Jumat, 27 Juli 2012

Kebudayaan Lenong


UJIAN AKHIR SEMESTER

Kebudayaan Lenong 





OLEH:
MUHAMMAD RIDHO RACHMAN
0806343973
ILMU SEJARAH


DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS
MATA KULIAH KEBUDAYAAN INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2009




Pedahuluan

Dilihat dari asal katanya, budaya berasal dari kata budh dalam bahasa Sansakerta yang berarti pencerahan. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa budaya merupakan cerminan dari suatu masyarakat yang telah tercerahkan. Adanya budaya dalam masyarakat menunjukkan tingkat peradaban (kecerahan) yang dimiliknya. Dari kajian tentang konsep kebudayaan, Koenjtaraningrat mengembangkan konsep yang dibuat oleh B. Malinowski, dan menggolongkannya kedalam tujuh bentuk yang secara global dimiliki oleh seluruh elemen masyakarat di manapun mereka berada, yakni: (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) religi, (7) kesenian. Tata urut dari unsur-unsur yang tercantum memiliki maksud tertentu, yaitu berdasarkan teori bahwa bahasa itu rupanya merupakan unsur kebudayaan yang paling terdahulu timbul dalam kebudayaan manusia. Dan selanjutnya diikuti yang lainnya sesuai urutannya. Namun, dalam tulisan ini akan melewati keenam unsur di awal, dan lebih concern kepada kesenian, yang merupakan jantungnya kehidupan suatu mayarakat yang menjadi indikator hidup matinya sebuah kelompok manusia yang disebut masyarakat. Di masyarakat Bali sendiri, dalam tulisannya Clifford Geertz menjelaskan bagaimana kesenian menjadi sebuah pertaruhan penting bagi ada tidaknya kekuasaan sebuah kerajaan dilihat dari kesenian yang berhasil ditampilkannya secara konsisten pada masa itu.

Masyarakat dan kesenian merupakan dua komponen yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Kesenian merupakan buah karya dari budaya masyarakat. Manusia memiliki akal, manusia berkumpul dengan manusia lainnya, mereka berinteraksi dengan bahasa, mereka menciptakan suatu karya bersama yang bermanfaaat bagi mudahnya kehidupan mereka. Inilah hasil dari kebudayaan.

Budaya masyarakat mewadahi pikiran kolektif masyarakat. Apa keinginan mereka dituangkan lewat kebudayaan itu. Dalam kajian ilmu, budaya adalah hasil rasa, karya, karsa masyarakat, selalu memiliki tiga fungsi yaitu ekspresi, gagasan, dan hiburan. Dalam suatu kesenian wayang orang di Jawa, kesenian ini mengekspresikan apa yang dirasakan oleh masyarakatnya, menyampaikan apa yang dipikirkan (gagasan) oleh masyarakatnya, dan juga merupakan suatu sarana hiburan bentukan masyarakat.


Isi
Zaman terus berkembang, perubahan pasti dialami setiap masyarakat. Perubahan pada masyarakat secara otomatis ikut menggoyang berbagai macam hal yang dimilikinya, dalam hal ini kesenian. Entah berapa banyak macam-macam kesenian hilang tak berbekas tersapu arus modernisasi.

Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan dan tradisi tertentu sesuai dengan ciri khas masyarakat setempat, kebudayaan tersebut merupakan hasil dari karya, karsa, dan rasa. Dari sinilah sebuah kaum menghasilkan perangkat-perangkat kehidupan untuk memudahkan mereka mengatasi dan menguasai alam semesta serta mengatur kehidupan dengan menyusun norma, etika, dan hukum yang menjadi acuan ketertiban.

Pada konteks mayarakat Betawi banyak melahirkan seni kerakyatan, memang kalau kita telusuri garis sejarah terciptanya tidak terlepas dari proses akulturasi seni yang datang dari luar, sebab secara geografis masyarakat Betawi sejak masa kolonial sampai sekarang menjadi pintu atau corong perdagangan yang akan masuk ke Nusantara sehingga realitas ini mempunyai peran untuk membentuk kesadaran mayarakat yang lebih terbuka terhadap budaya yang datang dari luar, sebab masyarakat yang berada pada jalur perdagangan lebih mudah terjadi penyerapan budaya yang prosesnya nanti akan terjadi proses pembentukan kesenian, ini terjadi pada masyarakat Indonesia secara umum khususnya Betawi.

Salah satu kesenian rakyat yang terjadi akulturasi adalah lenong, untuk saat ini kesenian lenong cukup populer di mata penduduk Jakarta karena sudah terjadi pempublikasian lewat media dan acara-acara pertunjukan dalam ruang lingkup kesejarahan masyarakat Cina mempunyai banyak kontribusi untuk lenong itu sendiri sehingga banyak pencorakan yang bersentuhan dengan ke Cina-an. Hal ini disebabkan  pada awal pertumbuhannya dibina dan dikembangkan oleh masyarakat Cina, walaupun demikian dapat diramu oleh masyarakat Betawi dan menjadikan sebuah kekayaan kebudayaan, jika kita telaah lebih dalam mengenai lenong maka kesenian ini bertujuan menggambarkan sebuah realitas sehari-hari kemasyarakatan, lenong merupakan pematerialan dari teater tutur gambang rancak menjadi teater peran sehingga terbentuklah lenong, dalam pertunjukan lenong diperlukan pendekoran panggung, pemakaian pakaian dan iringan musik sesuai dengan tema yang diangkat, untuk mengawali pertunjukan biasanya dimulai dengan permainan musik gambang kromong untuk memanggil penonton supaya datang, atau dalam pembukaan dimainkan lagu angkat selamat sebagai tanda penghormatan, sementara dalam hal cara esktra dibawakan lagu-lagu khas Betawi seperti jali-jali, persi, stambul, center manis, seret balok, renggong manis dan lain-lain.

Pada zaman dahulu lenong diperuntukkan untuk stratifikasi sosial tertentu yaitu raja dan bangsawan sehingga penyajiannya pun hanya bekutat pada lingkaran kaum tersebut sehingga timbul ungkapan “kaya raja lenong” untuk menunjukan orang yang bergaya feodal. Dalam perkembangan lenong itu sendiri terdapat beberapa macam jenis lenong sesuai dengan tema dan realitas yang mau diangkat diantaranya adalah : Lenong Dines, Wayang Senggol, Wayang Sumedar, Lenong Preman, dan Wayang Si Ronda.

a. Lenong Dines
Pada bentuk penyajian lenong dines menampilkan, menggambarkan dan menceritakan kehidupan para raja dan kaum bangsawan. Oleh sebab itu dinamakan lenong dines, sesuai dengan alur ceritanya yang mengisahkan orang-orang dan tokoh-tokoh yang berkedudukan tinggi sesuai dengan stereotip kebangsawanan, maka perangkat lenong pun disinergiskan dengan pencitraan tersebut, dimulai dari pendekoran panggung serta  penggunaan pakaian yang menggunakan pakaian kerajaan dengan menggunakan bahasa “melayu tinggi” seperti kata-kata: Hamba, Kakanda, Adinda, Beliau, Syahdan, Berdatang Sembah, dsb. Oleh karena itu, sangat sulit dimengerti oleh para penonton bahkan pemain lenong itu sendiri disebabkan oleh penyajian yang sangat kaku sehingga sulit menampilkan guyonan yang diminati oleh khalayak banyak yang dampaknya mengalami kemorosotan peminat untuk menonton lenong.

Sekarang ini lenong dihadirkan kepada seluruh komponen mayarakat dengan tinjauan perspektif ekonomi, hingga saat ini rombongan lenong yang ada antara lain lenong dines pimpinan Rais di Cakung, pimpinan Samad Modo di Pekayon, pimpinan Tohir di Ceger dan pimpinan Mis Bulet Babelan.

b. Wayang Senggol
Pada wayang senggol mempunyai perbedaan tersendiri dengan wayang dines terlihat dari bentuk pembawaannya dengan menggunakan kain sebagai alat pengganti benda-benda pertunjukan seperti golok, gada, dll. Nantinya selendang tersebut hanya disegol-sengol saja dalam bentuk gerak-gerak tari yang luwes terutama pada pembawaan memperagakan perkelahian di atas pentas. Lakon-lakon yang dibawakan oleh wayang senggol terutama diambil dari cerita-cerita panji seperti “Candrakirana” Jaka Sembung, dll. Perlengkapan panggungnya dengan saben yaitu penutup sebelah samping agar penonton tidak dapat melihat ke belakang panggung, layar-layar seperti ini disebut “kere”. Memang jika dilihat untuk saat ini wayang senggol pada tiga dasawarsa ini sudah hampir menghilang dan ada dibeberapa tempat yang masih tetap bertahan seperi wayang senggol pimpinan Seng Lun di Karang Anyar, di Krikut pimpinan Pak Utan, dan di Pasar Baru pimpinan Abdurahman.

c. Wayang Sumedar
Untuk Wayang Sumedar memiliki dekor layar berwarna polos yang dijadikan penghalang antara pentas dengan tempat duduk pemain di belakang panggung, dalam pergelaran Wayang Sumedar kadang kala disajikan cerita-cerita komedi kaum bangsawan seperti : Jula Jali Bintang Tiga, Saiful Muluk, dsb. Sebelum perang dunia kedua Wayang Sumedar masih terdapat di Kebun Jeruk pimpinan Ahmad Batafi, pada dasawarsa ini sulit mengetahui secara lengkap jenis teater seperti ini.

d. Lenong Preman   
Sesuai dengan namanya, lenong ini menampilkan cerita tentang kehidupan sehari-hari  para jagoan jagoan, tuan tanah, drama rumah tangga, dll. Sesuai dengan ceritanya wayang preman menggunakn pakaian pentas pun seperti para jawara berbentuk celana dan baju potong koko serta pangsi, kaos oblong, ikat kepala yang istilah setempat diberi nama ”setangan” dan penggunaan bahasanya pun menggunakan bahasa sehari-hari Betawi, bagi pemain yang memiliki keterampilan silat biasanya acap kali melontarkan kata-kata yang humoris supaya mudah dicerna oleh penonton, untuk pendekoran panggung disesuaikan dengan alur cerita, lenong preman terdapat pada wilayah Kabupaten Bekasi, Tangerang, Bogor dan wilayah DKI Jakarta, diantara rombongan lenong antara lain: Gaya Baru di Gunung Sundar milik Liem Kim Song, di Teluk Gong milik Nion Hak San, Tiga Saudara di Mauk Tangerang milik Pak Ayon, Sinar Subur di Bojong Sari milik Asim.

e. Wayang Si Ronda

Mengenai Wayang Si Ronda ini ada sedikit berdebatan yaitu tentang awal terbentuknya. Ada yang menyatakan bahwa Wanyang Si Ronda merupakan bentuk degradasi dari Lenong Preman akan tetapi pembuktiannya secara ilmiah tidak bisa diungkapkan, yang jelas kesenian ini mempunyai corak dalam pementasannya dengan bermain di atas tanah  serta menggunakan sebuah layar yang menjadi penghalang antar pentas dan bagian belakang panggung untuk mengganti pakaian, berias, dan tempat duduk pemain sambil menunggu maju ke atas panggung. Rombongan lenong jenis ini yang masih ada antara lain: Samad Modo, Amsar, Iman, dan Kami dengan penyebarannya pada wilayah pinggiran Kelapa Dua, Parung dan di Kresek Tangerang.
Seperti teater rakyat lainnya, lenong juga merupakan bagian akrab dari masyarakat. Ia tumbuh bersama unusr-unsur lainnya yang membangun keutuhan dan keseimbangan masyarakat itu. Pada satu waktu, mungkin menjelang awal abad ini (abad ke-20), pada waktu unsur-unsur Cina dan pribumi (yang entah terdiri dari campuran Jawa, Sunda, dan apa lagi) mencapai keseimbangan dalam bentuk musik gambang Kromong pada waktu lingkungan Betawi terbentuk. Pada waktu itu pula lenong muncul, yang merupakan perpaduan landskap, kampung dan kota yang mulai tumbuh.

Dengan sederhana bisa dikatakan: kota mengorganisasikan kembali seni pertujukan. Seni pertujukan sekarang ditempatkan di dalam tempo dan teknik yang lebih padat dan rumit daripada sebelumnya. Khalayaknya pun ditempatkan berlainan dari posisi sebelumnya. Ia berada dalam keadaan yang lebih “terpecah”, perhatiannya dihadapkan ke depan, lurus ke arah panggung, tak lagi berputar ke mana-mana. Penonton itu sekarang perhatiannya banyak dipecah oleh berbagai unsur dalam tontonan di panggung. Yang ditampilkan di panggung itu sekarang adalah berbagai hal secara sekaligus.

Ujian lenong dalam terus mengibarkan bendera kejayaannya terus ditegakkan para pemainnya. Dalam gilasan zaman, lenong bisa termasuk dikatakan berhasil dari berubah-ubah wujud  mengikuti kemauan pasar. Ada faktor yang membuat kelanggengan pesan si Pitung dan Nyai Dasima dalam menghimbau kembali penonton lenong. Sebagai teater rakyat, meskipun mungkin lulus dalam uji kelanggengan pesan ceritanya, namun nampaknya masih harus mengalami ujian lain. Yakni ujian lingkungan.

Kalau tadi di atas sudah disinggung tentang lingkungan yang menumbuhkan lenong sedang mengalami masa pancaroba yang hebat, kita bisa menduga bagaimana lingkungan mengujii “barang lama” seperti lenong ini. Dulu lingkungan itu satu dengan lenong karena lenong adalah penerjemah yang langsung dari kehidupan lingkungan yang utuh. Maka tempat penampilan yang paling logis untuk sang penerjemah itu adalah di tengah lingkungan sendiri.

Perkembangan masyarakat diikuti perkembangan keseniaannya, namun perkembangan masyarakat dan kesenian tidak selalu berbarengan. Ada saat di mana satu kesenian tidak dapat mengimbangi pergerakan cepat dari sang masyakarat. Dari hal itu konsekuensi yang tak terhindarkan adalah kekosongan kesenian itu, tidak pasnya lagi kebutuhan masyarakat terhadap kesenian yang menjadi hak dasar yang dimilikinya.

Kesenian pada hakikatnya tidak langsung kosong, pasti ada satu model kesenian baru yang mengisinya. Ibarat majikan-pembantu, majikan tak akan sendiri mengurusi rumah tangganya, adalah pembantu yang membantunya, siapa pun ia. Begitu juga kesenian mengikuti suatu masyarakat. Ia berubah dari model yang sudah tidak mewakili keinginan dari masyarakat tersebut, entah lahirnya kesenian baru atau adanya modifikasi dari kesenian tersebut mengikuti kemauan dari “tuannya”. Adanya suatu modifikasi seni yang menjadi satu wadah yang sesuai dengan cipta rasa mereka. Suatu seni yang popular yang sesuai dengan selera masyarakat itu.
Kesenian yang berfungsi tidak saja sebagai hiburan tetapi di dalamnya terkandung berbagai kegunaan (dulce et utile) adalah representasi dari ekspresi budaya masyarakat itu sendiri. Norma dan nilai kehidupan disampaikan dan mendapat salurannya melalui kesenian. Artinya, kesenian akan hidup dan berkembang manakala masyarakatnya memelihara, mengembangkan, melakukan secara aktif, dan mengapresiasi. Dalam konteks itulah, secara kritis perlu dilihat bagaimana kesenian tradisional Betawi pada era globalisasi ini.

Pemodernan terhadap kesenian tradisional bukan suatu usaha yang haram, justru dengan pemodernan itu terkandung suatu upaya mengembangkan kesenian itu sejalan dengan pola pikir dan kebutuhan masyarakat Betawi yang semakin modern. Kompetisi kesenian tradisional dengan kesenian modern yang datang kemudian sangat perlu karena salah satu ciri dari masyarakat modern adalah bergerak dalam kompetisi menciptakan inovasi-inovasi yang berorientasi pasar. Nature kesenian tradisional memang bukan berorientasi pasar, tetapi ketika masyarakat dan lingkungan perkotaan menuntut pasar, maka kreativitas seniman tradisional harus pula mempertimbangkannya. Produk-produk budaya modern (budaya popular) dikemas sedemikian rupa sehingga masyarakat berada dalam situasi “demam” secara terus-menerus. Pengemasan produk kesenian yang disesuaikan dengan target pasar menjadi andalan, sehingga semua kelas masyarakat dapat menikmati dan mengapresiasi produk-produk kesenian itu. Selera pasar terbentuk sejalan dengan tawaran produk budaya populer yang dikemas, tidak saja dengan teknologi tinggi tetapi juga dengan variasi yang tinggi. 

Di sisi lain, kesenian tradisional Betawi, seperti lenong, topeng betawi, tanjidor, cokek, dan gambang kromong sedikit demi sedikit terlupakan dan tidak dilihat lagi sebagai media hiburan. Kesan bahwa kesenian tradisional semakin ditinggalkan terlihat dari frekuensi kemunculanya  jika ditinjau dari aspek kuantitatif. Dari aspek kualitas, kesenian-kesenian tersebut dapat dikatakan tidak mengalami perubahan berarti. Hal itu, boleh jadi sebagai sebuah upaya pemeliharaan terhadap kekayaan budaya tradisi. Kontroversi antara konvensi dan inovasi dalam kesenian tradisional sampai sekarang pun senantiasa terus dibicarakan dan memang tidak akan pernah selesai; dan memang bukan untuk diselesaikan. Kreativitas berkesenian akan selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Di situlah denyut nadi dinamika kesenian.
Situasi yang dihadapi kesenian tradisional Betawi itu terutama dipandang oleh masyarakat Jakarta secara umum. Secara khusus, masyarakat Betawi pun sudah mengalihkan perhatiannya ke produk-produk kesenian modern yang relatif mudah diakses. Lalu bagaimana dengan perkembangan yang terjadi dengan kesenian lenong pada khususnya?apakah ia berhasil memodifikasi diri agar sesuai dengan kebutuhan pasar? Atau ia tenggelam tak terlihat lagi dan digantikan oleh kesenian lain?

Akan halnya dengan teater tradisional Betawi—seni pertunjukan—yang mungkin lebih dikenal masyarakat secara umum, sekarang ini nampaknya semakin terkubur oleh arus zaman. Pendekar-pendekar kesenian lenong dan topeng Betawi, seperti Haji Bokir, Nasir, Mpok Siti, dan para pemain lenong “Setia Warga” lainnya yang hampir seluruh hidupnya mengabdikan diri pada kesenian itu, nampaknya tidak diikuti oleh generasi berikutnya. Bahkan, Mandra yang dibesarkan oleh kesenian tradisional itu, kini meloncat ke ekspresi seni modern (film, sinetron, dan musik). Demikian pula setelah kepergian Sumantri Sastrosuwondo dan SM Ardan, misalnya, lenong seolah kehilangan induk semang. Taman Ismail Marzuki dan TVRI yang dahulu secara rutin menayangkan kesenian tradisional Betawi itu, kini tidak lagi rutin. TVRI Stasiun Jakarta yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dalam hal promosi budaya Betawi—sebagaimana TVRI stasiun lokal (daerah) lainnya—dirasakan kurang menaruh perhatian pada kebudayaan Betawi.


Dari sisi ini bisa dilihat, fungsi satu kesenian satu waktu tidak akan sama dengan waktu lain. Begitu juga dengan perkembangan lenong sekarang ini. Perkembangan lenong sebagai salah satu seni hiburan telah menjelma menjadi sebuah trendsetter dari seni hiburan lain. Alasan jelasnya karena perkembangannya dan kuatnya bertahan dalam panggung TIM yang mengubah para pejalan-budaya yang rata-rata merupakan anak muda mengikutinya, gaya bicara para lakon di panggung menjadi tiruan bagi para muda-mudi dalam dunia pergaulannya menjadikan orientasi pasar masih menghadapnya dengan berbagai modifikasi di sana-sini.

Teater kontemporer adalah teater kota dan teater Indonesia. Artinya, ia lahir dan dikembangkan di kota dan dijabarkan dan dilaksanakan dalam bangsa Indonesia. Misalnya ia bercerita tentang kondisi kontemporer dari masyarakat kita. Ia dicetak dengan kitsch dan spectacle yang sengaja untuk kantong komersial warga kota yang juga mengerti akan hal itu. Hanya karena package itu package komersial yang berfungsi menghibur, maka penjabaran cerita itu juga menjadi lain.
Teater seperti juga kesusastraan adaah satu cara untuk memahami kehidupan. Maka setiap teater adalah juga wahana untuk memahami kehidupan pada zamannya. Teater kontemporer kita mempunyai satu kedudukan yang istimewa. Ia hidup dalam satu latar belakang kebudayaan pancaroba dan peraliahan. Ia berbeda dari teater tradisional, sedikitnya dalam dua hal. Pertama, ia berbeda dari sudut posisi wahana komunikasi kultur. Kedua, ia berbeda dari sudut pemahaman dan penghayatan.

Dari sudut wahana komunikasi kultur ia mempunyai tugas pembangunan solidaritas yang jauh lebih luas jangkauannya daripada sebelumnya. Teater komtemporer yang dikemukanakan di atas itu adalah teater Indonesia dan teater kota. Ini berarti solidaritas yang dibangunnya adalah solidaritas dari unsur-unsur yang jauh lebih beragam dan yang lebih penting adalah baru. Sebagai teater Indonesia, teater ini bicara tentang idiom kebangasaan, bukan lagi idiom masyarakat lama. Ia menuntut penyesuaian baru dengan nilai-nilai lain yang mulai sekarang diperhitungkan dan diusahakan perangkumannya. Makanya menggunakan bahasa Indonesia, juga dalam teater kontemporer, adalah tidak sekedar penjernihan bahasa daerah ke dalam bahasa baru yang disebut dengan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa melayu Riau.

Secara struktural kesenian lenong (denes dan preman) memiliki kekhasan dalam pertunjukannya. Lenong preman mungkin dapat dikatakan lebih terpelihara untuk beberapa saat dibandingkan dengan lenong denes. “Kepunahan” lenong denes tidak saja disebabkan oleh lunturnya ingatan tentang cerita-cerita hikayat yang menjadi sumber cerita, tetapi juga penguasaan bahasa Melayu Tinggi dari para pemain yang semakin asing. Dibandingkan dengan lenong preman yang lebih seru ceritanya, bahasa yang lebih ekspresif karena menggunakan bahasa percakapan sehari-hari. Dari segi panggung, lenong menuntut panggung procenium. Lain halnya dengan topeng betawi. Teater tradisional ini lebih menarik karena unsur humor, musik, dan tarian yang dikemas dengan unsur cerita (drama), dan tidak memerlukan panggung procenium, tetapi arena yang dikelilingi oleh penonton. Namun semua itu, kini sangat sulit kita lihat dan apresiasi. Kita sedang kehilangan sebuah kekayaan budaya karena komunitas masyarakatnya sedang melaju dalam era globalisasi, yang merasa tidak lagi perlu membawa warisan leluhurnya.

Sebuah gagasan dari Rendra dalam proses berkeseniannya yang senantiasa mempertimbangkan tradisi (Jawa) telah menciptakan sebuah bentuk kesenian hibrid, yaitu ia memanfaatkan bentuk kesenian ketoprak dengan isi yang modern dan berbahasa Indonesia. Di pihak lain, Timbul mengemas ketoprak sepenuhnya menjadi pertunjukan humor dengan bahasa Indonesia dalam “Ketoprak Humor” yang sudah terbukti diminati pemirsa televisi secara nasional. Dalam hal bahasa, kesenian tradisional tentu sangat erat kaitannya dengan bahasa daerah, sehingga sangat terbatas pada lingkungan budaya asal kesenian itu. Penggunaan bahasa Indonesia untuk pertunjukan kesenian tradisional, seperti ludruk, ketoprak, wayang orang, randai, atau arja akan merusak emosi pemain dan penonton. Namun demikian, pada kesenian-kesenian yang menggunakan dialek Melayu, seperti Lenong (Melayu Betawi), Mamanda (Melayu Banjar), Mak Yong (Melayu Riau)  ketika diubah ke bahasa Indonesia relatif tidak akan terasa perbedaannya.

Avant garde; seni muncul ketika suatu seni tidak lagi memenuhi keinginan dari satu masyarakat, suatu yang masih bisa dikatakan modifikasi dari kesenian yang dahulu ada di masyarakat. Dengan kemasan yang lebih sesuai dengan keinginan pasar, yang secara otomatis menaikkan biayanya, dan masyarakat berani membayar.

Seni pertujukan tetap menjadi primadona bagi kesenian di masyarakat, melalui televisi ia lebih mudah membumi, dikenal oleh seluruh rakyat. Dengan garapan yang berbeda, gaya bahasa lenong tetap dipertahankan dengan berbagai modifikasi yang ada. Lenong tetap ada, dengan modifikasi yang ada, pada awalnya kita bisa lihat eksisnya dua buah Lenong yang memainkan anak-anak sebagai lakonnya seperti lenong bocah dan lenong rumpi. Keduanya sempat berjaya beberapa tahun, namun sempat redup ditinggal beberapa pemainnya yang lebih berhasil dengan bersolo karir ( keluar dari lonong Bocah atau Lenong Rumpi). Sekarang masyarakat lebih menginginkan suatu pertujukkan yang secara ringan menghibur mereka. Melalui studio yang sorot berbagai sinar yang bergemerlapan, properti luar biasa, dan penampilan yang dikemas lebih “menjual”.

Ngelenong nyok, suguhan menarik yang masih menampilkan kelenongannya. EkstraVaganza, empat mata, sampai pada opera van java yang tidak secara khusus menampilakan ciri-ciri kelenongannya. Lebih terlihat menampiklan ciri berbagai jenis hiburan dari indonsia seacara uumun, namun merupakan sebuah jenis wujud lenong gaya baru yang tela bermetamorfosis. Yang sebelumnya didahului oleh warkop DKI yang sempat membooming di era 1980-90an.

Walaupun lebih menampilkan unsur kebudayaan Indonesia secara umum, namun kebudayaan lenong telah menginspirasikan seni pertunjukkan daerah lain untuk mengubah diri seperti lenong dengan bahasa Indonesia agar bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia dan pengemasan yang lebih profesional.


Penutup
Masyarakat dan kesenian merupakan dua komponen yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Zaman terus berkembang, perubahan pasti dialami setiap masyarakat. Perubahan pada masyarakat secara otomatis ikut menggoyang berbagai macam hal yang dimilikinya, dalam hal ini kesenian. Entah berapa banyak macam-macam kesenian hilang tak berbekas tersapu arus modernisasi.

Dari sisi ini bisa dilihat, fungsi satu kesenian satu waktu tidak akan sama dengan waktu lain. Begitu juga dengan perkembangan lenong sekarang ini. Perkembangan lenong sebagai salah satu seni hiburan telah menjelma menjadi sebuah trendsetter dari seni hiburan lain.

Kesenian pada hakikatnya tidak langsung kosong, pasti ada satu model kesenian baru yang mengisinya. Ibarat majikan-pembantu, majikan tak akan sendiri mengurusi rumah tangganya, adalah pembantu yang membantunya, siapa pun ia. Begitu juga kesenian mengikuti suatu masyarakat. Ia berubah dari model yang sudah tidak mewakili keinginan dari masyarakat tersebut, entah lahirnya kesenian baru atau adanya modifikasi dari kesenian tersebut mengikuti kemauan dari “tuannya”. Adanya suatu modifikasi seni yang menjadi satu wadah yang sesuai dengan cipta rasa mereka. Suatu seni yang popular yang sesuai dengan selera masyarakat itu.

Teater kontemporer adalah teater kota dan teater Indonesia. Artinya, ia lahir dan dikembangkan di kota dan dijabarkan dan dilaksanakan dalam bangsa Indonesia. Misalnya ia bercerita tentang kondisi kontemporer dari masyarakat kita. Ia dicetak dengan kitsch dan spectacle yang sengaja untuk kantong komersial warga kota yang juga mengerti akan hal itu. Hanya karena package itu package komersial yang berfungsi menghibur, maka penjabaran cerita itu juga menjadi lain.
Teater seperti juga kesusastraan adaah satu cara untuk memahami kehidupan. Maka setiap teater adalah juga wahana untuk memahami kehidupan pada zamannya. Teater kontemporer kita mempunyai satu kedudukan yang istimewa. Ia hidup dalam satu latar belakang kebudayaan pancaroba dan peraliahan. Ia berbeda dari teater tradisional, sedikitnya dalam dua hal. Pertama, ia berbeda dari sudut posisi wahana komunikasi kultur. Kedua, ia berbeda dari sudut pemahaman dan penghayatan.

Di sisi lain, kesenian tradisional Betawi, seperti lenong, topeng betawi, tanjidor, cokek, dan gambang kromong sedikit demi sedikit terlupakan dan tidak dilihat lagi sebagai media hiburan. Kesan bahwa kesenian tradisional semakin ditinggalkan terlihat dari frekuensi kemunculanya  jika ditinjau dari aspek kuantitatif. Dari aspek kualitas, kesenian-kesenian tersebut dapat dikatakan tidak mengalami perubahan berarti. Situasi yang dihadapi kesenian tradisional Betawi itu terutama dipandang oleh masyarakat Jakarta secara umum. Secara khusus, masyarakat Betawi pun sudah mengalihkan perhatiannya ke produk-produk kesenian modern yang relatif mudah diakses. Lalu bagaimana dengan perkembangan yang terjadi dengan kesenian lenong pada khususnya?apakah ia berhasil memodifikasi diri agar sesuai dengan kebutuhan pasar? Atau ia tenggelam tak terlihat lagi dan digantikan oleh kesenian lain?

Ngelenong nyok, suguhan menarik yang masih menampilkan kelenongannya. EkstraVaganza, Empat Mata, sampai pada Opera Van Java yang tidak secara khusus menampilakan ciri-ciri kelenongannya. Lebih terlihat menampiklan ciri berbagai jenis hiburan dari indonsia seacara umum, namun merupakan sebuah jenis wujud lenong gaya baru yang telah bermetamorfosis. Yang sebelumnya didahului oleh warkop DKI yang sempat membooming di era 1980-90an.

Walaupun lebih menampilkan unsur kebudayaan Indonesia secara umum, namun kebudayaan lenong telah menginspirasikan seni pertunjukkan daerah lain untuk mengubah diri seperti lenong dengan bahasa Indonesia agar bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia dan pengemasan yang lebih profesional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar