Tugas review mata kuliah
sejarah agraria
Oleh : Muhammad Ridho
Rachman (0806343973)
Abad 19 merupakan
abad penting bagi perkembangan pertanian Indonesia. Sejak abad itu, eksploitasi
atau komersialisasi pertanian oleh kapitalis Barat (pemerintah dan swasta)
merambah jauh sampai ke tingkat pedesaan.
Pada pertengahan
abad ke-19, di Hindia Belanda dicetuskan suatu undang-undang baru mengenai
sistem penanaman yang dikenal dengan “cultuurstelsel”. Sistem ini diperkenalkan
oleh Gubernur Jendral van den Bosch. Pada dasarnya, sistem ini merupakan salah
satu strategi yang tepat dalam mengembangkan pertanian di nusantara masa itu.
Jika dilihat dari prinsip dasarnya sistem tanam paksa (istilah yang dirasa
cocok bagi menurut masyarakat pribumi) memberikan dampak yang sangat positif,
seperti pewajiban bagi rakyat untuk menanam tanaman pasaran dunia, hasilnya
diserahkan ke pemerintah sesuai kuota, kelebihan produksi dibiayai pemerintah,
dan kegagalan panen ditanggung pemerintah. Jika dilihat sekilas memang sistem
ini tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan rakyat secara umum, walaupun
tujuan utama dari sistem ini adalah untuk menggenjot keuntungan yang maksimal
untuk melunasi hutang-piutang Belanda, termasuk yang diwariskan VOC pada masa
pendudukannya di Hindia Belanda.
Terkait dengan
masalah yang dikemukakan di atas, tulisan ini akan membahas mengenai kebaikan
dan keburukan yang ditimbulkan suatu sistem baru itu yang jika dilihat dari
berbagai sumber banyak argumen yang berbeda dari para pakar ilmu sejarah.
Cultuurstelsel menuai banyak perhatian
para ilmuan terlebih ketika hasil dari penelitian seorang antropolog terkemuka,
Clifford Geertz. Dalam hasil penelitiannya, ia mengatakan pertanian di Jawa (ia
menyebutnya dengan nama “Indonesia Dalam”) telah mengalami involusi. Ia melihat
bahwa angka pertumbuhan produksi pangan (padi) tidak dapat melebihi angka
pertumbuhan penduduk. Hal ini menjadi masalah karena penduduk rata-rata hanya
memiliki tanah sekitar 0.4 hektar. Menurutnya, jika ditarik dari masa cultuurstelsel memberikan ekses yang
negatif seperti wajib pajak, tanah pacasan, masyarakat dipaksa bertani.
Dilihat dari sumber-sumber sejarah yang ada, banyak
bantuan-bantuan dari pemerintah dalam kebijakan cultuurstelsel ini seperti yang
telah dipaparkan di atas. Namun, menurut Geertz adanya suatu sifat masyarakat yang
ia sebut dengan “enggan menanggung risiko”. Masyarakat Jawa menurutnya enggan
menerima suatu budaya baru (padahal baik), hingga berdampak “penyebaran
kemiskinan” pada masyarakat. Namun teori ini mendapat kritikan bahwa bagaimana
bisa dengan mudahnya ajaran Hindu-Buddha dan yang lainnya masuk ke nusantara.
Fasseur dan Elson melihat satu sisi lain dari kebijakan cultuurstelsel. Mereka melihat bahwa cultuurstelsel mampu menyejahterakan
rakyat. Hal ini dilihat dari peningkatan ekspor Hindia Belanda serta jumlah
uang yang beredar di masyarakat. Bahkan disebutkan sebagai zaman keemasan
masyarakat pribumi karena dapat melunasi dengan cepat hutang-hutang Belanda. Elson
menambahkan, cultuurstelsel
memberikan inspirasi kepada penduduk pribumi untuk meningkatkan
kesejahteraannya dengan mengubah pola tanam padi ke tebu dan memacu terbukanya
lapangan kerja di luar pertanian dan munculnya pekerja bebas yang tidak terkait
dengan sistem tradisional.
Knight setuju dengan meningkatnya komoditas ekspor,
namun ia tidak setuju cultuurstelsel
menyejahterakan rakyat. Menurutnya, kalangan yang memeroleh keuntungan hanyalah
sampai ke mandor dan planter, lebih dari 75% keuangan beredar di kalangan atas,
tidak menyentuh ke rakyat pada umumnya. Ia menambahkan, perubahan pola tanam
dari padi ke tebu pada dasarnya tidak ada pilihan lain agar tetap
mempertahankan kehidupan subsisten mereka.
James Scott mengatakan salah satu penyebab mengapa
orang-orang Asia Tenggara tetap para petaninya subsisten karena masalah
“ekonomi moral”. Hampir sama dengan teori “enggan menaggung risiko” Geertz,
Scott melihat bahwa para petani tidak seperti enterpreuner yang mencari
peluang. Justru sebaliknya, istilah yang masih sering terdengar, “dahulukan
selamat”, “cari aman” adalah moral petani yang dimiliki Jawa.
Kebijakan cultuurstelsel
pada kenyataannya bagi penduduk pribumi berdampak negatif. Apalagi misalkan ada
pembukuan mandor yang dilebihkan (menguntungkan) atau paksaan bekerja untuk
mencapai hasil produksi yang diinginkan. Para pakar cenderung menulis sejarah
dari atas (history from above), tidak seperti yang dikemukakan Mark Bloch yakni
history from bellow. Jadi ada
kecenderungan para peneliti keliru dalam mendapatkan informasi yang mereka
terima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar