Jumat, 27 Juli 2012

KARAYUKI-SAN (PROSTITUSI JEPANG) DAN KIMIN DI INDONESIA


KARAYUKI-SAN (PROSTITUSI JEPANG) DAN KIMIN DI INDONESIA




Oleh:
Diemas Syahputra
Muhammad Ridho Rachman


Mata Kuliah Kapita Selekta B







FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
2011




PENDAHULUAN
Pada zaman Meiji (1868-1912), untuk mendukung program utama yang disebut fukoku kyoohei (negara kaya militer kuat), pemerintah Jepang menekankan pembangunan sektor industri dan hubungan dengan negara-negara Barat. Asia (selain Cina) bukanlah wilayah yang dianggap penting karena banyak yang sedang dalam penguasaan negara-negara Barat. Namun, tidak berarti sama sekali tidak ada orang Jepang yang melakukan kontak dengan negara Asia, dan pemerintahan Meiji pun sebenarnya mengakui hal ini. Pengakuan pemerintahan Meiji akan adanya imigran Jepang di luar negeri—dalam istilah Jepang disebut kimin—terlihat dengan ditetapkannya Undang-Undang Perlindungan Imigran pada bulan April tahun Meiji 29 (1896).[1]
KIMIN[2]
            Orang Jepang di Asia Tenggara bukan imigran yang diorganisir oleh negara. Sebagian besar dari mereka pada dekade awal adalah kimin, orang-orang yang ditelantarkan oleh negara yang diselundupkan ke luar Jepang tanpa paspor dan mencari pekerjaan di luar negerinya dan sering ditipu atau bahkan diculik, yang akhirnya terbawa arus ke Asia Tenggara.
Ditinjau dari pertumbuhan komunitas Jepang di Asia Tenggara, khususnya di Hindia-Belanda, migrasi orang Jepang ke Asia Tenggara dimulai pada awal zaman Meiji, dan jumlah orang Jepang meningkat dari 2.800 pada tahun 1907, tahun pertama yang ada datanya, menjadi 19.900 pada tahun 1917, dan menjadi 36.600 pada tahun 1936. Memang diakui jumlah mereka itu kecil, lebih kecil daripada populasi orang Eropa yang sedikit di Asia Tenggara, belum lagi Cina yang jumlahnya di Straits Settlements mencapai 224.000 orang pada tahun 1911. Namun orang Jepang membentuk komunitas cukup besar di pusat-pusat perkotaan – Singapura, Batavia (Jakarta), Surabaya, dan Manila.
Sifat komunitas Jepang mengalami perubahan yang cepat dan berarti menjelang akhir 1910-an. Pada tahap pertama, sejak permulaan migrasi Jepang pada awal zaman Meiji (pada tahun 1880-an) sampai akhir tahun 1910-an, prostitusi merupakan mayoritas di kegiatan orang Jepang di berbagai pusat perkotaan, khususnya di Malaya-Inggris dan Jawa. Pada tahap berikutnya, di akhir tahun 1910-an hingga akhir tahun 1930-an, pekerja kantoran (di Malaya-Inggris, khusunya di Singapura), pemilik toko bebas dan pegawai (di Hindia-Belanda, khususnya di Jawa), dan pekerja pertanian dan perkebunan (di Filipina, khususnya di Davao) menempati sebagian besar dari mereka.
Prostitusi merupakan landasan sosial-ekonomi bagi komunitas Jepang, khususnya di Malaya-Inggris dan Hindia-Belanda, sampai akhir tahun 1910-an. Para pelacur ini, terutama berasal dari Kyushu barat daya, merupakan pelopor komunitas Jepang. Pada masa itu, pria Jepang sangat tergantung pada wanita, baik secara langsung mengeksploitasi pelacur sebagai germo dan pemilik bordilnya ataupun melayani kebutuhan sehari-hari mereka sebagai penarik rickshaw (jinrikisha-fu), tukang cukur, tukang cuci, tukang foto, tukang gigi, tukang pijat, penjual tekstil (gofuku-sho), pemilik toko perhiasan (khususnya kulit kerang), toko (bekko-saiku ten), warung, restoran, dan pemilik bar, dokter umum, dan sebagainya. Mereka yang mendapatkan penghidupannya dengan berdagang dengan orang pribumi di pedesaan – pemilik toko kecil-kecil (terutama toko bahan makanan), penjaja obat (jintan), penjudi kelana dan tukang taruhan dengan sasaran tembak senjata (shateki) atau sumpitan (fukiya), atau untuk permainan seperti lempar gelang (wanage), dan gasing (bun-mawashi) – juga berada di pinggiran komunitas Jepang yang mengusahakan pelacuran, seringkali tergantung pada pemilik bordil dan pelacur untuk mendapatkan uang. Terbawa masuk ke dalam komunitas Jepang di Asia Tenggara, tanpa uang dan koneksi, mereka meminjam uang dari pelacur, membawa barang-barang buatan Jepang yang murah-murah seperti kebutuhan sehari-hari, obat-obatan dan arloji palsu dari pedagang besar di kota dan menjajakannya di sekeliling pedesaan.
Sebelum perang Cina-Jepang tahun 1894-1895, orang Jepang memiliki status hukum seperti Cina dan orang Asia bukan pribumi lainnya. Di Hindia-Belanda mereka adalah “orang timur asing”, kategori hukum di antara orang Eropa dan Pribumi. Mereka tidak dapat dan tidak mengharapkan perlindungan dari negara Jepang, karena konsulat Jepang belum dibuka di sana kecuali di Singapura, di mana kehadirannya lebih bersifat simbolik daripada nyata. Perhimpunan Orang Jepang (Nipponjin-kai) belum ada dan juga belum ada sekolah Jepang. Urusan sehari-hari komunitas Jepang ditangani oleh majikan lokal, kebanyakan mereka itu pemilik bordil yang mendominasi komunitas tersebut.
Kemenangan Jepang di dalam perang Cina-Jepang dan perang Rusia-Jepang (1904-1905) membawa perubahan besar terhadap situasi ini. Munculnya negara Jepang sebagai kekuatan imperial menaikkan posisi Jepang di koloni Asia Tenggara dalam berbagai hal yang dapat dirasakan. Di Hindia-Belanda misalnya, sebelum tahun 1898 orang Jepang sebagai orang timur asing tunduk kepada sistem kependudukan dan pas, bersama-sama dengan orang Cina. Dengan meningkatnya status sebagai orang Eropa yang terhormat mereka bebas dari pembatasan itu dan dapat terlibat ke dalam bidang perdagangan yang dikehendakinya, sepanjang mereka mendapat izin dari Residen Belanda.
Tetapi, sebelum Perang Dunia I komunitas Jepang di pusat kota-kota besar seperti Singapura, Batavia, dan Surabaya tetap dilandasi oleh prostitusi, dan situasi itu baru mulai berubah pada akhir tahun 1910-an. Terputus dari pusat-pusat metropolitan Eropa karena perang, koloni Asia Tenggara menyediakan pasar yang dapat dimasuki produk Jepang yang murah. Mereka yang sampai saat itu kehidupannya menggantungkan diri pada para pelacur menangkap kesempatan itu, membuka toko bahan makanan di kota-kota dan pedesaan, dan mulai berpindah ke dalam pekerjaan “terhormat”.
Tentu saja hal itu bukan hanya karena pelayan toko itu menjadi bebas dan pemilik bordil tidak suka disebut germo yang menimbulkan transformasi tersebut. Yang lebih penting adalah karena membuka toko-toko bahan makanan dan memperdagangkan barang-barang Jepang kepada langganan pribumi itu ternyata menguntungkan. Terdapat permintaan kebutuhan sehari-hari yang tidak dapat dicukupi oleh perekonomian metropolitan di Eropa. Penjaja Jepang, penjudi, dan tukang taruhan yang mengenal daerah itu mendapatkan tempat yang baik untuk bermukim di situ dan membuka toko kecil-kecilan, membawa masuk barang-barang Jepang dengan mendapat kredit dari pemilik toko Jepang di kota-kota pelabuhan, dan menjualnya kepada orang pribumi. Mereka yang mendapatkan penghidupannya dengan menjual makanan kepada pelacur Jepang juga pindah ke pedesaan dan membuka toko. Barang-barang Jepang laku keras. Pemilik toko besar berpindah ke bidang bisnis ekspor-impor. Perusahaan Jepang yang besar-besar membuka kantor cabangnya di kota-kota besar. Bank Jepang dan perusahaan pelayaran menyusul dan juga membuka kantor cabang serta agen.
Transformasi komunitas Jepang paling tampak jelas di Jawa dan Malaya-Inggris. Di Jawa, para penjaja, penjudi kelana (yang berkeliaran), tukang taruhan, juga para penyelam yang terbawa arus kembali dari Australia, membuka toko Jepang. Perusahaan dagang Jepang yang besar-besar, bank, dan perusahaan pelayaran juga membuka kantor cabang dan agen di Singapura, Surabaya, dan kota-kota pelabuhan lain.
Ekspansi “kepentingan Jepang” di Asia Tenggara pada akhir tahun 1910-an dan tahun 1920-an menarik perhatian Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, dan kita dapat memperoleh gambaran yang menarik mengenai kepentingan Jepang di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun 1924 dari laporan konsul Amerika di Surabaya, Rollin R. Winslow, yang dikirim ke Washington. Menurut laporan ini, populasi orang Jepang adalah 627 di Surabaya, 135 di Karesidenan Pasuruan, dan 23 orang di Malang, dan “praktis di semua distrik jumlah orang Jepang berada di urutan kedua setelah orang Belanda”. Mereka membuka toko-toko kecil dan tinggal di situ, dan pada tahun 1920-an tampak peningkatan perhatian pada karet dan perkebunan tebu. Sebuah pabrik “Gedaren”, di dekat Semarang dimiliki oleh Nagai Seito (Nagai Sugar Refinery), yang memiliki 666 bahu tanah olahan dan menghasilkan 96.000 pikul gula pada tahun 1923.
Terdapat dua buah bank Jepang di Surabaya: Bank of Taiwan, yang memiliki cabang di Batavia, Semarang dan juga Surabaya; dan Yokohama Specie Bank. Kedua bank ini didirikan karena adanya perdagangan gula dengan Jepang. Terdapat 25 perusahaan dagang Jepang dengan kantor-kantornya di Surabaya, termasuk Mitsui Bussan (sekarang Mitsui Corporation), Arima Shoten, dan Tokyo Menka. Kecuali itu, terdapat “empat dari tukang foto Jepang yang pasti ada”, dua toko emas dan reparasi arloji, sebuah toko lentera, delapan toko pengecer, dan empat tukang cukur Jepang. Di Semarang, terdapat enam belas perusahaan Jepang, termasuk Mitsui Bussan, Nanyo Shokai, Nanyo Soko, Nippon Menka (Japan Cotton Trading), Nomura Trading, dan Toyo Menka. Banyak pula perusahaan besar tertarik pada perdagangan gula. Barang-barang dari kapas, korek api, teh, mainan, dan keramik, adalah ekspor utama Jepang, sementara gula, minyak tanah, timah, kinine, kerang, dan kayu eboni merupakan barang-barang penting yang diimpor Jepang.
Perdagangan Jepang sedang berkembang, meluas dari Jepang sampai ke perdagangan eceran di pedesaan di Jawa pada awal tahun 1920-an dan kimin, orang-orang yang ditelantarkan oleh negara yang terbawa arus ke Jawa sebagai pemilik toko-toko kecil, penjaja obat-obatan, penjudi kelana dan tukang taruhan, tukang foto, tukang cukur dan sebagainya itu sekarang terintegrasi menjadi jaringan orang Jepang yang meluas.
Tidak mengherankan bahwa yang menandai permulaan keberhasilan ini adalah pembentukan konsulat Jepang di kota-kota besar di Asia Tenggara. Konsulat dibuka di Batavia pada tahun 1910 dan di Surabaya pada tahun 1919. Konsulat Jepang tidak menyukai komunitas Jepang yang menggantungkan diri pada prostitusi sejak konsulat itu satu demi satu didirikan antara akhir tahun 1890-an dan tahun 1910-an.
Kampanye yang berhasil mengenai penghapusan prostitusi Jepang dengan tegas menandai terbukanya zaman baru sebagai orang Jepang yang terhormat di koloni Asia Tenggara, yang sekarang dengan rapi diklasifikasikan ke dalam kategori pekerjaan terhormat dalam pandangan negara Jepang. Orang-orang Jepang ini menyatakan perasaannya sebagai bangsa kelas satu dengan berbagai cara.

Migrasi Jepang ke Asia Tenggara pada awalnya lebih didorong oleh keinginan untuk berdagang sebagai mata pencaharian utama, dan ini banyak dilakukan oleh penduduk di Jepang Selatan, khususnya Kyushu, yang wilayahnya kurang subur. Saat itu mereka menyebut wilayah Asia Tenggara dengan sebutan Nanyoo yang arti secara harfiah adalah Lautan Selatan. Di Indonesia, pada tahun 1897 terdapat 125 orang Jepang yang terdiri dari 25 laki-laki dan 100 perempuan. Sementara itu, menurut survei dari Konsulat Jepang di Indonesia pada tahun 1909 terdapat 782 orang Jepang, terdiri dari 437 (atau 55.9%) adalah perempuan.[3] Mereka terlibat dalam aktivitas pertanian, perikanan, perdagangan, dan juga dalah improper trades seperti pelacuran dan usaha rumah-rumah bordil.
Pelacuran yang dilakukan perempuan-perempuan Jepang di luar negaranya pada masa itu lazim disebut karayuki-san. Jumlah karayuki-san pada masa awal Meiji sekitar 100.000 orang, tersebar di Siberia, Manchuria, Amerika, dan terutama Asia Tenggara. Merekah hampir berasal dari seluruh Jepang. Beberapa dari mereka berasal dari Hokkaido, Kanto, Tohoku, Shikoku, Hokuriku, dan juga Kyushu. Namun, yang terbanyak berasal dari Kyushu bagian barat daya, yaitu dari Semenanjung Shimabara dan kepulauan miskin yang bernama Amakusa, tempat istilah karayuki-san itu berasal.[4]
Indonesia sebagai salah satu wilayah Asia Tenggara juga merupakan daerah yang banyak didatangi karayuki-san. Di sini sebenarnya sudah ada pelacuran yang lebih dahulu hidup, bahkan diawasi oleh penguasa saat itu, yaitu pemerintah kolonial Belanda. Kedatangan karayuki-san menjadikan dunia pelacuran di Indonesia semakin kompleks.
Pada suvei pemerintah tahun 1905, jumlah warga Eropa yang tinggal di Indonesia sekitar 80.000. kebanyakan dari mereka adalah laki-laki, sebagian besar laki-laki itu adalah tentara yang ditugaskan di Indonesia. Mengingat sebagian besar dari mereka masih berstatus lajang ditambah pula minimnya wanita Eropa membuat besarnya rumah-rumah pelacuran yang berisi wanita Indo, Jawa, dan tidak terkecuali wanita Jepang.[5]
Sri Pangastoeti mengemukakan ada empat faktor penarik dan pendorong  seorang wanita Jepang menjadi karayuki-san. Kemiskinan, budaya, model dari karayuki-san yang sukses, dan tujuan ekspansi Jepang. Faktor alam yang tidak subur, gersang, dan minim sumber air diperparah adanya diskriminasi pemerintah Meiji terhadap para petani yang selalu menjadi sandaran pemerintah untuk mengisi kas negara karena jumlah mereka yang sangat besar. Faktor yang kedua adalah budaya patriarki yang tidak lazim di Amakusa dan Shimabara. Para perempuan bertugas mencari nafkah untuk keluarganya bahkan sampai jauh ke luar negeri, walaupun di rumah ada ayah dan saudara laki-laki. Bahkan ada kasus-kasus para wanita dieksploitasi dengan maksud membantu ekonomi keluarga, mereka ditawari pekerjaan di luar negeri dengan gaji yang besar yang sebenarnya dijerumuskan oleh keluarganya sendiri. Eksploitasi oleh laki-laki terdekatnya dimungkinkan karena perempuan dalam sebuah keluarga patriarkis dianggap sebagai aset yang berharga pada saat keluarga dalam kondisi ekonomi sulit.
Faktor berikutnya adalah model karayuki-san yang kembali dengan sukses dalam artian kepemilikan materi. Faktor terakhir, terkait kebijakan pemerintah Jepang yang berusaha mengembangkan kekuatan ekonominya ke selatan sebagai langkah awal pembentukan koloni.
Menurut Shimizu Hiroshi terdapat tiga faktor bagi wanita Jepang yang menyebabkan mereka menjadi karayuki-san. Yang pertama adalah dengan cara penculikan yang dilakukan oleh agen di rumah bordil atau oleh mucikari. Wanita muda lah yang biasanya menjadi target penculikan ini dengan didahului iming-iming pekerjaan kemudian diselundupkan melalui kapal. Yang kedua adalah rasa terkesan pada cerita kesuksesan para karayuki-san yang kembali dengan kesejahteraan yang meningkat. Cara ketiga adalah perbuatan orang tua mereka sendiri yang menyerahkan anaknya pada mucikari dengan imbalan sejumlah uang.[6]

Karayuki-San Pada Akhir Abad Ke-19 Sampai Awal Abad Ke-20
karayuki-san masuk ke Indonesia melalui Singapura, kemudian menuju Sumatera, setelah itu masuk ke Jawa. Sebenarnya di Indonesia sendiri sebelum kedatangan para pelacur Jepang, telah ada pelacur Belanda, Cina, dan Indonesia.[7]
Konsulat Jepang di Singapura bulan Desember 1895 melaporkan bahwa sebagian besar wanita Jepang yang datang ke Indonesia berprofesi sebagai pelacur (DRO 715.4, Vol.1, Surat Rahasia No.14, tanggal 16 November 1895; De Indische Gids tahun 1907 dan tahun 1910 (1) hal.115—116) dan dalam data mengenai jenis pekerjaan, para pelacur dimasukkan dalam satu kelompok dengan pengusaha restoran.[8]
Dari catatan yang cukup lengkap yang dibuat oleh Muraoka Iheji, seorang broker besar yang banyak membawa wanita Jepang untuk dijadikan pelacur di Asia Tenggara. Ia berkeliling ke beberapa daerah selain berdagang juga untuk mendirikan rumah-rumah bordil.
Tabel.1 : Pelacuran Jepang di beberapa kota di indonesia dalam naskah Muraoka Iheiji
Kota
Jumlah bordil
Pemilik bordil
Karayuki-san
Medan

Pontianak

Banjarmasin
Semarang

Batavia

Surabaya


Makassar



Ambon
2

Tidak diketahui

Tidak ada
1

2

Tidak ada izin
Kedai kopi
Ice shop
4



Tidak ada
Okaya
Umeda Nanigashi
--

Takaragawa  (rencana)
Yoshida
Shimatsu
Osono dan Uchida
Tachikawa

Uchida
Nampo  dan Ito
Uchida
Doi
Araki
Fukumoto
Egawa  (pemain akrobat) tahun 1887 tiba dengan 15 perempuan
10 orang
10 orang
10 orang dan 10 dalam rencana
8 orang (rencana)
8 orang
10 orang (rencana)
12 orang
12 orang (rencana)

3 orang
Masing-masing
4 orang
4 orang
5 orang
5 orang
4 orang
Tidak ada data apakah ke 15 perempuan itu pemain akrobat atau karayuki-san

Di indonesia, para karayuki-san dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu mereka yang berpraktik di rumah-rumah bordil, ditempatkan sebagai pelacur terselubung di restoran, kedai kopi, salon, penginapan, dan menjadi pembantu rumah tangga merangkap istri simpanan (gundik).
Para karayuki-san di kota-kota di Indonesia sebenarnya bukan langsung tiba dari Jepang ke kota-kota tersebut, tetapi melalui Singapura atau Hong Kong. Kedua tempat tersebut dapat sekadar menjadi tempat transit, tetapi juga mereka bekerja lebih dahulu di rumah bordil yang telah ada.
Di Batavia, para karayuki-san kebanyakan bekerja di rumah-rumah bordil yang dimiliki oleh orang Jepang. Pejabat konsul Jepang rajin mendata para karayuki-san tersebut dengan sangat rinci. Menurut data tahun 1913, jumlah perempuan Jepang yang ada di wilayah kontrol Batavia sebanyak 986 orang. Diperkirakan jumlah sebenarnya lebih dari 1000 orang dan yang menekuni pekerjaan “bersih” hanya sekitar 4—5 orang.

Kondisi Sosial Karayuki-San Di Indonesia
Dalam perjalanan menuju daerah tujuan, karayuki-san banyak mengalami perlakuan yang tidak manusiawi dari orang-orang yang membawanya. Di indonesia tetap ada yang mendapat perlakuan buruk tetapi ada pula yang mendapat perlakuan relatif baik, terutama mereka yang menjadi istri simpanan orang Belanda dan Cina.
Tentang perlakukan terhadap istri simpanan Jepang ini, Konsul Ukita Satoji menceritakan mereka setiap bulan menerima sejumlah gaji. Namun, ada juga yang diperlakukan sama seperti istri sah tanpa menerima gaji. Dalam kasus istri simpanan Cina, mereka tidak mendapatkan gaji. Tetapi terkadang menerima baju atau perhiasan perak dan emas. Para karayuki-san yang menjadi gundik orang kulit putih biasanya mempunyai penampilan dan tingkah laku yang baik, tetapi yang menjadi gundik orang Cina kebanyakan kurang sopan dan jarang bergaul dengan orang Jepang pada umumnya (DRO 4.2.2.27, vol.4, Surat Rahasia No.7 tanggal 19 Maret 1913).[9]
Perlakuan buruk juga dialami oleh karayuki-san yang bekerja di rumah bordil. Para germo memaksa mereka bekerja tanpa mengenal waktu. Kadang pula mereka memeras uang hasil kerja para pelacur dan menggunakannya untuk berjudi.
Selain masalah perlakuan, penderitaan yang dialami para karayuki-san juga terkait dengan kesehatan. Pekerjaan mereka sebagai pelacur sangat rentan terhadap penyakit kelamin dan penyakit khas daerah tropis seperti malaria.
Fakta yang sering dialami para karayuki-san adalah masalah diskriminasi. Dari segi profesi, sikap merendahkan dan dianggap sebagai warga kelas dua. Bahkan, jika profesi itu dilakukan di luar negeri, seperti karayuki-san, dianggap dapat merendahkan martabat bangsa. Sikap simpatik yang biasanya ditunjukkan oleh sesama warga Jepang, biasanya setelah warga Jepang memahami latar belakang kehidupan para perempuan tersebut sejak dari kampung halaman sampai tiba di Indonesia.
Pemerintah Belanda pun mempunyai sikap yang tidak jauh berbeda. Peraturan yang dibuat terhadap pelacuran bukan berlatar belakang moralitas, tetapi lebih banyak menyangkut masalah kesehatan dan lokalisasi, karena banyak pegawai pemerintah yang tertular penyakit kelamin akibat sering bergaul dengan para pelacur. Masalah moralitas lebih banyak ditangani oleh para misionaris bekerja sama dengan sebuah organisasi di Belanda yang menentang penculikan perempuan.
Setelah dalam status politik Jepang disejajarkan dengan ras Eropa pada tahun 1899, terdapat sisi-sisi yang menguntungkan para karayuki-san ini. Tarif yang diberikan untuk karayuki-san semalam disamakan dengan kulit putih. Di Makassar, Ambon, dan Irian, tarif mereka adala 10 gulden, sedangkan pelacur Cina 7 gulden 50 sen. Hal ini berarti secara sosial karayuki-san Iebih dipandang dari asal bangsanya, bukan pekerjaannya.[10]
Simpulan
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan berkaitan dengan karayuki-san dan prostitusi Jepang ini. Pertama, faktor ekonomi yang menjadi alasan kepergian karayuki-san ke luar negeri, ternyata tidak hanya menangkut pribadi karayuki-san dan keluarganya, tetapi juga menyangkut orang-orang yang menjadi perantara. Kedua, hal yang tidak secara langsung berdampak positif adalah peran karayuki-san secara kultur, yaitu sebagai perantara untuk memperkenalkan Jepang kepada penduduk Indonesia, baik pribumi, Cina, maupun orang Belanda. Setelah tiba di Indonesia, mereka mempelajari bahasa Melayu. Tujuan utamanya memang untuk menjalin komunikasi dengan tamu, tetapi hal itu amat berguna saat mereka berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya. Ketiga, diskriminasi yang ada di Indonesia masa kolonial secara sosial mampu meningkatkan kedudukan karayuki-san, karena sebagai warga Jepang yang disejajarkan dengan orang Eropa mereka mendapat perlakuan yang baik. Meskipun pekerjaan mereka menurut pemerintahan Jepang sendiri dianggap mengotori martabat bangsa, tetapi pemerintah kolonial Belanda tetap memperlakukan mereka dengan baik.


Daftar pustaka
Faizal. 2002. Peran Karayuki-San Bagi Pengembangan Komunitas Jepang di Malaya-Inggris dan Hindia-Belanda Sebelum Perang Dunia II. Depok: FS UI.(skripsi yang tidak diterbitkan)
Hiroshi, Shimizu. 1992. Rise and Fall of The Karayuki-San in The Netherlands Indies from the Late Nineteenth Century to The 190s. Review of Indonesian and Malaysian Affairs vol.26/2.
Pangastoeti, Sri. 2009. Dari Kyuushuu ke Ran’in: Karayuki-San dan Prostitusi Jepang di Indonesia (1885-1920). Yogyakarta: Humaniora vol.21.
 Shiraishi dan Takashi Shiraishi. Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.



[1] Sri Pangastoeti. Dari Kyuushuu ke ran’in: karayuki-san dan prostitusi jepang di indonesia (1885-1920). Humaniora vol.21 (2009). Hlm 138-139.
[2] Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi. Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara. Yayasan Obor Indonesia. 1998. Hal. 4-20
[3] Shimizu Hiroshi. Rise and fall of the karayuki-san in the netherlands indies from the late nineteenth century to the 190s. Review of Indonesian and Malaysian Affairs (26/2. Summer 1992). Hlm 19-20.
[4] Faizal. Peran karayuki-san bagi pengembangan komunitas jepang di malaya-inggris dan hindia-belanda sebelum perang dunia II. (Depok. FS UI. 2002). Hlm 1.
[5] Op. cit,. Shimizu. Hlm 22.
[6] Ibid. Hlm 24.
[7] Op. cit,. Sri pangastoeti. Hlm 141
[8] Ibid.
[9] Ibid. hlm 147.
[10] Ibid. Hlm 148.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar