Jumat, 27 Juli 2012

PENGEMBANGAN POTENSI WISATA BUDAYA BALI: Sumbangannya Dalam Bidang Ekonomi Pada Masa Orde Baru



PENGEMBANGAN POTENSI WISATA BUDAYA BALI:
Sumbangannya Dalam Bidang Ekonomi Pada Masa Orde Baru
Oleh: Muhammad Ridho Rachman (08063439736)

Bali, You leave this island with a sigh of reget and as long as you live you can never forget this Garden of Eden (Vickers, 1989: 91)”
Kutipan dari Adrian Vickers dalam bukunya Bali: A Paradise Created (1989) mengutip dari brosur KPM pada 1914. KPM (Koninklijk Paketvarrt Maatschapij) adalah perusahaan pelayaran Belanda yang di tahun 1920-an mempropagandakan Bali sebagai daerah tujuan wisata. Namun sebelumnya telah datang seorang anggota parlemen Belanda, Heer H. van Kol, yang mengunjungi Bali pada 4 Juli 1902. Kol dianggap sebagai wisatawan pertama yang datang ke Bali. Melalui kongsi dagang pelayaran inilah promosi kepariwisataan Bali menjadi terlembaga. Praktis setelah itu, turisme Bali dipengang sepenuhnya oleh Pemerintah kolonial Belanda yang tangani dengan baik oleh pemerintah. Baru setelah kemerdekaan, semua aset kendalikan oleh Pemerintah Indonesia dan sebesar—besarnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha.
Ada beberapa hal yang ingin diketahui wisatawan. Hasil pooling yang dilakukan Pacific Area Travel Association (PATA) terhadap wisatawan Amerika Utara menunjukkan bahwa sektor kebudayaan merupakan yang paling ingin diketahui. Lebih dari setengah wisatawan yang mengadakan kunjungan ke Asia dan kawasan Pasifik tertarik pada pengetahuan tentang adat istiadat, kesenian, sejarah, bangunan kuno, dan peninggalan-peninggalan purbakala lain (Pendit, 1994: 219).
Beranjak dari pengertian dan fakta di atas maka dalam pembangunannya harus dengan memperhatikan beberapa hal. Pertama adalah kemampuan untuk mendorong peningkatan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya. Berikutnya yang tidak dapat diabaikan adalah nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kemudian kelestarian budaya dan lingkungan hidup, kelangsungan pariwisata itu sendiri, tata ruang, serta rencana induk pembangunan pariwisata daerah. Begitu pun, harus diperhatikan pula kesediaan prasarana dalam lokasi kawasan seperti jalan, listrik, pos dan telekomunikasi; serta sediaan fasilitas untuk wisatawan dalam kawasan seperti akomodasi, dan obyek wisata yang menarik.
Bali menjadi etalase dan daerah percontohan pembangunan pariwisata di Indonesia karena dinilai yang paling mempunyai prospek yang baik. Karena itulah rezim Orde Baru yang berkepentingan untuk mendatangkan investor ke Indonesia memanfaatkan Bali sebagai daya tarik dengan industri pariwisatanya. Maka pada Maret 1969 pemerintah mengundang tim ahli asing untuk memikirkan pariwisata Bali. Pemerintah mendapatkan bantuan dari IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) dan UNDP (United nations Development Program) menyusun rencana induk pariwisata Bali yang dikerjakan oleh konsultan Perancis yaitu SCETO (Societe Centrale Pour l’Equipment Touristique Outre-Mer).
Dalam pariwisata jelas diperlukan modal kepariwisataan (tourism assets) untuk mengembangkan potensi wisata yang ada, atau sering juga disebut sumber kepariwisataan (tourism resources). Suatu daerah atau tempat hanya dapat menjadi tujuan wisata kalau kondisinya sedemikian rupa, sehingga ada yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata. Kita harus mampu mengenali modal kepariwisataan yang dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat menahan wisatawan selama berhari-hari dan dapat berkali-kali dinikmati, bahkan pada kesempatan lain wisatawan mungkin akan kembali lagi ke tempat yang sama.
Tahun 1972 SCETO memberikan rancang pariwisata dalam pengembangan pariwisata Bali sebagai pariwisata budaya (cultural tourism). Pariwisata budaya dalam konteks Bali diartikan sebagai pengembangan pariwisata yang sedemikian rupa sehingga wisatawan dapat menikmati kebudayaan Bali, seperti menyaksikan tari-tarian Bali, mengunjungi objek budaya (museum, pura, peningggalan purbakala), atau membeli cinderamata khas Bali. Pada saat yang sama juga berhasil melakukan konservasi terhadap kebudayaan Bali dari pengaruh pariwisata.
Dalam pembangunan pariwisata ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian. Kalau pembangunannya berhasil akan menarik kedatangan wisatawan dalam jumlah besar. Pengembangan pariwisata di Indonesia jelas harus sejalan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan perekonomian yang berbasis kerakyatan. Sektor usaha skala kecil dan menengah yang pada umumnya merupakan usaha yang dikembangkan dan dikelola oleh masyarakat sendiri secara kuantitatif berkembang dan tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan bergerak di berbagai bidang ekonomi, termasuk di dalamnya usaha di bidang kebudayaan dan pariwisata, baik dalam bentuk usaha perjalanan, penginapan, rumah makan, usaha cinderamata dan sebagainya, Komposisi penduduk Indonesia yang sebagian besar terdiri dari masyarakat menengah ke bawah, akan menuntut perhatian dan langkah-langkah konkret dalam memberdayakan potensi tersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.
Bagi Indonesia, industri pariwisata mulai dirasa penting ketika penerimaan negara dari minyak bumi mulai menurun, Pemerintah Indonesia memandang perlu untuk dilakukan alternatif pengganti penerimaan non migas. Pada tahun 1990, belum ada anggaran khusus dalam APBN untuk kegiatan pariwisata tetapi sektor ini telah menyumbang penerimaan Negara secara berarti. Pada tahun 1990, tercatat sekitar 2 juta wisatawan mancanegara berkunjung ke Indonesia dengan total pengeluaran US$ 2 milyar, pada tahun 1996 jumlahnya menjadi 2.5 kali lipat atau sekitar 5 juta wisatawan dengan total pengeluaran US$ 6 milyar (UNDP-KMNLH, 2000).
Sesungguhnya sejak pemerintahan Orde Baru peningkatan kemampuan masyarakat juga dilakukan, namun tidak sepunuhnya memiliki kontribusi dalam pemberdayaan, karena belum terjalinnya kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Dalam hal ini kerja sama yang hampir tidak tersentuh oleh pemerintah atau swasta adalah masyarakat karena masyarakat dipandang sebagai kelompok konsumen dari hal-hal yang disajikan oleh pemerintah maupun swasta dengan dibangunnya sebuah industri pariwisata. Masyarakat dipandang sebagai salah satu unsur penggerak pariwisata namun tidak dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan pariwisata dan bahkan masyarakat sebagai korban dari adanya industri pariwisata tersebut.
Seperti yang dikemukanan oleh Sulistiyani dalam buku Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan (2004:96). Peran pemerintah pada umumnya berada pada posisi fasilitas terhadap jalannya proses pemberdayaan masyarakat dengan baik. Fasilitas tersebut dapat berupa kebijakan politik, kebijakan umum, kebijakan sektoral/departemantal, maupun batasan-batasan normatif lainya di samping itu fasilitas dapat berupa tenaga ahli, pendanaan, penyedian teknologi dan tenaga terampil. Di samping peran pemerintah, hendaknya swasta juga dilibatkan dalam kemitraan ini. Peran swasta biasanya pada segi oprasionalisasi atau implementasi kebijakan, kontribusi tenaga ahli, tenaga terampil maupun sumbangan dana, alat atau teknologi. Sedangkan peran masyarakat pada umumnya disampaikan dalam bentuk partisipasi non mobilisasi.
Begitu juga di wilayah lain di Indonesia yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata unggulan Jawa Timur yaitu seperti di daerah Kota Batu, kota yang termasuk dalam wilayah Malang Raya sangat banyak memiliki objek wisiata yang perlu dikembangkan guna menambah PAD kota Batu dan juga memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat sekitar, wisata itu seperti, wisata alam, wisata belanja, wisata kuliner, wisata budaya, wisata buatan, dan juga fasilitas penunjang lainya seperti Restouran, hotel dan lain sebagainya. Namaun masih banyak objek wisata yang belum dikelolah dengan baik di Malang Raya, dengan demikian dalam pengelolahaanya peran masyarakat masih kurang terlibat dalam pengembangan industri pariwaisata maupun kebijakan—kebijakanya. Namun dari sekian banyak fasilitas yang bergerak dalam bidang  jasa seperti Hotel, wisata dan lain sebagainya merupakan hasil kelola dari pemerintah dan swasta tanpa ada mitra dengan masyarakat di dalamnya melainkan hanya pengusaha dan pemerintah. Kalau kita melihat potensi-potensi yang ada di wilayah Kota Batu sangat banyak memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan apabila dalam perkembangannya pemerintah maupun swasta selalu melibatkan masyarakat tentu saja akan lebih baik keadaan perekonomianya, masyarakat tidak hanya sebagai konsumen dari apa yang disajikan oleh pemerintah maupun swasta melainkan pengambilan kebijakan dalam pengembanganya akan selalu melibatkan masyarakat.
Kesimpulan
Industri pariwisata yang merupakan industri yang mempunyai peran yang sangat penting dalam peningkatan dan pengembangan pariwisata, dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat harus memiliki suatu kerja sama atau partnersip yang sangat solid sehingga kerja sama di antara tiga elemen tersebut dapat dijalankan.
Bali dari awal telah menarik banyak sekali wisatawan dan harus terus dilanjutkan demi mendorong perekonomian negara karena langsung menyentuh ke lapisan paling bawah dalam masyarakat. Melihat peran strategis Bali sebagai ujung tombak pengembangan ekonomi negara dari sektor pariwisata, pemerintah menggalakkan pembangunan di kawasan tersebut dan diharapkan akan menjalar ke lokasi—lokasi destinasi lainnya.
Dalam hal ini, industri pariwisata yang dikelulah oleh sebagaian masyarakat harus ditopang dengan kebijakan pemerintah daerah (mengingat telah diberikannya otonomi bagi setiap daerah dalam pengembangannya masing--masing) supaya apa yang menjadi tujuan utama pengembangan industri pariwisata Pusat melalui pemberdayaan masyarakat dapat terlaksana dan meningkatkan tarap hidup masyarakat sekitar pariwisata.
Dengan perkembangan positif ini diharapkan peran destinasi wisata bisa mengembangkan mewujudkan perekonomian berbasis kerakyatan. Sektor usaha skala kecil dan menengah yang pada umumnya merupakan usaha yang dikembangkan dan dikelola oleh masyarakat sendiri dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar. Komposisi penduduk Indonesia yang sebagian besar terdiri dari masyarakat menengah ke bawah, akan menuntut perhatian dan langkah-langkah konkret dalam memberdayakan potensi tersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.












Daftar Pustaka
Wacik, Jero. (Peraturan Kebudayaan Dan Pariwisata nomor: pm.37/um.001/mkp/07) Kriteria dan Penetapan Destinasi Pariwisata Unggulan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
www.hotelbandung.org/UU%20No.%209%20Tahun%201990%20Tentang%20Kepariwisataan.pdf (diunduh senin, 24 Mei 2010 jam 09.50 WIB)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar