Jumat, 27 Juli 2012

KOMANDO OPERASI KEAMANAN DAN KETERTIBAN 1965-1969


KOMANDO OPERASI
KEAMANAN DAN KETERTIBAN
1965-1969


Oleh:
Ahmad Nakhrowi (0806462205)
Diana Nurwidiastuti (0806343834)
Diemas Syahputra (0806343840)
Muhammad Ridho Rahman (0806343973)
Rachman Nurdin (0806344042)
Ryan Prasetia Budiman (0806344080)


Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Militer Nasional

Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
2010

Bab I
Pendahuluan


Latar Belakang
            Situasi politik Indonesia pascapemilu 1955 ternyata melahirkan ketidakstabilan politik yang berkepanjangan dan menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa kalangan masyarakat. Presiden Sukarno yang saat itu terasing secara politik melihat celah untuk kembali ke panggung politik dengan memanfaatkan situasi tersebut. Salah satu caranya adalah intervensi di bidang militer.
            Beberapa pengaruh yang ditancapkan Sukarno pada saat Demokrasi Terpimpin mendapat tanggapan positif dari kalangan militer. Jenderal TNI A. H. Nasution, yang menjabat sebagai Menteri Keamanan Nasional dan juga Kepala Staff Angkatan Darat (MKN/KSAD) melalui konsep “Jalan Tengah”nya, memberikan kesempatan bagi tentara untuk berpartisipasi secara aktif dalam segala bidang non-militer dan menentukan kebijakan nasional pada tingkat yang lebih tinggi, termasuk bidang ekonomi.
            Sesudah lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang membuat Sukarno bangkit dan mengendalikan pemerintahan, ditandai juga penguasaan terhadap militer (khususnya AD) yang bertujuan memperkuat Demokrasi Terpimpin.
            Pada saat sebuah gerakan yang menamakan diri G30s melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh mereka akan melakukan kudeta terhadap presiden, namun dalam perkembangannya gerakan ini tidaklah sebesar apa yang dilakukan. Dengan mudah pertumbuhannya dapat dipatahkan oleh militer. Dalam waktu singkat, gerakan yang kurang terkoordinasi itu dapat diatasi.
            Pada tanggal 2 Oktober 1965, Mayjen Soeharto dipanggil oleh Presiden Sukarno di Bogor. Di sana telah hadir Leo Watimena, Pranoto Reksosamudro, Omar Dhani, dan Chaerul Saleh. Kemudian, disaksikan beberapa orang tersebut presiden menetapkan Mayjen Pranoto sebagai Pejabat Pelaksana Harian. Soeharto secara halus menolak ketetapan itu dan mengusulkan agar presiden memberikan mandat pada pangkostrad untuk menyelesaikan persoalan pemulihan keamanan. Presiden pun menyetujuinya. Ketetapan presiden inilah yang kemudian dijadikan pegangan oleh Mayjen Soeharto untuk melakukan tindakan yang dianggap perlu berkaitan dengan pembersihan orang-orang yang dicurigai terlibat peristiwa 30 September itu.
Mayjen Soeharto dengan berbekal perintah lisan dari Sukarno memimpin komando yang dikenal sebagai koopkamtib atau Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban. Gerakan yang diduga didalangi oleh PKI ditumpas dari Jakarta sampai ke daerah-daerah di seluruh indonesia, termasuk Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Bab II
Kopkamtib 1965-1969

Kedudukan Kopkamtib
 dalam Struktur TNI pada Tahun 1965-1969
Pada tanggal 12 November 1965 dengan Keputusan Presiden No. 162/Koti/1965 Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dinyatakan sebagai salah satu Komando Utama Pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Koopskamtib). Selanjutnya menurut Keputusan Presiden No.179/Koti/1965 tanggal 6 Desember 1965 tentang penentuan tugas dan organisasi Kopkamtib. Berdasarkan keputusan tersebut Kopkamtib menunjuk Staf Umum Angkatan Darat sebagai Staf Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang dilengkapi dengan perbantuan unsur-unsur dari Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian guna menjamin aspek gabungannya.
Sesuai dengan tugas organisasi Kopkamtib tersebut, Pangkopkamtib Mayjen Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan No. Kep 69/10/1965 tentang pembentukan Tim Pemeriksa Pusat/Daerah dan susunan organisasi, tata cara, tata kerja, penyaluran, penampungan serta penyelesaian terhadap tahanan/tawanan dalam rangka operasi pembersihan/menumpas “Gerakan 30 September”. Team Pemeriksa Pusat (Teperda) berkedudukan di Pusat dan berada di bawah Pangkopkamtib. Sedang Teperda berada di bawah Pangdam selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban di Daerah (Pangkopkamtibda). Kemudian ditunjuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) sebagai lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili.
Pada tanggal 3 Juli 1967, Staf Koopskamtib diintegrasikan dengan Staf Umum Angkatan Darat (SUAD), dan memiliki anggaran belanja sendiri. Atas dasar Keputusan Presiden No.19 tahun 1969, organisasi Kopkamtib yang tergabung dalam Staf Umum Angkatan Darat juga disempurnakan dengan dikeluarkannya Keppres No.90 tahun 1969 tanggal 10 November 1969. Dalam hal ini jabatan Wapangkopkamtib yang semula dijabat oleh Panglima Angkatan Darat diganti oleh Perwira Tinggi yang diangkat presiden. Tujuan penyempurnaan itu agar tercapai efisiensi dan efektivitas dalam melaksanakan tugas pemimpin dalam pengendalian operasional pemulihan keamanan dan ketertiban. Organisasi Kopkamtib terdiri atas unsur staf pelaksana dan staf umum yang terdiri atas staf-staf sosial-politik, intelijen, operasi, teritorial, serta keamanan dan ketertiban masyarakat. Unsur pelaksana Kopkamtib terdiri atas Satuan Tugas (Satgas) Intelijen, Dinas Hubungan Masyarakat, Tim Pemeriksa pusat (Teperpu), dan Tim Oditur/Jaksa Pusat (Todsapu).[1]
Dalam keputusan disebutkan pula bahwa presiden memegang langsung pimpinan dalam pengendalian operasi pemulihan keamanan dan ketertiban. Keputusan menyebutkan juga bahwa Pangkopkamtib dalam tugasnya dibantu oleh wapangkopkamtib. Sedang tugas Staf Kopkamtib dilakukan oleh Staf Hankam yang sehari-harinya dilaksanakan oleh Staf Harian.
Bersamaan dengan dikeluarkannya Keppres No.90/1969, Presiden juga yang mengeluarkan keputusan pengangkatan Jend TNI M. Panggabean sebagai Pangkopkamtib dan Letjen TNI Sumitro sebagai wakilnya. Realisasi Keppres No.90/1969, dalam hal peralihan Staf Kopkamtib dari Staf Umum Angkatan Darat (SAUD) ke Staf Hankam. Peralihan tersebut dilaksanakan mulai tanggal 1 April 1970.

Organisasi Kopkamtib
Pasca terjadinya gerakan 30 september 1965 3 hari kemudian tepatnya pad 3 oktober 1965, Presiden Soekarno menyampaikan amanat melalui RRI yang menyatakan antara lain: Pimpinan angkatan darat dipegang langsung Presiden. Mayor jenderal TNI Soeharto, Panglima Kostrad dijunuk sebagai Pelaksana Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.”
Pada tanggal 12 Nopember 1965 dengan Keputusan Presiden No. 162/Koti/1965. Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dinyatakan sebagai salah satu komando Utama pelaksana Komando Operasi Tertinggi (Koti). Keputusan tersebut menyatakan bahwa Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban disingkat menjadi Ko Ops Pemuliahn Kam/Tib.  Selanjutnya menyusul keputusan Presiden No. 179/Koti/1965 tanggal % desember 1965, tentang penentuan tugas dan organisasi Kopkamtib. Berdasarkan keputusan tersebut tugas pokok Kopkamtib adalah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban akibat peristiwa Gerakan 30 september 1965, serta mengembalikan kewibawaan pemerintah dengan cara operasi fisik, militer dan mental.
Berdasarkan tugas ersebut maka kemudian organisasi kopkamtib disusun sebagai berikut: pertama, mengangkat Menteri/Panglima Angkatan Darat Mayor Jenderal TNI Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang bertnaggung jawab lengsung kepada Presiden/Panglima Besar Komando Operasi Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Panglima Besar Komando Operasi Tertinggi. Kedua, menunjuk Staf Umum Angkatan Darat sebagai Staf Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang dilengkapi dengan parbantuan unsure-unsur dari Angkatan Laut. Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian guna menjamn Aspek gabungannya. Ketiga, untuk melaksanakan tugas-tugas khusus dibentuk Staf Khusus sesuai dengan kebutuhan yang dapat disusun dari tenaga-tenaga ahli departemen lainnya. Keempat, Kmando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ini memiliki unsure-unsur pelaksana khusus yakni Penguasa Perang Daerah (Peperda) di daerah masing-masing dan satuan-satuan tugas gabungan atau khusus sesuai denga kebutuhan yang dapat disiapkan dan diperbantukan. Kelima, pembiayaan Komando ini dibebankan kepada Anggaran Revolusi, melalui komando Operasi Tertinggi. Keenam, dengan dikeluarkan keputusan ini, maka keputusan Presiden/Komando Operasi Tertinggi Nomor. 142/Koti/1965 resmi dicabut.
Sesuai dengan keputusan di atas, Pangkopkamtib Mayor Jendral Soeharto mengeluarkan surat Keputusan Nomor Kep.69/10/1965 tentang pembentukan Tim Pemeriksa Pusat/Daerah dan susuna organisasi, tata cara, tat kerja, penyaluran, penampungan serta penyelesaian terhadap tahanan/tawanan dalam rangka operasi pembersihan/menumpas “Gerakan 30 September”.
Team pemeriksa Pusat (Teperpu) adalah suatu tim pelaksana pemeriksaan yang berkedudukan di pusat dan berada di bawah Pangkopkamtib. Team Pemeriksa Daerah  (Teperda) adalah suatu tim pelaksana pemeriksaaan yang berkedudukan di daerah dan berada di bawah Pangdam Selaku Panglima Komando Operasi Kemanan dna Ketertiban di Daerah (Pangkopkamtibda). Seiring dengan pembentukan tersebut, dibentuk pula Tim Oditur/Jaksa Pusat (Todsapu) dan Tim Oditur/Jaksa Daerah (Todsada) yang secara sinergi melaksanakan penyelesaian secara hukum terhadap orang-orang yang terlibat G 30 S.
Untuk penyelesaian secara hukum tokoh-tokoh G 30 S, Presiden mengeluarkan Keputusan Nomor 370 tanggal 4 desember 1965 tentang penunjukkan mahkamah militer Luar Biasa (Mahmiliub) sebagai lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya.
Pada bulan Juli 1967, Mneteri/Panglima Angkatan Darat selaku Pangkopkamtib menunjuk para Panglima Komando Antar Daerah (Pangkoanda) Sumatera, Kalmantan, Indonesia Bagian Timur, dan para Pangdam V, VI,VII, VIII sebagai pelaksana Khusus Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Laksus Pangkopkamtib). Selanjutnya setelah Jenderal Soeharto diangkat sebagai pejabat Presiden RI, maka pejabat Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal M. Panggabean ditunjuk sebagai Wapangkopkamtib. Sejak itu seluruh unsur pimpinan Angkatan Darat merangkap sebagai bagian dari pimpinan Kopkamtib, dan staf umum Koanda. Serta staf umum daerah militer menjadi staf Pelaksana Khusus dan Pangkopkamtib di daerahnya. Kemudian Kodam I samapai dengan IV, dan Kodam IX sampai dengan XVII menjadi staf Pelaksana Khusus Pangkopkamtib.
Pada tanggal 3 Maret 1969, dalam rangka penyempurnaan organisasi kopkamtib, Presiden Mengeluarkan Keputusan No. 19. Keputusan tersebut menegaskan bahwa Wapngkopkamtib diabat oleh Panglima Angkatan Darat. Satf Umum Angkatan Darat sebagai Staf Kopkamtib dan pelaksanaan tugasnya sehari-hari dilakukan oleh staf Harian, serta Angkatan lain yang duduk dalam satf Kopkamtib disesuaikan dengan kebutuhan. Keputusan presiden tersebut juga menegaskan bahwa pelaksana khusus Pangkopkamtib di daerah menggunakan staf komandonya sebagai staf Laksus Pangkopkamtib. Dalam staf Laksus Pangkopkamtib dapat pula duduk Angkatan lain disesuaikan dengan kebutuhan.
Operasi Kopkamtib 1965-1969
Pemberantasan G 30 S/PKI di Yoyakarta dan Jawa Tengah
            Di samping Jawa Timur, Jawa Tengahdan Yogyakarta merupakan basis PKI yang terkuat di Pulau Jawa. Biro PKI berhasil menyusupkan para orang didikannya ke dalam militer khususnya dalam Kodam VII/ Diponegoro. Pada Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 13.00, kolonel Sahriman mengumumkan pembentukan Komandan G 30 S melalui RRI Semarang. Letkol. Usman Sastrodibroto yang di tunjuk oleh Sahirman berhasil menguasai Kodam VII/Diponegoro. Kemudian melalui alat komunikasi yang berada di Kodam, Letkol Usman berhasil mempengaruhi beberapa satuan di bawahnya, yaitu: Korem 71/Purwokerto di bawah pimpinan Letkol. Sumitro, Korem 72/Yogyakarta di bawah pimpinan Mayor Mulyono, Korem 73/Salatiga di bawah pimpinan Letkol Idris, dan brigade Infanteri  6/Surakarta di bawah Kapten Mintarso.
            Ternyata tidak semua kalangan militer terpengaruh oleh pengumuman kolonel Sahirman. Dengan cepat Pangdam VII Brigjen Suryosumpeno melakukan pertemuan pada tanggal 1 Oktober di Magelang bersama komandan-komandan setempat untuk mencari cara menghancurkan gerakan komunis tersebut. Dari hasil pertemuan tersebut terpilih beberapa satuan untuk menghancurkan gerakan komunis, antara lain: Batalyon II dan III dari Magelang, Batalyon Armed XI dari Magelang, Batalyon Zipur IV dari Magelang, sebagian Batalyon 2 Para dari Magelang, Yonif “F” Brigif 4 dari Gombong dan Batalyon 3 Para dari Semarang. Pasukan yang telah dibentuk tersebut bergerak pada hari itu juga. Dengan cepat kota Kodam VII dapat dikuasai kembali, sedangkan Kolonel Sahirman dan pengikutnya menyingkir ke luar kota di iringi 2 kompi pasukan dari Yon “K”. Dengan bantuan RPKAD yang dating pada 18 Oktober, Pangdam VII melakukan operasi pengerjaraan sisa komunis yang ada.  Pada tanggal 1 Desember pasukan Pangdam VII dan RPKAD berhasil menembak mati ex Kolonel Sahirman berserta pengikutnya, yaitu ex Kolonel Maryono, ex Letkol Usman, ex Mayor Samidi, ex Kapten Sukarno dan ex Mayor R.W. Sukirno.



Pemberantasan G 30 S di beberapa kota di luar Jawa:
1. Bali
Sebagai tindakan pengamanan terhadap kemungkinan kekacauan yang ditimbulkan oleh G 30 S/PKI, maka Pangdam XVI/Udayana Brigjen TNI Syaifudin mengadakan pembersihan dalam diri TNI-AD khususnya dan ABRI pada umunya. Sejak 4 Oktober 1965 telah diadakan upaya penangkapan yang menghasilkan 76 oknum ABRi yang terlibat dalam partai komunis. Pada tanggal 6 November diadakan polisionil yang menghasilkan sebuah penyitaan terkait dokumen-dokumen PKI yang di dalam menunjukkan jelas bahwa PKI adalah dalang dari peristiwa G 30 S.

2. Sumatera Utara
            Pemberontakan PKI di Jakarta mengalami kegagalan, karena adanya tindakan cepat dari kalangan TNI. Namun hal ini tidak berlaku di Sumatera Utara. Proses penangan lama, karena dalam lembaga-lembaga yang mengatasi masalah ini telah disusupi oleh PKI. Namun pada akhirnya usaha mereka dapat digagalkan. Pada tanggal 2 Oktober, Pangdam Mandala I/Deputi Wilayah Sumatera Mayjen TNI A.J. Mokoginta mengeluarkan perintah yang berisi tentang peningkatan kewaspadaan serta tetap mengikuti intruksi yang diberikan oleh Pangdam. Kemudian pada tanggal 10 Oktober sehubungan dengan keamanan, Mayjen TNI A.J. Mokoginta mengeluarkan surat perintah No. Prin-031/10/1965 yang ditujukan kepada para pemimpin ormas dan parpol. Isi surat perintah tersebut adalah larangan bagi pemimpin parpol maupun ormas untuk keluar dari tempat tinggal dan apabila ingin keluar maka harus melapor ke instasi militer setempat sambil memberikan alamat tujuan. Setelah mendengartindakan yang dilakukan oleh PKI, masyarkat Sumatera Utara tidak dapat diam. Mereka dengan anarakis mendatangi tempat-tempat dan kantor –kantor yang terkait PKI, kemudian merusak dan menghancurkannya. Pada tanggal 18 November, ex Gubernur Sumatera Utara Brigjen TNI Ulung Sitepu berhasil ditangkap terkait hubungannya dengan PKI. Kemudian pada tanggal 27 November, ex Komando Batalyon Infantri 205 Korem 23/Dataran Tinggi Letkol Inf.Maniso berhasil diamankan.

3. Maluku
            Sementara itu, Penguasa Pelaksana Perang Daerah (Pepelrada) Maluku mewajibkan pimpinan PKI dan ormasnya melapor setiap pagi ke Kodim setempat. Juga semua proyak instansi vital di daerah Maluku diamankan dari kemungkinan sabotase oleh pihak G 30 S. Pada tanggal 12 Oktober, orpol/ormas di daerah Maluku menyatakan antipati serta mengutuk “Gerakan 30 September”. Mereka meminta kepada yang berwajib, agar PKI beserta ormas-ormasnya dibubarkan.

4. Kalimantan Barat
            Penumpasan Gerakan 30 September di Kalimantan Barat diwujudkan dalam bentuk penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh PKI. Pada tanggal 21 Oktober, Panglima/Deyah Kalimantan dengan radiogramnya No.Tr. 281/1965, memerintahkan kepada Pangdam/Pangkodahan di Kalimantan agar disamping tugasnya dalam rangka Dwikora juga mengadakan langkah-langkah seperti mempertinggi pengamanan dan melakukan penangkapan-penangkapan terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam G 30 S yang melarikan diri ke Kalimantan, sebagai akibat pengejaran di Jakarta dan daerah Jawa lainnya.

Penanganan masalah sosial politik
            Keamanan dan ketertiban saat itu diutamakan untuk menghancurkan PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Keputusan Presiden No. 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 dibuat sebagai payung hukum pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk segala kegiatan organisasinya dari tingkat pusat sampai  ke daerah, serta organisasi yang seazas dan berlindung di bawah partai tersebut. Keputusan Presiden itu juga menyatakan bahwa PKI adalah organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia. Keppres tersebut dikukuhkan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966. payung hukum ini dibuat unutk menstabilkan keadaan sebagai tindak lanjut dari tuntutan rakyat atau yang dikenal dengan amanat penderitaan rakyat.

Operasi Militer di Jawa Timur
            Pembubaran dan pelarangan PKI di seluruh wilayah Indonesia tidak benar-benar membuat organisasi ini mati. Para pemimpin PKI dan kadernya yang belum tertangkap ternyata berusaha untuk membangkitkan kembali partai ini. Mereka pun berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya secara illegal. Strategi yang mereka jalankan bernama Tri Panji. Isinya yaitu, pertama, membangun kembali partai; kedua, perjuangan bersenjata, (disingkat Perjuta) di bawah pimpinan kelas buruh, ketiga; menggalang Front Persatuan Revolusioner atas dasar persekutuan buruh dan tani di bawah pimpinan kaum buruh.[2]
            Dibawah konsolidasi pimpinan-pimpinan PKI, dibuat suatu penilaian tentang daerah-daerah yang tepat untuk dijadikan basis guna melaksanakan taktik dan strategi PKI gaya baru. Daerah yang mereka pilih adalah Blitar Selatan sesuai dengan pertimbangan geografis dan historis. Secara geografis daerah ini jauh dari pusat angkatan Bersenjata atau negara, dan secara historis masyarakat daerah ini berada dalam genggaman PKI karena kader-kader mereka dapat dibilang masih utuh.
            Untuk menumpas gerakan ini, ABRI khususnya Kodam VII/Brawijaya sebagai inti kekuatan Pelaksana Khusus (Laksus) Kopkamtibda Jawa Timur sejak tahun 1967 terus mengadakan pembersihan dan pengamatan terhadap sisa-sisa kekuatan G.30.S, baik dalam masyarakat maupun unsur ABRI dan aparatur pemerintah daerah.
            Komando Resor Militer se-Jawa Timur diperintahkan untuk melakukan operasi intelijen di daerah operasi masing-masing. Hasilnya diketahui bahwa sisa-sisa anggota PKI membentuk Triko atau Trio Kota di Surabaya, Malang dan beberapa Comite Proyek (Compro) yaitu, Blitar Selatan, Semeru Selatan, Kelud-Kawi-Arjuna (KKA), Lawu, Pandan, Raung Argopuro, dan Kendeng.[3] Di antara basis-basis kekuatan tersebut, Compro Blitar Selatan melakukan aktivitas yang paling menonjol berupa aksi propaganda bersenjata disingkat Prota. Kegiatan meliputi perampokan terhadap penduduk dan aktivitas pengumpulan senjata.
            Berdasarkan hasil evaluasi di daerah Blitar Selatan, Pangdam VIII/Brawijaya Mayjen M. Jasin mengeluarkan Rencana Operasi No. 01 dan 02 yang dikukuhkan dengan Surat Pangkopkamtib No. X-16/2/1968 tanggal 16 Februari 1968 yang kemudian menjadi Perintah Operasi No. 03 tanggal 20 Februari 1968. pelaksana perintah ini diserahkan kepada Komandan Resor Militer 081/Madiun. Tugasnya antara lain melaksanakan operasi combat/tempur, penggunaan satuan tempur yang disusun dalam satuan-satuan infanteri kodim, dan operasi teritorial yang mengikutsertakan aparatur pemerintahan sipil.
            Berdasarkan hasil evaluasi terhadap tugas operasi ini, diketahui bahwa aktivitas kegiatan-kegiatan perjuangan bersenjata (perjuta) PKI masih meningkat. Kemudian berdasarkan Perintah Operasi No 02/5/1968 tanggal 28 Mei 1968 dibentuklah komando operasi Trisula dengan komandan operasinya yaitu Kolonel Witarmin dan wakil komandannya Letkol B. Sasmito.
            Satgas Operasi Trisula mulai bergerak pada tanggal 3 Juni 1968 di daerah yang diperkirakan tempat berkumpulnya tokoh Comite Central PKI yang sekaligus tempat pelatihan kadernya, yaitu Kemantren Suruhwadang, Ngeni, dan Maron. Prajurit ABRI yang melaksanakan operasi ini selain melaksanakan usaha penangkapan tokoh-tokoh PKI juga berusaha menyadarkan masyarakat agar membantu pasukan ABRI.
            Satgas Operasi Trisula menggunakan taktik meniru cara kerja “mesin penggilas jalan”, yaitu bolak-balik atau berulang-ulang membersihkan satu wilayah meskipun wilayah tersebut pernah dijadikan sasaran operasi. Langkah ini diambil untuk menghadapi anggota PKI yang memakai taktik “kucing-kucingan” seperti taktik gerilya komunis di Vietnam Utara ketika menghadapi Amerika.[4] Pertama-tama dilancarkan operasi di Ringin Bandulan. Sayangnya, target operasi yaitu Ir. Surachman berhasil lolos. Namun pada tanggal 15 Juli, Ir Suracman tertangkap di tempat yang sama. Operasi selanjutnya yang berhasil menangkap anggota Comite Central PKI adalah operasi di Kaligrenjeng tanggal 13 Juli 1968. Operasi ini berhasil menangkap Roeslan Wijayasastra. Operasi-operasi Trisula ini berhasil menangkap atau membunuh tokoh-tokoh PKI seperti Kapten Sutjiptadi, mantan anggota Brigif 13/Galuh, Moenir, tokoh PKI setempat, Joko Soeryoto, Oloan Hutapea, Tjugito, Kalimin Suparto.
            Operasi Trisula yang berlangsung selama satu setengah bulan ini berhasil menguasai daerah Blitar Selatan serta meringkus sekitar 850 orang tokoh dan anggota PKI. Di antara mereka terdapat tokoh-tokoh tingkat Comite Central dan Comite Daerah Besar Jawa Timur.
            Secara keseluruhan operasi ini dinyatakan berhasil. Keberhasilan ini disebabkan dukungan masyarakat yang semulanya dipengaruhi PKI kemudian berbalik membantu pemerintah. Mereka memberikan informasi yang menguntungkan, bahkan kadang membantu pengepungan. Dalam operasi pembersihan ini, ABRI mengikutsertakan kurang lebih 10.000 orang anggota Hansip dan masyarakat setempat.

Operasi Yustisional
Operasi ini merupakan operasi yang dilakukan oleh Kopkamtib yang meliputi bidang pemeriksaan dan mengadili perkara yang ruang lingkupnya menyangkut keamanan dan kelangsungan hidup bangsa. Sasarannya adalah para tokoh dan otak penggerak perbuatan makar. Bentuk-bentuk operasi yustisional:
·         Penyiapan perkara, penyidikan, dan penentuan golongan keterlibatan seseorang dalam peristiwa G30S
·         Penyidangan penyelesaian perkara-perkara G30S
Tata urut pelaksanaan operasi yustisional ini adalah: berkas tahanan diperiksaoleh badan/team pemeriksa lalu dilakukan interogasi dan pemeriksaan pro justisia. Dari situ, Pangkopkamtib menentukan apakah orang tersebut tokoh dalam G30S atau bukan. Hasilnya kemudian diserahkan kepada tim oditur/jaksa untuk diadakan pemeriksaan persiapan penuntutan. Hasil pemeriksaan tersebut kemudian diserahkan ke Mahmilub jika orang tersebut adalah tokoh, diserahkan ke mahkamah militer jika ia anggota militer, atau ke pengadilan negeri jika ia warga sipil. Dalam rangka operasi ini, Kopkamtib kembali mengaktifkan Mahkamah Militer Luar Biasa melalui Penetapan Presiden Nomor 16 tanggal 24 Desember 1963.

Operasi-operasi di Tempat Lain
a.       Kalimantan Barat
Pasca konfrontasi Indonesia-Malaysia, mereka yang tergabung dalam Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) yang semula dikoordinasikan oleh Brigadir Jenderal TNI Supardjo membangkang dan membentuk kesatuan sendiri. Mereka melakukan pengacauan di daerah sekitar perbatasan Indonesia-Malaysia khususnya di daerah-daerah yang tidak terdapat kesatuan militer. Mereka juga berafiliasi dengan PKI illegal dan PKI Cina di Semenanjung Malaysia.
Hal ini menyebabkan ABRI menempuh jalan kekerasan melalui operasi penumpasan yang disebut Operasi Tertib. Awalnya, operasi ini mendapat kesulitan karena PGRS berhasil mendapat simpati suku Dayak untuk memusuhi pemerintah RI. Namun, ketika salah satu pimpinan suku Dayak dibunuh oleh kelompok ini, suku Dayak berbalik melakukan perlawanan terhadapkelompok ini.
Untuk menghancurkan rencana Cina Komunis yang akan menjadikan Kalimantan Barat basis kekuatan, diadakanlah Operasi Sapu Bersih I. Awalnya, operasi ini berjalan lancar karena musuh belum sepenuhnya mengkonsolidasikan diri. Namun, kelebihan musuh yang mempunyai masyarakat dan bahasa sendiri mengakibatkan mereka sulit ditembus tim intel Kodam. Untuk mengatasinya, disusunlah kembali tim intel yang memanfaatkan orang-orang kepercayaan yang disusupkan ke Cina Komunis. Operasi ini belum mampu menghancurkan musuh karena musuh terpencar di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat dan tersebar di daerah yang sebagian besar penduduknya keturunan Cina.
Oleh karena itu, didatangkanlah bantuan dan dilaksanakanlah Operasi Sapu Bersih II. Operasi ini meliputi pencarian data tentang tempat dan kekuatan kelompok tersebut, penyusunan kembali jaringan intel, dan pembinaan teritorial untuk merebut kembali kepercayaan rakyat. Sejak Januari 1968, dilaksanakanlah operasi penghancuran yang bertujuan untuk menghancurkan seluruh gerombolan Cina bersenjata dan memaksa mereka untuk menyerah. Tahap selanjutnya adalah konsolidasi dan pembangunan yang dilakukan secara timbal balik untuk mensukseskan operasi-operasi pengintaian dan penghancuran. Pelaksanaan operasi ini mencapai hasil setelah suku Dayak menyatakan perang terhadap PGRS.
Selanjutnya diadakanlah Operasi Sapu Bersih III yang bertujuan untuk merehabilitasi keadaan ipoleksosbud demi kelancaran  pelaksanaan Pelita di Kalimantan Barat, membersihakan Kalimantan Barat dari gerakan ekstrim, melanjutkan operasi taktis penumpasan PGRS, dan mengamankan Panca Krida Kabinet Pembangunan.
b.      Operasi Penumpasan Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) di Irian Jaya
Pasca kembalinya Irian Barat ke wilayah Indonesia, muncul organisasi-organisasi ilegal yang bertujuan membentuk Negara Papua Merdeka. Sejak tahun 1965, Organisasi Papua Merdeka (OPM) melakukan serangkaian kegiatan pemberontakan bersenjata. Operasi-operasi ABRI secara fisik dapat memecah kekuatan OPM menjadi kelompok-kelompok kecil. Namun, karena kekurangan pasukan dan peralatan, serta persembunyian OPM yang sulit ditembus, operasi ini tidak sampai tuntas.
Untuk mengatasi aksi-aksi OPM, diadakanlah Operasi Sadar. Pelaksanaan operasi dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah mengamankan objek vital, mengkonsolidasi pasukan, dan melokalisasi lawan. Tahap kedua bertujuan untuk mengisolasi gerombolan dari masyarakat dan manjauhkan mereka dari daerah subur. Sedangkan tahap ketiga bertujuan untuk mengkonsolidasi wilayah sebagai persiapan memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).


Bab III
Kesimpulan

Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban merupakan upaya represif dari kalangan tentara, khususnya Angkatan Darat, dalam menghadapi gerakan komunis di Indonesia. Pengorganisasian Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban pada intinya merupakan usaha efektivitas dan efisiensi demi tercapainya usaha pengamanan dan pemulihan ketertiban.
Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban tahun 1965-1969 dikomandoi oleh Mayjen Soeharto. Pangkopkamtib Mayjen Soeharto merupakan panglima tertinggi dalam operasi menegakkan keamanan dan ketertiban di Indonesia ketika itu. Sedangkan ditingkat daerah para panglima Komando Daerah Militer merupakan pejabat yang berwenang dalam Komando Operasi  Keamanan dan Ketertiban Daerah.
Berbagai operasi militer dan tindakan-tindakan pemulihan keamanan dilakukan di daerah-daerah. Berbagai daerah yang disinyalir masih memiliki anasir-anasir komunis segera dijadikan objek operasi militer. Hasilnya adalah dapat ditumpasnya para tokoh militer yang masih bertahan di berbagai daerah.  

Daftar Pustaka


Buku
            Djamhari, DRS. Saleh As’ad. Ikhtisar Sejarah Perjuangan ABRI (1945-Sekarang). Cetakan III. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. 1995.
Notosusanto, Nugroho. Konsensus Nasional 1966 – 1969. Jakarta: Balai Pustaka. 1991.
Poesponegoro, Marwati Djoened. dkk. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:  Balai Pustaka. 1993.
          Sundhasussen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945 – 1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta: LP3ES. 1982
            Pusat Sejarah dan Tradisi TNI. Sejarah TNI jilid IV. Jakarta: Mabes TNI. 2000.

Karya tidak diterbitkan
            Abas, Saleh. Kopkamtib Membangun Kekuasaan Orde Baru 1965 – 1974. Depok: Skripsi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. 2001.


[1] Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, hal.601
[2] Sejarah TNI 1965-1983.  hlm. 105
[3] Ibid.  hlm. 106
[4] Ibid. hlm. 109

2 komentar:

  1. Kopkamtib didukung unit intelijen terlatih

    BalasHapus
  2. artikel menarik, komentar juga ya ke blog saya www.belajarbahasaasing.com

    BalasHapus