Kamis, 27 Juli 2017

PAN DAN DEMOKRAT: PENYATUAN OPOSISI MENUNGGU MOMENTUM

Partai-partai di luar pemerintah semakin dinamis semenjak regulasi krusial tentang kepemiluan disahkan DPR RI pekan lalu (21/7/17) . Kubu oposisi yang terbelah sejak awal terus saling tarik ulur kebersatuannya. Saat koalisi partai-partai pemerintah mengunci lewat regulasi yang dicurigai menguntungkan mereka, nilai kegentingan persatuan antarpartai oposisi semakin tinggi.

Kemarin malam, kita disajikan dramaturgi pertemuan Prabowo – SBY yang menghasilkan sejumlah asa bagi pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Ramainya sorotan media membuat semakin rumitnya analisis politik yang mengemuka. SBY dan gerbong Demokrat adalah pihak yang secara konsisten menyebut diri sebagai partai penyeimbang yang tak berpihak pada kubu koalisi-oposisi (the independent opposition). Dengan mengandalkan SBY effect, manuver Demokrat cenderung efektif dan menanti tren puncak eskalasinya. Bagaimanapun, suara Demokrat tetap signifikan dengan personifikasi SBY-AHY dan yang lainnya. Persuaan Prabowo – SBY menjadi diskursus pada LEVEL ELITE yang memunculkan berbagai kesimpulan politik, khususnya soal penyatuan kekuatan-kekuatan oposisi. Mengacu pada agenda serupa di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, isu pertemuan mereka yang terus dirawat, klaim soal beroleh dukungan SBY, serta sikap normatif Demokrat menjadi bukti bahwa situasi itu menjustifikasi dan memberi keuntungan elektoral bagi Anies-Sandi, juga Prabowo.

Kemarin di salah satu media nasional, analis politik Gun Gun Heryanto menyoal manuver politik PAN di parlemen yang tak sejalan pada komitmen koalisi. Terlepas menurutnya PAN akan mendapat disinsentif elektoral akibat sikap yang mendua, pragmatisme PAN adalah lumrah dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia. Mekanisme checks and balances penyelenggaraan negara terjadi penuh negosiasi dan kompromi oleh kubu oposisi. Partai politik di negeri ini bersatu-berpisah ditentukan oleh kepentingan pragmatis nonideologis. Bagaimanapun, ini merupakan pilihan realistis yang lebih baik dibanding sistem parlementer yang pernah diujicoba Indonesia (tahun 1950-9). Parlementaria dianggap tak mencirikan jiwa bangsa Indonesi—yang sering menjatuhkan kabinet lewat mosi tidak percaya parlemen. Singkatnya, negeri ini bertujuan menguatkan sistem presidensial dengan tetap memberi ruang berdinamika bagi pihak oposan.
Menurut pandangan klasik dari Robert A. Dahl, dalam sistem demokrasi, keberadaan oposisi politik bukan hanya realitas tetapi juga parameter kesehatan negara demokratis. Namun, peran oposisi lebih dari sekadar konsep checks-balances, ia memaksa hadirnya kerja pemerintah yang profesional, akuntabel, dan responsif dengan mengutamakan kepentingan rakyat. Sebagai salah satu upaya konsolidasi demokrasi, penguatan oposisi dalam arti positif menjadi hal penting agar tak sekadar menjadi penguat posisi tawar untuk membangun kartel politik (Ambardi: 2009). Sekali lagi, aksi walk out bersama dalam agenda voting RUU Pemilu pada pekan lalu menjadi kesamaan para oposan parlemen pada LEVEL SUBSTANSI. Namun, posibilitas kebersamaan mereka perlu diuji kembali dalam agenda-agenda yang akan menghadapkan pemerintah dengan oposisi (adversarial).


KMP Jilid II
Nostalgia pilpres 2014 dan DPR RI 2014-2015 menciptakan wacana kelahiran kembali Koalisi Merah Putih (KMP) di bawah pimpinan Partai Gerindra. Masuknya Demokrat diyakini menambah kekuatan oposisi ketika berhadapan dengan pemerintah. Namun, di sisa dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, memunculkan pertanyaan relevansi pelembagaan ulang kubu oposisi. Apalagi status KMP pernah digantung pasca satu per satu partai anggotanya bergabung dalam pemerintah. Tentang pelembagaan oposisi, Tuswoyo (2016) menjelaskan dengan studi kasus PDIP di Era SBY periode I. Secara umum, keberadaan oposisi parlemen yang dijalankan PDIP membuktikan adanya peningkatan kualitas demokrasi Indonesia. Namun, model demokrasi Indonesia tak cukup optimal mendukung peran oposisi dilihat dari kualitas kebijakan alternatif oposan, kalah voting, aksi profit taking dalam bentuk KKN oleh legislator PDIP sendiri.  

Dalam pertemuan Prabowo – SBY kemarin malam menguatkan potensi merapatnya Demokrat dalam KMP. Kehadiran Agus H. Yudhoyono (AHY) masuk dalam LEVEL SIMBOLIS tentang koalisi yang sedang dijajaki. Agus digadang bakal mendampingi Prabowo di Pilpres 2019. Tak banyak diketahui apa peran AHY dalam agenda tersebut, pasalnya Demokrat lebih sering menyebutnya sebagai ikon baru partai dan direktur eksekutif The Yudhoyono Institute. Tak tersiar jabatan struktural di internal partai baginya. Sebenarnya, sangat beralasan jika Gerindra terus melobi Demokrat karena kebutuhan syarat dukungan kursi DPR (minimal 20%). Praktis kombinasi KMP tersisa (Gerindra + PKS) hanya 18.6%. Demokrat adalah partai yang paling potensial, walaupun masih ada PAN yang mulai menunjukkan gelagat segera menyeberang dari koalisi pemerintah.

Banyak analis memprediksi fragmentasi basis pemilih Pilpres 2019 akan menduplikasi komposisi Pilkada DKI Jakarta 2017. Pertarungan adu masif antara kubu nasionalis dengan agamis akan kembali terhelat. Di LEVEL GRASSROOT, mayoritas pendukung Gerindra-PKS-PAN-Demokrat mampu membawa kemenangan kepada Anies & Sandi di Pilkada lalu. Premis ini yang digunakan para analis bahwa ada upaya pembubaran/penyingkiran ormas-ormas (Islam radikal) lewat Perppu Ormas yang merupakan lumbung suara bagi kubu KMP. Pemerintah dituding menggunakan kekuasaan dan regulasi untuk mendisain kemenangan di Pemilu 2019.


Fenomena KMP sejatinya menjadi parameter peningkatan demokrasi Indonesia, lantaran dalam era presidensial belum ada pelembagaan permanen sebagaimana model yang dijalankan KMP. Jika merujuk penelitian Tuswoyo, kini representasi oposisi lebih banyak. Apalagi ada model oposan tunggal yang diperankan oleh Demokrat. Bahkan, oposisi pernah menjadi mayoritas di awal pemerintahan Jokowi-JK. Sebuah fenomena yang jarang ditemui dalam sistem proporsionalitas di mana partai pemenang pemilu justru menjadi minoritas. Ini menjadi fakta adanya celah dari upaya rekayasa pemilu menuju multi partai sederhana dan sistem presidensial. Idealnya, kuantitas oposisi terjaga pada batas tertentu agar tidak memacetkan hubungan politik (political deadlock) dalam hubungan presiden-DPR. Jika, pada akhirnya “perjuangan” partai oposisi mampu memenangkan pemilu, mereka telah bekerja efektif yang secara tidak langsung turut memberi pengaruh positif terhadap pelembagaan partai oposisi (Tuswoyo: 2016).