Jumat, 27 Juli 2012

Pemimpin dengan Budaya Organisasi dan Lingkungan


Perbaikan Nilai UTS
Manajemen
Muhammad Ridho Rachman, 0806343973

Pemimpin dengan Budaya Organisasi dan Lingkungan

Dalam kehidupan, masyarakat tidak bisa terlepas dari ikatan budaya yang diciptakannya. Budaya dicipta oleh masyarakat demi membentuk tatanan kehidupan bersama yang lebih baik. Budaya mengikat setiap individu dalam kelompoknya baik dalam keluarga, lingkungan, organisasi, bisnis, maupun negara. Seiring bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.
Budaya organisasi secara umum diartikan nilai, prinsip, tradisi, dan cara pandang yang mempengaruhi perilaku anggota organisasi itu sendiri (Robbins, 2009:62). Dalam penulisan ini arti budaya organisasi adalah suatu nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggotanya sendiri. Dalam hal ini diharapkan berbagai nilai, prinsip, tradisi, dan cara pandang suatu organisasi/perusahaan yang diinginkan terus bertahan bisa ditularkan dan menjadi suatu nilai yang juga dianut oleh seluruh anggota atau karyawan.
Budaya pada hakekatnya merupakan pondasi bagi suatu organisasi. Jika pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh, maka betapapun bagusnya suatu bangunan, tidak akan cukup kokoh untuk menopangnya. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bagiamana budaya itu seharusnya dibentuk. Dari berbagai pendapat tersebut yang tidak bisa dipungkiri adalah peran pimpinan. dalam ilmu manajemen, keberadaan budaya organisasi dikaitkan dengan pimpinan/manajer. Bagaimana seorang manajer mampu menciptakan budaya yang diinginkan dan menularkan kepada seluruh anggota.
Ada sejumlah tahapan bila suatu perusahaan ingin membentuk kulturnya. Pertama-tama perusahaan tadi harus melihat ke depan mengenai visi misi organisasi. karyawan baru perlu banyak belajar mengenai budaya organisasi demi mencapai kesamaan visi misi dalam mencapai tujuan perusahaan. tentu, sosialisasi menjadi kunci utama penyerapan budaya perusahaan; yakni suatu proses yang membantu karyawan beradaptasi dengan budaya organisasi. berbagai wadah yang digunakan dalam penyerapan budaya organisasi oleh karyawan, antara lain melalui kisah; misalnya mengenai usaha pendiri perusahaan yang begitu keras dalam membangun usaha dulu. kemudian melalui ritual perusahaan; misalnya perusahaan menerapkan budaya makan siang bersama seluruh jajaran perusahaan dari level atas sampai terbawah di kantin perusahaan. Di balik ini ada suatu rasa kebersamaan yang dianggap penting dalam menumbuhkan rasa kekeluargaan di samping hubungan berdasarkan profesionalitas. selanjutnya melalui simbol-simbol fisik/material, misalnya dari tata letak perlengkapan di kantor dan seragam yang digunakan mengandung suatu nilai yang dianut dan menjadi ciri khas suatu perusahaan tersendiri. Yang terakhir melalui bahasa, terutama perusahaan jasa yang sangat mengutamakan pelayanan konsumen, ada bentuk pelayanan prima yang membuat orang-orang di luar merasakan suatu nilai yang ada yang menjadi kekhasan perusahaan tersebut.
Menurut Susanto (1997) bahwa budaya organisasi dapat dihidupkan pertama-tama melalui seleksi, yaitu memperoleh anggota yang setidak-tidaknya memiliki nilai-nilai yang sama dengan budaya organisasi yang ada. Setelah itu barulah penanaman nilai-nilai lainnya bisa diterapkan.
Mengenai pendiri, lebih lanjut dikatakan bahwa pendiri memiliki peran yang sangat besar, karena bagaimanapun visi dan misi organisasi yang bersangkutan tidak terlepas dari bagaimana nilai-nilai pendiri tersebut. Pada akhirnya nilai-nilai tersebut harus diaktualisasikan dan menjadi nafas bagi  organisasi yang ada. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana pemimpin memiliki pengaruh besar karena harus dapat bertindak sebagai model bagi terciptanya nilai-nilai yang ada.
Lebih lanjut, setiap organisasi memiliki budayanya masing-masing, tetapi tidak semua budaya mampu memberikan pengaruh bagi setiap aksi dan prilaku semua karyawan. Istilah strong culture ditengahkan, yakni budaya organisasi yang menjadi kunci nilai-nilai yang secara kuat dipegang dan disebarkan secara luas (Robbins, 2009). Strong culture ini yang mampu mempengaruhi aksi dan prilaku karyawan dibanding budaya lain yang cenderung lemah. Peran vital pimpinan di sini dalam menerapkan budaya-budaya yang baik demi mencapai produktivitas perusahaan yang diinginkan.
Dalam sebuah perusahaan, seorang pimpinan harus mampu membaca semua keadaan dalam membuat suatu keputusan. Secara umum, selain memiliki berbagai kemampuan secara teori dan pengalaman, mengenai budaya organisasi dan lingkungan organisasi perlu menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan arahan kebijakan.
Secara spesifik, peranan budaya organisasi adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi, menciptakan jatidiri anggota organisasi, menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan karyawan yang terlibat di dalamnya, membantu menciptakan stabilitas organisasi dalam keseharian. Dengan demikian budaya organisasi berpengaruh kuat terhadap perilaku para anggotanya.
Budaya yang dimiliki oleh suatu organisasi memiliki peran yang tidak kecil. Heskett dan Schlesinger (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) mengatakan bahwa pemimpin turut berperan dalam menciptakan kondisi budya yang menjamin penciptaan prestasi kerja. Hal ini disebabkan anggota dengan jelas mampu membaca apa yang dikehendaki dari mereka sehingga mereka tahu dengan tepat apa yang harus mereka lakukan dan sadar dalam membawakan peran mereka. Steere, Jr. (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) berpendapat bahwa budaya memiliki peran dalam memberi identifikasi dan prinsip-prinsip yang mengarahkan perilaku organisasi, membuat keputusan, mengembangkan suatu metode sehingga individu dapat menerima feedback atas prestasi mereka, dan menjaga sistem reward dan reinforcement yang diberlakukan dalam organisasi. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana budaya mampu memberi suatu identitas dan arah bagi keberlangsungan hidup organisasi.
Sepuluh karakteristik yang menggambarkan esensi budaya organisasi, menurut Dharma, 2004: 1) Identitas anggota, dimana karyawan lebih mengidentifikasi organisasi secara menyeluruh; 2) penekanaan kelompok, dimana aktivitas tugas lebih diorganisir untuk seluruh kelompok dari pada individu; 3) Fokus orang, dimana keputusan manajemen memperhatikan dampak luaran yang dihasilkan oleh karyawan dalam organisasi; 4) penyatuan unit, dimana unit-unit dalam organisasi didorong agar berfungsi dengan cara yang terkoordinasi atau bebas; 5) pengendalian, dimana peraturan, regulasi dan pengendalian langsung digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan karyawan; 6) toleransi resiko, dimana pekerja didorong untuk agresif, kreatif, inovatif dan mau mengambil resiko; 7) kriteria ganjaran, dimana ganjaran seperti peringatan, pembayaran dan promosi lebih dialokasikan menurut kinerja karyawan dari pada senioritas, favoritisme atau faktor non-kinerja lainnya; 8) toleransi konflik, dimana karyawan didorong dan diarahkan untuk menunjukkan konflik dan kritik secara terbuka; 9) orientasi sarana tujuan, dimana manajemen lebih terfokus pada hasil atau luaran dari pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai luaran tersebut; 10) fokus pada sistem terbuka, dimana organisasi memonitor dan merespons perubahan dalam lingkungan eksternal.
Kondisi yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia yang terlihat oleh betapa rentannya masyarakat terhadap berbagai macam isu menunjukkan betapa lemahnya kohesivitas yang ada dan betapa lemahnya peran pemimpin sebagai sumber inspirasi bagi kehidupan berbangsa. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bersifat paternalistik, sehingga dalam hal ini peran pemimpin adalah sebagai bapak yang mengayomi dan membina anak buahnya. Figur inilah yang pada akhirnya menjadi panutan bagi seluruh anggotanya. Istilah ing ngarso sung tuladha nampaknya tepat guna mengambarkan bagaimana pola hubungan antara pimpinan dengan anak buah. Efek yang timbul adalah jika panutan ini hilang atau kabur fungsinya, maka yang timbul adalah kegelisahan karena orang menjadi kehilangan pegangannya. Sejak awal ditegaskan bagaimana peran pemimpin dalam menciptakan budaya yang kondusif dalam organisasinya. Dalam hal ini peran pemimpin sangat besar karena dialah yang harus mensosialisasikan nilai-nilai yang ada atau menyatukan nilai-nilai yang berbeda karena didasari oleh kepentingan yang berbeda sehingga akan tercipta nilai-nilai yang dihayati bersama. Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Hal ini sejak awal telah diantisipasi oleh Crosby (1996). Ia menekankan perlunya seorang pemimpin untuk memiliki agenda yang jelas yang menyangkut diri dan organisasis sehingga ia tahu kemana arah yang dituju. Agenda tersebut seyogyanya menyangkut tujuan jangka panjang dan strtaegi jangka pendek yang hendak dicapai dengan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika situasi menjadi rancu dan ambigu. Justru dalam kondisi inilah akan nampak bagaimana peran pemimpin tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang sangat vital antara  budaya dan kepemimpinan. Keberhasilan seorang pemimpin justru akan dilihat dalam pengaruh mereka secara langsung terhadap budaya organisasi. Menurut Turner (Taliziduhu Ndraha : 2005) Pada dasarnya pemimpin berperan dalam pembentukan  budaya, budaya membantu membentuk anggota-anggotanya (Turner, 1994). Pembentukan budaya hanya akan dapat dilihat lebih dekat melalui perilaku-perilaku para anggota serta semangat yang mendorongnya. Pada akhirnya disadari bahwa pemimpin hendaknya memiliki suatu komitmen yang jelas, baik komitmen pada diri pribadi maupun komitmen terhadap organisasi. Jika nilai-nilai yang dimiliki adalah nilai-nilai kebersamaan dan kesejahteraan bersama, maka hal itu akan sungguh-sunguh terlihat pada spirit yang ada pada anggotanya. Ketika peran ini diabaikan, tidak akan heran jika keberadaan organisasi akan hancur justru karena orang cenderung meninggalkan budaya yang dimiliki. Malah memakai budaya negara lain yang menurutnya dianggap lebih baik. Dalam situasi yang demikian, refleksi dan introspeksi perlu dilakukan semua pihak dan keberanian mengakui kekurangan adalah tindakan bijaksana sehingga dapat dipastikan anggota akan kembali timbul kepercayaan.


Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan :
Budaya organisasi secara umum diartikan nilai, prinsip, tradisi, dan cara pandang yang mempengaruhi perilaku anggota organisasi itu sendiri. Yang diharapkan budaya organisasi yang diinginkan terus bertahan bisa ditularkan dan menjadi suatu nilai yang juga dianut oleh seluruh anggota atau karyawan. Pemimpin turut berperan dalam menciptakan kondisi budaya yang menjamin penciptaan prestasi kerja. Dalam hal ini, peran pemimpin tidak kecil dalam mensosialisasikan budaya  yang dimiliki. Karena peranannya seorang pemimpin dalam budaya  bukanlah proses yang pasif. Namun ia melibatkan peran proaktif dari orang-orang yang terkait. Hal ini memiliki arti bahwa orang dengan sadar menerima budaya yang ada dan menjadi suatu dasar bagi perilaku kesehriannya.
Kuat lemahnya suatu budaya dalam  organisasi akan terlihat pada sejauh mana oganisasi mampu bertahan dalam situasi yang sulit. Di samping itu, kuat lemahnya  budaya organisasi juga terletak pada sejauh mana anggota meletakkan kepercayaannya pada pemimpin mereka. Ketika dalam situasi yang turbulance, kepercayaan anggota lemah, maka hal itu merupakan indikasi bahwa peran pemimpin dipertanyakan dan budaya yang diinternalisasi mengalami suatu tantangan. Kini yang terpenting dalam melihat teori-teori kepemimpin tidak lagi didasarkan pada gaya pemimpin semata-mata, namun yang terpenting adalah mampukan pemimpin menggunakan emosinya dan tidak semata-mata mengandalkan rasio karena hal ini berarti dengan komitmen yang tinggi didasarkan pada hati nurani, pemimpin menjalankan perannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar