Jumat, 27 Juli 2012

SHALAWAT RODAT


SHALAWAT RODAT
Oleh : Muhammad Ridho Rachman (0806343973)

Datangnya agama Islam secara langsung telah mengganti sistem-sistem  yang telah ada di suatu wilayah, tidak terkecuali di Indonesia. Menurut Ahmad Fadli dalam tesisnya, [1]Di Indonesia-dan Asia Tenggara pada umumnya-Islam masuk bermazhab Imam Syafii beraliran Ahli Sunnah wal Jamaah yang cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal.
Percampuran nilai-nilai kebudayaan lokal dengan ritual keagamaan menghasilkan suatu kemasan baru yang berbeda dari tempat asal agama Islam di Timur Tengah. Dengan mengenyampingkan alasan puritansi nilai sebuah agama, pengadaptasian nilai budaya lokal terhadap agama Islam memang menggambarkan jelas bagaimana sebenarnya tingkat intelektualitas suatu masyarakat dalam berbudaya.
Peringatan maulid Nabi Muhamad SAW merupakan perayaan meriah yang di selenggarakan masyarakat di Indonesia. Acara mengenang hari kelahiran dan kematian dilaksanakan dengan cara yang berbeda dengan di wilayah asalnya, Timur Tengah. Bahkan di beberapa wilayah asal Islam, tidak ada perayaan terhadap hari kelahiran pemimpin agama Islam tersebut.
Banyak sekali cara-cara yang dilakukan yang pada intinya perayaan maulid merupakan kegiatan mengenang sosok Nabi Muhammad dengan membaca kitab-kitab yang berisi kisah hidup Nabi. Namun, cara-cara yang berbeda dilakukan masing-masing wilayah sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Ada beberapa jenis perayaan yang dilakukan masyarakat yang berhasil penulis dapatkan, Sholawat Montro yang berasal dari daerah Bantul, Sholawat Jawi dari daerah Pleret dan juga di daerah Bantul, Sholawat Maulud, dan Sholawat Rodat dari daerah Jejeran, Wonokromo dan juga Bantul. Dalam tulisan ini akan dijelaskan mengenai kesenian Sholawat Rodat yang ternyata tidak hanya ada di wilayah Yogyakarta, namun juga ditemukan di daerah Palembang.

Rodat merupakan salah satu kesenian tradisi di kalangan ummat Islam. Kesenian ini berkembang seiring dengan tradisi memperingati Maulid Nabi dan hari-hari besar Islam lainnya di kalangan umat Islam. Kesenian ini menggunakan syair atau syiiran berbahasa arab yang bersumber dari Kitab Al-Berzanji, sebuah kitab sastra yang masyhur di kalangan ummat Islam. Isi dari shalawat rodat adalah bacaan shalawat yang merupakan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW.
Sesuatu yang khas dari kesenian ini ialah tarian yang mengiringi syair (yang dilagukan) dan musik rebana yang dinyanyikan secara bersama-sama (berjamaah). Tarian ini ditarikan dengan leyek (menari sambil duduk).
Di Palembang sendiri Rodat ini biasanya tergabung dalam PSA (Persatuan Syaropal Anam), di mana selain Rodat juga melakukan arakan pengantin ataupun kegiatan kesenian islam lainnya. Di “daerah santri” di Wonokromo, Rodat dapat dengan mudah ditemukan. Di sana ada perkumpulan dengan nama “Lintang Songo” yang terkenal.
Menurut Sunaryo, seperti dikutip www.purbalinggakab.go.id. “Rodat lahir pada tahun 1941. Saat itu Makam dan Panusupan, dua desa yang berada di bawah puncak Ardi Lawet, adalah desa-desa yang terisolir. Di antara penduduk kedua desa itu pun sulit mengadakan komunikasi, apalagi dengan dunia luar. Para tokoh ketika itu mencoba membuat wahana untuk berkomunikasi dengan pertunjukan yang mereka beri nama rodat. Dengan rodat itulah penduduk kedua desa menjadi ketemu, dan terjalinlah satu komunikasi yang akrab. Namun tidak diketahui secara pasti bagaimana sebuah seni musik ini juga ada di daerah Palembang.
Rodat berasal dari kata Irodat, salah satu sifat Allah yang berarti berkehendak. Maksud pemberian nama itu adalah agar manusia selalu berkehendak untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ada lagi yang mengatakan ia berasal dari kata raudah, yaitu taman nabi yang terletak di masjid Nabawi, Madinnah. Ada yang berpendapat ia berasal dari nama alat yang dimainkan dalam kesenian ini. Alat musik tersebut berbentuk bundar yang dimainkan dengan cara dipukul yang disebutnya tar. Dengan demikian, maka rodat termasuk seni yang memiliki misi dakwah.
Pada zaman Jepang, kesenian rodat sangat berperan untuk menjaga persatuan di kalangan penduduk untuk bersama-sama melawan panjajah Jepang. Cara yang ditempuh antara lain dengan gerak dan lagu secara simbolis. Gerak yang ditampilkan adalah "konto", yakni semacam pencak silat, sebagai lambang perlawanan dan pembelaan diri. Di bagian lain, lagu-lagu yang dikumandangkan adalah lagu-lagu bernuansa dakwah Islam, sebagai penguat iman dan jati diri penduduk setempat yang memang penganut Islam taat.
Seni rodat adalah perpaduan dari musik, tari, dan bela diri. Musik yang dimainkan terdiri atas peralatan berupa empat buah genjring/rebana besar, kendang, bas, kecrek dan jidur/bedug masing-masing satu buah. Alat-alat sederhana tersebut dipukul untuk mengiringi lagu, tari maupun konto. Anggota grup rodat selain terdiri atas para penabuh alat musik masih ditambah dengan 2 orang wiraswara, 8 orang penari, dan 2 orang pemain konto, dan juga 2 orang badut/santri.
Pertunjukan rodat biasanya dilakukan pada malam hari, dari ba'da Isya sampai menjelang Subuh. Pada zaman dahulu, grup rodat banyak tampil di rumah-rumah penduduk yang hajatan, serta pada acara-acara yang diselenggarakan masyarakat. Penampilan rodat diawali dengan lagu pembuka yang berbahasa Arab. Lagu-lagu berikutnya selain berbahasa Arab, juga berbahasa Indonesia, bahkan ditampilkan pula lagu "ande-ande Lumut" untuk mengiringi konto.
Tampilan pemain rodat biasanya berganti-ganti, dari sekedar musik dengan wiraswara, disusul babak berikutnya dengan penari, bahkan dengan konto. Pada saat-saat rodat beristirahat, tampil pula badut yang akan membanyol dengan gaya mereka untuk menghibur penonton dengan dagelan yang berisi ajakan kebaikan. Tampilan mereka diakhiri dengan lagu penutup berbahasa Arab.
Demikianlah kesenian rodat yang dulu sebenarnya pernah mengalami masa kejayaannya. Seiring waktu, seni ini pun redup karena tak kuasa melawan berbagai pertunjukkan seni lainnya yang mungkin lebih modern. Karena itu, sebenarnya, agar rodat tetap bisa bertahan dalam kondisi apapun, maka ramuannya harus lebih modern. Yang jelas, kita sendiri harus bisa menghargai peseni rodat dengan harga yang setimpal agar mereka pun tidak lari ke ladang yang lain.


[1] Ahmad Fadli HS, Ulama betawi (Tesis UI 2006, belum diterbitkan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar