Jumat, 27 Juli 2012

DARI MOSCOW-BEIJING KE SOVIET-VIETNAM: Jejakan Awal Dominasi Uni Soviet Kepada Negara-Negara Dunia Ketiga


DARI MOSCOW-BEIJING KE SOVIET-VIETNAM:
Jejakan Awal Dominasi Uni Soviet Kepada Negara-Negara Dunia Ketiga
Muhammad Ridho Rachman, 0806343973
            Tenggelamnya negara-negara fasis pasca-Perang Dunia II mengembalikan perseteruan klasik antara dua kubu yang terpolarisasi secara alami. Blok Amerika Serikat di Barat dan  Blok Uni Soviet di Timur bersaing memperebutkan dominasi seluas-luasnya ke seluruh dunia. Ketegangan tanpa peperangan ini melahirnya sebuah ide baru yang dikenal luas dengan sebutan “Perang Dingin”. Saling menunjukkan eksistensi, penancapan pengaruh ideologi, perlombaan sistem teknologi senjata yang tidak ada habisnya itu selesai dengan pecahnya negara Uni Soviet sebagai pemimpin Blok Timur.
            Republik Rakyat Cina (PRC) yang beraliran komunis mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara merdeka pada tanggal 18 Agustus 1950. Pengaruh PRC di sebuah negara potensial itu menguatkan posisi Soviet sebagai pemimpin Blok Timur. Dari peristiwa tersebut, tugas penyebaran pengaruh Komunis dimasifkan ke Benua Kuning melalui tangan Cina yang berada di kawasan Asia.
Perubahan kekuatan di Cina yang sangat kuat dipengaruhi cara pandang Moskow terhadap kawasan Asia Tenggara, dan sebagai hasilnya, memaksa pimpinan Moskow memberikan perhatian lebih pada benua Asia. Jadi, selama dekade 1950, komunis mendapatkan kemenangan di Cina dan menjadikannya sebagai suatu negara baru yang berideologi komunis di benua Asia yang akan memberikan pengaruh yang sangat besar di masa depan sebagai pelaksana kebijakan-kebijakan Soviet di Vietnam.
Sebelumnya telah ada pertemuan pada Juli 1949. Yakni beberapa saat sebelum Kemenangan komunis di Cina, Liu Shaoqi, salah seorang letnan kepala Mao Zedong, membuat kunjungan rahasia ke Moskow. Selama pertemuan di Moskow, Liu dan Stalin membincangkan hubungan Moskow-Beijing dan peran Cina di masa depan. Salah satu pembahasan di dalamnya, Stalin mengusulkan bahwa Cina harus bertanggung jawab dalam membantu ‘kaum nasionalis dan pergerakan revolusi demokrasi di kolonial, semi-kolonial, dan negara subordinat. Ia menekankan bahwa Cina harus mengambil peranan lebih baik di Asia daripada Uni Soviet.(Olsen, 2006:xv).
            Bagaimanapun juga, kebijakan Soviet pada tahun 1950-an hanya fokus pada kawasan Eropa. Kepentingan mengenai Asia Tenggara, Soviet mendukung penuh kebijakan Cina yang salah satunya adalah bantuan kekuatan militer dan ekonomi kepada Vietnam Utara yang secara garis politik membentuk garis kebijakan Moscow-Beijing-Hanoi.
Dalam kerangka kebijakan luar negeri Soviet, peran Moskow di Vietnam tergolong hanya pasif pada awal-awal tahun kemerdekaan, didikte oleh hubungannya dengan Cina. Namun, kebijakan-kebijakan Soviet membuat Vietnam tergelincir secara khusus ke dalam pengaruh Cina. Kesimpulan umum adalah bahwa walaupun rendah kepentingan Soviet pada kawasan, Moskow memiliki pengaruh yang tinggi pada komunis Vietnam dan bahwa Hanoi tidak akan membuat suatu keputusan untuk melanjutkan perjuangan bersenjata untuk mereunifikasi Vietnam kecuali kalau sudah mendapat persetujuan Soviet dahulu.
Pada pidato dalam acara pendirian Communist Information Bureau (Cominform) pada September 1947 di Polandia, Andrei Zhdanov mengenalkan tesis yang disebut dengan “Dua Kamp”. Ia membagi dunia ke dalam dua kamp, imperialis di bawah Amerika Serikat dan Anti-Imperialis, sosialisme, dan damai. Dalam konteks DRV diasosiasikan dengan kamp Anti-Imperialis, dan perang Vietminh dimasukkan ‘pergerakan pembebasan nasional dari koloni dan ketergantungan’. Pidatonya tersebut merupakan suatu titik yang menentukan dalam strategi pasca PD II. Hal itu menyatakan suatu kebijakan yang menentukan oleh Stalin dan Komite Pusat CPSU dan sekiranya telah membangun persekutuan internasional selama Perang Dingin. (Olsen, 2006:5)
Sumber Soviet menjelaskan bagaimana pertemuan pertama antara pemerintah Soviet dan Vietnam pada awal musim semi 1947. Dari 23 Maret sampai 2 April pada acara Asian Relation Conference di New Delhi. Pada acara tersebut Soviet bertemu dengan Tran Van Giau, mantan Kepala Revolusi Agustus di Saigon dan Vietnam Selatan, yang memimpin delegasi Vietnam pada konferensi tersebut. Tran  menjelaskan situasi bencana di Vietnam dan permintaan dari Ho Chi Minh untuk bantuan Moskow. Ia menekankan bahwa masalah utama adalah kekurangan senjata. Pemerintah Vietnam terutama sekali membutuhkan uang untuk membeli senjata Cina.
Di sisi lain, masalah bagi Cina adalah pemimpin Beijing membutuhkan kontrol terhadap seluruh suplai yang dikirim ke DRV melalui perbatasan Cina. Cina meminta terutama sekali kontribusi besar terhadap penundaan kedatangan bantuan Soviet ke DRV. Penundaan tersebut menjadi jelas sekali terutama pada Maret 1956 ketika pemimpin DRV, mempercepat transfer militer ke Vietnam, khususnya meminta dengan menggunakan bantuan udara. Moskow setuju tapi Beijing menolak proposal tersebut. Kemudian diadakan pembicaraan antara Cina dan Soviet yang pada prinsipnya, Cina setuju-setuju saja dengan bantuan yang diberikan Soviet tapi mereka ‘mungkin tak menyetujui cara yang dilakukan Soviet’. Pham Van Dong juga menambahkan bahwa ia mendesak adanya negosiasi militer antara Soviet dan Cina mengenai pengangkutan senjata menggunakan kereta api. Kemudian, Moskow secara jelas berbalik haluan mengenai pandangannya bahwa harus membantu DRV untuk melawan agresi Amerika. Masalah utama sekarang adalah bagaimana menyusun bantuan yang cukup untuk DRV ketika pada saat yang sama menjaga alasan yang masuk akal untuk menjaga hubungannya dengan Cina.
Satu sisi Cina setuju dengan kebijakan Soviet yang berbalik haluan dan keputusan mereka membantu Vietnam, namun di sisi lain Cina segan dalam mengakomodir Soviet dalam memberikan bantuannya kepada DRV. Mereka merasa segan ketika suplai senjata Soviet melewati teritori Cina. Permasalahan dimulai pada Februari 1965 saat pasokan senjata Soviet tertahan di perbatasan Sino-Soviet. Untuk menyelesaikan masalah ini, ambasador Shcherbakov menyampaikan masalah ini ke Perdana Menteri Pham Van Dong, dan ia berjanji akan menyelesaikan itu tersebut.
Pemimpin DRV berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi, mereka sangat membutuhkan bantuan Soviet, di sisi lain, kasus Sino-Soviet membuat hubungannya dengan Cina menjadi rumit, dan mencegah bantuan Soviet mencapai Vietnam.
Menurut Gaiduk, setelah Konferensi Jenewa, Soviet berkeinginan kuat untuk ikut campur dalam permasalahan di Vietnam melalui sekutunya Cina. Dengan kata lain, membuat Cina sebagai agen Soviet di Asia. Bagaimanapun juga, akhir tahun 1950-an mendapati situasi Vietnam yang sangat sulit. Pemimpin Soviet menjanjikan bantuan militer kepada pimpinan Vietnam Selatan dalam usaha untuk mempersatukan seluruh Vietnam.
Satu tahun setelah Jenewa, Soviet fokus pada dua isu utama di Vietnam: pertama, rekonstruksi ekonomi sosial DRV, yang dalam hal ini, membangun sosialisme di Vietnam bagian selatan. Yang kedua, reunifikasi di antara dua zona di masa yang akan datang. Rakyat Vietnam diyakinkan bahwa Soviet, dan juga Cina, membentukkan suatu model yang dibutuhkan Vietnam untuk membangun negara dan ekonomi. Kemudian Soviet mengenalkan rencana tiga dan lima tahun untuk ekonomi DRV sesuai dengan model Soviet. Hal itu menjadi bukti bagaimana ideologi akan memainkan peranan sebagai bagian dari hubungan Soviet-Vietnam.
Tahap baru dalam hubungan Soviet-Vietnam dimulai tahun 1956. Kongres ke-20 Partai Komunis Soviet memberikan akibat secara langsung dan tidak langsung bagi hubungan keduanya. Efek yang paling jelas terlihat adalah direfleksikan dalam pembukaan garis kebijakan luar negeri baru Uni Soviet. Di dalamnya ditekankan kembali selama kongres, sebuah kebijakan luar negeri yang baku dengan menekankan pada ‘peaceful coexistence’ (hidup damai secara berdampingan) yang menyebabkan alasan utama di samping kebijakan Soviet yang tidak tegas pada implementasi politik berdasarkan Persetujuan Jenewa. Efek tidak langsung adalah implikasi ideologi yang membuka kesalahan-kesalahan Stalin selama kongres dan itu merefleksikan pada hubungan Sino-Soviet.
Satu pondasi utama hubungan Soviet-Vietnam adalah memfungsikan hubungan ekonomi dan militer Sino-Soviet. Walaupun dengan menandatangani beberapa kesepakatan ekonomi dan militer di antara Uni Soviet dan DRV, para pemimpin Soviet cenderung untuk meninggalkan sebagian besar bantuan ke Cina.
Ditutupnya hubungan di antara Soviet dan Cina di Vietnam selama paruh kedua tahun 1950-an menimbulkan masalah yang sangat besar. Pertanda awal keretakan hubungan antara Moskow dan Beijing dimulai saat Ho Chi Minh membangun hubungan secara langsung dengan Uni Soviet. Hal itu membuat ia berhasil menjaga keseimbangan pengaruh yang diberikan pada kedua negara tersebut yang tengah mengalami percekcokan ideologi.(Jstor.org, Chen, 2010:1035). Walaupun pemimpin Vietnam secara pandangan politik semakin dekat ke arah Soviet, dalam isu pertentangan ini serta konsentrasi penuh kepada masalah perjuangan Vietnam—interpretasi mengenai peaceful coexistence—mengindikansikan kesepakatan dengan Cina. (Keleman, 1984:336)
Penambahan kekuatan militer dan pengaruh politik Soviet di Vietnam menggambarkan tren umum hubungan Soviet-Dunia Ketiga. Walaupun dalam teknologi persenjataan, Soviet kalah dari negara-negara Barat, penanaman bantuan ekonomi yang kuat kepada negara Dunia Ketiga membuatnya berhasil dalam mentransfer pengaruh politik. Pengaruh ini sangat terlihat pada Vietnam, di mana negara tersebut sangat bergantung dalam bidang ekonomi dan militer kepada Soviet. Suplai senjata menjadi instrumen dalam pembangunan ekonomi yang kuat dalam hubungan kedua negara tersebut. Hal ini terlihat dalam perkembangan Veitnam selanjutnya, ketika negara ini masuk dalam organisasi COMECON pada tahun 1978. Organisasi bentukan Soviet yang membantu negara berkembang dalam Blok Soviet. Organisasi yang dibuat Stalin pada tahun 1949 dalam menyaingi Marshall Plan bentukan Amerika. (Olsen, 2006:45).


Daftar Pustaka
Chen, King North Vietnam in the Sino-Soviet Dispute, 1962-64 2010 Journal Digital Publishing
Olsen, Mari. 2006. Soviet-Vietnam Relations and The Role of China, 1949-64. New York: Routledge.
Kelemen, Paul. 1984. Soviet Strategy in Southeast Asia: The Vietnam Factor. University of California Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar