Sabtu, 04 Agustus 2012

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER Mengulas Buku “Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi” Karya Heater Sutherland


TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER
Mengulas Buku “Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi” Karya Heater Sutherland
Mata Kuliah Sejarah Birokrasi
Muhammad Ridho Rachman, 0806343973
PENDAHULUAN
Terbentuknya sebuah elite birokrasi adalah sebuah kajian penulisan sejarah sosial yang luar biasa dari sejarawan Belanda, Heather Sutherland. Pada tahun penulisan ini, ia keluar dari mainstream tulisan sejarah yang ada. Biasanya tulisan-tulisan populer yang lahir adalah mengenai gerakan nasionalis, gerakan revolusi, atau masyarakat Asia tanpa kolonialisme di mana negara-negara Asia tersebut telah merdeka. Rata-rata penulisan dililhat dari sudut pandang Barat. Namun, dalam kasus tulisannya, Sutherland mencoba menggalinya dari berbagai sumber yang dikenal dengan Indonesia Sentris.
Sebenarnya Sutherland hanya mencoba meneruskan aliran penulisan yang telah dirumuskan oleh gurunya, Harry Benda. Ia meneliti mengenai Pangreh Praja, elite birokrasi pribumi, yang dibentuk di Hindia Belanda. Adalah sistem kontrol negara jajahan yang sangat efektif bermula dari pengkajian mendalam bahwa Hindia Belanda telah memiliki suatu sistem pemerintahan sendiri yang dengan membiarkannya tetap ada maka kontrol lebih mudah dan efisien.
Dikatakan bahwa sistem pemerintahan indirect rule oleh kekuasaan kolonial cukup dengan mendudukan para pangreh praja yang dengan simbol-simbol penguasa tradisional mampu menjadi kaki tangan yang baik bagi pemerintah kolonial. Tentu sistem yang diterapkan pada sebuah negeri jajahan merupakan sistem yang sangat berbeda dengan lainnya yang misalkan di Birma, Inggris menghapus bersih sistem kerajaan dan elite birokrasi tradisional yang ada yang kini menjadikan Birma seperti sekarang ini.
Tentu pilihan pada sistem ini sangat beralasan, VOC yang pada masa itu bukan lah suatu badan militer yang mempunyai cukup kekuatan untuk menancapkan kekuatan militernya di seluruh Hindia (Jawa dalam hal ini). Kemudian dengan mendudukan elite birokrasi pangreh praja, kekuatan kolonial sangat menyentuh akar rumput dimana elite-elite menjalankan dengan baik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.
Buku ini mencoba menelaah bagaimana pandangan Belanda mengenai sifat Asia dari tata pemerintahan Jawa dikombinasikan dengan tujuan-tujuan praktis berjangka pendek untuk merusak hubungan antara priyayi dan petani. Pemimpin-pemimpin masyarakat dan pejabat-pejabat kerajaan diubah menjadi sekutu bawahan, kaki tangan, dan akhirnya menjadi alat politik dan birokrasi kekuatan asing. Dalam proses ini, priyayi kehilangan fungsi militernya dan pembatasan kegiatan ekonominya, mereka menjadi semakin bergantung pada kekuatan baru di Batavia daripada kemampuannya sendiri dalam bekerja.
Karena terikat oleh pembatasan-pembatasan kolonial dan ketidakmampuan menjawab tuntutan sosial ekonomi, pejabat pribumi ini pada akhir abad ke-19 merupakan elite yang tercerabut. Gaya hidup kebudayaannya yang tinggi dan berlebihan itu bisa dikatakan adalah sebab ketidakmampuan dibanding sebuah peninggalan kebudayaan Jawa.
Pemerintah sipil pribumi merupakan penghubung yang efektif antara rakyat dan pemerintah Belanda, dan bagaimana hubungan ini berjalan adalah masalah penting untuk mengerti hubungan antara pemerintah kolonial dan penduduk pedesaan. Lebih lagi ternyata pemerintah pribumi merupakan penerus dan pelindung tradisi-tradisi aristokrat, mereka adalah kelanjutan dari kelas lama yang berkuasa dan merupakan sumber utama dari elite Jawa di zaman modern. Dengan demikian maka sipil ini memainkan peranan yang penting dalam sejarah sosial dan politik Indonesia.
Dalam tulisan ini kemudian memperlihatkan perkembangan dari elite sipil pribumi tersebut, bagaimana perannya bergeser dari kekuatan utama di masing-masing wilayah menjadi kekuatan penyambung bagi kebijakan-kebijakan kolonial dan mereka seakan menginduk pada kekuatan besar di Batavia yang menjadi pusat kebijakan seluruh Hindia Belanda.



RINGKASAN
BAB I: POLA-POLA POLITIK DAN PEMERINTAHAN
Kepegawaian sipil pribumi pada masa akhir kolonial Hindia Belanda mengalami perubahan yang mendasar. Pangreh praja “Penguasa Kerajaan”sebuah kekuasaan yang tidak lagi sekuat dahulu karena dalam artian kolonial, mereka dianggap sebatas “Inlandsch Bestuur” pemerintahan pribumi, suatu tingkatan yang lebih rendah dari pemerintah setempat. Pejabat-pejabat pemerintah itu memang merupakan kelas penguasa yang ditakuti sekaligus dikagumi, tetapi mereka itu merupakan wakil-wakil bawahan dari sebuah kekuatan asing.
Masing-masing kelompok memiliki kepentingan-kepentingan yang sudah mapan, tradisi dan kebijaksanaan yang diakui kebenarannya, nilai-nilai, persepsi serta prasangkanya sendiri. Dengan demikian bukan hanya rezim kolonial dan fungsi birokratis kepegawaian sipil itu saja yang harus dipertimbangkan melainkan juga dasar-dasar budaya dan intelektual BB dan pangreh praja.
Hubungan antara priyayi dengan pejabat Eropa tumbuh dari adaptasi sehari-hari terhadap lingkungan VOC yang mengutamakan masalah ekonomi. Pejabat Belanda menentukan kebijakan, sedangkan pejabat pribumi bekerja sama dengan rakyat memproduksi barang dagangan. VOC hanya memiliki kepentingan yang sempit, VOC hanya mendesak keras agar para bupati mengakui kedaulatannya. Gaya upacara kebesaran pemimpin-pemimpin pribumi dipertahankan, dan mereka tetap meneruskan tata cara kehidupan sesuai tradisi.
VOC akhirnya runtuh pada akhir abad ke-18 karena keadaan keuangan yang parah. Setelah itu nasib Jawa jatuh ketangan pemerintah Kolonial Belanda. Di bawah Deandles dan Raffles, gaya kepemimpinan VOC diubah keluar dari tradisi yang sebelumnya. Deandles menjalankan kebijakan pemusatan kekuasaan di batavia dan perketat administasi keuangan atas pemimpin pribumi. Raffles melanjutkan dengan penempatan wakil-wakil pemerintah di tengah-tengah rakyat. Kemudian reformasi kewajiban pembayaran pajak oleh rakyat menggantikan wajib kerja. Namun, karena waktu yang pendek memerintah, perubahan kearah revolusioner mengendur kembali. Walaupun demikian, pada masa kedua gubernur jendral itu, kedudukan bupati berada pada titiknya yang terendah.
Pada taraf permulaan menuju birokratisasi ada keyakinan bahwa dengan mempertahankan prestise pejabat pribumi merupakan unsur kunci dalam kekuatan kontrol di zaman kolonial. Namun, pendidikan bagi para pejabat pribumi merupakan hal yang penting, yakni bagi persiapan menuju gaya-gaya birokrasi baru maupun menggerakan mereka lebih erat dengan pemikiran Batavia dan sikap-sikap Eropa. Mulailah masuk pendidikan-pendidikan Barat seperti Hoofdenscholen, Opleidingsscholen voor Inlandsche Ambtenaren, dan OSVIA.

BAB II: PRIYAYI PEMERINTAH: GAYA HIDUP DAN KEBUDAYAAN SOSIAL
Di jawa tidak terdapat satuan tunggal pemerintahan pribumi, terlebih lagi terdapat sekitar dua puluh badan-badan yang terpisah, seperti setiap karesidenan mempunyai pemerintah priyayi dengan hierarkinya sendiri. Para bupati dan priyayi sering dilukiskan sebagai wakil dari kebudayaan kota dan mereka memang membentuk bagian dari lapisan sosial dan budaya supradesa Jawa ini. Namun, tidak semua para bupati itu kosmopolitan yang merasa sama seperti di rumah sendiri, baik bila berada di kota-kota pelabuhan dunia maupun bila berada di keraton yang sangat halus tata caranya. Kebanyakan mereka lebih menyerupai bangsawan desa daripada aristokrat istana.
Hampir semua bupati di abad ke-19, melakukan poligami, mempunyai istri utama, raden ayu atau padmi, yang derajatnya setara dengan sang Bupati dan biasanya putri dari bupati lain. Ia mungkin istri pertama (atau mungkin tidak), tergantung urutan waktu menikah sang Bupati. Kemudian terdapat istri-istri kedua yang disebut selir atau ampeyan. Agama Islam memperbolehkan seorang lelaki beristri empat pada setiap saat, dan karena perceraian mudah dilakukan maka menjadi sangat mungkin seorang bupati untuk mempunyai lebih dari empat orang istri selama hidupnya.
Perkawinan antarbupati adalah hal yang biasa, teristimewa dalam satu karesidenan, sehingga terciptalah suatu hubungan jaringan kerja yang luas yang berpusat pada bupati. Merupakan kecenderungan yang umum kalau anak-anak yang lahir dari istri utama dikawinkan dengan keluarga sesama bupati. Sedangkan anak-anak dari selir biasanya dikawinkan dengan priyayi yang lebih yunior dalam kedudukannya di karesidenan itu sendiri.
Di dalam lingkup kabupaten, para bupati hidup megah, walaupun tidak semegah bupati zaman VOC. Namun masih mampu mendatangkan kesan bagi pengamat-pengamat Eropa maupun Jawa, sebagaimana yang memang dikehendaki. Kesempatan pertama para bupati mempertontonkan kemewahannya adalah saat pesta pelantikan sebagai bupati. Biasanya dalam pesta tersebut disediakan hidangan makanan minuman dan hiburan pada suatu resepsi, yang pertama diperuntukan bagi golongan Eropa, orang Cina dan priyayi, kemudian baru untuk rakyat umum.
Pesta besar tersebut merupakan awalan dari rentetan pesta besar yang ‘mesti’ dilakukan para bupati dalam bentuk penyelenggaraan pesta perjamuan. Perayaan besar berikutnya meliputi perkawinan, khitanan, atau penerimaan gelar—tanda kehormatan baru—dan keberhasilan-keberhasilan lainnya yang ia capai. Dalam kebudayaan Eropa pun biasanya para bupati ikut merayakan seperti ulang tahun ratu, kedatangan suatu tamu kehormatan (Eropa). Semua itu patut diadakan perayaan yang tidak lah sederhana.
Status sosial priyayi menengah diperlihatkan dalam bentuk ukuran perayaan yang diselenggarakan seta hak yang dianggap wajar mesti ia terima. Hal itu terkait kebaikan jasa-jasa yang telah menyelenggarakan pesta-pesta besar. Biasanya rakyat akan datang guna dimintai hal-hal yang diinginkan oleh sang Bupati. Misalnya, sepuluh hari sebelum perkawainan putri Wedana Blora pada tahun 1897, priyayi-priyayi setempat dan puluhan penduduk desa datang tanpa diminta berkumpul di rumahnya, petani dari desa membawa daun bambu dan nipa untuk membangun tarub serta mendiriakn tiang-tiang yang dihiasi lampu-lampu minyak berkaca warna-warni. Seminggu sebelum perkawinan, gamelan sudah mulai dibunyikan mengalun mengiringi temu-tamu dari jauh yang sudah mulai berdatangan. Dua hari sebelum perkawinan, hiburan pun dimulai wayang golek, tari topeng, tayuban, minum-minum, dan lain-lain.

BAB III: PANGREH PRAJA DAN BINNENLANSCH BESTUUR
Gambaran mengenai ikatan antara atasan dan priyayi bawahan—juga priyayi dengan rakyat—dikatakan sebagai kelanjutan dari hubungan kawula-gusti menurut tradisi klasik Jawa. Ini merupakan suatu ikatan antara perintah dan kepatuhan tanpa syarat, tetapi juga merupakan suatu ikatan yang bersifat sangat pribadi, yaitu ketergantungan sangat rapat antara kedua manusia. Teori seperti ini bisa sangat terlihat pada praktik magang seorang priyayi muda yang mulai memasuki dinas pemerintahan.
Masa magang seorang priyayi yunior tidak jelas. Ia bekerja tanpa dibayar. Biasanya ia bekerja sebagai juru tulis, tingkatan terendah dari pangreh praja. Ikatan yang terjalin antara pemagang kepada seorang pejabat adalah bagaimana ketulusannya mengabdikan diri. Begitu pula seorang atasan, semakin banyak orang yang magang kepadanya menunjukkan kewibawaan di mata masyarakat dan di antara para pangreh praja lain.
Sistem pendidikan dan seleksi telah lama berlaku di Jawa. Sistem ini juga berlaku bagi seseorang yang hendak mengabdikan diri di lingkungan keluarga-keluarga dan lingkungan keraton. Bagi priyayi, ini dinamakan nyuwita. Hadirnya sekolah-sekolah Barat dalam keseharian mereka, tidak mengubah pola tradisional ini. Malah timbul suatu pola kombinasi logis dari keduanya. Bupati dan priyayi berlomba-lomba menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Barat, menitipkan mereka di keluarga Barat selama mereka bersekolah. Tujuannya tetap sama: untuk menguasai ketrampilan sosial dan kedinasan yang diperlukan bagi kemajuan dari bangsa Eropa tersebut. Hal ini, bisa dikatakan bahwa tugas yang diemban seorang nyuwita semakin luas, pelajaran-pelajaran baru termasuk di dalamnya. Praktis pada abad ke-19, kenaikan pangkat pangreh praja tidak menggunakan kriteria obyektif, seperti pendidikan ataupun kesenioran, maka berbagai bentuk sikap menjilat dan nepotisme berkembang subur.
Pada abad ke-18 dan ke-19, para pejabat Eropa sangat terpengaruh oleh priyayi, baik dalam kehidupan profesionalnya maupun dalam kehidupan pribadinya. Rumah, makanan, pakaian, bahasa, istri, cara penjamuan mereka biasanya mengambil dari tradisi Jawa yang dikombinasikan dengan gaya mereka sendiri (campuran:mestizo) mengenai cara kehidupan aristokrat yang nyaman. “Jawanisasi” BB dan westernisasi pangreh praja sampai batas tertentu merupakan campuran dari dua tradisi.
Secara keseluruhan, para pejabat Belanda berpendapat bahwa kebiasaan-kebiasaan Jawa adalah cocok, pejabat VOC mengubah para pengawal-pengawal bersenjata lengkap dengan payung. Para BB yakin bahwa unsur-unsur tradisional ini diperlukan untuk memelihara kewibawaan bupati dan priyayi. Namun, ada pula segolongan kecil yang menginginkan adanya modernisasi. Namun, pada golongan ini muncul tokoh-tokoh penting seperti Snouck Hurgronje sebagai penasihat-penasihat urusan pribumi.
Snouck merumuskan kebijakan-kebijakan penting bagi pemerintah, salah satunya ia sangat konsisten menganjurkan agar dilakukannya pemisahan priyayi muda dengan keluarganya agar terjadi westernisasi intelektual murni dengan menitipkan mereka pada keluarga Belanda pada masa studi. Tidak lagi ada campuran. Kemudian, anjurannya agar pribumi diberi tanggung jawab jabatan yang lebih luas dengan demikian mereka pada nantinya akan mampu memangku sebagai kontrolir dan asisten residen.
Mengenai hubungan BB dengan priyayi, Residen H.E. Steinmetz sejalan dengan pikiran Snouck. Ia memberikan kecaman keras kepada BB, menyalahkan mereka yang menjadi penyebab menurunnya peran bupati sampai menjadi seperti tak berguna. Ia menunjukkan bahwa tanggung jawab efektif berada di tangan asisten residen, kontrolir, dan wedana.
Pada akhir abad ke-19, mulailah bermunculan kritik keras pejabat Eropa dan Jawa oleh berbagai kalangan yang pro rakyat kecil. Hal ini pastinya bergerak dari pusat, Belanda, di mana arus politik di Belanda berubah ke arah kesadaran baru akan kepedulian nasib rakyat pribumi Jawa dari karya Max Havelaar (1860).

BAB IV: PATRON, KLIEN, DAN PENDIDIKAN PRIYAYI
Perubahan pola hubungan semakin kentara di masyarakat pribumi menjelang Perang Dunia pertama. Pola hubungan antara BB dengan pangreh praja, penduduk desa dengan priyayi menimbulkan pertentangan-pertentangan baru. Munculnya kelompok baru yang melepaskan diri dari tradisi patron-klien mereke terhadap Belanda. Mereka merasa bahwa pemerintah tidak berhasil memenuhi kebutuhan rakyat, mereka kemudian mencari struktur dan ideologi baru bagi pemenuhan rakyat terhadap keadilan dan kesejahteraan. Organisasi baru bermunculan: persatuan pedagang, organisasi buruh, partai politik dan lainnya. Kegiatan ini entah dimengerti atau tak sengaja disambut dengan kebijakan  yang searah yaitu Politik Etis yang diucapkan oleh Ratu Wihelmina tahun 1901.
Etisi mengenai pendidikan menjadi satu pilar paling penting bagi golongan baru ini. Para priyayi besar dari biografi-biografinya memperlihatkan peranan yang sangat penting dari patron-patron  Eropa. Mereka tinggal di lingkungan Eropa, bahkan ada sebagian kecil yang sampai mendapat kesempatan bersekolah di luar negeri. Namun, sebagian besar tetap mendapat porsi Barat di negeri sendiri.
Pendirian sekolah OSVIA tahun 1900 bagi kalangan priyayi merupakan momentum perubahan bagi mereka. Mereka menemukan kondisi kebebasan dari kehidupan di asrama dan kota-kota besar merupakan sesuatu yang baru dan memberi semangat. Lulusan OSVIA merupakan minoritas kecil, tetapi mereka memainkan peranan pimpinan dalam gerakan-gerakan yang timbul bagi kalangannya. Hal itu telah membangkitkan perhatian yang lebih luas seta keterbuakaan bagi perubahan, dan ini membedakan mereka dari teman sejawatnya yang lain.

BAB V: MOBILITAS SOSIAL DAN PEMBARUAN POLITIK
Awal abad 20, muncul suatu unsur baru dalam masyarakat pribumi di kota-kota Hindia Belanda, yaitu lapisan cendekiawan. Walaupun para anggotanya pada umumnya berasal dari lingkungan priyayi, namun mereka telah keluar dari kerangka pangreh praja, dan dalam batasan tertentu, keluar dari kultur tradisional. Mereka hidup di antara perbatasan masyarakat pribumi dan kolonial, bekerja pada lembaga kota kelas menengah, sebagai guru atau wartawan, berpindah-pindah pekerjaan dan tepat kerja. Orang-orang ini tidak lagi senang menduduki tempat yang telah disediakan baginya dan yang telah mapan di masyarakat Hindia Belanda. Mereka memperoleh pekerjaan-pekerjaan, sarana penunjang, gagasan, dan informasi yang baru.
Di sisi lain pula, muncul “priyayi profesional” yang berbeda dengan priyayi yang pemerintah. Mereka tampil menjadi bagian dari pemerintah dengan kematangan ilmu dalam bidang yang mereka miliki. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa pegawai pribumi tidak lagi satu-satunya sarana mobilitas keatas, bahwa jalan pada priyayi tradisional bukan lagi satu-satunya bentuk kehidupan yang baik.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat luas menyebabkan pangreh praja mendapat tekanan dari dua front. Di kota-kota kecil muncul kalangan elite profesional yang memiliki wibawa cukup dan memungkinkan adanya peranan lebih dari mereka. Di kota-kota besar, muncul tekanan yang lebih di kalangan cendekiawan. Mereka secara radikal menolak kekuasaan moral, sosial, dan politik pangreh praja. Fenomena ini muncul dari kondisi kekosongan yang ditimbulkan dari kegagalan pejabat pribumi tradisional dalam menyokong dan membantu nasib rakyat kecil.
Pembentukan Budi Utomo tahun 1908, biasanya dianggap sebagai pertanda dimulainya gerakan nasionalis. Walaupun dalam tataran nasionalis belum bisa dikatakan sesuai sebagai organisasi nasional. Namun, setidaknya sebagai tahapan awal, Budi Utomo dipandang lebih berhak sebagai perhimpunan nasionalis daripada apa yang terlihat sebelumnya.
Budi Utomo merupakan organisasi yang dapat dikatakan “perhimpunan bupati”. Perhimpunan yang merupakan satu langkah tepat menuju perbaikan dari para bupati, sehingga mereka dapat memimpin rakyat secara lebih efektif. Setelah BU, berkembanglah organisasi-organisasi dengan cepat.
Percepatan timbulnya organisasi-organisasi merupakan suatu kebutuhan masyarakat pribumi yang menyadari bahwa perkumpulan-perkumpulan gaya Barat adalah landasan terbaik bagi berbagai kegiatan mereka. Muncullah serikat-serikat pekerja yang diinspirasi oleh orang Eropa dan Cina, seperti serikat buruh, persatuan guru-guru, persatuan pegawai dan lainnya. Kemudian peranan pers yang juga mengalami perkembangan merupakan dinamika positif bagi keadaan yang sedang berlangsung.
Mereka tidak beranggapan bahwa para pangreh praja yang sudah ada harus dinasionalisasikan. Mereka berhadap bahwa suatu sistem kepegawaian yang jujur, rasional, dan efektif akan dapat berfungsi secara terhormat, baik bagi pemerintah Hindia Belanda maupun rakyat pribumi. Mereka berpendirian, pangreh praja adalah pemimpin yang wajar dan terbaik bagi rakyat, oleh karenanya mereka sangat mengharapkan perubahan kearah yang lebih baik dari para pangreh praja yang ada.



BAB VI: REFORMASI PEMERINTAH KOLONIAL DAN TANGGAPAN PANGREH PRAJA
Pada peralihan keabad 20, beberapa orang residen mulai mempertegas sistem penerimaan dan kenaikan pangkat kepegawaian. Diawali oleh karesidenan Cirebon dengan menggunakan daftar kepangkatan secara umum guna mencegah terjadinya penangkatan secara sesuka hati, dan klik-klik di dalamnya. Perbaikan ini menunjukkan hasil positif, barulah yang lainnya mengikuti. Untuk itu Batavia menyambut baik dengan menyeragamkan seluruh Jawa dengan peraturan-peraturan yang disampaikan lewat BB dan perangkat lainnya.
Peraturan yang mengarah pada restrukturisasi pemerintahan ini sampai pada peraturan tentang pengangkatan bupati. Sedikit demi sedikit diterapkan prasyarat tertentu yang harus dimiliki seorang bupati. Sekalipun, aspek turun-temurun tetap menjadi dasar kebijakan Belanda. Ditetapkan bahwa seorang calon harus berpendidikan sekurang-kurangnya OSVIA dan harus berdinas sekurang-kurangnya dua tahun dengan predikat memuaskan patih atau wedana, dan harus mengerti bahasa Belanda.
Pada perkembangan peraturan pemerintah kolonial selanjutnya, penting untuk dikemukakan bahwa pada tahun 1915 mulai diberlakukannya penghapusan sistem magang. Suatu sistem yang dianggap memperkenalkan suatu sistem yang terstandarisasi dan berorientasi efisien, untuk menyalurkan pejabat-pejabat pribumi ke hierarki pemerintahan. Namun, tidak berarti mengubah lisensi tradisional, hanya membatasinya. Preferensi keturunan tinggi masih tetap menjadi pertimbangan utama, dan priyayi masih sangat tergantung dari penilaian pribadi seorang BB dan bupati. Dapat dikatakan bahwa, sistem ini merupakan usaha mendapatkan yang terbaik dari dua dunia, dan sama sekali mengherankan bahwa akhirnya terbukti bahwa hal itu tidak mungkin.
Banyak pejabat Eropa sendiri yang mengalami kesukaran untuk menyesuaikan diri dengan perubahan, baik di masyarakat pribumi maupun peraturan pemerintah. Mereka merasa bahwa golongan pribumi yang selama ini diperas tenaganya oleh Pemerintah Pusat terlalu diberi hati. Mereka merasa telah dikhianati dan diremehkan oleh pemerintah dengan memberikan ruang luas kepada kaum nasionalis dan ekstrimis.
Pengaruh timbal balik antara berbagai pandangan yang timbul, baik pribumi maupun pemerintah, membentuk latar belakang dari peristiwa-peristiwa setelah Perang Dunia I, pada saat ketika masalah perubahan administrasi pemerintahan dan hubungan antara priyayi pemerintah dan gerakan nasionalis menguasai perkembangan pangreh praja.

BAB VII: STRATEGI KOLONIAL: PEJABAT KONTRA KAUM NASIONALIS, 1918—1927
Satu hal yang jelas dari berbagai dinamika yang terjadi awal abad 20, bahwa hubungan antara pemerintah kolonial dan rakyat umum sedang mengalami perubahan. Kebijakan etis diumumkan, kemajuan dan kesejahteraan menjadi tujuan resmi, kepekaan moral dikatakan menjadi lebih tajam, dan di samping itu kaum politisi Belanda yang kritis dan para pemimpin nasionalis sering membuka masalah-masalah tentang itu.
Arena Politik Hindia Belanda
Peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum tahun 1920 mendorong terjadinya polarisasi, kemudian memperkuat tuntutan golongan konservatif agar pemerintah melakukan intervensi dalam bidang politik di mana masa itu adalah pesatnya berbagai organisasi politik, terutama Sarekat Islam (pasca keberhasilan Revolusi Rusia). Di negeri Belanda sendiri, golongan sosial demokrat mulai meyerukan pemerintahan sosialis. Hal ini menyebabkan kekhawatiran yang meluas di Belanda dan Hindia Belanda. Dalam Volksraad, Limburg Stirum membacakan “Deklarasi November”  guna menghalau pertumbuhan gerakan sosialis dengan menjanjikan perubahan sosial dan kesejahteraan yang lebih besar.
Hal itu ditanggapi sikap pesimis dan optimis dari berbagai kalangan. Terutama kalangan nasionalis yang sangat tertarik dengan isu kesejahteraan dan perubahan sosial, dibuat lahirnya harapan-harapan besar yang tidak realistis hingga waktu yang membuktikan. Oleh karenanya, gubernur jendral langsung mendamaikan kalangan nasionalis, dan orang-orang Belanda semakin yakin bahwa Stirum telah melakukan tindakan yang terlalu jauh dengan sikapnya mengambil hati kalangan nasionalis.
Polisi dan Penindasan
Garis pertahanan terakhir pemerintahan kolonial Belanda adalah kekekuatan fisik: polisi dan tentara. Pembentukan Politieke Inlichtingen Dients (PID) pada Mei 1916 merupakan kebijakan yang paling represif dan gambaran ketegangan pemerintah dari berbagai organisasi nasionalis yang ada. PID adalah kesatuan intelijen yang bertugas mengumpulkan informasi mengenai partai-partai politik, pribadi-pribadi, dan membuat penilaian mengenai suasana politik di masyarakat.
Dalam praktik yang lebih terlihat, pemerintah membentuk polisi lapangan dalam usaha memperbaiki keamanan di pedesaan. Kebijakan sebelumnya yang keras dari polisi bersenjata mendapat kecaman dari Volksraad yang mengganggap mereka menyerupai tentara pendudukan. Maka dari alasan tersebut polisi lapangan dibentuk untuk melindungi rakyat sekaligus kekuatan antimiliter.
Secara keseluruhan keresahan itu dapat diatasi oleh usaha bersama antara para pejabat dan polisi. Kekacauan di pedesaan itu menimbulkan kekhawatiran besar bagi Batavia, yang merasa tindakan subversif dan pemberantasan para agitator di luar dapat segera memulihkan rust en orde.












ANALISIS
Dalam rentang waktu perjalanan birorasi, Indonesia tercatat berbagai sistem telah dilalui. Di awal, sistem birokrasi adalah sistem monarki dimana sistem kekerabatan (Aescitysm System) merupakan satu bentuk birokrasi yang bercorak tradisional patrimonial. Sistem ini berkembang pesat karena dapat dikatakan dianut oleh seluruh kerajaan yang ada pada masa agama Hindu-Buddha.
Masa selanjutnya memperlihatkan perubahan sistem birokrasi di Indonesia. Bersamaan dengan penyebaran pesat agama Islam ke seluruh dunia, termasuk di antaranya Indonesia, sistem birokrasi yang ada bergeser ke sistem yang dalam kreasi para elitenya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pada masa kerajaan Islam di Indonesia, dapat digeneralisasikan bahwa birokrasi menganut sistem legal-formal yang artinya bahwa telah ada penempatan orang-orang ahli dan memiliki prestasi dalam menduduki jabatan tinggi di pemerintahan (Merit System).
Kedatangan dan dominasi bangsa Eropa di tanah Indonesia secara langsung mengubah sistem pemerintahan yang sebelumnya telah bertahan lama. Tata pemerintah masa kolonial melalui pendekatannya dikelompokkan menjadi empat jenis. Pertama, VOC (1602—1799) yang sistem pemerintahannya cenderung konservatif (koersif), kedua kekuasaan awal kolonial (1800—1825) yang cederung liberal, ketiga masa cultuur stelsel (1825—1870) pendekatan kolonial kembali konservatif, dan terakhir keempat pada masa liberal (1870—1900) kembali liberal.
Latar belakang VOC sebagai sebuah perusahaan dagang, mencirikan suatu model yang berbeda sendiri dengan sistem mengkolonisasi sebuah wilayah. Melihat kawasan Indonesia yang sangat potensial bagi keuntungan ekonomi membutakan VOC untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan melakukan monopoli perdagangan hingga akhirnya menguasai wilayah tersebut. VOC tidak memiliki armada militer yang besar dan tangguh, pun hak mempersenjatai diri sebagai perlindungan diri saja sudah bagus. Hal ini lah salah satu yang melatarbelakangi sistem kolonialisasi konservatif yang diterapkan oleh VOC.
Elite penguasa pribumi di berbagai wilayah dibiarkan tetap pada status sosial yang mereka tempati. Sebagai penguasa yang telah menjajah, VOC tidak mengubah struktur sosial yang sudah tetap. Sistem pengaturan kepada rakyat dilakukan melalui sistem yang disebut indirect rule. Suatu sistem yang ternyata berhasil. Para pejabat Belanda, mulai dari gubernur, residen, asisten residen, kontrolir dan lainnya, selalu ada organisasi pejabat-pejabat pribumi yang terdiri dari bupati, patih, wedana, camat, dan lainnya.
Para peneliti mengagumi sistem yang diterapkan ini karena dengan adanya pangreh praja “penguasa kerajaan”, tangan-tangan Belanda mampu menjangkau seluruh rakyat di lapisan terbawah dan kekurangan akan tenaga personalia dapat dibantu dari keberadaan para pejabat pribumi yang murah. Ketimbang harus mendatangkan staf dari Belanda kalau ada pemerintahan langsung (direct rule).
Pangreh praja (Indisch Bestuur) seperti yang dikatakan di atas berasal dari para penguasa setempat dari sisa-sisa kerajaan-kerajaan tradisional. Para elite kerajaan ini menjadi kaki tangan kebijakan-kebijakan kolonial dalam memperoleh tujuan kolonial Belanda.
Kedatangan VOC ke suatu wilayah, tidak serta-merta langsung menduduki wilayah tersebut. Namun, dari berbagai wilayah yang telah didudukinya didapat kesamaan cara yang dilakukan. Tujuan VOC datang ke suatu kawasan adalah jelas untuk menguasai sumber daya alam. Mereka datang dengan kemudian mengadakan perjanjian dagang, merumuskan perjanjian untuk memperoleh hak monopoli perdagangan di kawasan tersebut. Yang cukup penting adalah mereka ikut campur dalam tataran birokratis penguasa setempat dan mejalankan politik pecah belah bagi pihak-pihak yang sedang bertikai.
Pangreh praja berasal dari tradisi penguasa tradisional atau patrimonial yang tidak mengenal pemisahan kepentingan pribadi dan jabatan. Kepala desa mendapat hak tanah bengkok dan hak mempekerjakan rakyat di bawahnya sebagai penghasilannya. Dalam masa kolonial VOC contoh-contoh seperti ini dipertahankan pada kedudukan yang demikian.
Masa kekuasaan VOC selanjutnya digantikan oleh negeri Belanda. Oleh karena itu, jelas bahwa pada masa selanjutnya, Indonesia dijajah oleh sebuah negara yang dengan pemikiran dan struktur sebuah negara mencoba ditanamkan pada jajahannya. Masa awal pemerintahan Kolonial Belanda, kedudukan seorang gubernur jendral memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan arah kebijakan di wilayah koloni dibanding masa VOC.
Kondisi yang menyebabkan keruntuhan VOC adalah kondisi keuangan yang semakin memburuk karena ketidakberesan administrasi keuangan hingga munculnya berbagai penyelewengan oleh para administratur dan terjadinya kekacauan dan pemberontakan yang dipimpin oleh para bupati di banyak wilayah. Kemudian Hindia Belanda diserahkan kepada negeri Belanda.
Tercatat pada awal abad ke-19, Belanda telah menggantikan peran VOC menguasai Indonesia. Gubernur Jendral yang cukup terkenal dengan pembaruannya pada masa kolonial awal adalah Daendles dan Raffles. Belanda di jajaran bangsa Eropa termasuk dalam bangsa kecil terbukti dengan dijajahnya negeri tersebut oleh bangsa Prancis saat Revolusi Prancis pimpinan Napolen. Dengan itu maka seluruh kekuasaan Belanda termasuk negeri jajahannya jatuh ketangan Prancis. Daendles (1811—1816) seorang kebangsaan Prancis diutus mengurus Hindia Belanda. Pada masanya tercatat berbagai revolusi birokrasi dengan tujuan efisiensi.
Paham-paham Revolusi Prancis (liberte, egalite, fraternite) tergambar dari kebijakan-kebijakannya di Hindia Belanda. Isu liberalisasi dunia yang sedang berkembang juga masuk ke Indonesia. Kebijakan oleh para gubernur jendral selanjutnya seperti Raffles, Elout, Buyskes, Capellen, dan Gisinger juga terlihat liberal karena memiliki pemahaman yang sama dengan Deandles.
Perubahan ke arah sistem yang cenderung liberal ini adalah hasil koreksi dari kebijakan-kebijakan VOC yang dinilai tidak cocok lagi diterapkan di Hindia Belanda. Koreksi yang paling terlihat adalah dimana tidak lagi digunakan fungsi bupati sebagai wakil kolonial di daerah, seperti dihapuskannya jabatan gubernur Pantai Timur Laut Jawa dan membagi wilayah itu kedalam prefektur-prefektur yang masing-masing dipimpin oleh orang Eropa. Dan diberikan keleluasaan untuk berjalan di bawah pengawasan langsung gubernur jendral. Pada masanya, Deandles menjadikan Jawa sebagai pusat pemerintahan dan membaginya dalam beberapa prefektur seperti yang telah disebutkan di atas.
Hak-hak bangsawan keraton dikurangi. Sebagai gantinya mereka diangkat sebagai adminitratur daerah yang menerima gaji dan kedudukan dikorelasikan dengan kepangkatan militer. Sejak itu, kebanggannya bukan lagi bersumber dari identifikasi diri dengan kejayaan masa lalu, melainkan denga peranannya sebagai seorang abdi raja baru.
Pada masa akhir-akhir pemerintahan liberal. Banyak kendala yang muncul khususnya di negeri Belanda sendiri yang mengalami kekalahan perang dan kemerosotan ekonomi. Maka dipilihlah kembali menggunakan kebijakan konservatif yang ketat guna mendorong kelajuan ekonomi yang besar bagi pemulihan negeri Belanda. Kebijakan ini disebut “Tanam Paksa”. Suatu kebijakan yang mewajibkan para pemilik tanah menggarap sebagian lahannya untuk tananam ekspor dan ditambah wajib kerja sebagai ganti pajak yang diterapkan di masa sebelumnya. Kerjasama dengan pemimpin pribumi adalah sangat penting manakala penduduk pedesaan hendak dimobilisasi. Demikianlah tujuan praktis yang dikemukakan Gubernur Jendral van den Bosch (1830—1833) dengan mengembalikan para bupati itu pada kedudukan sebelum masa Deandles. Namun, dengan kehati-hatian terhadap mengulangnya pemberontakan-pemberontakan pimpinan bupati kepada pemerintah kolonial.
Kebijakan yang diterapkan van den Bosch adalah reformulasi dari kebijakan konservatif VOC. Perlibatan kembali para bupati atau kepala desa yang dikenal dengan istilah Dessa Hoofden. Dalam tataran kebijakan, cultuur stelsel sistem uji daya tahan tanaman ekspor yang aturan-aturannya sebenarnya tidak terlalu memberatkan rakyat pribumi. Namun, di tingkat aplikatif, sistem ini sangat memberatkan dan menyengsarakan pribumi karena adanya suntikan komisi (cultuur procenten) bagi para karyawan Eropa dan bupati yang wilayahnya menghasilkan produk tertinggi. Hasilnya, para bupati berlomba-lomba mencari keuntungan dengan memaksakan rakyatnya bekerja lebih dari kewajiban seharusnya.
Kebijakan yang lebih menitikberatkan pada sektor ekonomi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dalam negeri Belanda sendiri. Pada saat itu, Belanda sedang menghadapi minimnya sumber dana akibat utang perang yang menumpuk. Tanam Paksa ini lah jawabannya dan merupakan kebijakan politik yang bermotifkan ekonomi pertama yang diterapkan di Hindia Belanda. Dengan kebijakan ini, Belanda mulai melakukan eksploitasi kekayaan alam Indonesia untuk menutup utang-utang yang dimilikinya.
Pada tahun 1870, Belanda menerapkan kebijakan ekonomi pintu terbuka bagi negara-negara jajahan. Dengan kebijakan ini, dimulailah era komersialisasi, moneterisasi, dan industrialisasi di Indonesia. Belanda memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada perusahaan swasta asing untuk masuk ke Indonesia, melakukan perdagangan, dan menanamkan modalnya di Indonesia. Politik pintu terbuka ini didorong oleh kebijakan pembukaan Terusan Suez di Mesir pada tahun 1869. Pembukaan terusan ini semakin memudahkan lalu lintas perdagangan internasional.
Pengaruh gerakan liberal terhadap Indonesia secara umum adalah: dihapuskannya tanam paksa, munculnya modal swasta asing, Hindia Belanda menjadi penghasil perkebunan penting dunia.
Pelaksanaan sistem liberal ternyata tidak lebih baik dari sistem tanam paksa. Malah pemerasan yang terjadi oleh dua pihak: swasta pemilik modal dan pemerintah. Pemerintah secara tidak langsung memeras rakyat dengan pajak tinggi bagi para pemilik perkebunan. Kemudian pihak swasta demi memperoleh keuntungan besar mengurangi upah buruh pribumi, tidak memperhatikan kesehatan, dan menyewakan lahan bagi rakyat untuk membayar hutang.
Di samping itu, para pekerja perkebunan diikat dengan sistem kontrak, sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri. Mereka harus mau menerima semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri walaupun menerima perlakuan yang tidak baik, karena mereka akan kena hukuman dari pengusaha jika tertangkap. Pihak pengusaha memang mempunyai peraturan yang disebut Poenale Sanctie (peraturan yang menetapkan pemberian sanksi hukuman bagi para buruh yang melarikan diri dan tertangkap kembali). Keadaan yang demikian ini menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat semakin menderita.
Jadi, pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia Belanda, sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan lalu berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh.
Kekuatan liberal Belanda, didukung pemilik modal dan kelas menengah, meraih kekuasaan di negeri sendiri, lalu mengontrol perekonomian Hindia Belanda. Berkredo "kebebasan usaha, kebebasan kerja, dan pemilikan pribadi", kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Kaum liberal memandang Hindia Belanda sebagai ladang pihak swasta sehingga dapat menimbulkan akibat-akibat, diantaranya : 1). Timbulnya urbanisasi. Hal ini dapat terjadi karena rakyat yang sudah tidak mempunyai tanah, pergi ke kota untuk mencari kehidupan dengan bekerja pada pabrik-pabrik yang telah didirikan oleh pihak swasta maupun pemerintah. 2). Penduduk kota semakin bertambah padat. 3). Timbulnya kaum buruh. 4). Rakyat pedesaan mulai mengenal uang. 5). Tanah perkebunan semakin luas.

















PENUTUP
Pangreh praja “Penguasa Kerajaan”sebuah kekuasaan yang tidak lagi sekuat dahulu karena dalam artian kolonial, mereka dianggap sebatas “Inlandsch Bestuur” pemerintahan pribumi, suatu tingkatan yang lebih rendah dari pemerintah setempat.
Pangreh Praja, elite birokrasi pribumi, yang dibentuk di Hindia Belanda. Adalah sistem kontrol negara jajahan yang sangat efektif bermula dari pengkajian mendalam bahwa Hindia Belanda telah memiliki suatu sistem pemerintahan sendiri yang dengan membiarkannya tetap ada maka kontrol lebih mudah dan efisien.
Dikatakan bahwa sistem pemerintahan indirect rule oleh kekuasaan kolonial cukup dengan mendudukan para pangreh praja yang dengan simbol-simbol penguasa tradisional mampu menjadi kaki tangan yang baik bagi pemerintah kolonial. Tentu sistem yang diterapkan pada sebuah negeri jajahan merupakan sistem yang sangat berbeda dengan lainnya yang misalkan di Birma, Inggris menghapus bersih sistem kerajaan dan elite birokrasi tradisional yang ada yang kini menjadikan Birma seperti sekarang ini.
Tentu pilihan pada sistem ini sangat beralasan, VOC yang pada masa itu bukan lah suatu badan militer yang mempunyai cukup kekuatan untuk menancapkan kekuatan militernya di seluruh Hindia (Jawa dalam hal ini). Kemudian dengan mendudukan elite birokrasi pangreh praja, kekuatan kolonial sangat menyentuh akar rumput dimana elite-elite menjalankan dengan baik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.
Kemudian diperlihatkan perkembangan dari elite sipil pribumi tersebut, bagaimana perannya bergeser dari kekuatan utama di masing-masing wilayah menjadi kekuatan penyambung bagi kebijakan-kebijakan kolonial dan mereka seakan menginduk pada kekuatan besar di Batavia yang menjadi pusat kebijakan seluruh Hindia Belanda.
Jauh sebelum hadirnya elite birokrasi pribumi seperti pangreh praja, sistem birokrasi adalah sistem monarki dimana sistem kekerabatan (Aescitysm System) merupakan satu bentuk birokrasi yang bercorak tradisional patrimonial yang terdapat pada masa kerajaan Hindu-Buddha.
Kemudian pada masa kerajaan Islam di Indonesia, birokrasi menganut sistem legal-formal yang artinya bahwa telah ada penempatan orang-orang ahli dan memiliki prestasi dalam menduduki jabatan tinggi di pemerintahan (Merit System).
Setelah kejayaan Islam dalam struktur birokrasi kerajaan berjaya selama beberapa abad kemudian digantikan oleh sistem modern Eropa. Tata pemerintah masa kolonial melalui pendekatannya dikelompokkan menjadi empat jenis. Pertama, VOC (1602—1799) yang sistem pemerintahannya cenderung konservatif (koersif), kedua kekuasaan awal kolonial (1800—1825) yang cederung liberal, ketiga masa cultuur stelsel (1825—1870) pendekatan kolonial kembali konservatif, dan terakhir keempat pada masa liberal (1870—1900) kembali liberal.
Pada kurun waktu yang cukup panjang, masa kolonial menerapkan sistem baru yang sama sekali berbeda pada corak birokrasi sebelumnya. Orang-orang Eropa datang dan memaksakan sistem birokrasi yang tentunya untuk kepentingan mereka dahulu. Ini lah perbedaan mendasar dengan sistem-sistem sebelumnya dilihat dari tujuan mereka kemudian diteruskan dengan aplikasi sistem tersebut yang semakin menunjukkan perbedaan-perbedaan.
Dalam buku Heater Sutherland ini, ia secara pandai mampu mengangkat sisi lain dari sebuah perjalanan sistem kebijakan politik yang diterapkan. Lebih dalam lagi, ia menyoroti liku perjalanan elite birokrasi kerajaan pada masa kolonial yang sangat bergolak. Elite pribumi seperti yang telah banyak disebutkan di atas tetap memegang jabatan penting di wilayahnya. Namun, ia tidak lagi berdiri paling tinggi dalam kekuasaan. Pada masa kolonial ia dapat disebut sebagai pegawai pemerintah kolonial.
Pangreh praja sebagai kolaborator kolonial mempunyai perkembangan sejarahnya sendiri yang tidak dapat dilepaskan dari kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial di pusat, Batavia. Oleh karenanya, berbagai perubahan yang terjadi ditataran kebijakan pemerintah. Dari perubahan-perubahan tersebut yang jelas terjadi adalah bagaimana kekuasaan elite pribumi diintervensi oleh kekuatan baru yang sangat kuat dan hak-hak kerajaan dahulu dihapuskan sehingga mereka mencoba bergeliat dengan berbagai kondisi yang ada. Semua dijelaskan ditulisan ini.

KESULTANAN TERNATE TIDORE: STUDI KASUS AWAL BERDIRI, PERLAWANAN DAN KEMUNDURAN OLEH BANGSA ASING ABAD 15 SAMPAI 17


KESULTANAN TERNATE TIDORE: STUDI KASUS AWAL BERDIRI, PERLAWANAN DAN KEMUNDURAN OLEH BANGSA ASING ABAD 15 SAMPAI 17

MAKALAH KELOMPOK MATA KULIAH SEJARAH KESULTANAN







Allan Akbar (0806343784)
Aniek Nurfitriani (0806343802)
Diemas Syahputra (0806343840)
Griffith Aditya Pamungkas (0806462262)
M. Ridho Rachman (0806343973)
Natasya Rumondang (0806462325)
Nurul Iman (0806462344)
Satria Permana (0806344105)
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK MEI 2011

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
            Pulau Ternate merupakan sebuah pulau gunung api seluas 40 km persegi, terletak di Maluku Utara, Indonesia. Penduduknya berasal dari Halmahera yang datang ke Ternate dalam suatu migrasi. Dalam sejarahnya, Ternate merupakan daerah terkenal penghasil rempah-rempah, karena itu, banyak pedagang asing dari India, Arab, Cina dan Melayu yang datang untuk berdagang. Sebagai wakil masyarakat, yang berhubungan dengan para pedagang tersebut adalah para kepala marga (momole). [1]
Seiring semakin meningkatnya aktifitas perdagangan, dan adanya ancaman eksternal dari para lanun atau perompak laut, maka kemudian timbul keinginan untuk mempersatukan kampung-kampung yang ada di Ternate, agar posisi mereka lebih kuat. Atas prakarsa momole Guna, pemimpin Tobona, kemudian diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja. Hasilnya, momole Ciko, pemimpin Sampalu, terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama pada tahun 1257 M dengan gelar Baab Mashur Malamo. Baab Manshur berkuasa hingga tahun 1272 M. Kerajaan Ternate memainkan peranan penting di kawasan ini, dari abad ke-13 hingga 17 M, terutama di sektor perdagangan. Dalam sejarah Indonesia, Kesultanan Ternate merupakan salah satu di antara kerajaan Islam tertua di nusantara, dikenal juga dengan nama Kerajaan Gapi. Tapi, nama Ternate jauh lebih populer dibanding Gapi.[2]
Diperkirakan, Islam sudah lama masuk secara diam-diam ke Ternate melalui jalur perdagangan. Hal ini ditandai  dengan banyaknya pedagang Arab yang datang ke wilayah tersebut untuk berdagang, bahkan ada yang bermukim. Selain melalui perdagangan, penyebaran Islam juga dilakukan lewat jalur dakwah. Muballigh yang terkenal dalam menyebarkan Islam di kawasan ini adalah Maulana Hussain dan Sunan Giri
Ada dugaan, sebelum Kolano Marhum, sudah ada Raja Ternate yang memeluk Islam, namun, hal ini masih menjadi perdebatan. Secara resmi, Raja Ternate yang diketahui memeluk Islam adalah Kolano Marhum (1465-1486 M), Raja Ternate ke-18. Anaknya, Zainal Abidin (1486-1500) yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja, pernah belajar di Pesantren Sunan Giri di Gresik. Saat itu, ia dikenal dengan sebutan Sultan Bualawa (Sultan Cengkeh). Ketika menjadi Sultan, Zainal Abidin kemudian mengadopsi hukum Islam sebagai undang-undang kerajaan. Ia juga mengganti gelar Kolano dengan sultan. Untuk memajukan sektor pendidikan, ia juga membangun sekolah (madrasah). Sejak saat itu, Islam berkembang pesat di Ternate dan menjadi agama resmi kerajaan.           
Pada abad ke 12 M, Permintaan akan cengkeh dan Pala dari negara Eropa meningkat pesat. Hal ini menyebabkan dibukannya perkebunan di daerah Pulau Buru, Seram dan Ambon. Dengan adanya kepentingan atas penguasa perdagangan terjadilah persekutuan daerah antara kerajaan. Persekutuan-persekutuan tersebut adalah Uli Lima (Persekutuan Lima). Yaitu persekutuan antara lima saudara yang dipimpin oleh Ternate (yang meliputi Obi, Bacan, Seram dan Ambon, serta Uli Siwa (persekutuan Sembilan) yaitu persekutuan antara sembilan bersaudara yang wilayahnya meliputi Pulau Tidore, Makyan, Jahilolo atau Halmahera dan pulau-pulau di daerah itu sampai Papua.[3] Antara kedua persekutuan tersebut telah terjadi persaingan yang sangat tajam. Hal ini terjadi setelah para pedagang Eropa datang ke Maluku. Pada tahun 1512, bangsa Portugis datang ke Ternate, rang Eropa pertama yang datang ke Ternate adalah Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) pada tahun 1506 M. Enam tahun kemudian, pada 1512 M, rombongan orang Portugis tiba di Ternate di bawah pimpinan Fransisco Serrao. Ketika pertama kali datang, bangsa kulit putih ini masih belum menunjukkan watak imperialismenya. Saat itu, mereka masih menunjukkan itikad baik sebagai pedagang rempah-rempah. Oleh sebab itu, Sultan Bayanullah (1500-1521) yang berkuasa di Ternate saat itu memberi izin pada Portugis untuk mendirikan pos dagang.[4]
Sebenarnya, Portugis datang bukan hanya untuk berdagang, tapi juga menjajah dan menguras kekayaan Ternate untuk dibawa ke negerinya. Namun, niat jahat ini tidak diketahui oleh orang-orang Ternate. Ketika Sultan Bayanullah wafat, ia meninggalkan seorang permaisuri bernama Nukila, dan dua orang putera yang masih belia, Pangeran Hidayat dan Pangeran Abu Hayat. Selain itu, adik Sultan Bayanullah, Pangeran Taruwese juga masih hidup dan ternyata berambisi menjadi Sultan Ternate. Portugis segera memanfaatkan situasi dengan mengadu domba kedua belah pihak hingga pecah perang saudara. Dalam perang saudara tersebut, Portugis berpihak pada Pangeran Taruwese, sehingga Taruwese berhasil memenangkan peperangan. Tak disangka, setelah memenangkan peperangan, Pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh oleh Portugis. Kemudian, Portugis memaksa Dewan Kerajaan untuk mengangkat Pangeran Tabarij sebagai Sultan Ternate. Sejak saat itu, Pangeran Tabarij menjadi Sultan Ternate. Dalam perkembangannya, Tabarij juga tidak menyukai tindak-tanduk Portugis di Ternate. Akhirnya, ia difitnah Portugis dan dibuang ke Goa-India. Di sana, ia dipaksa menandatangani perjanjian untuk menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen, namun, ia menolaknya. Sultan Khairun yang menggantikan Tabarij juga menolak mentah-mentah perjanjian ini.[5]
Tindak-tanduk Portugis yang sewenang-wenang terhadap rakyat dan keluarga sultan di Ternate membuat Sultan Khairun jadi geram. Ia segera mengobarkan semangat perlawanan terhadap Portugis. Untuk memperkuat posisi Ternate dan mencegah datangnya bantuan Portugis dari Malaka, Ternate kemudian membentuk persekutuan segitiga dengan Demak dan Aceh, sehingga Portugis kesulitan mengirimkan bantuan militer ke Ternate. Portugis hampir mengalami kekalahan. Untuk menghentikan peperangan, kemudian Gubernur Portugis di Ternate, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun untuk berunding. Berbekal kelicikan dan kejahatan yang memang telah biasa mereka lakukan, Portugis kemudian membunuh Sultan Khairun di meja perundingan.
Sultan Babullah (1570-1583 M) kemudian naik menjadi Sultan Ternate menggantikan Sultan Khairun yang dibunuh Portugis. Ia segera memobilisasi kekuatan untuk menggempur kekuatan Portugis di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia. Setelah berperang selama lima tahun, akhirnya Ternate berhasil mengusir Portugis untuk selamanya dari bumi Maluku pada tahun 1575 M. Dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia, ini merupakan kemenangan pertama bangsa Indonesia melawan penjajah kulit putih.
Setelah 10 tahun berada di Kerajaan Ternate, bangsa Portugis mendirikan Benteng yang diberi nama Sao Paolo. Menurut Portugis, benteng tersebut berguna untuk melindungi Ternate dari Kerajaan Tidore. Namun hal tersebut hanyalah taktik Portugis agar mereka dapat tetap berdagang dan menguasai Ternate.[6] Pembangunan Benteng Soa Paolo mendapat perlawanan dan salah seorang yang menantang kehadiran kekuasaan militer Portugis tersebut yaitu Sultan Hairun. Beliau berkuasa di kerajaan Ternate sejak tahun 1559. Sultan tidak ingin perekonomian dan pemerintahan kerajaan di kuasai oleh bangsa lain dan pendirian benteng tersebut dianggap menunjukkan niat buruk Portugis atas Ternate.

  1. Permasalahan
Dari latar belakang di atas, pada makalah ini kelompok kami akan membahas permasalahan sebagai berikut:

Kesultanan Ternate abad ke-15 sampai 17 ditnjau dari berbagai aspek

Berdasarkan permasalahan tersebut, kelompok kami membagi dalam beberapa sub bab guna menyelesaikan permasalahan tersebut:
1.      Daya tarik Ternate Tidore
2.      Awal berdirinya kesultanan Ternate Tidore
3.      Sistem politik dan ekonomi kesultanan
4.      Hubungan Kesultanan Ternate Tidore dan reaksi terhadap bangsa asing
5.      Perlawanan terhadap kekuasaan asing
6.      Keruntuhan Kesultanan Ternate Tidore









BAB 2
ISI

2.1. Rempah-rempah Sebagai Daya Tarik Utama Maluku
Kepulauan Nusantara dikenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar yang kemudian mampu menarik berbagai bangsa asing untuk datang untuk mendapatkannya. Pusat rempah-rempah Nusantara terdapat di kepulauan Maluku. Sejak dahulu Maluku sudah dikenal sebagai daerah yang sangat kaya akan rempah-rempah yang bernilai ekonomis tinggi. Dalam gambaran perdagangan Asia Tenggara, rempah-rempah telah memikat para pedagang dari berbagai benua lain. Rempah-rempah sangat penting bagi perdagangan karena keuntungan yang besar dari penjualannya.[7]
Sejak masa sebelum abad ke-10, banyak kapal dagang dari pedagang asing ke kepulauan Nusantara yang datang ke wilayah-wilayah yang menjadi penghasil rempah-rempah di Maluku. Pedagang yang datang untuk mencari rempah-rempah di Maluku adalah pedagang dari Eropa, seperti Portugis, Spanyol, dan Inggris, maupun Arab serta wilayah Asia lainnya. Wilayah-wilayah di Maluku yang menghasilkan rempah-rempah diantaranya adalah cengkeh yang banyak dihasilkan dari Ternate, Tidore, Halmahera, Seram dan Ambon, sementara pala dan bunga pala banyak dihasilkan di kepulauan Banda.[8] Tome Pires dalam catatan perjalanannya menyebutkan bahwa:
Pedagang Melayu mengatakan bahwa Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk bunga pala dan Maluku untuk cengkeh, dan barang dagangan ini tidak dikenal di tempat lain di dunia kecuali di tempat ini.[9]
Cengkeh yang diperdagangkan adalah putik bunga tumbuhan hijau tropis yaitu Szygiumaromaticum atau Caryophullus aromaticus yang dikeringkan. Jika panen, satu pohon dapat menghasilkan sampai 34 kg cengkeh. Sedangkan untuk pala pala dan bunga pala, keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Pala adalah biji, sedangkan bunga pala adalah penutup luar biji dari pohon Myristica fragrans, yang hingga abad ke-18 hanya tumbuh di gugusan pulau-pulau kecil yang dikenal sebagai Banda. Cengkeh dan bunga pala menurut Anthony Reid sangat bernilai tinggi dan mahal harganya di Eropa hingga akhir abad ke empat belas.[10]
Pires menjabarkan hasil produk untuk pala dan bunga pala dalam laporannya. Angka untuk bunga pala berkisar antara 6000 sampai 7000 bahar dengan catatan bahwa angka tersebut hanya berlaku bagi musim panen besar. Menurut Pires, satu bahar bunga pala berharga 3 dan 3,5 cruzado.[11]
Eksotisme rempah-rempah Maluku terutama cengkeh, bunga pala, dan pala tercatat dalam buku Iternerario near Oost ofte Portugaels Indien (Catatan Perjalanan ke Timor atau Hindia Portugis) karya Jan Huygen van Linschoten yang merupakan seorang pelaut Belanda yang bekerja pada armada Portugis. Dalam bukunya tersebut ia menuliskan dengan baik keindahan pohon penghasil rempah-rempah dan keajaiban buah itu, yang memiliki khasiat penyembuh berbagai macam penyakit. Tulisannya tentang pala, bunga pala, dan cengkeh diuraikan sebagai berikut:
Pohon-pohon yang membuahkan pala dan bunga pala itu tidak berbeda dengan pohon bunga pir, tetapi daunnya lebih pendek dan bundar, baik untuk penyembuh sakit kepala, untuk ibu dan untuk syaraf. Pala terbalut oleh tiga jenis kulit, yang paling utama dan paling luar seperti daging kelapa, yang membalut buahnya, adalah bunga pala, yang berguna bagi obat-obatan. Buah pala menenangkan otak, menajamkan daya ingat, menghangatkan dan menguatkan tenggorokan, mengusir angin dari tubuh, menyegarkan nafas, melancarkan kencing dan menghentikan mencret. …bunga pala terutama baik untuk selesma dan untuk pria yang lemah, menghilangkan rasa marah dan memudahkan buang angin…. Pohon cengkeh banyak dahannya dan bunganya tidak sedikit, yang kemudian menjadi buah-buah yang dinamakan ‘cloves’ karena bentuknya yang mirip cakar atau ‘claws’. Cengkeh banyak digunakan untuk memasak daging maupun meramu obat. Air cengkeh hijau yang disuling harum baunya, dan menguatkan jantung, yang sakit cacar menjadi berkeringat dengen cengkeh, bunga pala, dan cabe hitam….. Cengkeh memperkuat hati, tenggorokan, jantung, melancarkan perncernaan, memudahkan ke luarnya kencing, dan bila ditaruh di mata dapat memelihara penglihatan.[12]
Rempah-rempah dari kepulauan Maluku telah menarik kedatangan pada pedagang, baik pedagang pribumi maupun pedagang asing. Para pedagang dari Cina, telah mengenal cengkeh dan pala pada masa dinasti Tang. Perahu-perahu Cina dengan teratur mengunjungi Maluku pada tahun 1340-an untuk mengangkut sejumlah kecil cengkeh. Ekspor rempah-rempah Maluku ke Cina melonjak sekitar tahun 1400-an dan pelan-pelan meluas selama abad ke-15.[13]
Pedagang Eropa yang pertama kali datang ke Maluku adalah bangsa Portugis pimpinan Alfonso de Albuquerque yang sebelumnya telah menaklukkan Malaka. Selama hampir setengah abad kekuatan Portugis mendominasi Maluku sebelum akhirnya merosot dan berhasil diusir dari Ternate. Dari tahun 1513-1530 orang Portugis mendominasi pasaran Eropa dengan membawa rata-rata lebih dari 30 ton cengkeh dan 10 ton pala.[14]
Kemudian selanjutnya pada akhir abad ke-16 orang-orang Belanda mulai berdatangan ke Nusantara untuk mencari rempah-rempah langsung ke tempat produksinya di Maluku. Mereka pertama kali tiba di Banten pada 1596 sebelum akhirnya menuju Maluku.[15] Masuknya bangsa Belanda sejak akhir abad ke-16 di Nusantara kemudian membawa peubahan besar. Dan untuk memantapkan kedudukannya di Nusantara Belanda kemudian mendirikan Veerenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602.[16]
Selain pedagang asing, rempah-rempah di Maluku juga menarik bagi para pedagang pribumi untuk datang. Mereka membawa rempah-rempah itu ke pusat-pusat perdagangan di Jawa dan Malaka. Kemudian dari Malaka, rempah-rempah menyebar ke Cina, India, Asia Barat, dan Eropa.[17] Ramainya perdagangan rempah-rempah dan berbagai produk lainnya menjadikan Nusantara menjadi tempat yang menarik namun juga menjadi jalur persilangan yang sibuk bagi perdagangan dan pelayaran.
Kemahsyuran rempah-rempah Nusantara dengan pusatnya yaitu Maluku memiliki daya tarik yang luar biasa. Rempah-rempah menjadi primadona perdagangan karena nilai jualnya yang sangat tinggi disertai permintaan yang tinggi pula. Para pedagang kemudian berlomba-lomba untuk mencarinya langsung menuju pusat penghasilnya, yaitu Maluku. Para pedagang dari Eropa, Arab, dan Cina datang ke Maluku untuk membawa  dan menjual di pasaran internasional. Tergiur dengan keuntungan yang besar, bangsa Eropa berusaha untuk menguasai Maluku demi mendapatkan hak atas monopoli rempah-rempah. Hal tersebut menandai kekuasaan asing di tanah Maluku demi menguasai rempah-rempah.
2.2. Awal Berdirinya Kesultanan Ternate-Tidore dan Proses Islamisasi

Proses Islamisasi
 Maluku Utara merupakan salah satu pusat penyebaran Islam di kawasan timur Indonesia. Sumber-sumber tradisional mengisyaratkan bahwa Islam telah datang ke daerah ini pada pertengahan abad ke -13, ketika jaringan lalu lintas perdagangan internal bertambah ramai.[18] Maluku Utara merupakan satu-satunya pusat niaga cengkih dan pelabuhannya telah terkenal di kalangan pedagang-pedagang Arab, Persia, India, dan Cina, juga termasuk pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang. Selain para pedagang, para ulama pun telah datang di Nusantara sejak abad ke-13, mereka pun telah sampai di Maluku Utara.
Menurut sejarah lisan setempat, di Maluku Utara telah dayang ulama dari Irak untuk menyiarkan Islam, keempat ulama itu ialah Syaikh Mansur, Syaikh Ya’kub, Syaikh Amin, dan Syaikh Umar.[19] Syaikh Mansur menyiarkan Islam di Ternate dan Halmahera (bagian muka Ternate). Syaikh Ya’kub menyiarkan Islam di Tidore dan Makian. Sedangkan Syaikh Amin dan Syaikh Umar berdakwah di daerah bagian Halmahera yang tidak berhadapan dengan Ternate. Sedangkan dalam Hikayah Ternate, tidak diceritakan mengenai keempat ulama tersebut, melainkan diceritakan tentang datangnya seorang keturunan Nabi Muhammad yang bernama Ja’far Shadik. Kemudian, Ja’far Shadik menikahi Nur Sifa, seorang putrid setempat. Ja’far Shadik juga terkenal sebagai ayah dari kolano empat kerajaan yang tergabung dalam Moloku Kie Raha (Persekutuan Empat Gunung atau Kerajaan), yaitu Makian, Jailolo, Ternate, dan Tidore. Perkembangan Islam semakin pesat di Ternate pada abad ke-13, yaitu ketika para kolano mulai memeluk agama Islam (tapi kerajaannya belum menjadi kerajaan Islam). Pada masa itu pula komunitas muslim semakin bertambah. Komunitas muslim ini terdiri dari suku bangsa Melayu dan Jawa, juga orang Arab.

Proses Terbentuknya Kesultanan Ternate
Penduduk Pulau Ternate (atau dulu dikenal dengan nama Pulau Gapi) merupakan warga Halmahera yang bermigrasi. Pada awalnya, di Pulau Ternate ini terdapat empat kampong yang masing-masing dikepalai oleh seorang momole (persekutuan suku). Letaknya yang strategis dengan jalur perdagangan menjadikan Ternate bersentuhan dengan para pedagang asing, seperti Arab, Tionghoa, India, dan Melayu. Para pedagang asing ini datang ke Ternate disebabkan Ternate terkenal dengan hasil buminya, yaitu rempah-rempah. Kedatangan para pedagang asing ini menyebabkan penduduk Ternate semakin heterogen.
Aktivitas perdagangan yang semakin ramai berbanding lurus dengan ancaman yang datang di kawasan ini. Para perompak atau lanun tidak dapat diatasi dengan baik oleh para momole. Kemudian, atas prakarsa Momole Guna, pemimpin Tobona, maka diadakanlah musyawarah untuk membentuk organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja. Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kemudian ketika Islam masuk, nama kolano ini diganti menjadi kesultanan. Pengalihan kolano menjadi Kesultana Ternate ini ditandai dengan pemberian gelar sultan kepada raja yang berkuasa pada tahun 1486-1500, yaitu Zainal Abidin, murid Sunan Giri.

Proses Terbentuknya Kesultanan Tidore
Pulau Tidore dahulu dikenal dengan nama Kie Duko yang memiliki arti pulau bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan topografi pulau ini yang memang memiliki gunung api. Nama Tidore sendiri diambil dari gabungan bahasa Tidore dan Arab dialek Irak, yaitu To ado re (Bahasa Ternate) yang berarti ‘aku telah sampai’ dan Bahasa Arab dialek Irak: anta thadore yang berarti ‘kamu datang’. Gabungan ini bermula dari pertikaian yang sering terjadi antar momole yang memperebutkan wilayah kekuasaan persukuan. Usaha-usaha untuk mengatasi pertikaian ini selalu gagal.
Kemudian sekitar tahun 846 M, datang rombongan Ibnu Chardazabah, utusan Khalifah al-Mutawakkil dari Kerajaan Abbasiyah. Pada saat itu, sedang terjadi pertikaian dan utusan Khalifah ini kemudian memfasilitasi perundingan yang disebut Togorebo. [20] pertemua disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang. Kesepakatannya yaitu, setiap momolo yang datang paling cepat ke lokasi pertemuan akan menjadi pemenang dan pemimpin pertemuan. Setiap momole yang datang ke lokasi selalu meneriakkan To do are, karena merasa dia yang datang tercepat dan menjadi pemenang.
Kerajaan ini berdiri sejak Jou Kolano Sahjati berkuasa (1108 M). Namun, tidak ada kejelasan sumber mengenai lokasi pusat kerajaan. Bahkan hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore masih belum dapat dipastikan. Baru ketika pada masa kekuasaan Jou Kolano Bungan Mabunga Balibung, informasi mengenai pusat kerajaan mulai diketahui, walau masih dalam perdebatan. Kemudian pada masa Sultan Ciriliyati (1495 M) yang memakai gelar sultan untuk pertama kali, pusat kerajaan Tidazore berada di Gam Tina yang selanjutnya dipindahkan ke Rum Tidore Utara pada tahun 1512 M oleh Sultan Mansur.

2.3. STRUKTUR BIROKRASI KESULTANAN TERNATE
            Sejarah pemerintahan di Ternate diawali pada tahun 1257 pada masa terbentuknya sebuah kerajaan yang bernama Moloku (asal mula sebutan pulau tersebut). Pada saat itu kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang bernama Baab Mansur Malamo. Kemudian jauh pada perkembangan selanjutnya, kerajaan tersebut runtuh yang digantikan oleh masa empat Kerajaan (Swapraja). Berdasarkan catatan Pemerintah Kolonial Belanda (Zelf Bestuur Regeling 1938) terdapat kerajaan Tidore, Jailolo, dan Bacan yang berada di bawah kekuasaan pusat yakni Kerajaan Ternate.[21]
Banyak pelaut asing yang menulis kisah perjalanan mereka yang menjelaskan tentang struktur Kesultanan Ternate, di antaranya pelaut terkenal Tome Pires, kemudian Antonio Galvao, Barbarosa, dan Pigafeta. Pires dan Galvao dalam masing-masing tulisannya menceritakan bahwa Raja Ternate, Vongi, menikahi anak patih Jawa, kemudian menjadi muslim dan memakai gelar Kolano atas namanya. Dikatakan pula bahwa Vongi—raja Islam pertama Ternate—telah berkuasa sejak tahun 1460. [22]
Raja adalah anak tertua dari permaisuri. Galvao kemudian menceritakan secara terperinci penobatan seorang raja di Kesultanan Ternate. Sistemnya hampir sama dengan cara-cara yang diterapkan oleh kesultanan-kesultanan di Indonesia lainnya dan seperti yang ditulis di atas sistem-sistem Hindu sedikit banyak masih diterapkan di kesultanan-kesultanan Nusantara.[23]
Sistem pemerintahan kesultanan dibantu oleh dua golongan Bobato, Pertama, Bobato Dunia yaitu para pembantu sultan di bidang pemerintahan, ekonomi, pertahanan, serta pelayaran terhadap rakyat. Kedua adalah Bobato Akhirat yang bertugas menjalankan tugas-tugas di bidang pembinaan, penguatan, dan penyebaran agama. Setelah kedatangan Islam, sistem pemerintahan di kawasan Maluku Utara mengalami perubahan mendasar, dari pemerintahan yang sifatnya sederhana menjadi lebih kompleks, yaitu dari sistem pemerintahan Momole menjadi sistem pemerintahan kesultanan. Dalam sistem inilah kemudian lahir jabatan Bobato.[24]
Bentuk pemerintahan yang dijalankan oleh empat kesultanan di Maluku Utara relatif sama, yaitu dibantu oleh Bobato Dunia dan Bobato Akhirat. Hal ini karena di antara keempat kesultanan tersebut telah terjalin persaudaraan dalam ikatan Persekutuan Moti (Motir Verbond) yang juga dikenal dengan istilah Moloku Kie Raha (persaudaraan empat gunung). Empat kesultanan tersebut antara lain Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo.
Dalam bidang hukum dan peradilan, tidak terdapat aturan hukum yang jelas. Keputusan-keputusan peradilan secara sepihak ditentukan oleh raja melalui menteri-menterinya dengan pertimbangan alasan yang masuk akal.[25] Oleh karena itu, keputusan raja terhadap peradilan bisa dikatakan mutlak dengan pertimbangan logika saja.
Secara umum, FSA de Clercq dalam bukunya Bijdragen tot de Kennis de Residentie Ternate terdapat tiga fase pemerintahan di masa kerajaan Ternate yaitu: 1257–1486, berdirinya kerajaan–kerajaan dengan beberapa Kepala Pemerintahan Kerajaan tertentu di Ternate dan Tidore. 1486–1817, masuknya Agama Islam dan tampilnya Sultan pertama sampai berakhirnya Pemerintah sementara Inggris 1817–1888, peralihan kekuasaan Belanda.[26]

2.4 Sistem Ekonomi Pada Masa Kesultanan Ternate Tidore
Pada masa kesultanan, berbagai nama tempat seperti Samudra Pasai, Pidie, Aceh, Malaka, Ternate, Tidore, dan lain-lain sudah dapat dikatakan sebagai kota. Ada yang berfungsi sebagai kota pusat kerajaan, kota kadipaten dan ada pula sebagai kota pelabuhan. Sebagai sebuah kota, masing-masing dari daerah-daerah tersebut pasti memiliki corak kehidupan dan perekonomian. Pada masa perkembangan Islam, corak kehidupan dan perekonomian hampir sama antara daerah satu dengan lainnya.
            Pertumbuhan kota-kota bercorak muslim di pesisir utara dan timur Sumatera di Selat Malaka sampai Ternate di Maluku melalui pesisir utara Jawa ada hubungan dengan faktor ekonomi di bidang pelayaran dan perdagangan[27]. Karena perdagangan menjadi faktor utama perkembangan kota, maka sebuah pasar memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian. Hal tersebut juga berlaku di Ternate, terdapat pasar yang menjadi pusat perekonomian.
            Ternate Tidore termasuk kesultanan tradisional sehingga sistem ekonomi yang berlaku dalam kerajaan ini pun masih bersifat tradisional. Raja memiliki kekuasaan tertinggi dalam mengatur perekonomian kesultanan dan menetapkan peraturan-peraturan yang berlaku di kesultanan. Raja termasuk golongan yang kehidupan ekonominya tertinggi, karena raja-raja pada zaman tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung, menentukan nasib perekonomian dan perdagangan dengan segala peraturannya[28]. Selain raja, elite-elite yang memiliki hubungan kekerabatan dengan raja juga dapat turut mengatur perekonomian di kesultanan.
            Sebagai kerajaan yang bercorak maritim seperti Ternate, dalam kehidupannya tidak membawa basis agraria melainkan perdagangan dan pelayaran. Oleh sebab itu maka kota-kota pantai kekuasaan ekonomi maupun politiknya dipegang oleh kaum aristokrat yang mendominasi perdagangan sebagai pemberi modal atau kadang-kadang sebagai peserta. Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran merupakan sendi-sendi kekuasaan mereka yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar[29].
            Perdagangan di Maluku terjadi dengan pedagang-pedagang dari Cina yang melalui jalur pelayaran dan perdagangan. Interaksi dengan para pedagang tersebut terjadi sejalan dengan perubahan jalur perdagangan dunia dari transkontinental ke jalur maritim antara India dan Cina itu membuat kerajaan-kerajaan di Maluku untuk pertama kalinya dalam sejarah ekonomi dan maritim dapat hersinggungan secara langsung dan dinyatakan terbuka hubungan perdagangan dengan dunia luar. Dan untuk pertama kalinya pula kerajaan-kerajaan di Maluku dapat melakukan kontak perdagangan secara langsung dan terbuka dengan para pedagang yang herasal dari luar wilayah geografisnya. Pada awal abad VIII, kerajaan-kerajaan di Maluku masih melakukan hubungan perdagangan secara tidak laugsung (tatap muka) dengan pedagang-pedagang dari Cina dan India (Gujarat-Islam) sebatas menggunakan sistem barter, yaitu pertukaran barang dengan barang[30].
            Ketika kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku mulai berinteraksi secara langsung dengan para pedagang dari Cina dan India, perekonomian khususnya dalam hal perdagangan tidak lagi hanya diatur oleh raja. pedagang Cina dan India juga dapat melebarkan jaringan perdagangannya dengan melibatkan juga kaum bangsawan di Maluku. Dengan demikian pedagang-pedagang Cina dengan leluasa memperkenalkan dan mempraktekkan mata uang "Fang" mereka kepada bangsawan dan raja-raja di Maluku untuk dapat digunakan dalam setiap kegiatan perdagangan. Selanjutnya mata uang Fang itu oleh seluruh kerajaan di Maluku dapat digunakan sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perdagangan, khususnya dengan pedagang-pedagang dari Cina[31].
            Ketika kedatangan bangsa Eropa yaitu Portugis membuat perubahan dalam hal perekonomian. Monopoli perekonomian dipegang oleh Portugis, raja tidak lagi memiliki wewenang yang besar karena kekuasaan Portugis yang sangat besar di Maluku. Apabila ada perlawanan dari raja yang berkuasa, bukan tidak mungkin raja yang sedang berkuasa tersebut akan ditangkap oleh Portugis. Ketika Portugis pergi meninggalkan Ternate selama-lamanya, VOC kemudian datang dan melanjutkan monopoli rempah-rempah di Maluku membuat keadaan perekonomian tidak berubah seperti pada masa kekuasaan Portugis di Maluku terutama Ternate dan Tidore. Perekonomian di Maluku tetap seperti itu hingga Belanda datang.

BAB 3
ISI
3.1. Hubungan Kesultanan Ternate Tidore dan Reaksi terhadap Bangsa Asing
Raja-raja tertua di Maluku adalah raja-raja dari Jailolo akan tetapi karena penduduk Ternate, Tidore dan Bacan lebih banyak dari Jailolo, maka penguasa dari tiga daerah ini lebih menonjol. Kerajaan Ternate terjadi kira-kira pada abad ke-13 dan ibukota kerajaan ini ditempatkan di Sampalu. Di tempat ini pada abad-abad kemudian orang-orang Portugis mencampuri masalah tahta kerajaan.
Setelah berhasil menduduki Malaka (1511), orang-orang Portugis tidak tinggal diam, mereka melanjutkan petualangan mereka dengan mengadakan pelayaran ke timur ke kepulauan rempah-rempah. Pelayaran dilanjutkan di bawah pimpinan De Abreu. Dalam perjalanannya ini ia singgah di Gresik dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Maluku, yaitu ke Pulau Banda. Pulau ini merupakan tempat pengumpulan rempah-rempah Maluku. Di Banda orang Portugis membeli pala, cengkeh, fuli. Rempah-rempah ini ditukar dengan bahan pakaian dari India. Dengan ini suasana perdagangan yang ramai timbul di pulau ini.[32]
Untuk beberapa lama perdagangan antara kedua pihak ini, yaitu Portugis dan Ternate berjalan dengan tenteram. Ternate meminta kepada pihak Portugis untuk mendirikan suatu benteng di Ternate untuk melindungi diri dari serangan-serangan musuh. Permohonan ini diterima dengan sangat baik oleh pihak Portugis untuk mengajukan pula keinginan mereka, yaitu monopoli perdagangan cengkeh. Keinginan ini kemudian dituangkan ke dalam suatu perjanjian. Dengan adanya perjanjian ini, mulailah masuk pengaruh-pengaruh baru yang membawa bermacam-macam akibat. Rakyat Ternate merasa tertekan, karena tidak ada lagi persaingan yang bebas. Mereka harus menjual rempah-rempah mereka dengan harga sangat rendah kepada Portugis. Karena hubungan yang merugikan ini maka timbul perang. Orang Portugis yang baru dikenal sebagai sahabat berubah menjadi pemeras dan musuh.[33]
Hubungan Portugis dengan Ternate berubah menjadi tegang karena upaya (yang agak lemah) Portugis melakukan kristenisasi dan karena perilaku tidak sopan dari orang-orang Portugis sendiri. Akan tetapi, Ambonlah yang kemudian menjadi pusat utama kegiatan-kegiatan Portugis di Maluku sesudah itu. Ternate, sementara itu, menjadi sebuah negara yang gigih menganut Islam dan anti-Portugis di bawah pemerintahan Sultan Baabullah (1570-83) dan putranya, Sultan Said ad-Din Berkat Syah (1584-1606). 
Pada tahun 1521 orang-orang Spanyol datang dengan dua buah kapal melalui Filipina Kalimantan Utara ke Tidore, Bacan dan Jailolo. Mereka diterima dengan baik, ketika mereka pulang, beberapa pedagang mereka tinggal di Tidore. Akan tetapi nasib mereka kurang baik, karena orang-orang Portugis kemudian menyerang mereka.[34]
Kedatangan orang-orang Spanyol di Maluku tidak menggembirakan orang-orang Portugis, karena mereka tidak mau mendapat saingan dari orang Eropa yang lain yang dapat mengganggu politik monopoli perdagangan rempah-rempah mereka. Akan tetapi kapal-kapal Spanyol tetap berlayar ke tempat itu. Karena sikap yang baik, mereka lebih disukai daripada orang-orang Portugis. Kapal-kapal Spanyol hingga tahun 1534 mengunjungi Maluku. Setelah itu karena suatu perjanjian dengan orang-orang Spanyol pada tahun itu pula, maka setelah itu mereka meninggalkan daerah Maluku. Dan sekali lagi orang-orang Portugis mendapat kebebasan penuh untuk melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah.[35]
Sejak akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 tiba gilirannya bagi orang-orang Belanda datang ke Indonesia. Motif kedatangan orang-orang Belanda ini hampir serupa dengan orang-orang Portugis. Apabila motif kedatangan orang-orang Portugis ada tiga yaitu agama, ekonomi dan petualangan maka kedatangan orang-orang Belanda mempunyai dua motif yaitu ekonomi dan petualangan. Kedatangan orang-orang Belanda di pelabuhan Maluku mendapat sambutan yang baik dari penguasa-penguasa serta rakyatnya. Hampir setiap pulau di Maluku disinggahi oleh kapal-kapal Belanda, untuk mengadakan perdagangan dengan penduduk. Kedatangan orang-orang Belanda di Ternate diterima dengan baik karena pada waktu itu sultan Ternate sedang memusuhi orang-orang Portugis dan Spanyol. Dengan sikap yang baik dari pihak orang-orang Belanda maka kembalinya kapal-kapalnya ke negerinya membawa muatan rempah-rempah yang banyak serta mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.[36]
3.2 Perlawanan bangsa Ternate terhadap kekuatan asing
Orang asing yang menjejakkan kakinya pertama kali di wilayah kepulauan Ternate adalah Loedwijk de Bartomo (Lidvico Varthema) di tahun 1506. Pada tahun 1512, rombongan bangsa Portugis datang ke wilayah kepulauan Ternate untuk mencari rempah-rempah. Pada saat itu rombongan Portugis dipimpin oleh Fransisco Serrao. Kedatangan mereka pertama kali awalnya hanya ingin berdagang rempah-rempah. Oleh karena itu pada awal kedatangannya Sultan Bayanullah yang berkuasa pada tahun 1500-1521menerima kedatangan mereka dengan ramah dan mengizinkan bangsa Portugis untuk mendirikan pos dagang di wilayah Ternate. Sebuah catatan mengatakan bahwa keberhasilan bangsa Portugis diterima oleh bangsa Ternate adalah dengan membawa saudagar melayu ke dalam kongsi dagang mereka, sehingga diterima baik oleh pihak Ternate.[37] Kedatangan bangsa Portugis ke wilayah Ternate membuat bangsa asing lain terpacu untuk memasuki wilayah Ternate. Focus utama mereka tidak lain dan tidak bukan adalah mencari rempah-rempah. Seperti telah kita ketahui, kepulauan Ternate dan Tidore merupakan “gudang” dari rempah-rempah. Pada masa awal, kesultanan Ternate belum menjalani kerjasama dengan kesultanan Tidore bahkan mereka bersaing dalam sektor politik dan ekonomi. Keberhasilan kesultanan Ternate dalam menggandeng kekuatan Portugis ternyata berdampak pada ramainya pasar di wilayah Ternate. Pada tahun 1521 Portugis mendirikan benteng Sao Paulo di wilayah Ternate.[38]
            Ramainya perdagangan di wilayah Kepulauan Ternate ternyata membuat gerah pihak kesultanan Tidore. Pihak kesultanan Tidore mulai membuka jalinan kerjasama dengan pihak Spanyol. Keadaan ini makin mempeuncing keadaan. Seperti yang telah kita ketahui pada masa tersebut, persaingan antara Portugis dan Spanyol sangat tajam. Hal ini membuat keadaan antara kesultanan Ternate dan kesultanan Tidore makin memanas. Solusi yang diambil adalah membagi daerah kegiatan dagang mereka, yaitu Portugis mengambil wilayah perdagangan di kepulauan Maluku dan Spanyol berkuasa atas perdagangan di wilayah Filipina. Portugis datang ke Ternate pada awalnya dengan itikad untuk berdagang rempah-rempah. Namun pada kenyataannya Portugis memiliki niat untuk memonopoli perdagangan yang ada di wilayah kepulauan Ternate. Mereka pun juga memiliki misi keagamaan, yakni menyebarkan agama Katolik ke dalam kalangan kerajaan dan masyarakat Ternate. Namun sikap Portugis ini ternyata tidak disenangi oleh pihak kerajaan. Terlebih pada saat kerajaan Ternate dipimpin oleh Pangeran Tabarij. Portugis yang merasa keadaannya terdesak di masa kekuasaan Pangeran Tabarij, mengasingkannya ke wilayah Goa-India. Tidak hanya itu Portugis juga memaksa Tabarij untuk masuk ke dalam agama Kristen dan mengganti namanya menjadi Manuel. Kesultanan Ternate pun dipaksa untuk menjadi kerajaan Kristen.
            Kekuasaan Tabarij digantikan oleh Sultan Hairun. Dalam masa kekuasaannya Sultan Hairun sangat menentang kebijakan Portugis dan mengadakan persekutuan dengan 2 kesultanan lain, yaitu Aceh dan Demak. Namun dengan akal licik Portugis dapat dengan mudah membunuh Sultan Hairun di meja perundingan. Kemudian Sulthan Baabullah naik menjadi Sultan (1570-1583 M). Pada masa kekuasaannya Portugis dibuat tak berkutik. Ia memobilisasi massa untuk memerangi kekuatan Portugis. Selama lima tahun akhirnya Portugis keluar dari wilayah Maluku pada tahun 1575 M.
            Kekuatan berikutnya yang masuk ke wilayah Maluku adalah VOC. VOC masuk ke wilayah Maluku secara penuh pada abad ke-17. Periode awal masuknya VOC ke wilayah Maluku ditandai dengan penyerangan terhadap wilayah Makian pada tahun 1605. Namun pada masa awalnya keberadaan VOC masih dibayang-bayangi oleh kekuatan Spanyol. Pada masa kekuasaan Sultan Mandar Syah, keberadaan VOC mulai stabil. Bulan Juni 1650, Sultan Mandar Syah yang baru berkuasa selama 2 tahun menyerahkan beberapa negeri di wilayah Seram (Kalibobo, Elepaputi, Amahai, dan Makariki). Reaksi keras dimunculkan dari pihak internal kerjaan, banyak yang tidak suka oleh kebijakan Sultan Mandar Syah.[39] Rakyat menentang dan berada di belakan perlindungan kepada VOC. Keluarnya Mandar Syah dari lingkungan kerajaan, diiringi dengan meletusnya pemberontakan kecil terhadap kebijakan Mandar Syah. Mengetahui terjadinya pemberontakan, pihak VOC melaporkan kejadian ini ke Batavia. Lalu Gubernur Jendral memerintahkan Panglima Militer VOC di Ambon, Arnold de Vlamming, untuk menggertak para oposan Mandar Syah dan memadamkan pemberontakan agar tidak menjalar ke wilayah lain.[40] Dapat dikatakan pemerintahan Mandar Syah menjadi pemerintahan yang sangat lemah dan sangat bergantung pada kekuatan VOC. Tahtanya digantikan oleh anaknya yang bernama Sibori Amsterdam. Naiknya Sibori Amsterdam menjadi raja di kerajaan Ternate didukung oleh pihak VOC, karena ia dianggap dapat diatur sesuai kehendak VOC.[41] Namun kedudukan Sibori lagi-lagi ditentang oleh para rakyatnya. Karena pada saat ia menerima bintang penghargaan dari VOC atas penandatanganan perjanjian dengan VOC di tahun 1676 tepatnya pada tanggal 12 Oktober, Ternate telah melepas seluruh kedaulatannya atas Maluku Tengah.
            Dalam masa ini kedultanan Ternate mulai memasuki masa suramnya. Pada tahun 1680, Sibori mengutus Pati Lima untuk menyerukan agar kaum muslimin di daerah tersebut memerangi Belanda terkecuali mereka yang bersedia menjadi sahabat kesultanan Ternate. Keberadaan Pati Lima yang bermaksud untuk bertemu dengan Hasan Sulaiman di Hitu segera diburu oleh pihak Gubernur Ambon. Pati Lima disergap di wilayah Hatuwane, dan ia dikirim ke wilayah benteng Victoria Ambon. Ia pun diinterogasi oleh pihak Belanda mengenai surat edaran Sibori. Pati Lima pun mengakui bahwa ia dimandatkan secara penuh untuk membunuh orang-orang Belanda.
            Terbongkarnya misi Pati Lima membuat bobato kesultanan Ternate untuk menyerah kepada Belanda di benteng Oranje. Banyak versi yang saling bersinggungan mengenai menyerahnya para bobato kesultanan Ternate terhadap Belanda. Satu sisi sumber mengatakan bahwa para Bobato menyerah karena ketidakpuasannya terhadap kebijakan Sibori, sisi lain mengatakan bahwa mereka menyerah karena keadaan terdesak saat melakukan perundingan dan mereka ditangkap di wilayah Fort Oranje.[42] Sibori diminta oleh pihak VOC untuk menyerah dan datang ke wilayah Fort Oranje. Permintaan ini ditolak mentah-mentah oleh Sibori. Penolakan ini ditenggapi dengan penyerangan Belanda terhadap istana Ternate dan menembaki negeri Soasio. Kedatangan kedua Belanda pasca penolakan Sibori, datang dengan kekuatan lebih besar bermaksud menangkap Sibori. Pihak kesultanan dapat bertahan dan Belanda mundur ke benteng. Esok harinya keluarga Sultan mengungsi ke wilayah Jailolo dan ke wilayah Alifuru. Mereka tidak dapat bertahan akibat logistik yang tidak memadai. Orang-orang kepercayaan Sibori satu demi satu mulai menyebrang ke pihak Belanda. Mereka merasa tidak dapat bertahan karena keadaan istana yang tidak kondusif. Terlebih pihak Belanda mulai menjanjikan hadiah kepada siapa pun yang dapat menangkap Sibori. Pemberontakan yang dilakukan oleh Sibori terkesan ”setengah hati”, meskipun ia memiliki kuasa penuh dan kekuatan yang cukup dalam memerangi keberadaan Belanda. Hingga akhirnya Sibori dapat ditangkap berkat informasi ortang terdekatnya. Ia pun diasingkan ke wilayah Batavia pada 30 Agustus 1681. Ia diasingkan di Batavia selama beberapa bulan dan kembali ke Ternate. Pada tahun 1683 tepatnya pada tanggal 7 Juli, Sibori mengadakan perundingan dengan Belanda yang isinya melemahkan kekuasaan Sibori dan hanya menjadi boneka Belanda.
3.3. KERAJAAN TERNATE DAN TIDORE
Kerajaan Ternate dan Tidore terletak di kepulauan Maluku. Maluku adalah kepualuan yang terletak di antara Pulau Sulawesi dan Pulau Irian.
Gambar 17. Peta Kepulauan Maluku abad 16.
Keadaan Maluku yang subur dan diliputi oleh hutan rimba, maka daerah Maluku terkenal sebagai penghasil rempah seperti cengkeh dan pala. Cengkeh dan pala merupakan komoditi perdagangan rempah-rempah yang terkenal pada masa itu, sehingga pada abad ke-12 ketika permintaan akan rempah-rempah sangat meningkat, maka masyarakat Maluku mulai mengusahakan perkebunan dan tidak hanya mengandalkan dari hasil hutan.
 Cengkeh banyak terdapat di Pulau Buru, Seram dan Ambon.
Dalam rangka mendapatkan rempah-rempah tersebut, banyak pedagang-pedagang yang datang ke Kepulauan Maluku. Salah satunya adalah pedagang Islam dari Jawa Timur. Dengan demikian melalui jalan dagang tersebut agama Islam masuk ke Maluku, khususnya di daerah-daerah perdagangan seperti Hitu di Ambon, Ternate dan Tidore.
Selain melalui perdagangan, penyebaran Islam di Maluku dilakukan oleh para Mubaligh (Penceramah) dari Jawa, salah satunya Mubaligh terkenal yaitu Maulana Hussain dari Jawa Timur yang sangat aktif menyebarkan Islam di Maluku sehingga pada abad 15 Islam sudah berkembang pesat di Maluku.
Dengan berkembangnya ajaran Islam di Kepulauan Maluku, maka rakyat Maluku baik dari kalangan atas atau rakyat umum memeluk agama Islam, sebagai contohnya Raja Ternate yaitu Sultan Marhum, bahkan putra mahkotanya yaitu Sultan Zaenal Abidin pernah mempelajari Islam di Pesantren Sunan Giri, Gresik, Jawa Timur sekitar abad 15. Dengan demikian di Maluku banyak berkembang kerajaan-kerajaan Islam.
Dari sekian banyak kerajaan Islam di Maluku, kerajaan Ternate dan Tidore merupakan dua kerajaan Islam yang cukup menonjol peranannya, bahkan saling bersaing untuk memperebutkan hegemoni (pengaruh) politik dan ekonomi di kawasan tersebut.
Kehidupan Politik
Kepulauan Maluku terkenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Rempah-rempah tersebut menjadi komoditi utama dalam dunia pelayaran dan perdagangan pada abad 15 – 17. Demi kepentingan penguasaan perdagangan rempah-rempah tersebut, maka mendorong terbentuknya persekutuan daerah-daerah di Maluku Utara yang disebut dengan Ulilima dan Ulisiwa.
Ulilima berarti persekutuan lima bersaudara yang dipimpin oleh Ternate yang terdiri dari Ternate, Obi, Bacan, Seram dan Ambon. Sedangkan Ulisiwa adalah persekutuan sembilan bersaudara yang terdiri dari Tidore, Makayan, Jailolo dan pulau-pulau yang terletak di kepulauan Halmahera sampai Irian Barat.
Gambar 18. Persekutuan Ulilima dan Ulisiwa.
Antara persekutuan Ulilima dan Ulisiwa tersebut terjadi persaingan. Persaingan tersebut semakin nyata setelah datangnya bangsa Barat ke Kepulauan Maluku. Bangsa barat yang pertama kali datang adalah Portugis yang akhirnya bersekutu dengan Ternate tahun 1512. Karena persekutuan tersebut maka Portugis diperbolehkan mendirikan benteng di Ternate. Spanyol pun datang ke Maluku pada waktu itu bermusuhan dengan Portugis. Akhirnya Spanyol di Maluku bersekutu dengan Tidore.
Akibat persekutuan tersebut maka persaingan antara Ternate dengan Tidore semakin tajam, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan antara keduanya yang melibatkan Spanyol dan Portugis. Dalam peperangan tersebut Tidore dapat dikalahkan oleh Ternate yang dibantu oleh Portugis.  Keterlibatan Spanyol dan Portugis pada perang antara Ternate dan Tidore, pada dasarnya bermula dari persaingan untuk mencari pusat rempah-rempah dunia sejak awal penjelajahan samudra, sehingga sebagai akibatnya Paus turun tangan untuk membantu menyelesaikan pertikaian tersebut.
Usaha yang dilakukan Paus untuk menyelesaikan pertikaian antara Spanyol dan Portugis adalah dengan mengeluarkan dekrit yang berjudul Inter caetera Devinae, yang berarti Keputusan Illahi. Dekrit tersebut ditandatangani pertama kali tahun 1494 di Thordessilas atau lebih dikenal dengan Perjanjian Thordessilas. Dan selanjutnya setelah adanya persoalan di Maluku maka kembali Paus mengeluarkan dekrit yang kedua yang ditandatangani oleh Portugis dan Spanyol di Saragosa tahun 1528 atau disebut dengan Perjanjian Saragosa.
Perjanjian Thordessilas merupakan suatu dekrit yang menetapkan pada peta sebuah garis maya perbatasan dunia yang disebut Garis Thordessilas yang membentang dari Kutub Utara ke Kutub Selatan melalui Kepulauan Verdi di sebelah Barat benua Afrika. Wilayah di sebelah Barat Garis Thordessilas ditetapkan sebagai wilayah Spanyol dan di sebelah Timur sebagai wilayah Portugis.
Sedangkan Perjanjian Saragosa juga menetapkan sebuah garis maya baru sebagai garis batas antara kekuasaan Spanyol dengan kekuasaan Portugis yang disebut dengan Garis Saragosa. Di mana garis tersebut membagi dunia menjadi 2 bagian yaitu Utara dan Selatan. Bagian Utara garis Saragosa merupakan kekuasaan Spanyol dan bagian Selatannya adalah wilayah kekuasaan Portugis. Dari penjelasan tersebut apakah Anda sudah paham? Kalau sudah paham simaklah uraian materi selanjutnya.
            Perjanjian Saragosa yang ditandatangani pada 22 April 1529 merupakan  perjanjian antara Spanyol dan Portugal yang menentukan bahwa belahan bumi bagian timur dibagi di antara kedua kerajaan tersebut dengan batasgaris bujur yang melalui 297,5 legua atau 17° sebelah timur Kepulauan Maluku. Perjanjian ini adalah kelanjutan dari Perjanjian Tordesillas yang membagi belahan bumi barat di antara Spanyol dan Portugal dan diprakarsai oleh Paus, yang melihat persaingan perebutan koloni yang dilakukan oleh Portugis dan Spanyol. Oleh karena itu, dibuatlah perjanjian ini. Dalam perjanjian ini dicapai hasil yang lebih rinci dari dua belah pihak, Spanyol dan Portugis.


Adapun kesepakatan yang dicapai adalah :
  1. Bumi dibagi atas dua pengaruh, yaitu pengaruh bangsa Spanyol dan Portugis.
  2. Wilayah kekuasaan Spanyol membentang dari Mexico ke arah barat sampai kepulauan Filipina dan wilayah kekuasaan Portugis membentang dari Brazillia ke arah timur sampai kepulauan Maluku.  Daerah di sebelah utara garis saragosa adalah penguasaan portugis. Dan daerah di sebelah selatan garis saragosa adalah penguasaan spanyol.[43]
Dengan adanya perjanjian Saragosa tersebut, maka sebagai hasilnya Portugis tetap berkuasa di Maluku sedangkan Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan perhatiannya di Philipina. Sebagai akibat dari perjanjian Saragosa, maka Portugis semakin leluasa dan menunjukkan keserakahannya untuk menguasai dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Tindakan sewenang-wenang Portugis menimbulkan kebencian di kalangan rakyat Ternate, bahkan bersama-sama rakyat Tidore dan rakyat di pulau-pulau lainnya bersatu untuk melawan Portugis.
Perlawanan terhadap Portugis pertama kali dipimpin oleh Sultan Hairun dari Ternate, sehingga perang berkobar dan benteng pertahanan Portugis dapat dikepung. Dalam keadaan terjepit tersebut, Portugis menawarkan perundingan. Akan tetapi perundingan tersebut merupakan siasat Portugis untuk membunuh Sultan Hairun tahun 1570.
Dengan kematian Sultan Hairun, maka rakyat Maluku semakin membenci Portugis, dan kembali melakukan penyerangan terhadap Portugis yang dipimpin oleh Sultan Baabullah pada tahun 1575. Perlawanan ini lebih hebat dari sebelumnya sehingga pasukan Sultan Baabullah dapat menguasai benteng Portugis. Keberhasilan Sultan Baabullah merebut benteng Sao Paolo mengakibatkan Portugis menyerah dan meninggalkan Maluku. Dengan demikian Sultan Baabullah dapat menguasai sepenuhnya Maluku dan pada masa pemerintahannya tahun 1570 – 1583 kerajaan Ternate mencapai kejayaannya karena daerah kekuasaannya meluas terbentang antara Sulawesi sampai Irian dan Mindanau sampai Bima, sehingga Sultan Baabullah mendapat julukan sebagai ‘Tuan dari 72 Pulau’.
Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Ternate dan Tidore berkembang sebagai kerajaan Maritim. Dan hal ini juga didukung oleh keadaan kepulauan Maluku yang memiliki arti penting sebagai penghasil utama komoditi perdagangan rempah-rempah yang sangat terkenal pada masa itu. Dengan andalan rempah-rempah tersebut maka banyak para pedagang baik dari dalam maupun luar Nusantara yang datang langsung untuk membeli rempah-rempah tersebut, kemudian diperdagangkan di tempat lain.
Dengan kondisi tersebut, maka perdagangan di Maluku semakin ramai dan hal ini tentunya mendatangkan kemakmuran bagi rakyat Maluku. Adanya monopoli dagang Portugis maka perdagangan menjadi tidak lancar dan menimbulkan kesengsaraan rakyat di Maluku.
Kehidupan Sosial Budaya
Masuknya Islam ke Maluku maka banyak rakyat Maluku yang memeluk agama Islam terutama penduduk yang tinggal di tepi pantai, sedangkan di daerah pedalaman masih banyak yang menganut Animisme dan Dinamisme.
Dengan kehadiran Portugis di Maluku, menyebabkan agama Katholik juga tersebar di Maluku. Dengan demikian rakyat Maluku memiliki keanekaragaman agama. Perbedaan agama tersebut dimanfaatkan oleh Portugis untuk memancing pertentangan antara pemeluk agama. Dan apabila pertentangan sudah terjadi maka pertentangan tersebut diperuncing oleh campur tangan orang-orang Portugis.
Dalam bidang kebudayaan yang merupakan peninggalan kerajaan Ternate dan Tidore terlihat dari seni bangunan berupa bangunan Masjid dan Istana Raja dan lain-lain.
Gambar 19. Bangunan Masjid di Maluku.

Kemunduran Kerajaan Ternate dan Tidore
1)      Kerajaan Ternate
Kerajaan-kerajaan di Maluku, termasuk Ternate dan Tidore mulai mengalami perpecahan ketika kedatangan orang-orang Barat di tanah Maluku. Portugis di Ternate dan Spanyol di Tidore yang berebut kekuasaan dalam memonopoli perdagangan, khususnya rempah-rempah.[44] Kerajaan Ternate mengalami kemunduran setelah Sibori Amsterdam naik tahta. Ia menggantikan ayahnya Mandar Syah pada tahun 1675. Naiknya Sibori menjadi Sultan Ternate sangat didukung oleh VOC. Ia dianggap oleh VOC sebagai orang yang dapat diatur menurut kehendaknya[45]. Oleh karena itu, VOC dapat memanfaatkan situasi tersebut untuk menguasai Ternate.
Pada 12 Oktober 1676, suatu perjanjian yang sangat merugikan Ternate ditandatangani para utusan ternate dengan Gubernur Jenderal Jan Maatsuyker. Inti perjanjian tersebut adalah wilayah seberang laut kesultanan Ternate di Kepulauan Ambon digabungkan dalam provinsi dann diangkatnya penguasa-penguasa khusus di pulau Buru, Ambalau, Buano, dan Kelang.[46] Akibat dari perjanjian tersebut, Ternate telah melepaskan seluruh kedaulatannya atas Maluku Tengah. Segera setelah itu daerah-daerah lain di seberang laut yang memiliki hubungan dengan Ternate melepaskan diri. VOC telah membawa situasi yang sulit kepada Ternate. Dengan berbagai tekanan, VOC telah menempatkan VOC dalam kondisi yang tak memiliki banyak pilihan. Setelah menyadari hal tersebut, Sibori kemudian mengutus Pati Lima untuk membawa surat edaran yang ditujukan kepada seluruh umat muslim di Ambon, Hitu, Buru, dan Manipa. Dalam surat edaran tersebut, Sibori menyerukan agar kaum muslim di daerah-daerah tersebut untuk menyerbu dan membunuh orang-orang Belanda. Namun Gubernur Ambon yang mendengar perihal surat edaran tersebut segera mengambil tindakan untuk menangkap Pati Lima dan akhirnya Sultan Sibori berhasil ditangkap oleh VOC dan dibawa ke Batavia pada 30 Agustus 1681.
            Setelah ditangkap dan dibawa ke Batavia, Sultan Sibori mengalami masa pengasingan sampai akhir tahun 1682. Pada awal Juli 1683 sebuah perundingan dilakukan antara Sibori dan Gubernur Jendral yang menghasilkan kesepakatan yang ditandatangani pada 7 Juli 1683 :
1)      Hak Gubernur VOC untuk duduk dalam dewan kerajaan Ternate
2)      Semua eksekusi hukuman mati harus dengan persetujuan VOC
3)      Setiap pergantian Sultan harus dengan persetujuan VOC.[47]
Sejak berlakunya perjanjian tersebut, Ternate secara otomatis telah kehilangan kedaulatannya sebagai kerajaan yang merdeka. Oleh karena itu, pada tahun 1683 kerajaan Ternate dipaksakan menjadi “leenstaat” (negara vassal) dari VOC.[48]
2)      Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore merupakan kerajaan yang menjadi sasaran kedatangan bangsa Barat dalam menguasai perdagangan rempah-rempah, disamping Kerajaan Ternate dan sekitarnya. Persaingan Portugis dan Spanyol hingga Tidore dikuasai oleh VOC semata-mata untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah.[49] Seiring dengan kedatangan bangsa Barat, Kerjaan Tidore mulai mengalami kemunduran. Kerajaan Kemunduran Kerajaan Tidore terlihat ketika dipimpin oleh Sultan Saifuddin.  Ketika Sultan Tidore ke-12 ini memerintah, pada tahun 1663 secara mengejutkan Spanyol menarik seluruh kekuatannya dari Ternate, Tidore dan Siau yang berada di Sulawesi Utara ke Filipina. Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara, membutuhkan semua kekuatan untuk mempertahankan Manila dari serangan bajak laut Cina, Coxeng. Gubernur Spanyol di Maluku, Don Francisco de Atienza Ibanez, nampak meninggalkan kepulauan Maluku pada bulan Juni 1663. Maka berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan Maluku.
Dengan tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan VOC-Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah itu. Akhirnya Sultan Saifudin kemudian melakukan perjanjian dengan Laksamana Speelman dari VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret 1667 yang isinya sebagai berikut:
  1. VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas Kepulauan Raja Empat dan Papua daratan.
  2. Kesultanan Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya kepada VOC.
Batavia kemudian mengeluarkan ordinansi untuk Tidore yang membatasi produksi cengkeh dan pala hanya pada Kepulauan Banda dan Ambon. Di luar wilayah ini, semua pohon rempah diperintahkan untuk dimusnahkan. Pohon-pohon rempah yang ‘berlebih’ ditebang untuk mengurangi produksi rempah sampai seperempat dari masa sebelum VOC-Belanda memegang kendali perdagangan atas Maluku.
Apa yang dilakukan oleh VOC-Belanda tersebut, yaitu memusnahkan atau eradikasi pohon-pohon cengkih di Kepulauan Maluku, disebut sebagai “Hongi Tochten”. Kesultanan Ternate sebenarnya telah terlebih dahulu mengadakan perjanjian yang berkenaan dengan “Hongi Tochten” pada tahun 1652 kemudian disusul oleh Tidore beberapa waktu berikutnya setelah Tidore mengakui kekuatan ekonomi-militer Belanda di Maluku. Pihak kesultanan menerima imbalan tertentu (recognitie penningen) dari pihak VOC akibat operasi ini. “Hongi Tochten” dilakukan akibat banyaknya penyelundup yang memasarkan cengkih ke Eropa sehingga harga cengkih menjadi turun drastis.
Sepeninggal Sultan Saifudin, Kesultanan Tidore semakin melemah. Banyaknya pertentangan dan pemberontakan di kalangan istana kesultanan menyebabkan Belanda dengan begitu mudah mencaplok sebagian besar wilayah Tidore.[50] Dengan demikian, Kesultanan Tidore berada dalam pengaruh Belanda, baik dalam hal ekonomi maupun politik.
Peta Kepulauan di Nusantara Abad ke-17.[51]








BAB IV
PENUTUP
Sejak berlakunya perjanjian tersebut, Ternate secara otomatis telah kehilangan kedaulatannya sebagai kerajaan yang merdeka. Perjanjian tersebut telah menjadikan Kesultanan Ternate tak lain hanya merupakan kerajaan vassal VOC. Pada perkembangan selanjutnya perlawanan terhadap VOC dan Belanda tetap dilakukan. Namun hal tersebut hanya dapat dilakukan secara terbatas karena kemampuan kerajaan yang minim serta pengaruh belanda yang kuat.
Sedangkan di tidore kejatuhannya di latar belakangi Ketika Sultan Tidore ke 12 memerintah yaitu Sultan Saifudin, pada tahun 1663 secara mengejutkan Spanyol menarik seluruh kekuatannya dari Ternate, Tidore dan Siau yang berada di Sulawesi Utara ke Filipina. Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara, membutuhkan semua kekuatan untuk mempertahankan Manila dari serangan bajak laut Cina, Coxeng. Gubernur Spanyol di Maluku, Don Francisco de Atienza Ibanez, nampak meninggalkan kepulauan Maluku pada bulan Juni 1663. Maka berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan Maluku. [52]
Dengan tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan VOC-Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah itu.
Akhirnya Sultan Saifudin kemudian melakukan perjanjian dengan Laksamana Speelman dari VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret 1667 yang mana isinya adalah : (1) VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas Kepulauan Raja Empat dan Papua daratan (2) Kesultanan Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya kepada VOC.[53]
Pada tahun 1780, Nuku memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore dan menyatakan bahwa kesultanan-nya sebagai wilayah yang merdeka lepas dari kekuasaan VOC-Belanda. Kesultanan Tidore yang dimaksudkan olehnya meliputi semua wilayah Tidore yang utuh yaitu : Halmahera Tengah dan Timur, Makian, Kayoa, Kepulauan Raja Ampat, Papua Daratan, Seram Timur, Kepulauan Keffing, Geser, Seram Laut, Kepulauan Garang, Watubela dan Tor. [54]
Setelah berjuang beberapa tahun, Sultan Nuku memperoleh kemenangan yang gemilang. Ia berhasil membebaskan Kesultanan Tidore dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan pamornya. Penghujung a bad ke- 18 dan permulaan abad ke-19 adalah era keemasan Tidore di bawah Nuku.
Kemenangan-kemenangan yang diraih Sultan Nuku juga tidak lepas dari kondisi politik yang terjadi di negeri Belanda. Tahun 1794, Napoleon Bonaparte menyerbu Belanda yang mengakibatkan Raja Willem V mengungsi ke Inggris. Selama menetap di Inggris, ia mengeluarkan instruksi ke seluruh Gubernur Jenderal daerah jajahannya agar menyerahkan daerahnya ke Inggris supaya tidak jatuh ke tangan Perancis. Tahun 1796, Inggris menduduki. Ditambah dengan bubarnya VOC pada Desember 1799, maka hal ini semakin memperlemah kedudukan Belanda di Kepulauan Maluku. [55]
Tetapi pada tanggal 14 November 1805, Tidore kehilangan seorang sultan yang pada masa hidupnya dikenal sebagai (Jou Barakati) atau di kalangan orang Inggris disapa dengan (Lord of Forrtune). Wafatnya Sultan Nuku dalam usia 67 tahun tidak hanya membawa kesedihan bagi rakyat Malaku, tetapi juga memberikan kedukaan bagi rakyat Tobelo, Galela dan Lolada yang telah bergabung ke dalam barisan Nuku sejak awal perjuangannya. Akibat dari hal tersebutlah Voc kembali mulai menanamkan kedigdayaannya di Tidore di sebabkan hilangnya sosok pemberani seperti Sultan Nuku.



DAFTAR PUSTAKA

Amal, M. Adnan. 2010. Kepulauan Rempah-Rempah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Atjo, Rusli Andi. 2008. Peninggalan Sejarah di Ternate. Jakarta: Cikoro Trirasuandar.
B.Soelarto, sekelumit Monografi Daerah Taernate
Depdikbud. 1977. Sejarah Daerah Maluku. Jakarta: Depdikbud.
Lapian, A.B. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka. 1993.
Munzirin, Yusuf (ed), Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, 2006
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Susanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III  Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.
Pradjoko, Didik. Pelayaran dan Perdagangan di Nusantara pada Abad ke 16-Abad ke-19, dalam Abdurakhman (ed), Dari Kurun Niaga Hingga Orde Baru: Bunga Rampai Sejarah Indonesia, Depok: FIB UI, 2007
Putuheha, Dr. M. Shaleh. 2007. Historiografi Haji Indonesia. Jakarta, LKIS.
Reid, Anthony. Dari Ekspansi Hingga Krisis II Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Jakarta: Yayasan Obor, 1999.
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi. 2001
Vlekke, Bernard H.M.. Nusantara. Kepustakaan Populer Gramedia. 2008.
Willard A. Hanna, Kepulauan Banda, Kolonialisme dan akibatnya, (Jakarta: Gramedia, 1983).

Internet:
http://history22education.wordpress.com/2010/12/01/perjanjian-saragosa  diunduh pada tanggal 15 Mei 2011 pukul 11:30.
http://www.melayuonline.com/ind/history/dig/336. Kerajaan Tidore. Diunduh pada 3 April 2011, 12:37 PM.
http://melayuonline.com/ind/history/dig/456/kesultanan_tidore Diakses pada 12 mei 2011 pukul 21.45 WIB.
http://melayuonline.com/ind/history/dig/456/kesultanan_ternate Diakses pada 12 mei 2011 pukul 21.50 WIB.
http://ms.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_ternate Diakses pada 12 mei 2011 pukul 21.15 WIB.
http://ms.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_tidore Diakses pada 12 mei 2011 pukul 21.30 WIB.
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/82072548.pdf  diunduh pada tanggal 11 Mei 2011 pukul 21:22
http://melayuonline.com/ind/history/dig/310 diunduh pada tanggal 10 Mei 2011 pukul 18.15 WIB


[1] http://melayuonline.com/ind/history/dig/310 diunduh pada tanggal 16 Maret 2011 pukul 18.15 WIB
[2] Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Sekolah Bhinneka – PPI Nagoya (Jepang).
[3] http://www.wisatanesia.com/2010/08/kesultanan-ternate.html diunduh pada tanggal 16 Maret 2011 pukul 18.24 WIB
[4] Op cit
[5] Ibid
[6] http://arisandi.com/?p=869 diunduh pada tanggal 16 Maret 2011 pukul 18.24 WIB

[7] Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis II Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, (Jakarta: Yayasan Obor, 1999), hlm. 4.
[8] Didik Pradjoko, Pelayaran dan Perdagangan di Nusantara pada Abad ke 16-Abad ke-19, dalam Abdurakhman (ed), Dari Kurun Niaga Hingga Orde Baru: Bunga Rampai Sejarah Indonesia, (Depok: FIB UI, 2007), hlm. 9.
[9] Tome Pires, Suma Oriental dalam Anthony Reid, Op.Cit., hlm. 2
[10] Ibid., hlm. 4.
[11] A.B Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 82-83
[12] Laporan van Lindschotten dalam Didik Pradjoko, Op.Cit., hlm. 13.
[13] Anthony Reid, Op.Cit., hlm. 5.
[14] Ibid., hlm. 18.
[15] Didik Pradjoko, Op.Cit., hlm. 12.
[16] Ibid., hlm. 14.
[17] Ibid., hlm. 13.
[18] Putuheha, Dr. M. Shaleh. 2007. Historiografi Haji Indonesia. Jakarta, LKIS. Hal. 99.
[19] Ibid.
[20] http://www.melayuonline.com/ind/history/dig/336. Kerajaan Tidore. Diunduh pada 3 April 2011, 12:37 PM.
[21] Pada masa penjajahan Belanda, Ternate dibagi atas beberapa distrik, kemudian setiap distrik tersebut dipecah menjadi beberapa ender distrik. Diperoleh dari www.kotaternate.go.id/sejarah/
[22] Ibid., hlm. 299
[23] Penobatan memakai pakaian kebesaran sultan, menggunakan mahkota emas, iring-iringan pengawal, berlututnya para hadirin dan mencium kaki raja dan lainnya.
[24] Mengenai para Boboto lebih lanjut dijelaskan dalam www.melayuonline.com mengenai kerajaan di Maluku
[25] Poesponegoro., Op.cit. hlm. 301
[26] Fase pemerintahan Kesultanan Ternate akan dijelaskan dalam lampiran. Diakses dari www.kotaternate.com
[27] Marwati Djoened, dkk. 1984.  Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : Balai Pustaka, hlm. 214
[28] Ibid, hlm 234
[29] Ibid, hlm 243
[30] Nani Jafar . Maluku Sebagai Propinsi Maritim di Indonesia: Perspektif Kajian Sejarah, Ekonomi, dan Modernisasi, hlm. 4. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/82072548.pdf  diunduh pada tanggal 11 Mei 2011 pukul 21:22
[31] Ibid, hlm 5
[32] Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi. 2001. Hal. 42
[33] Ibid., hal. 43
[34] Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi. 2001. Hal. 43
[35] Ibid., hal. 43
[36] Ibid., hal. 46
[37] Hamka, Sejarah Umat Islam IV, hal. 220
[38] Willard A. Hanna, Kepulauan Banda, Kolonialisme dan akibatnya, (Jakarta: Gramedia, 1983), hal. 3.

[39] Kepulauan Rempah-Rempah, Ternate: Kerajaan Maluku Terbesar, hal, 127.
[40] Ibid, hal. 128
[41] Ibid, hal, 136.
[42] Ibid, hal, 140.
[43] http://history22education.wordpress.com/2010/12/01/perjanjian-saragosa  diunduh pada tanggal 15 Mei 2011 pukul 11:30.
[44] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Susanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III  Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 75.
[45] M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah  (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 136-137.
[46] Ibid., hlm. 139.
[47] Ibid., hlm. 140-142.
[48] Depdikbud, Sejarah Daerah Maluku  (Jakarta: Depdikbud, 1977),  hal. 70.
[49] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Susanto, op cit., hlm. 77.
[51] Rusli Andi Atjo, Peninggalan Sejarah di Ternate (Jakarta: Cikoro Trirasuandar, 2008), hlm. 26.
  Peta tersebut bersumber dari Nusantara, A History of Indonesia oleh Bernard H. M. Vlekke.
[52] http://melayuonline.com/ind/history/dig/336
[53] Ibid
[54] Kepulauan Rempah-rempah. M.Adnan Amal. Kepustakaan Populer Gramedia. 2010
[55] Nusantara. Bernard H.M.Vlekke. Kepustakaan Populer Gramedia. 2008.