan dengan kira-kira 15 persen untuk petani jawa.
Perkembangan Indonesia luar ini dapat dikatakan dimulai pada tahun 1863 kecuali penambangan timah yang sudah dimulai sejak abad 17. Seeorang pengusaha schumpeteria bernama Jacob Nienhuys yang memulai membuka usaha perkebunan di Deli, setelah ia tidak berhasil di Jawa Timur, di kantor dagangnya di Surabaya dan kemudian datang kepadanya seorang Arab yang mengaku Putra Raja Sumatera menceritakan tembakau tanaman rakyat di pantai timur laut Sumatera yang saat itu sedikit sekali diketahui orang, dan keuntungan yang dapat diperoleh dari penanaman tembakau.
Sehingga mulailah perkembangan tembakau yang menjadi perkebunan yang dikemudian  hari menjadi komoditas yang sangat menguntungkan. Tembakau yang di jawa ditanam sebagai tanaman palawija, oleh Nienhuys tembakau diintegrasikan ke dalam kerangka serba tanam dari system lading. Karena memang secara ekologis tanaman tembakau adalah tanaman yang tidak terlalu membutuhkan irigasi dan menjadi tanaman yang menjembatani antara sawah di jawa dengan lading di Indonesia Luar.
Di Deli perkebunan tembakau dan pertanian rakyat yang asli berjalan sejajar; keduanya tidak berintegrasi kedalan satu ekosistem tetapi terpisah menjadi sua ekosistem yang agak serupa jenisnya. Berbeda dengan Jawa yang menduduki hubungan saling komplimenter antara sawah dan tebu. Masing-masing adalah alternatif yang fungsional, yang satu bukan hanya pelengkap yang lain; dan bahwa keduanya tetap hidup bersama bukanlah karena adaptasi timbale balik yang positif, melainkan karena rencana yang teliti agar yang satu tidak merintangi yang lain.
Pada perkembangannya, pengusaha perkebunan tembakau yang membuka perkebunan dengan melakukan konsensi atas tanah dengan para sultan setempat di satu sisi kemudian merugikan bagi para petani peladang yang telah lebih dulu menggarap tanah yang kemudian dikonsensikan, meskipun jumlah mereka tidak banyak, namun di sisi lain menjadi jalan bagi para pengusaha perkebunan untuk terus memacu produksi mereka.
Tahap berikutnya adalah pada 1919 ketika pemerintah Hindia Belanda menghapuskan sistem konsensi tanah oleh para raja setempat diganti dengan jenis penyewaan tanah bera yang secara hukum membebaskan pengusaha perkebunan dari hambatan-hambatan karena hak-hak pribumi berdasarkan adat. Sehingga kemudian para pengusaha memilih menyerahkan sebagian tanah konsensi mereka dan sepenuhnya diberikan kepada para petani sebagai ganti izin untuk mencegah para petani pribumi bercocok tanam di tanah perkebunan sama sekali. Di mana hal ini menjadi talak tiga antara sektor perkebunan dan sektor rakyat petani. Demikian pula halnya dalam tenaga kerja yang keudian pengusaha perkebunan lebih banyak mendatangkan pra buruh dari luar pulau, orang-orang Cina, kemudian orang-orang Jawa sebagai angkatan kerja kontrakan.











BAGIAN III
WALHASIL

6. PERBANDINGAN DAN HARAPAN

Keadaan Dewasa ini
Indonesia mengalami berbagai macam peristiwa dimulai tahun 1930 hingga 1949 yaitu dimulai dengan malaise atau krisis, kemudian tahun 1942 penyerahan Hindia Timur dari Belanda ke Jepang, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945, dan masa Revolusi hingga tahun 1949. Segala kekacauan ini tidak berdampak begitu buruk terhadap pola dasar perekonomian Indonesia. Tetapi terjadi banyak perubahan di bidang sosial, bahkan pada pertanian itu sendiri. Involusi juga terus berlangsung tanpa henti, terus meluas, karena proses yang pada mulanya terasa terutama di daerah gula, sekarang hampir terasa di sleuruh Jawa. Kondisi demografis dan sosial di Pulau Jawa makin sama dengan kondisi yang berlaku di tempat-tempat yang paling padat penduduknya di masa lalu. Rata-rata distribusi dari daerah-daerah itu kurang lebih sama, tetapi daerah yang dulu merupakan minoritas, yaitu daerah yang terlalu padat penduduknya, maka sekarang menjadi semakin lumrah, sedangkan yang dulu lumrah, sekarang menjadi minoritas. Singkat saja, perbedaan tajam antara “Indonesia Luar” dan “Indonesia Dalam” kini semakin kabur. Hal ini diakibatkan oleh urbanisasi atau perpindahan penduduk ke kota berpenduduk padat dari daerah yang menderita malaise, dan transmigrasi antar-daerah dan antar-pulau.
Indonesia Luar pada umumnya berciri: 1) kantong atau enklave perkebunan dan pertambangan yang terpusat di tempat-tempat tertentu, yang mempergunakan cara kerja yang padat-modal dan angkatan kerja yang tercabut di daerah asalnya; 2) kebun tanaman ekspor yang diusahakan rakyat petani yang terpusat di beberapa daerah tertentu—dan yang sekarang mengalami berbagai hambatan serius karena kebijaksanaan ekonomi pemerintah; dan 3) perladangan tradisional, yang pada umumnya dikerjakan secara kekeluargaan, dan kini meluas ke hutan-hutan di pedalaman pulau-pulau yang besar di sebelah barat, serta ke daerah yang berbukit-bukit dan berhutan-hutan musim di pulau-pulau yang kecil di sebelah timur.    

Jawa dan Jepang
Jawa dan Jepang adalah pengibaratan kutub utara dan kutub selatan, berbanding tajam seratus delapan puluh derajat, apalagi pada periode 1830 hingga akhir Perang Dunia I. Dalam hal teknik, Jawa mengalami perbaikan yang lambat tetapi dengan cara yang sepenuhnya padat karya. Sebaliknya Jepang, pertumbuhan yang sangat pesat dimulai setelah tahun 1870, sebagai akibat dari turunnya angka kematian karena kenaikan standar hidup nasional, dan sebagai akibat dari fertilitas karena disebabkan oleh meluasnya lapangan kerja dalam sektor manufaktur. Dalam hal lapangan kerja, di Jawa tidak ada perluasan yang berarti di luar lapangan kerja pertanian tradisional, tetapi dalam sektor ini perluasan pesat telah dimungkinkan oleh penyempurnaan teknik produksi yang menyerap-kerja, yang menaikkan produktivitas kerja. Petani menyediakan tenaga kerja sambilan yang tidak berketerampilan untuk perkebunan, tetapi dengan harga di bawah produktivitas marginalnya, karena biaya hidup mereka sebagian besar dipikul ekonomi desa. Sedangkan Jepang mengalami perluasan lapangan kerja dengan pesat dalam sektor industri, yang menyera seluruh pertambahan penduduk. Lapangan kerja pertanian bisa dikatakan konstan, baik produktivitas tanah maupun produktivitas kerja meningkat.
Di Jawa, kota-kota besar maupun kecil bergerak lambat dibandingkan dengan pertambahan penduduknya. Sedangkan Jepang berkembang pesat, lebih-lebih setelah zaman Restorasi Meiji. Kota-kota besar dan kecil berkembang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan penduduknya. Pendapatan per kapita pada periode ini, pada sektor pertanian, Jawa mengalami kekonstanan sedangkan meningkat pada sektor perkebunan. Jepang mengalami peningkatan pesat pada sektor pertanian, dan peningkatan ini digunakan untuk membiayai untuk pengembangan sektor industri. Di Jawa mengalami dualisme ekonomi yang semakin tajam pada Input modal dala sektor perkebunan, sedangkan sektor pertanian, input kerjalah yang meningkat. Perpisahan antara kedua sektor itu terjadi sekaligus dalam bidang kebudayaan, sosial, dan teknologi, dengan aktivitas industri yang sedikit saja. Dualisme ekonomi ini juga nampak jelas di Jepang, tetapi diperlunak oleh hubungan yang erat dalam bidang kebudayaan, sosial, dan ekonomi di antara kedua sektor itu, dan oleh berkembang-mekarnya aktivitas industri-industri kecil.
Garis Besar Masa Depan
Yang dimaksud dengan Garis Besar Masa Depan di dalam buku ini adalah sebuah kondisi agraria setelah Revolusi Pertanian. Faktor yang menyebabkan terjadinya Revolusi Pertanian adalah konsumsi per kapita di Indonesia pada masa setelah kemerdekaan merosot. Namun, keadaan ini masih lebih baik dibandingkn dengan kondisi di India, Maroko, Tanganyika, dan Birma.
Nyatanya, di Indonesia khususnya Pulau Jawa, ada juga investor asing yang asih menginginkan untuk menanamkan modalnya untuk pertanian. Faktor-faktor yang mendorong investor-investor asing tersebut adalah:
1.      Kemajuan teknis pertanian
      Yaitu suatu teknik pemilihan bibit unggul yang merupakan peninggalan sistem Jepang untuk memilih bibit-bibit yang berkualitas. Kenyataan bahwa pemupukan dan pemilihan bibit unggul dapat cukup tinggi meningkatan hasil sawah di Indonesia termasuk Jawa, agaknya tidak usah diragukan lagi.
2.      Revolusi Pertanian
      Yaitu sebuah pengalihan dari perladangan ke pengusaha kebun-kebun perdagangan. Namun sejak ini, proporsi yang lebih besar dari kenaikan jumlah penduduk itu telah diserap ke kota-kota besar sehingga terjadi kekurangan SDM (Sumber Data Manusia) untuk bidang pertanian.
3.      Pengalihan Sistem Onderneming ke Manajemen Negara
      Adalah sebuah pengalihan kepemilikan perkebunan dari milik asing (terutama Belanda) menjadi milik negara.
4.      Penyempurnaan Irigasi
5.      Perbaikan Teknik Penanaman
Selain dalam bidang pertanian yang fokus pada padi atau persawahan, potensi yang dimiliki Indonesia pada saat itu juga meliputi bidang perkebunan, seperti:
1.Karet
      Dalam 1925-1940, luas tanaman karet rakyat meloncat lebih dari 300% dan telah menghasilkan arus uang yang besarnya belum pernah terlihat di Indonesia sebelumnya. Namun antusiasme itu menjadi berkurang oleh karena Indonesia Luar itu, bagaimanapun juga adalah bagian dari Indonesia sebagai suatu keseluruhan. Proses involusi yang terjadi di Jawa merupakan bagian yang langsung dari alam ekonomi di mana penanaman tanaman industri tersebut terjadi, dan hal ini lebih besar pengaruhnya daripada pergeseran dunia atau perubahan teknologi.
2.Kopi
3.Kopra
4.Tembakau
5.Teh























KESIMPULAN

Seperti dikatakan dalam bagian pertama tentang sawah, penduduk Indonesia lebih memilih mengusahakan sawahnya lebih keras karena menurut mereka hal tersebut lebih menguntungkan dibandingkan dengan membuat lahan persawahan baru. Kepadatan penduduk menjadi masalah sekarang karena sawah menyebabkan kepadatan penduduk semakin meningkat dibandingkan dengan perladangan. Pertambahan penduduk ini diperparah dengan munculnya perkebunan-perkebunan besar. Perkebunan kopi, dengan pekerja tanam paksa bukanlah pengganti dari pertanian subsistensi yang sesungguhnya; dan semua tanaman lain yang diusahakan pada Sistem Tanam Paksa juga demikian halnya. Orang-orang Jawa tidak dapat menjadi bagian dari ekonomi perkebunan, dan mereka juga tidak dapat mengubah bentuk pola umum pertanian mereka yang sudah intensif menjadi ekstensif karena mereka tidak memiliki modal, tidak memiliki jalan untuk memindahkan kelebihan tenaga kerja, dan secara administratif terhalang oleh sebagian terbesar dari daerah pinggiran mereka, apa yang disebut dengan tanah bera atau “tanah kosong” yang sebetulnya dipenuhi dengan pohon kopi. Seperti itulah, dengan lambat, tetap, dan tiada henti, mereka terpaksa memasuki pola sawah yang semakin lama semakin sesak-karya. Penduduk yang luar biasa besarnya diserap ke sawah yang terlampau sempit, terutama yang memiliki sistem irigasi yang baik. Persawahan, dengan kemampuannya yang luar biasa untuk tetap mempertahankan tingkat produktivitas karya yang marginal dengan selalu berhasil mempekerjakan seorang lagi tanpa menyebabkan kemerosotan pendapatan per kapita dengan serius, telah menyerap hampir sleuruh penduduk. Walaupun mengalami kenaikan sedikit demi sedikit, tetapi pada akhirnya aka mengalami kemerosotan juga. Hal inilah yang disebut Geetz sebagai “involusi pertanian”. Geertz memeroleh konsep ini dari Alexander Goldenweiser, ahli antropolog Amerika, yang menciptakannya untuk melukiskan pola-pola kebudayaan yang sesudah mencapai bentuk yag nampaknya telah pasti tidak berhasil menyetabilisasinya atau mengubahnya menjadi suatu pola baru, tetapi terus berkembang ke dalam sehingga menjadi semakin rumit. Jadi, involusi adalah kerumitan yang semakin lama semakin hebat, keanekaragaman dalam keseragaman, keahlian seni dalam monotomi. Selain itu, bertambahnya keuletan pola dasar, penggarapan intern yang kelewat teliti dan terlalu penuh dengan hiasan, penjelimatan teknis, dan keahlian teknis yang tidak ada habisnya. Karena hal tersebut, pertanian semakin lama semakin meresapi seluruh ekonomi pedesaan: sistem hak milik makin rumit, hubungan sewa-menyewa tanah yang bertambah ruwet, pengaturan kerja gotong royong semakin kompleks—semua hal ini adalah suatu usaha untuk menyediakan ruang bagi setiap orang dalam keseluruhan sistem, sekecil apapun ruang tersebut.
Tetapi salah jika dikatakan bahwa petani Indonesia adalah petani-petani yang malas karena mereka selama berabad-abad tetap miskin dan masih memakai teknologi pertanian tradisional. Mereka bukanlah malas, hanya takut untuk mengambil risiko yang lebih besar dan tentu saja, kekurangan modal. Mengambil istilah Boeke yang dikutip dari buku ini, orang Jawa itu bukan jatuh miskin karena mereka “statis”, melainkan mereka “statis” karena miskin. Tidak mungkin kita membandingkan petani Barat, yang menggarap sekian hektar tanah dengan hanya beberapa orang dan teknologi canggih, dengan petani Indonesia yang menggarap tanah beberapa hektar dibantu dengan beberapa puluh orang. Jika menginginkan petani Indonesia seperti petani Barat, akan terjadi pengangguran besar-besaran.















LAPORAN BACAAN SEJARAH AGRARIA
INVOLUSI PERTANIAN: PROSES PERUBAHAN EKOLOGI DI INDONESIA
CLIFFORD GEERTZ

DISUSUN OLEH:
ADE PRADANA
ADITYA MUARA P.
ADRIANUS W. MUNTU
AGUNG
AHMAD NAKHROWI
AHMAD SOFYAN
ALLAN AKBAR
ANIEK NURFITRIANI
ARYA NUGRAHA
BENAYA ADIGUNA

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
2010

2 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus