Jumat, 27 Juli 2012

Gabungan Organisasi dan Strategi Kooperasi: Pergerakan Nasional Indonesia Menjelang Runtuhnya Hindia-Belanda (1930-1942)


Gabungan Organisasi dan Strategi Kooperasi: Pergerakan Nasional Indonesia Menjelang Runtuhnya Hindia-Belanda (1930-1942)
LOGO_UI
Disusun oleh:
Griffith Aditya Pamungkas
Indah Farani
Lisan Sulaiman
M. Ridho Rachman


Dalam Rangka Pemenuhan Tugas Mata Kuliah
Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia


Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Depok, 2009
BAB I
PENDAHULUAN
Perjuangan bangsa Indonesia memasuki era baru pada awal abad ke-20. Era ini ditandai dengan munculnya kesadaran berbangsa di kalangan elit masyarakat pribumi. Secara perlahan kaum elit ini mencoba mempengaruhi masyarakat lewat jalur baru yaitu organisasi modern. Mereka mencoba memberikan pemahaman tentang rasa kebangsaan.[1] Sejak saat itu pola perjuangan bangsa Indonesia berubah, tidak lagi bersifat kedaerahan, namun mulai muncul rasa kebersamaan antar satu sama lain. Alhasil, sejak tahun 1908 sejarah Indonesia memulai babak baru, yaitu babak pergerakan nasional. Hal itu ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo, organisasi yang merupakan wadah pergerakan bagi tokoh-tokoh nasional dalam berinteraksi dan menyalurkan aspirasi di masa awal pergerakan nasional Indonesia.
Berdasarkan periodesasinya, masa pergerakan nasional di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga masa yaitu masa kooperatif,  masa radikal,  dan terakhir disebut masa bertahan. Tiga tahun setelah Boedi Oetomo lahir, tahun 1911 berdiri organisasi bagi orang-orang Islam di Indonesia, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo oleh Haji Samanhudi. Lalu namanya diubah menjadi Sarekat Islam untuk menarik anggota lebih banyak. Selain organisasi yang disebut di atas masih banyak organisasi lain yang didirikan baik bersifat kooperatif maupun radikal. Tetapi tujuan dari organisasi tersebut hampir sama yaitu kemerdekaan Indonesia walaupun tidak terang-terangan diungkapkan. Banyak sekali organisasi radikal yang melakukan aksinya. Namun, Gubernur Jenderal pada saat itu sangat reaksioner terhadap pergerakan, maka organisasi-organisasi pada masa itu dinyatakan terlarang dan tokoh-tokohnya diasingkan. PNI merupakan organisasi terakhir yang sekaligus menandai berakhirnya masa pergerakan radikal.
Dalam tulisan ini kami akan mencoba menggambarkan mengenai permulaan sikap lunak kaum nasionalis bangsa dengan mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda (kooperatif). Namun, dengan tujuan yang sama yang tidak tergoyahkan, menuju Indonesia Berparlemen, dan Indonesia merdeka. Berdasarkan buku Sejarah Nasional Indonesia jilid 5 yang kami pakai sebagai rujukan utama, penulisan ini diawali dengan berbagai aktivitas yang dilakukan pada masa bertahan: pembentukan fraksi nasional, sebuah organisasi pergerakan yang berada dalam tubuh organisasi buatan Belanda (volksraad), yang tetap berjuang bagi terciptanya kemerdekaan nasional sesingkat-singkatnya, Petisi Soetardjo yang bertujuan mengusahakan pemberian pemerintahan yang mandiri kepada Indonesia. Dan pembentukan GAPI sebagai Pembina kerja sama antarpartai politik yang dengan semboyannya “Indonesia Berparlemen”. Yang jelas tidak menuntut kemerdekaan penuh, melainkan suatu parlemen yang berdasarkan kepada sendi-sendi demokrasi.[2]


BAB II
ISI
A.         Masa Bertahan
        Pada masa awal tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia mengalami masa krisis. Keadaan seperti itu disebabkan beberapa hal. Pertama, akibat krisis ekonomi atau malaise yang melanda dunia yang memaksa Hindia Belanda untuk bertindak reaksioner dengan tujuan menjaga ketertiban dan keamanan. Dalam rangka kebijakan itu, pemerintah Hindia Belanda membuat peratuaran-peraturan yang digunakan untuk menindas pergerakan nasional:[3]
1. mengeluarkan beberapa pasal karet dari kitab undang-undang pidana yang dapat dengan mudah menjerat pembicara di rapat-rapat atau penulis di surat kabar yang kata-katanya menyindir, samar-samar, dan mengganggu keamanan umum.
2. exorbitante rechten yang artinya hak kekuasaan yang luar biasa dari Gubernur Jendral mengenai externering (mengusir keluar Hindia Belanda), Internering (mengasingkan), dan verbanning (melarang seseorang untuk tinggal). Contohnya seperti pengasingan kepada Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.
3. penindasan hak berserikat, yang dimuat dalam Keputusan Raja (Koninklijk Besluit) tanggal 17 Desember 1918, dalam pasal tiga melarang:
a. yang beradanya atau tujuannya dirahasiakan,
b. yang oleh Gubernur Jendral dinyatakan bertentangan dengan keamanan umum. Misalnya PKI dan sarikat Rakyat yang terkena larangan sub.b tahun 1927.
4. Sirkuler-Pemberangusan (Muilkorf-Circulaire), oleh Gubernur Jendral ditetapkan tanggal 27 Septeber 1919 yang  melarang pegawai negeri melahirkan pikirannya dengan lisan dan tulisan. Sanksinya adalah bagi siapa yang melanggar atau dianggap melangggar, ddipindahkan ke tempat terpencil, diturunkan jabatannya, bahkan bisa dicopot jabatannya.
        Hal di atas menjadi semakin parah ketika Hindia Belanda diperintah Gubernur Jenderal yang konservatif dan reaksioner yaitu de Jonge (1931-1936). Periode awal 1932 sampai dengan pertengahan 1933 tidak hanya ditandai oleh perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha pengintegerasian organisasi-organisasi nasionalis, tetapi juga oleh aksi politik yang semakin meningkat terutama sebagai dampak politik agitasi yang dijalankan oleh Soekarno. Tetapi dalam hal ini, Gubernur Jenderal de Jonge secara konsekuen menjalankan politik “purifikasi” atau “pemurnian” artinya menumpas segala kecenderungan ke arah radikalisasi dengan agitasi massa dan semua bentuk nonkooperasi. Dengan tangan besinya, Gubernur Jenderal de Jonge hendak mempertahankan otoritasnya, sehingga setiap gerakan yang bernada radikal atau revolusioner tanpa ampun ditindasnya dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggung jawab atas keadaan di Hindia Belanda, dan baginya dibayangkan bahwa pemerintah Belanda telah memerintah selama 300 tahun dan selama 300 tahun berikutnya pemerintah itu masih akan tegak berdiri. Politik represifnya berhasil menghentikan gerakan politik nonkooperasi (radikal-revolusioner) sama sekali.
            Pemerintah Belanda memang tidak secara langsung melarang setiap perkumpulan, namun dengan vergaderverbond (larangan berkumpul) membuat sulitnya memulihkan semangat mengenai cita-cita nasional. Karena terlalu riskan kalau pemerintah mengeluarkan peraturan yang dengan tegas melarang segala bentuk perkumpulan. Ditakutkan akan adanya perebutan secara eksplosif dari rakyat Indonesia. Ditambah lagi di Eropa sedang giat-giatnya paham demokrasi digalakkan.
            Di sisi lain, adanya ancaman dari Jepang yang mulai menjalankan politik ekspansionisme di daerah Pasifik. Maka mulailah melunak hubungan di antara keduanya, di samping soal menjunjung demokrasi, adalah kerja sama dalam mengahadapi ancaman dari fasisme Jepang. Oleh karena itu, mulai timbul kesadaran untuk berkooperasi di pihak kaum nasionalis dengan pemerintah Hindia Belanda. Kesadaran itu muncul lebih dahulu di kalangan Perhimpunan Indonesia yang pada awalnya memang berhaluan kooperatif. Di samping itu pula, adalah menjaga eksistensi perjuangan pergerakan bangsa yang kian terciutkan dengan peraturan-peraturan buatan Belanda. Oleh karena itu, masa pergerakan ini disebut masa bertahan.

B.   Aktivitas Gerakan Selama Masa Bertahan
            Sejak tahun 1930-an, peran lembaga parlemen buatan kolonial (volksraad) makin meningkat. Satu-satunya organisasi yang benar-benar menyuarakan suara tiap-tiap golongan melalui perwakilannya. Dalam kisaran tahun 1930-an Indonesia menjalankan politik yang moderat, yang mulai bersikap lunak terhadap pemerintah dengan mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda. Memang kalau dilihat, hanya organisasi inilah yang bisa lolos dari intaian pengawas-pengawas yang menjalankan peraturan ketat bagi organisasi yang berisikan orang pribumi. Dan memang melalui lobi-lobi politik lah sarana yang tepat bagi waktu itu, ketimbang dengan organisasi yang bermasa besar. Yang mengusahakan perbaikan dengan jalan yang halus dari dalam, ketimbang dengan pengerahan masa pada waktu-waktu sebelumnya.
            Di dalam tubuh oraganisasi itu lah, sebuah fraksi nasional muncul. Fraksi ini ketuai oleh MH. Thamrin yang hanya terdiri dari 10 orang dari wakil tiap golongan di volksraad yang terdiri dari perwakilan daerah Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Dengan sebuah cita-cita besar yang diusungnya, yaitu menjamin adanya kemerdekaan nasional dalam waktu sesingkat-singkatnya, dengan jalan:
1.      mengusahakan perubahan ketatanegaraan
2.      berusaha menghapus perbedaan-perbadaan politik, ekonomi, dan intelektual sebagai antitesis kolonial
3.      mengusahakan kedua hal tersebut dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.[4]
            Tindakan pertama yang mereka lakukan adalah upaya pembelaan atas tokoh-tokoh PNI yang ditangkap pemerintah Belanda. Menurut MH. Thamrin penggeledahan dan pengangkapan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan bahkan banyak orang-oarang yang bukan anggota PNI ikut digeledah. Dengan peristiwa ini terbukti bahwa pemerintah tidak adil dan berbuat curang terhadap organisasi pergerakan Indonesia. Segala tindakan preventif pemerintah adalah karena pasal 169 swb, 153 bis, dan 161 bis. Oleh karena itu, ia mengajukan mosi terhadap pasal-pasal tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan pembuatan komisi yang bertugas untuk meninjau kebali pasal-pasal tersebut. Namun, pada akhirnya usul itu ditolak dengan alasan bahwa majelis tertinggi (Hooggerecthscof) tidak menangani bukti-bukti yang sifatnya berkenaan dengan hukum pidana.[5]
            Sementara itu, dalam masalah lain, ada kegiatan penaikkan biaya anggaran di bidanng pertahanan demi meingkatkan system pengamanan. Maksud ini ditentang oleh anggota fraksi nasional karena menurut mereka, penaikkan anggaran itu tidak tepat sasaran karena peningkatan keamanan dari pihak mana sedangkan status Indonesia adalah sebuah wilayah jajahan. Oleh karena itu lebih baik dana tersebut digunakan untuk meingkatkan kesejahteraan sosial. Rencana tersebut sangat bertentangan dengan kondisi yang ada, mengingat pula keadaan dunia yang sedang dalam keadaan malaise.
            Bahkan, Thamrin dan anggota-anggota lain mengancam akan keluar dari volksraad ketika masalah tentang diberlakukannya peraturan mengenai sekolah-sekolah liar oleh pemerintah. Kalau sampai hal itu terjadi, tidak lah lagi berguna parlemen buatan Belanda itu yang tidak diduduki oleh perwakilan pribumi. Pada akhirnya, peraturan tesebut dicabut oleh pemerintah Belanda.
            Peristiwa penting lainnya adalah sebuah gagasan yang dicetuskan oleh Soetardjo Kartohadikusumo, seorang wakil ketua volksraad dan ketua Persatuan Pegawai Bestur/Pamongpraja Bumiputra (PPBB) pada bulan Juli 1936. sebuah usul yang dikenal dengan nama Petisi Soetardjo yang berisi permohonan agar diadakan suatu rapat untuk membicarakan rencana-rencana perkembangan evolusioner untuk Indonesia selama satu periode sepuluhtahunan ke arah pemerintahan sendiri dalam batas undang-undang dasar belanda yang sudah ada.[6] Landasan usul itu adalah pasal 1 undang-undang dasar kerajaan belanda yang berbunyi bahwa kerajaan belanda meliputi Nederland, hindia belanda, suriname, dan curacao; dan yang menurut pendapatnya keempat wilayah tersebut dalam kerajaan Nederland mempunyai derajat yang sama. Dukungan dari banyak golongan suku bangsa dan agama, menurut soetardjo mencerminkan golongan-golongan tersebut.[7]
            Usul mengenai perubahan mengenai susunan ketatanegeraan ini muncul karena adanya perasaan tidak puas rakyat terhadap gubernur jendral de Jonge. Apalagi menurut soetardjo, hubungan yang baik harus terjalin antara hindia dengan pemerintah kerajaan belanda demi menghadapi ancaman perang pasifik.
            Adapun tuntutan-tuntutan perubahan yang diinginkannya adalah sebagai berikut:
-        pulau Jawa dijakdikan satu provinsi, sedangkan daerah-daerah di luar Pulau Jawa dijadikan kelompok-kelompok daerah yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi.
-        Sifat dualisme dalam peemrintah daerah dihapus.
-        Gubernur jendral diangkat oleh raja dan mempunyai hak kekebalan
-        Direktur depaetemen mempunyai tanggung jawab
-        Volksraad dijadikan parlemen sesungguhnya
-        Raad van Indie: anggota-anggota biasa dan seorang vice president diangkat oleh raja; di samping itu ketua dan wakil volksraad sebagai anggota mempunyai hak suara
-        Dibentuk dewan kerajaan sebagai badan tertinggi antara antara belanda dan Indonesia, yang anggota-anggotanya terdiridari wakil-wakil kedua daerah dengan satu pimpinan yang diangkat, pimpinan mana bukan seorang mentri atau direktur atau salah seorang dari ketua parlemen
-        Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahirannya, asal-usul dan cita-citanya adalah untuk Indonesia. Terhadap orang asing yang dilahirkan di sini diadaka seleksi yang ketat.[8]
            Usul ini dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerkan umumnya mendapat reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda. Golongan reaksioner Belanda, Vaderlandsche Club berpendapat bahwa Indonesia belum mampu unutk berdiri sendiri. Tetapi ada juga pihak-pihak Belanda yang menyutujui petisi dengan mengirimkan surat kepadanya. Di kalangan Indonesia sendiri ada yang pro dan kontra beberapa anggota volksraad berpendapat usul petisi kurang jelas, kurang lengkap, dan tidak memiliki kekuatan.
            Banyak pendapat yang mengiringi perjuangan tuntutan petisi sutardjo ini, tetapi yang dimaksud olehnya adalah keadaan dalam negeri bukanlah masalah primer tetapi sekunder. Masalah yang poko adalah hubungan kerajaan anatara negeri Belanda dengan Indonesia harus berdiri sendiri sehingga dapat berkembang ke arah yang lebih maju. Sedangkan masalah-masalah yang bersifat internasional dan yang menjadi kepentingan bersamaakan tetap diurus oleh kerajaan. Namun pada akhirnya, petisi soetardjo ditolak oleh ratu Belanda pada bulan November 1938.

C.   Strategi Kooperatif Pergerakan Nasional Indonesia
Antara tahun 1930-1936 wajah pergerakan nasional Indonesia memperlihatkan suatu kemerosotan pada aksi-aksinya. Krisis ekonomi karena pecahnya perang pasifik dan tindakan keras dari pemerintah belanda terhadap gerakan non-kooperasi tak lain adalah penyebabnya. Sesudah tahun 1930-an  organisasi-organisasi pergerakan nasional di Indonesia seaakan telah berada pada titik nadirnya. Sehingga, akibat dari Kebijakan-kebijakan dan sikap pemerintah belanda yang sangat reaksioner di bawah kepemimpinan Jendral de Jonge tersebut, golongan kooperator sepakat menciptakan kerjasama yang lebih terorganisir.
Budi Utomo (BU) pada akhir tahun 1920-an menjadi radikal dalam artian bahwa organisasi itu berubah menjadi perkumpulan Indonesia, tidak hanya orang Jawa yang diterima dalam organisasi tersebut, pada tahun 1927 BU menyatakan bahwa yang diterima menjadi angotanya adalah orang-orang Indonesia dari Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan rakyat Indonesia lainnya yang mempunyai persamaan kebudayaan. [9] Sangat pesatnya jalan pengaruh aliran persatuan Indonesia dalam kalangan BU (yang antara lainnya menimbulkan cita-cita pemusatan  tenaga kebangsaan dengan lebih sempurna) . Dalam kongres BU tahun 1932, diterima usul untuk mendasarkan fusi pada nasionalisme  Indonesia untuk Indonesia bersatu dan berdaulat. Ternyata pula pada keputusan kongres tersebut memperhasil usulan untuk menerima suatu badan persatuan (fusi) dengan perkumpulan lain-lain yang juga berdasarkan kooperasi.[10] Namun nampaknya baru bulan juli 1934 setelah rapat Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) secara tegas diungkapakan bahwa BU akan berfusi dengan PBI. Akhirnya dalam suatu kongres fusi yang diadakan di Solo, Desember 1935 BU dan PBI berfusi dan lahirlah partai baru yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra). Dr. Sutomo berkesempatan menjadi ketua partai baru tersebut. Beberapa pemimpin terkenal seperti MH Thamrin (dari kaum betawi), Mr Sunaryo dan Mr. Iskaq Cokroadisuryo (dari Partindo) masuk dalam partai baru itu.
Seperti halnya organisasi-organisasi yang meleburkan diri tersebut, Parindra menganut politik perjuangan kooperasi. Menurut Anggaran Dasarnya (pasal 2) partai itu bertujuan “Indonesia Raya”[11] dan untuk mencapai tujuan itu berbagai cara dilakukan, antara lain adalah dengan memperkuat semangat persatuan, menjalankan aksi politik untuk memperoleh hak-hak politik seluas-luasnya dan tercapainya suatu sistem pemerintahan yang berdasarkan atas demokrasi dan nasionalisme, dan memajukan peri kehidupan rakyat dalam bidang sosial dan ekonomi.[12]
         
D.   Gabungan Politik Indonesia (GAPI)

GAPI adalah organisasi yang merupakan kerjasama partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang terbentuk pada tanggal 21 Mei 1939 atas usul Mohammad Husni Thamrin, dalam rapat pendirian konsentrasi nasional yang diadakan di Jakarta. Anggotanya terdiri dari: Parindra, Gerindo, Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII, PII, dan Perhimpunan Politik Katholik Indonesia. Pengurus pertamanya adalah Muhammad Husni Thamrin, Mr Amir Sjarifuddin dan abikusno Tjokrosuyoso. Walaupun GAPI merupakan organisasi kerjsama program kerja tetap berdasarkan partai masing-masing. Karena GAPI hanya merupakan wadah untuk bekerjasama. GAPI tidak menuntut  kemerdekaan penuh terhadap kekuasaan Belanda yang masih menduduki Indonesia pada saat itu, namun  keinginan GAPI dinilai terlalu dini untuk direalisasikan, parlemen Belanda menganggap Indonesia belum siap untuk itu. GAPI dikenal radikal dalam pelaksanaan misinya karena GAPI terdiri dari semua lapisan masyarakat yang tergabung dalam partai-partai politik.
Sebuah gagasan yang lahir dari pemikiran Mohammad Husni Thamrin, di mana berdirinya GAPI disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:  
1.  Kegagalan Petisi Sutardjo
2.  Kepentingan internasional dalam membendung fasisime
3.  Sikap pemerintah yang dinilai kurang memperhatika kepeningan rakyat Indonesia.
Untuk pertama kalinya pimpinan dipegang oleh Muhammad Husni Thamrin, Mr. Amir SyarifuddinAbikiusno Tjokrosuyoso.
Di dalam anggaran dasar di terangkan bahwa GAPI berdasar kepada:
1.     Hak untuk menentukan diri sendiri
2.     Persatuan nasional dari seluruh, bangsa Indonesia dengan berdasarkan kerakyatan dalam paham politik, ekonomi dan sosial.
3.     Persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia
Di dalam konfrensi pertama GAPI pada tanggal 4 Juli 1939 dibicarakan mengenai semboyan GAPI, yaitu “Indonesia Berparlemen”. GAPI tidak menuntut kemerdekaan penuh seperti apa yang sudah dikatakan di atas, melainkan suatu parlemen yang berdasarkan sendi-sendi demokrasi. GAPI juga mengeluarkan manifest GAPI yang berisikan menolak gerkan fasisime dan mengajak rakyat  Indonesia dan Belanda untuk melawannya. Selanjutnya GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Kongres Rakyat Indonesia diresmikan sewaktu diadakannya pada tanggal25 Desember 1939 di Jakarta. Tujuannya adalah "Indonesia Raya" bertujuan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan kesempatan cita-citanya. Dalam kongres ini berdengunglah suara dan tututan "Indonesia berparlemen".Keputusan yang lain yang penting diantaranya, penerapan Bendera Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia dan peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia. pada tanggal 5 Februari dan 5 Maret 1940 yang menyatakan bahwa tuntutan Indonesia berparlemen akan diteruskan sampai berhasil. Aksi lainnya yang dilakukan GAPI antara lain adalah dengan mengeluarka resolusi yang menuntut diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan menggunakan hokum tatanegara dalam masa genting (nood staatsrecht). Isis resolusi tersebut yaitu mengganti volksraad dengan parlemen sejati yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, merubah fungsi kepala-kepala departemen (departemenshoofden) menjadi menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen tersebut. Tuntutan ini dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, volksraad, Ratu Wilhelmina, dan cabinet Belanda di London. Atas dasar itulah maka pada tanggal 14 September 1940 dibentuklah komisi untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan (Commissie totbestudeering van staatsrechtelijke). Komisi ini diketuai oleh Dr. F.H Visman, selanjutnya dikenal dengan nama Komisi Visman. Pada awal pembentukannya, kalangan pergerakan mempertanyakan keberadaan kegunaan komisi itu. Akhirnya Komisi Visman menghasilkan laporan yang cukup tebal tentang berbagai tuntutan dan harapan-harapan rakyat Indonesia. Laporan itu terbit pada tahun 1942 hanya beberapa minggu sebelum kedatangan tentara Jepang ke Indonesia, sehingga laporan tersebut tidak jelas nasibnya. Pada tanggal 14 Februari 1941 di gedung Raad Van Indie di Jakarta diadakan pertemuan antara wakil-wakil GAPI dengan Komisi Visman yang bertujuan untuk memperjelas tuntutan. Namun pertemuan yang diharapkan menghasilkan sesuatu yang baru ternyata mengecewakan dan tidak menghasilkan apa-apa. Ini menimbulkan tanggapan bahwa GAPI  tidak konsisten dalam mencapai tujuannya.
Pergerakan GAPI makin sulit dengan adanya peraturan wajib bela (inheemse milittie), ditambah lagi pemerintah kolonial memperketat izin mengadakan rapat-rapat.

  1. Sikap Pemerintah Kolonial Di akhir Masa Pendudukannya
            Dalam menanggapi berbagai bentuk petisi dan mosi dari berbagai tokoh pergerakan yang melakukan kooperasi di dalam volksraad, ternyata sikap pemerintahan kolonial sangat mengecewakan. Akibatnya bagi bangsa Indonesia ialah pada satu pihak jurang antara pemerintah dan rakyat semakin besar dan dipihak lain gerakan nasionalis semakin menyadari bahwa tidak dapat lagi orang menaruh harapan kepada penguasa kolonial. Jadi harus semakin berpaling kepada masyarakat sendiri. Pada saat Belanda dikuasai Jerman sedangkan di Asia terhadap ancaman Jepang semakin nyata, ternyata sikap pemrintahan Belanda tetap tidak berubah. Pemerintahan kolonial Belanda ternyata tidaklah sekhawatir yang diduga orang Indonesia mengenai situasi Internasional. Pemerintah kolonial meremehkan ancaman dari Jepang. Andaikata mereka takut kalah, tidak ada kemungkinan ketakutan ini akan mendorong para penguasa kolonial untuk merangkul kaum nasionalis, yang mereka benci dan curigai. Yang paling mungkin dijanjikan Belanda ialah untuk mempertimbangkan perubahan konstistusi setelah perang.














BAB III
PENUTUP
            Kesimpulan


Pada masa awal tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia mengalami masa krisis. Keadaan seperti itu disebabkan beberapa hal. Pertama, akibat krisis ekonomi atau malaise yang melanda dunia yang memaksa Hindia Belanda untuk bertindak reaksioner dengan tujuan menjaga ketertiban dan keamanan.
Sejak tahun 1930-an, peran lembaga parlemen buatan kolonial (volksraad) makin meningkat. Satu-satunya organisasi yang benar-benar menyuarakan suara tiap-tiap golongan melalui perwakilannya. Dalam kisaran tahun 1930-an Indonesia menjalankan politik yang moderat, yang mulai bersikap lunak terhadap pemerintah dengan mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda.
Di dalam tubuh oraganisasi itu lah, sebuah fraksi nasional muncul. Fraksi ini ketuai oleh MH. Thamrin yang hanya terdiri dari 10 orang dari wakil tiap golongan di volksraad yang terdiri dari perwakilan daerah Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalim.antan. Dengan sebuah cita-cita besar yang diusungnya.
Peristiwa penting lainnya adalah sebuah gagasan yang dicetuskan oleh Soetardjo Kartohadikusumo, seorang wakil ketua volksraad dan ketua Persatuan Pegawai Bestur/Pamongpraja Bumiputra (PPBB) pada bulan Juli 1936. sebuah usul yang dikenal dengan nama Petisi Soetardjo yang berisi permohonan agar diadakan suatu rapat untuk membicarakan rencana-rencana perkembangan evolusioner untuk Indonesia selama satu periode sepuluhtahunan ke arah pemerintahan sendiri dalam batas undang-undang dasar belanda yang sudah ada. Yang namun pada akhirnya, petisi soetardjo ditolak oleh ratu Belanda pada bulan November 1938.
GAPI adalah organisasi yang merupakan kerjasama partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang terbentuk pada tanggal 21 Mei 1939 atas usul Mohammad Husni Thamrin, dalam rapat pendirian konsentrasi nasional yang diadakan di Jakarta. Anggotanya terdiri dari: Parindra, Gerindo, Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII, PII, dan Perhimpunan Politik Katholik Indonesia.
Dalam menanggapi berbagai bentuk petisi dan mosi dari berbagai tokoh pergerakan yang melakukan kooperasi di dalam volksraad, ternyata sikap pemerintahan kolonial sangat mengecewakan. Akibatnya bagi bangsa Indonesia ialah pada satu pihak jurang antara pemerintah dan rakyat semakin besar dan dipihak lain gerakan nasionalis semakin menyadari bahwa tidak dapat lagi orang menaruh harapan kepada penguasa kolonial. Jadi harus semakin berpaling kepada masyarakat sendiri.







DAFTAR PUSTAKA

Ingleson, John. 1988. Jalan ke Pengasingan. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan
            dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Poesponegoro, Marwati Joened. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta:
            Balai Pustaka.
Pringgodigdo, A. K. 1991. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Suharto. 1996. Gerakan Rakyat Indonesia 1937-1942. Depok: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Tirtoprodjo, Susanto. 1970. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Pembangunan.



[1] Robert Van Niel, Elit Modern, Jakarta: Pustaka Jaya, 2009
[2] Marwati djoened dan nugroho notosusanto, sejarah nasional Indonesia V (balai pustaka, 1975), 231-232
[3] Susanto tirtoprodjo, sejarah pergerakan nasional Indonesia, cetakan kelima, 1970, 52-56
[4] Ibid. 218.
[5] Ibid. 219.
[6] George mcturnan kahin, nasionalisme dan revolusi di Indonesia (sinar harapan, 1995), 122
[7] Djoened, op. cit, 221
[8] Ibid, 222.
[9] Suharto, Gerakan Rakyat Indonesia 1937-1942, Fakultas Sastra UI Depok, 1966, hlm.16
[10] A.K. Pringdigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: IKAPI, 1991, hlm. 131
[11] Suharto, Op.Cit.
[12] Ibid, A.K. Pringdigdo hlm.134

Tidak ada komentar:

Posting Komentar