Jumat, 27 Juli 2012

Kemiskinan sebagai faktor yang mendasari terjadinya Trafficking


Kemiskinan sebagai faktor yang mendasari terjadinya Trafficking

Muhammad Ridho Rachman
Gender dan Hubungan Internasional
Ilmu Sejarah
0806343973

Latar Belakang
Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Di masa lalu, perdagangan anak dan perempuan hanya dipandang  sebagai pemindahan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. Sejumlah konvensi terdahulu mengenai perdagangan hanya memfokuskan aspek ini. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, perdagangan didefinisikan sebagai pemindahan, khususnya perempuan dan anak dengan  atau tanpa persetujuan orang yang bersangkutan di dalam suatu negara  atau ke luar negeri untuk semua perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya  prostitusi.

Isi
Trafficking merupakan salah satu masalah yang perlu penanganan mendesak seluruh komponen bangsa. Hal tersebut perlu, sebab erat terkait dengan citra bangsa Indonesia di mata internasional. Apalagi, data  Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ketiga sebagai pemasok perdagangan perempuan dan anak. Suatu tantangan bagi Indonesia untuk menyelamatkan anak bangsa  dari keterpurukan.
Memang disadari bahwa penanganan trafficking tidaklah mudah, karena kasus pengiriman manusia secara ilegal ke luar negeri sudah terjadi sejak bertahun-tahun lamanya tanpa adanya suatu perubahan perbaikan. Sebagaimana yang dilaporkan Pemerintahan Malaysia, bahwa 4.268 pekerja seks berasal dari Indonesia. Demikian juga dengan wilayah perbatasan negara Malaysia dan Singapura. Data menunjukkan sebanyak 4.300 perempuan dan anak yang dipekerjakan sebagai pekerja seks (Kompas, 10 Mei 2001) di wilayah tersebut. Kemudian di akhir tahun 2004 muncul lagi kasus yang sama, bahkan meningkat mencapai angka 300.000.
Permasalahan perdagangan perempuan dan anak memang merupakan permasalahan yang sangat kompleks yang tidak lepas dari faktor-faktor ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang berkaitan erat dengan proses industrialisasi dan pembangunan. Di negara-negara tertentu, perdagangan perempuan dan anak bahkan dijadikan sebagai bagian dari kebijakan politik perburuhan Cheap Labour yang dimanfaatkan untuk menekan biaya produksi sehingga cenderung dieksploitasi. Hal ini jika ditarik sejarahnya di Eropa, bermula dari kebutuhan akan tenaga kerja besar-besaran pada masa Revolusi Industri.
Trafficking merupakan salah satu jalur terjadinya perdagangan orang yang korbannya rata-rata berada di bawah garis kemiskinan, khususnya perempuan dan anak. Apalagi, hingga saat ini posisi perempuan masih termarjinalisasi, tersubordinasi yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kondisi perempuan.
Situasi semacam ini merupakan santapan sindikat perdagangan perempuan dan anak yang sudah terorganisir untuk melakukan perekrutan. Bahkan nyaris jauh dari jangkauan hukum, karena sindikatnya diawali dengan transaksi utang-piutang antara pemasok tenaga kerja ilegal dengan korban yang mempunyai anak perempuan yang masih perawan, sehingga jika korban tidak mampu untuk menyelesaikan transaksi yang telah disepakati, maka agunannya adalah anak perempuan yang masih bau kencur.
Perdagangan perempuan dan anak mempunyai jaringan yang sangat luas. Praktik perdagangan anak yang paling dominan berada di sektor jasa prostitusi, di mana kebanyakan korbannya adalah anak-anak perempuan. Di Asia Tenggara, dalam beberapa tahun belakangan ini sejumlah besar anak-anak dari Myanmar, Kamboja, Cina, Laos, telah diperdagangkan dan dipaksa bekerja di dunia prostitusi di Thailand.
Dari laporan yang diterima Kementerian Pemberdayaan Perempuan berkaitan dengan pelecehan, penipuan, pemerkosaan, dan kekerasan, terdapat kurang lebih 1.079 TKI perempuan dari Singapura melarikan diri atau melapor ke KBRI, 235 kasus bermasalah dari Saudi Arabia, 219 TKI yang dipulangkan karena tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku, masing-masing dari Kuwait, Kuala Lumpur, Brunei, Jordania, dan Kolombia. Diskriminasi dalam masyarakat terhadap perempuan tanpa adanya usaha menyelesaikannya dengan serius membuat kasus-kasus di atas terus meningkat.


Faktor Kemiskinan
Salah satu faktor yang mendorong terjadinya trafficking adalah faktor kemiskinan yang cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan bisnis, di mana korban diperjualbelikan bagaikan barang yang tidak berharga melalui tipu muslihat.
Kemiskinan yang begitu akut dan langkanya kesempatan kerja mendorong jutaan penduduk Indonesia untuk melakukan migrasi di dalam dan ke luar negeri guna menemukan cara agar dapat menghidupi diri mereka dan keluarga mereka sendiri. Sebuah studi mengenai perdagangan di 41 negara menunjukkan bahwa keinginan untuk memperbaiki situasi ekonomi ditambah dengan langkanya peluang ekonomi di tempat asal merupakan salah satu alasan utama mengapa perempuan mencari pekerjaan di luar negeri (Wijers dan Lap-Chew 1999: 61). Peneliti di Indonesia juga menyatakan bahwa motivasi utama bagi kebanyakan pekerja untuk bermigrasi adalah motivasi ekonomi (Hugo, 2002: 173; Suryakusuma, 1999: 7).

Peran Perempuan dalam Keluarga
Di Indonesia, peran perempuan dalam keluarga terpusat di rumah. Tugas utama perempuan adalah sebagai istri dan ibu; mengurus keluarga dan rumah. Namun, tanggung jawab ini juga termasuk memastikan bahwa keluarganya memiliki penghasilan untuk bertahan hidup. Banyak perempuan yang menjadi pencari nafkah utama dalam rumah tangga mereka. Jika sebuah keluarga membutuhkan nafkah, seorang perempuan mungkin akan memutuskan untuk meninggalkan keluarganya, untuk bermigrasi guna mencari pekerjaan agar dapat mengirim uang ke kampung sehingga keluarganya dapat bertahan hidup. Dengan meninggalkan keluarganya  untuk pergi bermigrasi untuk mencari pekerjaan, seorang perempuan dapatmenjadi rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan perdagangan dalam proses migrasi. Dengan ini, sektor privat dan publik yang harus digeluti perempuan sekaligus menjadi beban ganda yang memberatkan perempuan yang berada dalam keluarga ekonomi miskin.
Di dalam masyarakat Indonesia, anak tidak hanya diharapkan untuk menghormati dan mematuhi orang tuanya, tetapi juga membantu mereka. Bantuan ini bisa macam-macam bentuknya, mulai dari menjaga adik, membantu keluarga di ladang seusai sekolah, sampai bekerja penuh waktu. Sebuah studi menyatakan bahwa di Indonesia, 8,3% anak yang berusia antara 10-14 tahun dan 38,5% anak yang berumur 15-19 tahun bekerja di luar rumah (Irwanto et al., 2001: 28). Karena tradisi budaya ini, banyak bentuk perburuhan anak yang dapat disebut sebagai perdagangan.


Feminisasi Migrasi di Indonesia
Semakin banyak buruh migran Indonesia, di dalam negeri maupun di luar negeri, yang berjenis kelamin perempuan. Jumlah perempuan Indonesia yang bermigrasi untuk pekerjaan meningkat tajam dalam dekade terakhir. ‘Feminisasi migrasi’ ini merupakan suatu kecenderungan yang tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Feminisasi tenaga kerja ini adalah perubahan kondisi yang memasukkan perempuan dalam sektor-sektor publik namun masih dalam pemikiran patriarki/gender byas. Faktor hegemoni pemikiran patriarki inilah yang akan membuat segmentasi pekerjaan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Tabel di bawah ini menggambarkan kecenderungan migrasi internal di Indonesia dalam kurun waktu antara 1990 dan 1995. Tabel ini menunjukkan peningkatan kecenderungan bagi perempuan untuk bermigrasi dalam rangka pekerjaan, dengan migrasi perempuan meningkat relatif lebih tinggi dibandingkan dengan migrasi laki-laki (indeksnya lebih tinggi 44 Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia dari 100) dan di banyak provinsi, secara absolut migrasi perempuan sebenarnya lebih tinggi daripada migrasi laki-laki (rasio jenis kelamin untuk tahun 1990 atau 1995 lebih tinggi dari 100) (Oey-Gardiner, 1999: 43-44).
Bila Tabel 10 menggambarkan fenomena feminisasi migrasi internal di Indonesia, Tabel 9 menunjukkan feminisasi migrasi internasional. Tujuh puluh persen buruh migran Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 adalah perempuan. Buruh migran perempuan Indonesia yang pergi ke Malaysia hanya sedikit lebih banyak dari buruh migran laki-laki, tetapi buruh migran perempuan yang berangkat ke Arab Saudi berjumlah hampir dua belas kali dari jumlah buruh migran laki-laki. Perempuan juga menguasi sebagian besar arus migrasi ke Singapura dan Hong Kong, sementara laki-laki Indonesia mendominasi migrasi ke Korea Selatan dan Taiwan (Hugo, 2002:159).
Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh jenis pekerjaan yang terbuka di negara penerima. Negara-negara yang menjadi tujuan migrasi sebagian besar perempuan memerlukan banyak pembantu rumah tangga yang tidak terampil, dengan demikian mereka lebih suka mempekerjakan perempuan karena adanya segmentasi gender yang mengganggap perempuan lebih cocok bekerja dalam sektor rumah tangga. Sementara negara-negara seperti Korea Selatan dan Taiwan lebih banyak memerlukan buruh pabrik atau buruh di sektor formal di mana buruh laki-laki lebih disukai.
Feminisasi migrasi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Dalam A Comparative Study of Women Trafficked in Migration Process, para peneliti dari Filipina mencatat beberapa faktor yang menjadi penyebab meningkatnya migrasi perempuan ke luar negeri di Filipina (Santos, et al., n.d.). Beberapa dari faktor-faktor ini juga berlaku bagi Indonesia:
(1) Perkembangan ekonomi yang pesat di negara-negara tujuan dan meningkatnya permintaan terhadap buruh migran perempuan.
Bentuk-bentuk Perdagangan di Indonesia 45 Negara-negara tujuan, seperti Arab Saudi, Hong Kong, Malaysia, Singapura dan Taiwan meningkatkan permintaan mereka terhadap buruh perempuan yang tidak terampil, yang kemudian ditanggapi oleh buruh migran Indonesia. Keadaan ekonomi di negara-negara tujuan memberikan kesempatan kerja alternatif yang memerlukan keterampilan lebih tinggi bagi perempuan setempat, sehingga tidak tersisa banyak perempuan yang tertarik dengan bidang pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga yang bergaji rendah. Sementara itu, sejalan dengan semakin banyaknya perempuan yang menjadi bagian dari angkatan kerja, makin banyak dari para perempuan ini dan keluarga mereka yang perlu mempekerjakan orang lain untuk membantu mereka di rumah, sehingga meningkatkan permintaan akan pembantu rumah tangga dari luar negeri. Banyak negara tujuan, seperti Singapura, Taiwan dan Hong Kong mempunyai perekenomian yang jauh lebih maju dan lebih baik daripada Indonesia. Kemakmuran ekonomi, disertai dengan rendahnya upah buruh migran Indonesia untuk profesi pembantu rumah tangga, memungkinkan bahkan keluarga kelas menengah di negara-negara tujuan untuk mempekerjakan pembantu rumah tangga, pengasuh anak, atau perawat bagi orang lanjut usia di rumah mereka.
LSM-LSM yang menangani buruh migran di Taiwan dan Hong Kong memberikan bukti anekdotal yang mengindikasikan bahwa majikan dan perekrut di negara-negara tujuan ini lebih suka mempekerjakan buruh migran perempuan dari Indonesia karena mereka yakin bahwa buruh migran Indonesia “cenderung kurang mengetahui hak-hak mereka, tidak berbicara bahasa Inggris seperti rekanrekan mereka dari Filipina (sehingga lebih mudah untuk dimanfaatkan), tidak terlalu sering mengajukan pengaduan dan melaporkan pelanggaran, kurang memperoleh dukungan dari kedutaan atau konsulat mereka, dan dapat digaji lebih sedikit ketimbang buruh migran dari negara lain” (ACILS, 2001).
(2) Kebijakan migrasi tenaga kerja resmi dari pemerintah; di mana perekrutan perempuan secara aktif digalakkan melalui kerja sama dengan agen perekrut tenaga kerja. Seperti yang dikemukakan di atas, pemerintah Indonesia secara eksplisit mendorong penduduk untuk menjadi buruh migran guna mengatasi masalah pengangguran di dalam negeri. Pengiriman buruh migran sebagai upaya mengatasi pengangguran ini terlihat tanpa perhatian lebih lanjut sehingga menimbulkan berbagai permasalahan-permasalahan yang ada. Hugo beranggapan bahwa “[buruh migran] perempuan Indonesia sering kali secara tidak adil dipersalahkan habis-habisan atas masalah yang mereka hadapi. Para pejabat di negara tujuan menyebut ketidakterampilan dan rendahnya tingkat pendidikan sebagai penyebab masalah mereka.” Menurut Hugo, “Jawaban untuk memperbaiki keadaan [buruh migran] bukan dengan cara memberlakukan larangan untuk bermigrasi. . . .Larangan demikian hanya akan mengakibatkan [buruh migran] perempuan terpaksa berangkat sebagai imigran gelap, yang membuat mereka makin rentan” (Hugo, 2002: 177).
(3) Stereotip Gender terhadap perempuan dalam situasi kerja yang mencerminkan peran tradisional mereka sebagai pengasuh dan “penghibur”.
Perempuan Indonesia sejak dulu dipandang dalam perannya sebagai istri dan ibu, yaitu mengurus keluarga dan rumah tangga, atau sebagai objek seks. Sebagaimana di banyak belahan dunia lain, stereotip demikian tetap berlaku dalam pekerjaan yang dilakukan perempuan di pasar tenaga kerja, baik di Indonesia maupun sebagai buruh migran, dengan mengambil pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh bayi, perawat orang lanjut usia, penari dan pekerja seks. Pendidikan yang rendah dan kurangnya keterampilan yang dapat digunakan untuk bekerja membuat perempuan tidak banyak mempunyai pilihan lain selain pekerjaan yang mencerminkan peran-peran tradisional ini.
(4) Meningkatnya kemiskinan dalam konteks program penyesuaian struktural yang menyebabkan penduduk pedesaan kehilangan tanah dan menjadi miskin, sehingga mendorong lebih banyak perempuan untuk memasuki pasar tenaga kerja.
Di Indonesia, krisis ekonomi di Asia yang dimulai pada tahun 1997 berdampak amat buruk bagi buruh dan keluarga mereka. Buruh menghadapi bukan hanya pemutusan hubungan kerja dan tingginya angka pengangguran, tetapi juga hilangnya tanah mereka (sebagai akibat kebijakan industrialisasi dan reformasi agraria), tingginya inflasi, penghapusan subsidi, serta privatisasi layanan yang sebelumnya merupakan layanan umum. Keadaan ini mempengaruhi kemampuan para buruh untuk memberi nafkah bagi keluarga, menyekolahkan anak, dan memperoleh layanan dasar, sehingga banyak yang terpaksa mencari nafkah di luar rumah atau desa mereka. Ini menjadi katalisator untuk bermigrasi agar dapat bekerja di luar negeri, sering kali melalui saluran yang tidak resmi. Meningkatnya permintaan terhadap buruh perempuan, ditambah dengan terbatasnya peluang ekonomi di negeri sendiri, menyebabkan makin banyaknya perempuan yang mencari pekerjaan di luar desa mereka, yaitu di kota-kota besar, dan di luar negeri.
(5) Kurangnya kesempatan kerja di dalam negeri yang memungkinkan perempuan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, meningkatkan keterampilan dan memperoleh masa depan yang lebih menjamin.
Semakin sedikit kesempatan kerja di kampung halaman serta di daerah sekitar yang tersedia bagi perempuan. Sebelumnya, perempuan bekerja di sawah dan di perkebunan. Namun demikian, pekerjaan seperti ini sudah berkurang jumlahnya dalam satu dekade terakhir di Indonesia. Selain itu, selama setahun terakhir, peluang kerja di pabrik bagi perempuan, terutama dalam industri tekstil dan garmen, menurun tajam, sehingga banyak buruh perempuan yang mengalami pemutusan hubungan kerja dan kesempatan kerja bagi perempuan muda semakin berkurang. Banyak dari para perempuan ini kemudian bermigrasi untuk mencari pekerjaan.

(6) Meningkatnya ketergantungan keluarga pada perempuan untuk pendapatan, khususnya di dalam rumah tangga yang kurang mampu;
Perempuan Indonesia dahulu membantu menghidupi keluarga mereka dengan bekerja di sawah atau di perkebunan, atau dengan bekerja di rumah dalam industry rumah tangga. Karena pendapatan dari kegiatan-kegiatan ini sudah tidak cukup lagi untuk menghidupi keluarga, atau karena keluarga tidak mempunyai tanah lagi, anggota keluarga bermigrasi untuk mencari pekerjaan. Untuk menghidupi keluarga mereka, perempuan bermigrasi ke kota-kota besar dan ke luar negeri untuk menjadi pembantu rumah tangga atau pengasuh anak/orang lanjut usia. Walaupun banyak risiko yang terkandung dalam profesi buruh migran, dan banyak perempuan merasa terdesak untuk bekerja di luar negeri demi memperoleh cukup uang untuk menghidupi keluarga mereka, bekerja di luar negeri juga dapat membuat seseorang lebih kuat dan percaya diri. Dengan bekerja di luar negeri, perempuan menjadi mandiri, memperoleh penghasilan sendiri dan dapat lebih banyak mengatur penggunaan uang keluarga, serta merasakan suka duka tinggal dan bekerja di negara lain. Hasil studi oleh Raharjo menunjukkan bahwa banyak buruh migran perempuan menyatakan “pelarian dari batasan-batasan yang ditetapkan oleh keluarga” sebagai motivasi penting untuk bermigrasi (Hugo, 2002: 173). Kita jangan selalu melihat buruh migran perempuan sebagai korban eksploitasi dan kekerasan atau sebagai perempuan yang tidak mempunyai kekuasaan atas pilihan dan nasib mereka. Migrasi untuk menjadi buruh adalah pilihan yang sah, dan kebebasan bergerak adalah hak asasi manusia yang diakui dunia.
Kendati demikian, kemiskinan dan keinginan untuk memperbaiki keadaan ekonomi seseorang masih menjadi faktor penting yang perlu dipertimbangkan ketika menyusun kebijakan dan program untuk mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan menempatkan orang dalam keputusasaan, membuat mereka semakin rentan terhadap eksploitasi.

Sumber Referensi
Rosenberg, Ruth. 2003. Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta: ACILS.
http://usupress.usu.ac.id/files/Trafiking_finish_normal_bab%201.pdf diunduh pada Senin, 28 November 2011, jam 22.00 WIB


rumusan isu masalah
rumusan poin-poin solusinya

dalam presentasi kedua, masih belum menyentuh makro, multikulturalisme dalam trafficking of women, baaimana menchalange naik ke tingkatan yang lebih makro.. didekati dengan studi perbandingan, bagaimana pattern negara yg hampir mirip melihat konteks.
Dalam kerangka dan mapping, konteks eropa timur dan asia..
Dinamika, patternnya mengarah ke trafficking kea pa? apakah polanya sama dengan mengara2 yg mirip indo? Kearah hiburan pembantu.

Pertanyaan besarnya ditarik dalam konteks global? Ini kan multicausal dan structural, dari semua yg mana yg paling mempengaruhi, dugaan saya ini bukan faktor utama…
Tapi dipicu oleh…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar