Jumat, 27 Juli 2012

Gambaran Struktur Masyarakat Banten Abad ke-19


UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH SEJARAH MASYARAKAT INDONESIA

Oleh: Muhammad Ridho Rachman, 0806343973
Gambaran Struktur Masyarakat Banten Abad ke-19

1.      Pendahuluan
Banten terletak di bagian paling barat Pulau Jawa, luasnya sekitar 114 mil persegi. Menurut angka statistik resmi, pendudukk Banten tahun 1892 berjumlah 568.935 jiwa; daerah yang paling padat penduduk adalah distrik Cilegon. Berkaitan dengan kepadatan penduduk adalah keadaan penggarapan tanah, yang pada gilirannya sangat bergantung kepada lingkungan fisik. Daerah itu dapat dibagi menjadi dua bagian yang sangat berbeda satu sama lain. Bagian selatan yang merupakan daerah pegunungan, untuk sebagian besar terdiri dari hutan dan sangat jarang penduduknya. Daerah itu jarang menjadi ajang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Banten. Sebaliknya, Banten  Utara dalam dasawarsa-dasawarsa terkahir abad XIX tanahnya untuk sebagian besar sudah digarap dan karenanya penduduknya jauh lebih padat. Banyak kota di daerah ini, di antaranya Banten, Tamiang, dan Pontang sudah sangat tua usianya; kelahirannya dapat ditelusuri kembali sampai abad ke XVI.
Kesultanan Banten yang didirikan pada tahun 1520 oleh pendatang dari Kerajaan Demak di Jawa Tengah dan dihapuskan oleh Daendles pada tahun 1808, meliputi daerah pesisir utara sebagai intinya, sedangkan wilayah-wilayahnya terdiri dari daerah pegunungann Banten, bagian barat Bogor dan Jakarta, dan juga Lampung di Pulau Sumatera. Daerah yang oleh pelawat-pelawat Portugis dinamakan Sunda Batam itu, sejak zaman dulu merupakan sebuah pusat perdagangan lada, ia maju pesat setelah direbutnya Malaka oleh orang-orang Portugis pada tahun 1511, namun kemudian memudar dengan pesat sebagai pusat perdagangan sejak Belanda mendirikan Batavia dalam tahun 1619.
Daerah itu dapat dicapai dari banyak jurusan. Postweg (jalan pos) yang terkenal itu, yang dibangun pada tahun 1808, dimulai dari ujung barat Pulau Jawa, yakni Anyer, dan membentang sepanjang pulau itu sampai ke ujung paling timur. Jalan kereta api dibangun pada tahun 1896 dan menghubungkan Banten secara langsung dengan Batavia. Banten mempunyai banyak pelabuhan kecil, yang terpenting di antaranya adalah  Anyer.
Golongan etnik yang terbesar di Banten adalah Sunda yang kebanyakan berdiam di selatan. Orang-orang Jawa terdapat di bagian utara. Sedangkan orang Baduy mendiami daerah pegunungan di selatan. Bagian utara, yang membentang dari Anyer sampai Tanara, secara administratif dibagi menjadi dua afdelingen, yakni Serang dan Anyer. Penduduk daerah itu merupakan keturunan orang-orang Jawa yang datang dari Demak dan Cirebon dan dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang Sunda., Bugis, Melayu, dan Lampung. Selain ada perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat, maka dalam hal penampilan fisik dan watak orang Banten Utara menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kalangan orang-orang Belanda, orang Banten Utara dikenal fanatik dalam hal agama, bersikap agresif dan bersemangat memberontak. Sesungguhnya mereka bukan semacam petani yang terdapat di Jawa Tengah bagian selatan, melainkan merupakan kelompok perantau yang cerdas. Diantara unsur-unsur yang merupakan ramuan yang membentuk kebudayaan mereka, hampir tak terdapat ciri-ciri peradaban Hindu Jawa. Dalam kenyataannya, penetrasi Islam sangat mendalam.
Perbedaan-perbedaan yang nyata sekali antara orang Banten Utara dan Banten Selatan itu tak disangsikan lagi disebabkan untuk sebagian oleh perbedaan-perbedaan lingkungan alam, satu faktor ekologis juga oleh perbedaan-perbedaan yang bersifat sosio-kultural atau historis. Lingkungan alam menampilkan diri dalam tiga segi. Sebagian besar Banten Selatan terdiri dari pegunungan; di sebelah barat, pegunungan itu dilanjutkan dari gugusan–gunung-gunung di selatan terus menuju ke utara sampai ke Puncak Gunung Gede.




2. Isi
Masyarakat di Banten sejak pada masa kerajaan telah membentuk sebuah struktur masyarakat sendiri yang didasarkan atas kepemilikian tanah. Pada awal dibentuknya kerajaan Banten tahun 1520 oleh para pendatang dari kerajaan Demak telah menerapkan sistem kepemilikan tanah. Kerajaan memiliki seluruh tanah di wilayahnya, dan rakyat sebagai penumpang di kawasan tersebut harus mengolah lahan untuk hidupnya. Sistem ini membentuk struktur masyarakat yang unik di kawasan Banten.
Dari sistem pada masa kerajaan Banten dapat diketahui bagaimana perkembangan yang terjadi pada masa pendudukan Deandles pada awal abad ke-19 yang secara jelas kedatangan mereka membawa perubahan yang signifikan bagi masyarakat Banten.
Kita tidak boleh tidak harus menelusuri kembali perkembangan historis yang merupakan pokok perhatian studi ini sampai ke periode kesultanan Banten, sepanjang dapat diperoleh data yang cukup dapat dipercaya..
Dalam msayarakat agraris, tanah merupakan sumber produksi dan kekayaan yang utama dan kerenanya kepemilikannya membawa prestise yang tinggi sebagian akibatnya maka klasifikasi penduduk desa yang tradisonal didasarkan atas kepemilikan tanah.
Di samping kepemilikan tanah, terdapat berbagai fakor ekologis dan historis yang ikut berperan.
Di Banten, dengan perkonomiannya yang terutama sekali bersifat agraris. Penduduk desa secara pukul rata adalah pertani dan penanam  padi, entah sebagai penggarap pemilik tanah entah sebagai penggarap bagi hasil.
Seperti di banyak masyarakat agraris, dua perangkat fakta mempunyai arti penting yang khas di antara kondisi-kondisi yang menentukan kehidupan dan perburuhan di daerah-daerah pedesaan, yakni yang menyangkut kepemilikan tanah dan penyewa tanah di satu pihak dan tenik bertani di pihak lain.
Sistem hak atas tanah di banten abd XIX berasal dari zaman kesultanan, meskipun mengalami banyak perubahan sebagai akibat dari masuknya administrasi kolonial. Pada bagian akhir tahun-tahun enam puluhan, masalah-masalah yang menyangkut pemilikan tanah dan sewa tanah bersumber pada hadiah-hadiah tanah yang diberikan kepada anggota-anggota kerabat dan  pejabat-pejabat Negara, serta kepada lembaga-lembaga keagamaan, yang tanah-tanah miliknya terutama terletak di daerah inti kesultanan yang lama.
Pada tahun 1808 Daendles menghapuskan tanah-tanah milik sultan serta wajib kerja bakti yang melekat pada tanah-tanah itu, lalu memungut seperlima bagian dari hasil panen sebagi pajak tanah untuk seluruh daerah dataran rendah di  Banten.
Beberapa tahun kemudian Raffles menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah. Para pemegang hak atas tanah pusaka menerima ganti rugi atas kehilangan pendapatan dari upeti, sedangkan pemilik sawah yasa tetap berhak atas pakukusut mereka. Akan tetapi semua ketentuan-ketentuan itu membuka kesempatan berbuat sewenang-wenang yang semakin lama menjadi sumber-sumber korupsi dan penyelewengan di kalangan pamongpraja. Jelaslah bahwa anggota kerabat sultan dan pejabat kesultanan, orang yang paling beruntung di bawah sistem yang lama, cenderung menghendaki kembali pada kebiasaan-kebiasaan tradisional. Menentang mempertahankan hak-hak mereka meski sudah menerima ganti rugi, pejabat kesultanan kehilangan banyak pengaruh politik. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan telah banyak menimbulkan rasa tidak puas yang menjadi pencetus kerusuhan-kerusuhan di Banten sampai  tahun 1830.



3.   Penutup
Banten terletak di bagian barat Pulau Jawa. Pada mulanya penduduk asli Banten telah menetap sejak berabad silam, barulah tahun 1520 didirikan Kesultanan Banten mulai berdiri oleh para pendatang dari Kerajaan Demak. Masyarakat Banten terdiri dari pelbagai etnik yakni Sunda mendiami bagian selatan, etnik Jawa di utara, sedangkan orang Baduy di pegunungan selatan. Dari berbagai tenik tersebut terbentuk pencampuran kebudayaan dengan nilai Islam yang kuat dan perbedaan-perbedaan antara mereka.
Masuknya Kesultanan Banten menimbulkan beberapa kemudharatan bagi penduduk asli terutama masalah kepemilikan tanah, di samping masalah lainnya. Dalam peraturannya sawah negara memberikan kerugian bagi para penduduk asli yang bermata pencaharian sebagai petani. Sesungguhnya sawah negara adalah sawah yang telah dibuka atas perintah sultan atau keluarganya yang telah dihadiahi sawah itu. Namun dalam pelaksanaannya sawah membutuhkan pengolah, sehingga sultan menghadiahi sawah kepada pengolah karena jasanya, akan tetapi memberatkannya dengan kewajiban upeti. Oleh karena fungsi sultan untuk memberikan perlindungan mengakibatkan ia menguasai perekonomian. Dan kebijakan-kebijakan lain yang bersifat menyimpang dan merugikan rakyat.
Sistem politik Belanda yang pro-rakyat dengan menghapus sistem tanah milik sultan seolah menjadi juru selamat, justru menggulingkan Kesultanan Demak dan mempermudah kaum kolonial memperluas daerah jajahannya. Dimulai dari kebijakan Daendles tahun 1808 dan Raffles setelahnya. Muncullah berbagai pemberontakkan dari kalangan keluarga kerajaan dan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar