Jumat, 27 Juli 2012

TINJAUAN KRITIS POSTUR PERTAHANAN NEGARA: KEKUATAN POKOK MINIMUM (MINIMUM ESSENTIAL FORCES)


Muhammad Ridho Rachman
0806343973
TINJAUAN KRITIS POSTUR PERTAHANAN NEGARA:
KEKUATAN POKOK MINIMUM (MINIMUM ESSENTIAL FORCES)

I.            DASAR PEMIKIRAN
1.1.   Anggaran belanja sektor pertahanan Negara terus-menerus mengalami penurunan, dari sekitar 29% GDP ditahun 1970 menjadi tidak lebih dari 1.5% GDP tahun 2010. Akibatnya Departemen Pertahanan hanya mampu memenuhi sekitar 25%-30% dari total kebutuhan pertahanan nasional. Hal ini menjadi sangat sulit untuk membuat angkatan bersenjata yang tangguh dan profesional.
1.2.   Postur pertahanan adalah gambaran tentang kekuatan pertahanan yang mencakup kemampuan, kekuatan, gelar kekuatan, serta sumber-sumber daya nasional. Dengan dihadapkan pada kemampuan anggaran negara, serta kemungkinan ancaman berupa invasi asing relatif kecil, maka pembangungan kekuatan pertahanan lebih difokuskan untuk membangun kekuatan TNI (Minimum Required Essential Force)—arah dan sasaran pembangunan pertahanan negara bukan untuk memperbesar kekuatan, melainkan dalam rangka mengisi kesenjangan—yang dimaksudkan adalah kekuatan dan kemampuan TNI yang diperlukan untuk mengatasi ancaman keamanan yang bersifat mendesak.
1.3.   Menurut versi Dephan, Minimum Essential Forces adalah kekuatan pertahanan minimal yang mampu menimbulkan dampak penangkalan (mengatasi ancaman keamanan yang bersifat mendesak). Minimum Essential Forces merupakan suatu kekuatan standar dan minimum TNI yang mutlak disiapkan sebagai prasyarat utama serta mendasar bagi terlaksananya secara efektif tugas pokok dan fungsi TNI.

II.            KRITIK UMUM
2.1.   Sepintas, sistem ini dianggap arif melihat dari kekurangan anggaran yang dimiliki Negara untuk sektor pertahanan. Tetapi langkah ini sebenarnya bukan saja mengabaikan pentingnya kekuatan militer, melainkan pula merupakan jalan pikir yang tidak membangun.
2.2.   Soal minimal tentu sangat relatif, seberapa minimal? Apa yang disebut essential bagi suatu negara, bisa jadi tidak essential bagi negara lain. Untuk AL misalnya, apakah 10 fregat dan korvet dengan teknologi terbaru sudah dapat digolongkan sebagai kekuatan yang dapat menimbulkan penangkalan?
2.3.   Kebijakan pemerintah untuk menghapus sejumlah sistem senjata yang sudah lewat usia ekonomisnya berkonsekuensi terhadap konsep Minimum Essential Forces. Sebab kebijakan ini berimplikasi terhadap kuantitas sistem senjata dalam konsep tersebut.

 III.            KRITIK KHUSUS
3.1.   Dalam tahun-tahun terakhir Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI tampak telah melakukan kejanggalan cara berpikir dalam kebijakan pertahanan nasional, khususnya melalui konsep kekuatan pokok minimum (MEF). Jalan pikir MEF sama seperti jalan pikir orang miskin yang malas berupaya, yang bukan menjawab problem kemiskinan dengan cara memutar otak, atau bekerja keras untuk meningkatkan pendapatan, melainkan menjawabnya dengan menyerah dalam penghematan. Apakah si miskin harus menghemat dengan cara mengurangi makannya dengan hanya menjadi satu kali sehari? Analog dengan ini, dalam suasana pemerintah yang hanya sanggup memenuhi sepertiga saja dari anggaran minimum Departemen Pertahamam dan Markas Besar TNI (Rp30 triliun dari Rp100 triliun yang diajukan) sekarang ini, apakah mereka memang perlu untuk lebih melakukan penghematan lagi? Rasanya dengan mengubah posisi pertahanan yang semula merupakan cost center agar menjadi profit center melalui pengembangan industri pertahanan merupakan langkah nyata mengakali probem kemiskinan dalam anggaran pertahanan. Yang ingin dikatakan adalah industri pertahanan berpeluang besar untuk menjawab problema yang dihadapi bangsa saat ini. Padahal kita pernah punya landasan sejarah ketika masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia menjual hasil industri pertahanan ke luar negeri. Secara ekonomi, pendekatan yang harus ditempuh adalah menyediakan fasilitas pembiayaan bagi calon pembeli, misalnya kredit ekspor yang memudahkan calon konsumen. Terlebih lagi mayoritas calon konsumen produk industri pertahanan Indonesia adalah negara-negara berkembang. Pemberian fasilitas pembiayaan bagi calon konsumen berarti pula investasi politik Indonesia terhadap negara tersebut, setidaknya melebarkan pengaruh Indonesia ke negara itu dan harus "dibayar" ketika Indonesia membutuhkan dukungan di panggung internasional. Setidaknya, langkah transfer teknologi dari pembuatan-pembuatan alat pertahanan yang tengah dilakukan negara bisa dikatakan menjadi pijakan awal bagi center profit dalam melihat prospek industri pertahanan yang mengubah sudut pandang negara kita.
3.2.   Mengenai seberapa minimal dan sebagainya dijawab harus dengan memasukkan berbagai faktor determinan dan dikaji secara mendalam. Jadi, MEF tidak sekadar minimum. Arah dari MEF akan menjadi jelas jika pemerintah segera menentukan tujuan pertahanan dan strategi pertahanan yang akan ditempuh. Jika hal ini sudah ditentukan, pengembangan komponen utama, komponen cadangan, dan komponen pendukung dapat diarahkan pada satu tujuan yang jelas sehingga apa yang disebut minimum dapat dielaborasi dengan kriteria dan kebutuhan yang jelas. Menurut pendapat saya, Minimum Essential Forces lebih menitikberatkan pada preventing the war. Jadi belum sampai winning the war. Strategi maritim AS lebih maju lagi, preventing the war as equal as winning the war. Memang benar kelahiran konsep Minimum Essential Force tidak lepas dari perimbangan ekonomi, yaitu anggaran pertahanan yang terbatas.
3.3.   Berdasarkan rumus Minimum Essential Forces saat ini, dari segi jumlah, akan terjadi pengurangan kuantitas persenjataan. Sehingga jumlah kekuatan dalam minimum essential forces berkurang. Dalam Minimum Essential Force, pendekatan yang dianut adalah ancaman plus anggaran. Masalah kualitas sistem senjata nampaknya bukan menjadi perhatian utama, sebab yang didahulukan lebih pada kuantitas. Bisa saja dikatakan Minimum Essential Forces sama dengan pemeliharaan alutsista lama. Di situlah masalahnya terletak, yakni meskipun kuantitas sistem senjata dalam minimum essential force terhitung banyak, namun secara kualitas tidak berbanding lurus. Sebab tulang punggung kekuatan pada konsep itu adalah sistem senjata buatan 1980-an ke bawah yang usia ekonomisnya telah terlampaui. Sekarang menjadi pertanyaan apakah dengan kebijakan pemerintah untuk menghapus sejumlah sistem senjata buatan 1980-an ke bawah, lalu pendekatan dalam penyusunan minimum essential force masih akan tetap mengandalkan pada kuantitas sistem senjata? Sebaiknya ada perimbangan antara kuantitas sistem senjata dengan kualitas sistem senjata. Untuk menciptakan perimbangan, realisasi pengadaan sistem senjata baru sebagaimana dicantumkan dalam Renstra harus sesuai jadwal. Selain itu, nampaknya perlu penambahan kuantitas pengadaan sistem senjata baru dalam Renstra. Pendapat ini berangkat dari basis pemikiran mendasar yaitu kepentingan nasional. Kepentingan nasional harus mendasari perencanaan kekuatan, bukan anggaran yang mendasari perencanaan kekuatan. Paradigma inilah yang banyak tidak dipahami oleh pihak-pihak terkait di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar