Jumat, 27 Juli 2012

KONSEP PEMIKIRAN EKONOMI H. SAMANHUDI


KONSEP PEMIKIRAN EKONOMI H. SAMANHUDI
Oleh: Muhammad Ridho Rachman, 0806343973

Keadaan Masyarakat Indonesia pada Masa Hidup H. Samanhudi
            Ketika H. Samanhudi mendirikan Sarekat Islam di Surakarta, masyarakat Indonesia adalah masyarakat jajahan yang dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah ini tidak bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi hanya sebagai badan penyelenggara yang bekerja di bawah dan atas tanggung jawab pemerintah Netherland. Dalam kaitan ini pemerintah Netherland mempunyai kementrian sendiri yang diberi nama Ministrie van Kolonien dan berkedudukan di Den Haag.
            Di tanah  air kita ini hanya diadakan wali negara atau landvoogd, yang dengan bantuan para anggota Raad van Nederlands Indie, menyerahkan segala tugas kewajibannya kepada Departement van Algemeen Bestuur. Di daerah-daerah terdapat gouverneur yang mengepalai provincie, resident yang mengepalai residentie, dan assistent resident, yang mengepalai afdeiling. Semua kepala negara daerah tersebut adalah orang Belanda.
            Daerah-daerah yang lebih rendah tingkatnya dari yang sudah disebutkan itu, terdapat pejabat-pejabat bumiputera yang tidak mempunyai kebebasan. Bupati yang mengepalai daerah kebupaten selalu berada di bawah pengawasan dan selalu menerima perintah dan pejabat Belanda yang bergelar controuler, yaitu pengawas atau pengontrol.
            Orang bumiputera tidak dapat menjadi controuler. Sebagai contoh, RMA. Kusmodudjo yang sudah tamat dari Fakultas Indologi Universitas Leiden, tidak diperbolehkan seperti teman-temannya yang berkebangsaan Belanda belajar menjadi controuler BB, sebab ia adalah seorang Inlander.
            Pada masa itu sebenarnya hampir semua pekerjaan dikerjakan oleh para pegawai bumiputera, tetapi jiwa kebangsaan belum dapat memasuki pemerintahan. Hal itu disebabkan oleh adanya sistem dan organisasi pemrintah yang bersifat kolonial.
            Dalam sistem itu, di satu pihak bupati sangat dimanjakan, dijadikan raja kecil, dan ia diberi hak mewariskan jabatannya sebagai bupati kepada anaknya. Tetapi di pihak lain bupati dijadikan alat untuk mempertahankan kedudukan Belanda, dalam pengertian ia harus menekan dan menindas rakyat. Sementara itu, pihak kolonial mempunyai bermacam-macam alat unutk mempertahankan kekuasaannya. Alat-alat itu di antaranya adalah tentara, yaitu koninlijk Leger (KL) serta Koninlijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) dan polisi, baik yang rahasia maupun yang tidak. Polisi rahasia disebut Polisi PID (Politiek Inlichtening Dients). Semua alat kekuasaan tersebut bertugas menjaga keamanan. Biasanya mereka bertindak keras, malah sering melampaui batas prikemanusiaan, misalnya menangkap, membelenggu, membuang, menembak, dan sebagainya.
            Dengan demikian, mudah untuk kita fahami bahwa pada masa itu rakyat sama sekali tidak sejahtera, dan menderita secara lahir batin. Mereka kekurangan sandang, pangan, kesehatan dan lain-lain, sedang jiwa mereka sangat tertekan, sehingga harga diri dan kepercayaan diri sendiri tidak ada. Puncak penderitaan rakyat dialami pada masa sistem Tanam Paksa.
            Tentang akibat psikis yang ditimbulkan oleh sistem Tanam Paksa, DMG Koch mengatakan bahwa, meskipun sistem tersebut telah dihapuskan, rakyat masih tidak mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri, tidak mempunyai rasa berbangsa dan bertanah air, tidak mempunyai minat belajar, bersifat sabar dan suka menunduk. Mereka sadar bahwa mereka berada dalam cengkaraman, tetapi mereka tidak mempunyai kemauan untuk melepaskan diri, sebab tidak adanya keyakinan bahwa cengkraman itu dapat dipatahkan. Menurutnya, pada masa itu di atas lapisan rakyat terdapat lapisan pegawai kolonial yang selau bekerja sama satu dengan lainnya dalam kegiatan menindas rakyat. Terhadap penindasan tersebtu rakyat menaruh kebencian yang mendalam, tetapi penggalangan persatuan untuk melawan penindasantersebut belum terpikirkan oleh mereka.
            Pada masa pemerintahan Raja Paku Buwono II (1717-1724) terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh gabungan tentara Jawa dengan orang-orang Cina. Pada akhir abad ke-19 orang-orang Cina banyak didatangkan dari negeri Cina, sebab tenaga mereka sangat dibutuhkan untuk menambah jumlah tenaga bumiputera yang dirasakan sangat kurang. Kebanyakan dari mereka berkerja di perkebunan tembakau di Sumatera Timur, di kebun gambir dan lada di sebelah selatan Riau dan Lingga, mengambil timah putih di Bangka dan Belitung, dan di perkebunan Kalimantan Barat.
            Tetapi di antara orang Cina yang berdatangan itu banyak yang masuk ke pulau Jawa. Hal itu menyebabkan jumlah orang Cina mengalami pertambahan yang sangat cepat. Sebagai contoh, pada tahun 1900 jumlah mereka sekitar 280.000 jiwa, pada saat pertambahan ini jumlah mereka menjadi dua kali lipat. Pertambahan itu telah memberikan kesulitan bagi pemerintah. Keadaan yang menyulitkan pemeritah menjadi leibh berat sesuadah orang-orang Cian mendirikan sekolah-sekolah Cina dan mengirimkan inspektur-inspekturnya sendiri untuk sekolah-sekolahnya.
            Pertumbuhan sekolah berlangsung sangat cepat. Dalam kurun waktu 10 tahun kira-kira sudah terdapat 400 buah. Guru-gurunya yang merupakan alumni perguruan tinggi di Amerika dan Eropa yang ternyata menajadikan sekolah-sekolah sebagai tempat penggemblengan kader-kader Cina. Kemudian lahirlah perkumpulan terpelajar Cina yang kelak mendirikan Young Cina.
            Dalam bidang perekonomian, orang-orang cian mempunyai kedudukan yang makin lama makin kokoh. Sehingga pemerintah Hindia Belanda yang pada masa itu membutuhkan uang menyewakan tana-tanah yang luas kepada mereka. Sebagai tuan tanah, orang-orang Cina mempunyai penjaga keamanan sendiri, membeli hasil bumi rakyat, dan mempunyai hak dengan membungakan uang dan melakukan sistem ijon. Keuntungan lain mereka peroleh dari sewa jalan, penjualan garam, dan dari penarikan pajak masuk dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Dengan demikian dapatlah kita bayangkan betapa penderitaan dan kemiskinan rakyat yang hidup di tanah yang sudah disewa oleh para tuan tanah Cina itu.
            Dalam bidang perdagangan orang-orang Cina banyak yang mencapai kemajuan. Di pantai-pantai bagian utara pulau Jawa, mereka mempunyai perkumpulan-perkumpulan dagang. Di samping iut, banyak orang Cina yang mendapat hak monopoli dalam penjualan berang degangan firma-firma Eropa. Dengan demikian maikn terdesaklah rakyat bumiputera.



H. Samanhudi Menjadi Salah Seorang Pelopor Kebangkitan Politik Umat Islam Indonesia dan Bangsa Indonesia
            Kira-kira tahun 1911, di Surakarta ada sebuah perkumpulan dengan nama Kong Sing. Perkumpulan ini mempunyai dua golongan, bangsa Jawa dan Cina. Perkumpulan yang bersifat koperasi ini mempunyai tujuan mengadakan kerja sama dalam bidang usaha, terutama untuk melakukan pembelian dan penjualan bahan-bahan batik, dan untuk melakukan kerukunan dalam urusan kematian.
            Secara ringkasnya, peningkatan jumlahorang cina menjadi 60 persen membuat seolah hendak menguasai sendiri perkumulan tersebut. Maka keluarlah golongan bangsa Jawa secara beramai-ramai untuk kemudian membentuk perkumpulan yang baru dengan nama Sarekat Dagang Islam.
            SDI didirikan oleh H. Samanhudi yang merupakan salah seorang pedagang kain batik dengan bantuan RM. Tirtodisurdjo dan para pedagang lainnya. Kemudian H. Samanhudi sendiri yang menjadi pemimpin sarekat tersebut. Dalam rapat pembentukan Sarekat Dagang Islam, H. Samanhudi berpidato sebagai bentuk pengarahan dan pernyataan pikiran dan perasaannya. Ketika itu ia mengatakan, di negeri kita ini penduduk dibuat bertingkat-tingkat, yang paling tinggi bangsa Belanda, di bawahnya terdapat bangsa Cina, sedangkan bangsa bumiputera berada di bawah Cina. Dengan kata lain, bangsa bumiputera adalah bangsa yang dipandang sebagai bangsa yang paling rendah derajatnya, atau bangsa kelas kambing, padahal mereka hidup di tanah mereka sendiri. H. Samanhudi juga menambahkan bahwa pihak penjajah telah menanamkan jiwa budak pada diri bangsa kita. Hal itu dilakukan dengan maksud agar bangsa kita dapat dijajah terus. Oleh sebab itu, untuk menjadi bangsa yang mulia, bangsa kita harus dapat membuang juwa budak tersebut.
            Pidato H. Samanhudi terdengar sederhana, tetapi mempunyai arti yang luar biasa. Sebab pada masa itu, penduduk bumiputera tidak saja miskin dan terbelakang, tetapi juga tidak mempunyai kepercayaan pada diri sendiri dan harga diri. Pidato tersebut merupakan ungkapan jiwa H. Samanhudi yang memberontak terhadap keadaan pada waktu itu, atau jiwa yang menghendaki perubahan keadaan sehingga bangsanya pada saat itu disebut inlander dan diperbudak oleh bangsa asing dapat menjadi tuan tanah di tanah airnya sendiri.
            Bertambahnya jumlah anggota Sarekat Islam berlangsung secara cepat disebabkan oleh para pengurusnya yang berusaha keras dalam melebarkan sayap. Pendek kata, Sareakt Islam yang didirikan dan dipimpin langsung H. Samanhudi tumbuh dengan cepat menjadi perkumpulan yang besar dengan anggota yang banyak jumlahnya. Anggota tidak hanya terbatas pada para pedagang batik saja, tetapi meliputi segala jenis perdagangan bumiputera, malah juga rakyat pada umumnya. Sejalan dengan berkembangnya perkumpulan itu secara kuantitatif maupun kualitatif, kata “dagang” pada namanya berangsur-angsur kehilangan arti, sehingga disingkat menjadi Sarekat Islam saja, padahal nama Sarekat Islam baru mendapat pengesahan dalam anggaran dasarnya pada 10 September 1912.
            Tumbuhnya Sarekat Islam menjadi perkumpulan yang besar secara pesat itu dipandang sebagai pertanda bangkitnya masyarakat bumiputera di Hindia Belanda yang ingin mendapatkan pembaharuan dalam segala bidang. Hal itu berkat jasa H. Samanhudi.
            Jelaslah bahwa H. Samanhudi adalah pelopor kebangkitan politik umat Islam Indonesia dan bangsa Indonesia seluruhnya. Dalam kedudukannya sebagai pelopor tersebut, ia telah memberikan seluruh pikiran, tenaga, dan hartanya kepada perjuangan untuk mencapai kesejahteraan lahir batin bangsa Indonesia. Meskipun seorang pengusaha, dalam perjuangan untuk memperbaiki nasib bangsanya ia tidak mengenal untung rugi, sebab keuntungan yang hendak dicapainya adalah keuntungan bagi bangsanya. Menurut H. Samanhudi, jika bangsanya sudah menjadi keadaan yang lebih baik, itu adalah keuntungan baginya.
            Sikap demikianlah yang menyebabkan Sarekat Dagang Islam yang semula kecil dan anggotanya hanya terdiri dari para pedagang bumiputera penduduk Karesidenan Surakarta saja, segera menjadi perkumpulan yang besar. Apalagi sesudah Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam perkumpulan tersebut dengan cepat menjadi perkumpulan yang sangat besar.
            Pada awal 1913 anggotanya sudah berjumlah tidak kurang 80.000 orang. Pada pertengahan 1916 jumlah tersebut sudah meningkat menjadi 360.000 orang, sedang organisasinya sudah berkembang meliputi daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Pada tahun 1918 jumlah anggotanya meningkat menjadi 450.000 orang, sedang Sarekat Islam lokal tergabung di dalamnya sudah mencapai 87 buah. Kemudian pada tahun 1919 jumlah Sarekat Islam terus berkembang menjadi organisasi pergerakan rakyat Indonesia yang sangat besar.
            Seiring dengan organisasinya yang berkembang pesat, peranan yang dimainkan oleh Sarekat Islam bagi perkembangan masyarakat Indonesia makin lama maki berarti. Kareana jasa Sarekat Islam, maka secara berangsur-angsur rakyat Indonesia yang pada masa itu disebut inlanders dan dihina oleh bangsa-bangsa asing, memeroleh nilai sebagai manusia yang sebenarnya. Kareana jasa Sarekat Islam pula, maka rakyat Indonesia mempunyai kesadaran berpolitik dan bertekad untuk lepas dari kungkungan penjajah. Demikian pula jasa Sarekat Islam, maka rakyat Indonesia yang tinggal di berbagai pulau dan terdiri atas berbagai suku, adat, serta bahasa, dapat bersatu padu untuk mencapai citra-cita bersama, yaitu kesejahteraaan lahir dan batin dalam wadah kebangsaan.
            Begitulah kebesaran dan jasa Sarekat Islam yang berarti pula kebesaran dan jasa H. Samanhudi. Dengan demikian jelaslah bahwa H. Samanhudi adalah seorang tokoh yang sangat berprestasi atau seorang pahlawan bangsa Indonesia yang sangat berjasa.
Sumber: Muljono dan Sutrisno Kutoyo, Haji SAMANHUDI, Depdikbud, Jakarta, 1980.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar