Jumat, 27 Juli 2012

AULA MANDALAWANGI (DESKRIPSI RUANG)


AULA MANDALAWANGI (DESKRIPSI RUANG)
Muhammad Ridho Rachman (0806343973)

Situasi semakin dingin ketika ku berhentikan langkah melihat bangunan megah di tengah-tengah nuansa hutan gunung, suara bising siswa-siswi LDKS yang sedang berdiskusi perintah dari pengisi acara melawan mesin diesel yang terus mengganggu konsentrasi setiap orang. Ruangan ini sebenarnya cukup luas kira-kira empat kali enam meter, tetapi penuhnya ruangan dengan puluhan orang jadi terlihat sempit. Di sisi timur berjejalan siswa lebih dari 60 berhadapan dengan dua orang pengisi acara dan beberapa panitia yang mengawasi jalannya acara. Ketika diperhatikan seksama malah ruangan ini lebih luas kalau dilihat dari jumlah orang yang ada di dalamnya. Tak dapat ku bayangkan bagaimana dulu material-material bangunan ini dan bangunan lainnya di sekeliling diangkut ke atas dengan jalan terjal babatuan yang terus menanjak. Rasanya tidak mungkin suatu jenis kendaraan bisa naik ke atas dengan kondisi medan yang seperti ini, apa dengan helikopter? Kalau ditempuh dengan jalan kaki dan tanpa membawa barang bawaan yang terlalu berat hampir satu jam untuk mencapai tempat ini.
Di ruangan bergantung dua buah lampu neon kecil yang mati karena memang hari masih siang yang tepat berada di tengah-tengah ruangan. Di langit-langit terpampang jelas konstruksi kuda-kuda penyanggah atap yang tidak tertutupi plafon yang di atasnya ditiduri asbes-asbes besar yang melindungi ruangan dari hujan kecil yang tak henti merintik. Di pojok kanan bergantung lampu sorot yang diikat tidak permanen yang tampaknya baru dipasang ketika ada acara di sana. Kabel lampu itu pun menjuntai ke bawah semakin nampak bukan lampu yang dipasang permanen. Lampu itu mengarah ke lapangan kecil yang tepat di depan ruangan.
Ketika kuarahkan pandangan ke depan, ku lompati pengelihatanku dari barisan siswa tersebut, hanya sisi selatan yang berdinding, yang lainnya langsung tampak hutan yang mengelilingi bangunan. Ada dua buah pintu, namun hanya pintu yang tepat di depanku yang terbuka. Itulah sumber suara bising mesin diesel yang tidak pernah berhenti hingga setiap telinga orang sudah kebal dan tak tersadar dengan suaranya lagi. Mungkin ruangan itu dapur. Di depan dipajang delapan buah lukisan tentang bangunan ini, peta ruangan dengan berbagai ukuran, dan satu buah aturan ruangan yang dilaminating tanpa bingkai. Yang paling menarik adalah keberadaan tungku api di sudut kiri yang mati tak berbahan bakar. Tungku api itu sebenarnya berlubang di atasnya, namun lapisan bata dan semen yang terlihat baru menutupinya. Jadi, asap yang nanti keluar ya lewat bawah.
Di tengah ruangan, berdiri tegak dua buah tiang penyangga atap yang kaki-kakinya tertutupi para peserta LDKS. Baru kusadari hampir seluruh bangunan ini terbuat dari kayu. Kemudian terlintas dalam pikiran bahwa material kayu-kayu ini diambil dari hutan di sekitar. Tapi tak tahu lah. Seluruh lantai kayu ditutupi beberapa karpet tebal untuk menghangatkan orang-orang, namun tetap saja dinginnya udara dan hembusan angin di kaki Gunung Gede menggigilkan semua orang.
Yang paling mencolok adalah 60-an peserta LDKS yang di depan masing-masing peserta ada sebuah topi dari setengah bola plastik yang diberi tiang kecil di atasnya, aneh pasti jika dikenakan di tempat-tempat umum, dan nametaq berwarna putih berbentuk segi lima yang digantungkan di leher. Mereka tampak seksama mendengarkan setiap kata yang ucapkan dua orang pengisi acara.
Sentak keberadaanku mengganggu jalannya acara ketika kehadiranku dilihat panitia, mereka pun langsung menghampiriku. Panitia-panitia yang berjalan itu kemudian mengalihkan perhatian para peserta yang sedang seksama mendengarkan. Sambutan hangat ketika panitia memperkenalkanku kepada para peserta LDKS.


Description: C:\Documents and Settings\Administrator\My Documents\DSC03443.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar