Jumat, 27 Juli 2012

“NASIONALISASI PERUSAHAAN BELANDA DI INDONESIA” : Bondan Kanumoyoso


TUGAS MERINGKAS BUKU
“NASIONALISASI PERUSAHAAN BELANDA DI INDONESIA” : Bondan Kanumoyoso
Oleh : Muhammad Ridho Rachman (0806343973)
Mata kuliah Sejarah Ekonomi Indonesia

MENUJU EKONOMI NASIONAL
            Kegiatan eksploitasi ekonomi Belanda di Nusantara bisa dikatakan telah dimulai sejak masa VOC pada akhir abad ke-17, kemudian dilanjutkan oleh Pemerintah kolonial Hindia-Belanda hingga berlakunya Undang—Undang Agraria tahun 1870. Namun, masuk masa Politik Etis, kegiatan eksploitasi dilanjutkan oleh pihak swasta-asing (khususnya pemodal-pemodal Belanda).
            Selama periode kemerdekaan (1945—9), para pemimpin politik Indonesia telah mulai mencoba merumuskan konsep tentang ekonomi nasional untuk menggantikan warisan ekonomi kolonial. Secara sederhana, pikiran mereka dibagi dalam dua arus utama, pertama ialah para ekonom pragmatis yang berpandangan bahwa investasi asing, sementara dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Mereka tidak setuju pada ‘para kapitalis jahat’ yang dilakukan para imprealis yang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Pandangan kedua mewakili sikap ekonomi yang lebih radikal. Kaum komunis dan nasionalis kiri yang berpendapat bahwa penyitaan asset asinglah yang mampu membebaskan perekonomian Indonesia dari hambatan—hambatan kaum imprealis. Jalan keluar dalam meredam perbedaan pendapat di antara dua kelompok itu dengan kemunculan pendapat untuk memberikan peranan utama kepada negara. Setidaknya, perusahaan—perusahaan negara sajalah yang pada awalnya memiliki sumber daya ekonomi maupun legitimasi politik yang diperlukan untuk menempatkan perekonomian di bawah kontrol nasional. Dalam tahun 1950-an, hampir seluruh pemimpin politik mendukung penguasaan negara atas sektor—sektor ekonomi yang vital. Pada bulan Februari 1950 Presiden Soekarno menyatakan bahwa nasionalisasi merupakan soal bagi masa depan yang jauh di muka. Dan penciptaan perekonomian nasional terlebih dahulu menuntut mobilisasi semua sumber modal, dari dalam maupun luar negeri.
            Di tahun-tahun awal kemerdekaan, Presiden Soekarno membentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi pada tanggal 12 April 1947. Suatu kepanitiaan yang bertugas menyiapkan rencana dan strategi bagi pemerintah dalam menghadapi perundingan dengan Belanda dan penyelesaian persoalan—persoalan pembangunan. Setelah penyerahan kedaulatan pada akhir tahun 1949, masalah—masalah perekonomian yang dihadapi Indonesia kian kompleks. Pada April 1951 Kabinet Natsir mulai melaksanakan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) dengan maksud membimbing berbagai kegiatan pemerintahan di sektor industri, pertanian, dan pengawasan terhadap pembentukkan perusahaan—perusahaan baru. Gagasan ini membutuhkan dukungan dari kelas menengah pribumi yang tangguh. Dalam membangun kelas pribumi ini pemerintah melaksanakan Program Banteng yang dimaksudkan untuk membuka kesempatan bagi para pedagang pribumi membangun basis modal di bawah perlindungan proteksi pemerintah.
            Dalam rentang periode Parlementer, secara garis besar terdapat dua fase yang memperlihatkan perbedaan yang kontras dalam pelaksanaan Program Banteng. Fase pertama adalah masa kekuasaan tiga kabinet awal yang menitikberatkan pada rasionalitas dan juga lebih realistis dalam merencanakan program kebijakan. Fase kedua Program Banteng yang titik tolaknya dengan terbentuknya Kabinet Ali Sastroamidjojo yang pertama. Kabinet Ali mulai aktif menaikkan posisi Indonesia dalam perimbangan global dengan menempatkan Indonesia sebagai salah satu pelopor pemimpin negara—negara dunia ketiga. Di dalam negeri, Ali mengambil langkah tegas, jika pada awal tahun 1953 para importir pribumi hanya menerima 37,9 % dari total ekspor-impor, maka mereka menerima 80-90 % pada bulan ke-14 Kabinet Ali. Jumlah importir pribumi juga meningkat pesat. Kelompok Benteng yang berjumlah 700 perusahaan pada awal kabinet, hingga bulan November 1954 jumlahnya meningkat sampai 4000-5000 perusahaan. Namun, justru dalam masa pemerintahan Kabinet Ali I, timbul inflasi serius yang mengakibatkan perekonomian menjadi semakin kurang produktif.
            Pada kenyataannya, mulai tahun 1957 keamanan nasional mulai memburuk akibat berbagai pergolakan di daerah. Dengan terjadinya pergolakan tersebut, telah menyebabkan terputusnya hubungan antara pusat dengan daerah dan meningkatkan kegiatan penyelundupan barang ke luar negeri. Dalam situasi demikian, tuntutan—tuntutan ekonomi yang bercorak radikal terus meraih dukungan politik, terutama akibat berlanjutnya dominasi perusahaan—perusahaan Belanda terhadap perekonomian. Keadaan tersebut mengakibatkan pudarnya pengaruh kaum politisi moderat yang sejauh ini telah mendominasi kebijakan-kebijakan ekonomi.
            Masa pemerintahan di awal tahun 1950-an ditandai dengan adanya ketimpangan anatara harapan dnegna realita yang dihadapi. Proram—program pembangunan ekonomi seperti RUP dan Program Benteng telah dilaksanakan dalam kondisi ekonomi dengna tingkat kemakmuran yang rendah. Situasi ini memperlihatkan bahwa periode Demokrasi Parlementer, jalannya perubahan struktur ekonomi lebih bersifat evolusioner ketimbang revolusioner.
            Sejak masa kolonial Hindia-Belanda, pembangunan berjalan timpang antara Pulau Jawa dengan pulau—pulau di luar Jawa. Jawa menjadi daerah yang paling maju di sektor infrastruktur pemerintahan, pendidikan, sistem perhubungan, dan sebagainya. Kondisi di luar Jawa sangat jauh dibandingkan dengan kondisi di Pulau Jawa. Situasi tersebut secara potensial telah menyulut ketegangan, karena penduduk di luar Pulau Jawa yang memproduksi barang ekspor merasa dieksploitasi oleh orang Jawa.
            Pertengahan tahun 1950-an, ketidakpuasan yang semakin besar telah mendorong para panglima daerah, terutama di Sumatera Utara dan Indonesia Timur, melakukan penyelundupan barang—barang komoditi. Ketegangan ini akhirnya berujung pada pergolakan daerah yang dikenal dengan PRRI di Sumatera dan PERMESTA di Sulawesi. Pergolakan tersebut juga menunjukkan adanya konflik politik antara tokoh—tokoh daerah dengan pusat, dan memperlihatkan bahwa pembangunan integrasi ekonomi nasional lebih merupakan harapan ketimbang kenyataan.
            Modal asing sebelum tahun 1930, sebagian besar bergerak di bidang perkebunan dan pertambangan yang memang membawa keuntungan besar. Investasi yang masuk tersebut merambah ke bidang—bidang selain perkebunan dan pertambangan. Sumber utama investasi asing kebanyakan berasal dari negeri Belanda. Maksudnya tidak lain adalah untuk melayani negara induk dalam perekonomian di tanah jajahan.
            Sampai akhir tahun 1957, sektor ekonomi modern Indonesia masih dikuasai oleh modal Belanda. Keadaan ini mendatangka frustasi bagi sebagian besar pemimpin Indonesia. Upaya untuk mewujudkan ekonomi nasional akan selalu terhalang selama modal asing, dalam hal ini Belanda, masih beroperasi di Indonesia. Salah satu jalan keluar yang dipikirkan untuk mengakhiri dominasi perusahaan Belanda ialah dengan jalan melakukan nasionalisasi. Namun, untuk melakukan nasionalisasi dibutuhkan suatu alasan yang kuat yang dapat dijadikan dasar legitimasi. Momentum itu didapat dengan semakin memburuknya hubungan Indonesia dengan Belanda berkaitan dengan masalah Irian Barat.
            Masalah Irian Barat terus diperjuangkan oleh Indonesia, setelah dibohongi oleh Belanda di Perjanjian KMB. Indonesia terus berusaha mencari cara mendapatkan suatu dukungan dari berbagai pihak soal penyelesaian masalah Irian Barat. Salah satunya usaha untuk mengangkat isu ke dalam Sidang Umum PBB pada Desember 1954. Namun, isu Irian Barat gagal masuk ke dalam agenda pembahasan Sidang Umum PBB karena tidak memenuhi 2/3 total pemungutan suara. Indonesia tetap konsisten mencari dukungan untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Salah satunya lewat Konferensi Asia-Afrika, April 1955. Negara-negara Asia-Afrika menyatakan mendukung tuntutan Indonesia atas Irian Barat.
            Dalam Sidang Umum PBB bulan November 1957, PBB kembali menolak resolusi Indonesia yang menghimbau agar Belanda mau merundingkan kembali masalah Irian Barat. Padahal sebelum pelaksanaan pemungutan suara untuk resolusi tersebut, Presiden Soekarno telah memperingatkan bahwa Indonesia akan mengambil langkah-langkah yang akan mengguncang dunia apabila resolusi itu gagal. Terbukti, pada tanggal 1 Desember 1957 pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan aksi mogok selama 24 jam terhadap perusahaan—perusahaan Belanda di Indonesia. Tindakan inilah yang mengawali aksi nasionalisasi perusahaan—perusahaan Belanda secara besar—besaran.
PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN-PERUSAHAAN BELANDA
            Pada masa kolonial Hinda-Belanda, sektor ekonomi modern Indonesia sebagian besar dikuasai modal asing, khususnya Belanda. Sektor ekonomi modern yang dikembangakan oleh modal asing ini terutama terpusat pada perkebunan, industri ekstraktif, dan kegiatan—kegiatan yang berkaitan lainnya. Kegiatan ekonomi itu mengalami kemunduran pada masa pendudukan Jepang. Keadaan itu tidak mengalami perubahan sampai Indonesia mendapat penyerahan keadaulatan dari Belanda pada tahun 1949.
            Sikap pemerintah Indonesia terhadap modal asing sepanjang tahun 1950-an sangat kuat dipengaruhi pengalaman masa kolonial Hindia-Belanda. Pandangan yang berlaku terhadap modal asing, terutama modal Belanda, secara umum melihat kehadiran mereka sebagai penghambat bagi terwujudnya kedaulatan di bidang ekonomi. Dalam situasi demikian, mengemuka pendapat yang mendesak pemerintah Indonesia untuk secara bertahap mengurangi dominasi perusahaan—perusahaan Belanda dan sekaligus mendorong munculnya perngusaha—pengusaha pribumi. Masih bercokolnya modal asing menjadi sangat pelik dan dilematis. Perusahaan—perusahaan itu masih tetap beroperasi karena Indonesia terikat komitmen yang tercantum dalam KMB. Meskipun demikian, tekanan politik terus diberikan dengan mengeluarkan kebijakan—kebijakan yang pro-pribumi, salah satunya ialah Program Benteng yang ditujukan mengurangi dominasi perusahaan—perusahaan Belanda khususnya the big five.
            Kasus lahan tembakau Tanjung Morawa di Sumatera Utara dan masalah pertambangan minyak dan gas di Sumatera Timur dan Aceh merupakan akumulasi tuntutan buruh hingga mereka secara bersama menduduki perusahaan milik Belanda itu. Telah diketahui tidak ada bukti yang menjamin jika sektor—sektor ekonomi yang penting dikuasai modal asing, mereka akan membantu pemerintah dalam mengatasi kesulitan—kesulitan ekonomi dalam negeri. Modal asing dinilai tidak memiliki kepentingan yang kuat terhadap kondisi ekonomi dalam negeri.
Sebaliknya nasionalisasi perusahaan—perusahaan tidak menjamin bahwa jalannya sektor ekonomi akan menjadi lebih baik. Namun dengna didasari pertimbangan tentang kedaulatan ekonomi nasional sulit ditegakkan tanpa melakukan nasionalisasi, maka langkah tersebut mendapat dukungan luas dari seluruh lapisan masyarakat. Kabinet Ali I menandai awal dari kebijakan pemerintah mengenai masalah modal asing. Hal ini terlihat antara lain dari usaha Indonesianisasi yang lebih intensif. Misalnya peran pengusaha pribumi yang lebih besar dalam berbagai sektor ekonomi.
Kondisi ekonomi pasca penyerahan kedaulatan memang menitikberatkan unsur—unsur nasional dengan merombak struktur yang saat itu masih bercorak kolonial. Upaya awal yang dilakukan dengan mendirikan perusahaan—perusahaan negara dan megambil alih perusahaan—perusahaan Belanda yang memiliki usaha terkait kepentingan umum. Proses pengambilalihan secara hukum telah diatur pada tahun 1920 dalam Onteigeningsordonanntie (peraturan penyitaan hak milik). Yang langsung diserahkan dalam bentuk perusahaan ialah PLN dan Jawatan Kereta Api. Pengusahaan pengalihan teknologi dalam dibidang penerbangan domestik, pemerintah bekerja sama membentuk GIA dengan mengambil alih semua aset dari perusahaan Belanda KNILM dan KLM). Kemudian pengalihan monopoli perusahaan pelayaran antarpulau oleh KPM kepada PELNI yang berjalan tidak mulus.
Peristiwa pemogokan nasional yang dilakukan pada tanggal 1 Desember 1957 oleh buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda dan pemutusan seluruh transfer keuangan—keuangan perusahaan—perusahaan Belanda dibekukan merupakan tindakan keras yang mengancam perusahan Belanda. Pengambilalihan kantor pusat KPM dan bank—bank milik Belanda di Jakarta yang dilakukan oleh serikat buruh dilakukan tidak terkendali, namun bisa diatasi. Seluruh perusahaan itu diambil alih oleh Angkatan Darat untuk menghindari jatuhnya perusahaan—perusahaan tersebut ke tangan komunis.
Selain pengambilalihan perusahaan—perusahaan Belanda, juga adanya upaya pengusiran warga negara Belanda. Tercatat Menteri Kehakiman pada awal bulan Desember mengumumkan bahwa ada 50.000 warga neara Belanda yang diusir atau dipulangkan.
Pada tahun 1958 Kantor Urusan Ekspor (KUE) mengeluarkan peraturan larangan ekspor barang—barang Indonesia ke Belanda dan penggunaan mata uang gulden dalam transaksi ekspor-impor. Sehingga dari data statistik terlihat bahwa ekspor Indonesia ke Belanda tinggal kelapa sawit, tembakau, dan teh yang sudah sangat berkurang.
Undang—Undang nasionalisasi yang baru disahkan pada tanggal 27 Desember 1958. Dalam UU tersebut ditetapkan bahwa perusahaan—perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah RI menjadi milik penuh dan bebas negara RI. Salama ini ada dua pandangan dalam menilai latar belakang dan proses pengambilalihan perusahaan—perusahaan Belanda. Pertama, peristiwa pengambilalihan perusahaan—perusahaan Belanda merupakan kejadian yang sama sekali tidak direncanakan sebelumnya. Pandangan ini diperkuat oleh tidak adanya suatu program pemerintah yang mengatur pelaksanaan pengambilaliha.
Kedua, pemerintah berada di belakang aksi pengambilalihan tersebut. Suatu scenario telah dirancang, di mana rakyat yang marah merebut fasilitas yang kemudian ditempatkan oleh pemerintah dalam penjagaan perlindungan. Pandangan ini diperkuat oleh pernyataan Presiden Soekarno, bahwa pengambilalihan tersebut diprakarsai oleh dirinya sendiri.

TERBENTUKNYA KESEIMBANGAN YANG BARU
            Tindakan pengambilalihan terhadap perusahaan—perusahaan Belanda telah mendatangkan reaksi dari berbagai pihak. Dampak dari pengambilalihan tersebut telah menyebabkan berakhirnya dominasi modal Belanda dalam ekonomi modern Indonesia. Perkembangan baru ini tentu berdampak besar terhadap situasi politik dan ekonomi saat itu.
            Meskipun demikian, tindakan pengambilalihan tidak sepenuhnya mendapatkan sambutan yang baik. Bagaimanapun juga pengambilalihan perusahaan—perusahaan Belanda tersebut telah dilakukan tanpa suatu persiapan yang matang. Tidak ada suatu program terencana yang disiapkan, pengambilalihan terjadi tanpa terkendali.
            Berbagai reaksi terhadap pengambilalihan dari kalangan politisi nasional. Dalam keterangan resminya, Perdana Menteri Djuanda menyatakan: dengan adanya pengambilalihan hanya tersedia dua kemungkinan bagi Belanda, pertama, menyerahkan Irian Barat dan mengadakan hubungan normal dengan Indonesia; kedua, tetap bersikeras menduduki Irian Barat, tetapi kepentingannya di Indonesia dilikuidasi sama sekali. Tanggapan yang diperlihatkan pemerintah Belanda adalah sikap keras kepala. Mereka tidak menanggapi tekanan yang diberikan Indonesia dengan serius. Di dalam negeri sendiri, tanggapan kritis terhadap pengambilalihan datang dari Sjafruddin Prawiranegara, Gubernur BI 1953—1958, dan Muhammad Hatta. Dengan demikian pengambilalihan perusahaan—perusahaan Belanda pada bulan Desember 1957 telah mendatangkan banyak reaksi dari berbagai pihak. Mereka yang tidak setuju berargumen bahwa tindakan tanpa perencanaan ini dapat menyebabkan Indonesia terjerumus ke dalam kesulitan—kesulitan ekonomi. Di sisi lain, di kalangan yang mendukung perusahaan—perusahaan Belanda mengatakan sikap itu merupakan upaya mendapatkan kemerdekaan secara ekonomi yang pada tahun 1945 hanyalah berupa kemerdekaan politik.
            Dampak pengambilan perusahaan—perusahaan Belanda, secara umum menurunkan tingkat ekspor-impor karena kesukaran—kesukaran dalam menangani perusahan—perusahaan besar. Akibat yang lebih parah adalah mengakibatkan kekacauan dalam bidang ekonomi karena tidak adanya program yang terencana. Contohnya adalah pengambilalihan perusahaan KPM yang membawa dampak ekonomi yang luas dan mendalam.
Semua permasalah yang berkaitan dengan pengambilalihan itu masih ditambah lagi oleh protes keras para pengusaha Belanda yang perusahaannya diambil alih. Para pengusaha mendesak agar hak milik mereka diberi ganti rugi. Departemen Luar Negeri menjawab dengan menyatakan bahwa yang dilakukan tidaklah berarti penyitaan atau nasionalisasi. Sedangkan tindakan yang dilakukan adalah sesuai dengan peraturan keadaan darurat perang yang berlaku. Dengan melihat kekacauan ekonomi yang terjadi sebagai akibat dari pengambilalihan perusahaan—perusahaan Belanda, pemerintah mencarikan jalan keluarnya yakni dengan cara mendirikan perusahaan—perusahaan baru milik negara yang diharapkan akan berfungsi untuk mewakili kepentingan rakyat.
Dengan diambilnya keputusan menasionalisasikan perusahaan—perusahaan Belanda selanjutnya muncul dua masalah yang harus segera dipecahkan. Pertama, masalah perusahaan—perusahaan mana saja yang patut dinasionalisasikan; kedua, masalah pembayaran ganti rugi. Dalam memutuskan perusahaan—perusahaan Belanda mana yang patut dinasionalisasikan, sebagian masyarakt berpendapat agar nasionalisasi dibatasi pada perusahaan—perusahaan Belanda yang dianggap vital bagi kepentingan negara dan rakyat banyak. Sedangkan untuk masalah ganti rugi, sebagian besar masyarakat berpendapat dan pemerintah sepakat bahwa selayaknya ganti rugi akan dilakukan setelah tercapainya kesepakatan penyelesaian Irian Barat. Karena beragamnya bidang usaha perusahaan—perusahaan Belanda yang diambil alih, maka pemerintah kemudian membentuk badan koordinasi dengan tugas membina perusahaan—perusahaan yang sudah diambil alih yakni BANAS yang di dalamnya bernaung empat badan usaha dalam bidang farmasi, perkebunan, perdagangan, dan industri & tambang.
Dalam perubahan tersebut, pemerintah mengharapkan kepentingan umum aka dapat lebih terlayani. Perusahaan-perusahaan itu tidak digerakkan oleh motif mencari keuntungan, namun lebih didorong oleh fungsi sosial untuk dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, pelaksanaan nasionalisasi yang secara resmi diberlakukan perusahaan—perusahaan Belanda yang telah diambil alih mengakhiri peran istimewa Belanda dalam perekonomian Indonesia. Dapat dikatakan dominasi Belanda dalam perekonomian Indonesia telah berakhir sejak diberlakukannya Undang—Undang Nasionalisasi No.86 tahun 1958.

2 komentar: