Jumat, 27 Juli 2012

PERDAGANGAN BUDAK DI JAWA ABAD KE-18


PERDAGANGAN BUDAK DI JAWA
ABAD KE-18
DISUSUN OLEH:
ADITIA MUARA PADIATRA
DIANA NURWIDIASTUTI
DIEMAS SYAHPUTRA
LISAN SULAIMAN
RYAN PRASETIA BUDIMAN

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
SEJARAH EKONOMI INDONESIA

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2010
PENDAHULUAN

Indonesia, di dalam perjalanan sejarahnya, terdapat bagian yang menarik untuk dibahas, yaitu dalam hal perdagangan. Seperti yang kita ketahui, “zaman perdagangan” yang dimaksud Anthony Reid dalam bukunya Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara Jilid II “dari Ekspansi hingga Krisis” terdapat suatu masa di Asia Tenggara yang disebut sebagai kurun niaga, yaitu pada tahun 1450 sampai dengan tahun 1680. Pada masa itu pulalah, dapat dilihat terdapat periode ekspansi perdagangan yang berkelanjutan di kawasan Asia Tenggara, khususnya di sini yang kelompok kami ingin tekankan adalah dinamika perdagangan di Indonesia.
Dalam hal ini, perdagangan yang terjadi tidak hanya menimbulkan pengaruh terhadap aspek ekonomi suatu wilayah atau antarwilayah yang melaksanakannya, tetapi juga meliputi aspek sosial dan budaya. Perdagangan yang dimaksud  adalah perdagangan budak, yang selama hampir 4 abad telah berlangsung khususnya di Indonesia. Secara tematis pula, kelompok kami ingin memfokuskan penulisan makalah ini pada perdagangan budak di Pulau Jawa pada abad ke-18. Kami memilih periode abad ke-18 dikarenakan nantinya dalam periode tersebut terdapat pergantian kekuasaan yang cukup berpengaruh terhadap kebijakan perdagangan budak atau perbudakan di Jawa akibat peralihan kekuasaan Belanda ke tangan pemerintah Inggris.
Seperti yang kita ketahui, sebelum abad ke-18, masuknya bangsa Belanda pada akhir abad ke-16 (1596) di Nusantara membawa perubahan yang besar khususnya dalam hal perdagangan. Para pedagang Belanda saat itu segera mendirikan Veerenidge Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602. Kongsi dagang Belanda ini nantinya akan memegang hegemoni perdagangan di Nusantara sampai pertengahan abad ke-18. Pada saat itu pula terjadi perdagangan antar pelabuhan yang membawa komoditi perdagangan seperti rempah-rempah, yang utama, dan juga budak yang merupakan salah satu produk utama yang diperdagangkan dari wilayah timur. Budak menjadi “barang” dagangan yang penting dan diekspor pada saat itu. Mereka biasanya diperlukan di istana raja dan rumah-rumah bangsawan Eropa dan juga dipekerjakan sebagai buruh kasar di pelabuhan atau sebagai pendayung kapal, terutama kapal perang. 
Pulau Jawa yang kami ambil sebagai daerah yang akan kami jelaskan, merupakan daerah yang selalu menjadi salah satu yang utama dalam lalu lintas perdagangan ditarik jika dari sebelum kedatangan bangsa Eropa, masa kurun niaga, Belanda hingga pemerintah Inggris berkuasa. Selain Pulau Jawa adalah pulau tersubur di antara pulau-pulau lainnya di Nusantara,  juga sebagai daerah penghasil beras yang adalah salah satu komoditi perdagangan utama saat itu. Selain itu, pada saat Belanda berkuasa, adanya perdagangan yang terkonsentrasi di wilayah ramai Malaka, membuat Belanda berniat untuk mengalahkan rival dagangnya dengan membuka kota Batavia, dimana sebelumnya mereka membangun benteng, kota, dan pelabuhan di sana.
Pengkajian juga akan kami lebih persempit secara tematis dengan melihat perdagangan budak yang terjadi di dua wilayah pelabuhan ramai pada abad ke-18 di Jawa, yaitu Batavia dan Banten. Pengertian atau definisi budak, asal mula budak, dan aspek sosial-ekonomi yang menyangkut perdagangan budak di dua wilayah ini akan kami coba jelaskan dalam bab-bab berikutnya. Sejauh ini, penulisan sejarah yang pernah diterbitkan dalam bentuk buku (sumber kedua), yang secara khusus membahas tentang perbudakan dan perdagangan budak di Jawa khususnya, masih sedikit yang sudah ditulis. Diharapkan dengan penulisan makalah kami tentang “Perdagangan Budak di Jawa abad ke-18” ini dapat membantu menggali lebih dalam tentang pengetahuan kita dalam kajian ini.     



BAB II
Definisi Budak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budak adalah hamba, jongos, atau orang gajian.[1] Mereka adalah bagian dari masyarakat yang terdiri dari orang-orang asing atau keturunannya, yang mempunyai fungsi dan kedudukan khas.[2] Dalam sistem sosial kemasyarakatan Melayu, mereka berada dalam stratifikasi terendah, dibawah rakyat jelata yang tinggal di pedesaan.
Namun, berbeda dengan sistem perbudakan yang ada di Eropa maupun India, budak-budak yang berada di Jawa lebih bertugas untuk menjaga kekayaan majikannya.[3] Mereka umumnya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga yang bertugas mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ada pula beberapa majikan yang mengajari budaknya menjahit, membuat kerajinan tangan, atau berdagang, sehingga mereka dapat menjual hasil karyanya. Bahkan, ada sebagian majikan yang mempercayakan pengolahan tanah pada budak, atau menyewakannya.
Mayoritas budak bekerja sebagai pembantu rumah tangga di dalam rumah para pejabat kolonial, pegawai swasta, dan orang-orang Asia yang berada di bawah kewenangan Belanda. Mereka melayani majikannya dalam hal memasak, menyalakan lampu, sebagai pelayan rumah, pembantu rumah tangga, gundik, penjahit, pemanggang roti, pembuat teh, penjaga runah, musisi, masinis, pengawal, dan lain-lain. Mereka juga menjadi buruh kasar sebagai kuli di pembangunan benteng, bangunan, jalan, bendungan, dan parit, dan sebagai kuli angkut barang dan bongkar muat di pelabuhan dan gudang.
Jenis-jenis Budak
Masih dalam koridor sistem sosial masyarakat Melayu, ada berbagai jenis budak yang bisa diklasifikasikan berdasarkan asal muasal yang menyebabkan dirinya menjadi budak, atau yang dalam bahasa Melayu disebut hamba. Ada tiga kategori besar: hamba raja, hamba berhutang, dan hamba abdi.
Hamba raja, adalah para budak yang dimiliki raja, yang bertugas untuk melayani raja. Kategori kedua, adalah hamba berhutang. Mereka adalah orang-orang yang menjadi budak karena tidak mampu membayar hutang, sehingga harus menjadi abdi bagi orang yang memberinya hutang. Namun, kedudukannya masih lebih tinggi dari hamba abdi karena mereka berpeluang membebaskan diri karena dengan membayar hutang mereka.[4]
Jenis ketiga adalah hamba abdi, yang terbagi ke dalam setidaknya 6 klasifikasi. Pertama, hamba diranggah, yaitu hamba yang bukan bergama Islam. Kedua adalah hamba hulur, yaitu orang yang melakukan tindakan kriminal dan menyerahkan diri kepada pemerintah karena tidak mampu membayar hutang darah. Jenis ketiga adalah hamba serah, yaitu orang yang tidak sanggup membiayai hidup, dan mencari orang yang mampu memberinya makan. Keempat, hamba habsyi, yaitu orang yang berasal dari Afrika. Kelima adalah anak hamba, yang otomatis menjadi hamba karena orang tuanya adalah hamba. Dan yang terakhir adalah hamba tawanan, yaitu para prajurit kalah perang yang ditawan, kemudian dijadikan hamba oleh kerajaan yang memenangkan peperangan.
Yang terakhir ini, adalah sumber utama perbudakan di daerah Malaya. Selain itu, ada pula orang-orang yang memang diculik di daerah pantai, dan para narapidana kasus hutang dan berbagai pelanggaran hukum ringan.[5] Para awak kapal yang ditawan oleh bajak laut dan masih hidup, biasanya dijual di pasar budak.
Banyak dari kapal pedagang Arab yang dinavigasikan oleh budak-budak pemilik kapal. Semakin jauh perjalanan mereka dari pualu-pulau, maka para pedagang ini semakin sulit merekrut awak kapal. Oleh karena itu mereka menggunakan budak. Atau, jika mereka gagal mendapatkan budak, mereka menculik penduduk.
Sedangkan menurut Steinberg[6], perbudakan yang dipraktikkan di seluruh Asia Tenggara pada abad ke-18, dibagi ke dalam empat kategori: budak turun-temurun, non-turun temurun, sementara, dan permanen. Budak turun temurun yang tidak dapat ditebus biasanya diturunkan dari tawanan perang, penjahat, pengkhianat, atau hasil dari penyerangan ke daerah dataran tinggi.
Perbudakan yang dikarenakan hutang jauh lebih umum di Asia Tenggara pada akhir abad ke-18, dimana ekonomi pedesaan telah termoneterisasi dengan sangat cepat.

PENUTUP
Kami mengakhiri uraian ini dengan mengambil suatu kesimpulan bahwa masalah perdagangan budak di jawa ini merupakan suatu fenomena yang telah ada semenjak kolonialisme tumbuh berkembang di kawasan Asia Tenggara. Secara khusus, masuknya bangsa Belanda pada akhir abad ke-16 (1596) di Nusantara cukup mempengaruhi hal tersebut (perdagangan budak). Melalui kongsi dagang yang mereka bentuk (VOC) ini nantinya, hegemoni perdagangan di Nusantara sampai pertengahan abad ke-18 mengalami gejolak-gejolak. Pada saat itu mulai berkembang perdagangan antar pelabuhan yang membawa komoditi perdagangan seperti rempah-rempah, yang utama, hingga kemudian Budakpun menjadi “barang” dagangan yang juga penting dan diekspor pada saat itu. Mereka biasanya diperlukan di istana raja dan rumah-rumah bangsawan Eropa dan juga dipekerjakan sebagai buruh kasar di pelabuhan atau sebagai pendayung kapal, terutama kapal perang.
 









DAFTAR PUSTAKA
Balwi, Mohd. Koharuddin Mohd. 2005. Peradaban Melayu. Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia.
Raffles, Thomas Stamford. 2008. History of Java. Yogyakarta: Penerbit Narasi
Leur, J. C. van. 1983. Indonesian Trade in Society: Essays in Asian Social and Economic History. Netherland: Foris Publications Holland
Steinberg, David Joel (ed). 1987. In Search of Southeast Asia: A Modern History. Honolulu: University of Hawaii Press.
Vink, Markus. "The World's Oldest Trade": Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in the Seventeenth Century. http://www.historycooperative.org/cgi-bin/justtop.cgi?act=justtop&url=http://www.historycooperative.org/journals/jwh/14.2/vink.html



[1] KBBI
[2] Thomas Stamford Raffles, History of Java. 2008. Yogyakarta: Penerbit Narasi. hal. 47
[3] Ibid, hal. 67
[4] Mohd. Koharuddin Mohd. Balwi. 2005. Peradaban Melayu. Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia. Hlm. 79
[5] Opcit. Hal. 141
[6] David Joel Steinberg (ed). 1987. In Search of Southeast Asia: A Modern History. Honolulu: University of Hawaii Press. Hlm. 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar