Jumat, 27 Juli 2012

KESENANGANNYA ADALAH KESENANGAN ANAK-ANAKNYA


KESENANGANNYA ADALAH KESENANGAN ANAK-ANAKNYA
            “Ido udah makan siang belom?” pertanyaan itu rasanya tidak bosan keluar dari mulut ibu.
            “iya bu, sebentar, dikit lagi kelar.” Jawabku dengan cepat agar beliau tidak lagi mengkhawatirkanku yang baru sembuh dari sakit beberapa hari lalu.
            “yaudah, langsung makan aja ntar ya, obatnya jangan lupa, ibu mao rebahan dulu …” kata-kata terakhir yang diucapkan sebelum beliau beristirahat siang buah kerjanya membereskan rumah sejak pagi tadi.
            Hari ini untungnya libur. Bisa kusiapkan waktu untuk mengerjakan tugas dengan santai di rumah tanpa harus bergelut dengan kegiatan di kampus. Tugas-tugas tetap menumpuk tanpa pilih kasih, walaupun seseorang sedang sakit sekalipun. Makanya dengan setengah energiku, kutegapkan badan menghadapi tugas-tugas yang dikirim temanku kemarin. “Buah tangan dari dosen nih” perkataanku membatin. Tak kusangka, mereka baik sekali, di sela-sela kesibukkan mereka tetap memperhatikanku.
“heheeee…” tiba-tiba aku tertawa sendiri.
Kuakhiri sementara tugasku. Nanti setelah istirahat akan kulanjutkan.
Rumah hari ini sepi, jelas saja tak ada adik-adikku di rumah. Ketiganya sedang sekolah di tempatnya masing-masing. Membayangkan begitu beratnya karena masih ada tiga adikku yang harus ditanggung hidupnya oleh ibu seorang diri setelah kutamat sarjana kelak.
Untung saja, bapak meninggal setelah kedua abangku lulus dan sudah bekerja, kalau tidak mungkin bisa sangat sulit sekali kenyataannya. Yah, memang. Masih kubilang untung kalau dibandingkan dengan hal itu.
Pikiranku melayang jauh lima tahun lalu, saat bapak meninggal. Memang betapa beratnya situasi itu. Apalagi jika dihadapkan dengan kenyataan ibu harus menjadi singel parent yang mengurusi empat anak yang masih kecil-kecil, aku lah yang paling besar, kelas 2 SMA. Tetap saja itu tak bisa membantu ibu banyak. Malah semakin menyusahkan karena masa itulah aku banyak menyita kas pengeluaran ibu.
Pikiranku tak pernah membayangkan peristiwa demi peristiwa yang terjadi sedalam ini, di mana situasinya sangat menyulitkan pastinya. Kedua abangku pun tidak bisa membantu banyak, mereka harus mengurusi keluarga kecilnya masing-masing. Posisi ibu lah yang paling menyulitkan.
Ia harus berdiri menjadi seorang ayah yang mencari nafkah dengan keras dan seorang bunda yang memberikan perhatian lembut kepada anak-anaknya. Ia lalui itu dengan diamnya dan ia mengerjakan semuanya.
Aku pribadi tak pernah melihatnya banyak bercerita soal masalah-masalah dalam rumah tangga. Aku hanya dilibatkan sedikit dari menggantikan tugas seorang bapak. Kadang diminta membayar listrik rumah, mengantarnya pergi ke pasar, dan yang paling terasa jelas adalah mengantarnya pergi ke resepsi pernikahan.
Hal itu sangat mengena hati. Biasanya orang tua-orang tua bersama pasangannya masing-masing pergi ke pesta pernikahan tapi kali ini dan untuk jangka waktu yang lama, ibu harus ke pesta pernikahan dengan anaknya.
Kulalui dapur dengan mengambil piring dan kembali ke meja makan untuk menyendok nasi dan lauk-pauk. Dalam sendokan demi sendokanku pikiran kembali melayang, mengingat situasi pelik yang kemarin-kemarin terjadi. Untungnya kehidupan keluarga kami yang single parent tidaklah serumit dan semerana yang dikisahkan televisi. Tapi sama sajalah. Ibu tak punya pekerjaan, sepertinya memang itu yang terbaik. Biarlah ia di rumah, mengurus semua urusan rumah. Soal pemasukan biarpun sedikit, dua buah rumah kontrakan peninggalan bapak masih bisa menopang kami sekeluarga. Biar saja hidup dengan keterbatasan. Ibu yang selalu ada di rumah lebih aku inginkan, mungkin itu juga yang dipikirkan kakak-adikku.
Ternyata lamunan menyita waktuku di meja makan. Langsung saja kupergegas, kutinggalkan meja makan dengan niatan melewati kamar ibu lagi, sekedar melihat badannya yang memunggungi pintu.
Pikiranku masih mengawang. Entah karena memikirkan ibu atau karena sisa-sisa efek sakit atau karena habis mengerjakan tugas atau mungkin gabungan semuanya. Tapi yang pasti adalah pikiran ini masih saja menerobos ingatan-ingatan masa lalu, beberapa tahun silam.
Tiba-tiba teringat peristiwa lain, ketika hari-hari kami diisi berempat saja. Adikku yang kedua tidak tinggal bersama. Ia tinggal di pesantren, mengingat ia satu-satunya perempuan milik ibu. Ya ibu memberikan perhatian lebih kepadanya, begitu pula aku dan saudara-saudaraku.
Tak ada manusia yang seperasaan dengannya di rumah, sesama perempuan. Mungkin banyak kemauan ibu yang tidak anak laki-lakinya mengerti. Itulah yang pernah aku pikirkan. Maka tak akan kami larang sedikit pun ketika teman-teman masa lalu ibu datang berkunjung. Kadang mereka habiskan waktu sepanjang siang ngobrol di ruang tamu. Bahkan, kami, anak-anaknya, tak merasa keberatan bahkan senang ketika ada teman ibu yang mau menginap semalam saja di rumah.
Sebenarnya apa yang ibu inginkan? Mungkin ia ingin melihat anak-anaknya cepat tumbuh dewasa. Rasanya kelak, aku ingin memberikan segala sesuatu yang ia inginkan. Apapun itu.
“Namun, apa yah kira-kira keinginannya atau apa yang membuatnya senang?” aku memikirkan dalam hati. Rasanya tak ada keinginan khusus yang pernah diucapkannya. “Kesenangannya adalah kesenangan anak-anaknya …” sebersit dalam hatiku membayangkan wajahnya yang sejuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar