Sejarah Gerakan Buruh di Serang
Tahun 2000 adalah awal dari berbagai masalah dan perselisihan yang
terjadi di antara buruh dan pengusaha di tanah Serang. Pada 21 Februari 2000
insiden pertama terjadi di PT. Pelita Enamel Ware Industri (PT. PLE). Pada saat
itu buruh PT. PLE sedang melakukan mogok kerja dengan tuntutan agar pengusaha
mengakui keberadaan serikat pekerja di PT. PLE; membayar uang makan dan
transportasi yang sudah dijanjikan; memberikan cuti hamil dan melahirkan;
membayar uang lembur serta mengikutsertakan buruh-buruhnya dalam program
Jamsostek.[1] Perusahaan ternyata tidak mengabulkan tuntutan mereka, dan bahkan
telah ada anggota Brimob yang didatangkan guna membubarkan massa buruh. Dalam
kericuhan yang terjadi, satu orang buruh perempuan tertembak. Insiden
penembakan inipun kemudian dilaporkan ke Komnas HAM oleh Paguyuban Buruh
Bangkit (PBB). Pelaporan tersebut kemudian direspon oleh pengusaha dengan
melakukan intimidasi fisik terhadap pengurus Serikat Pekerja PT. PLE melalui
sejumlah orang bayaran. Sebagai tindak pengamanan kemudian kantor sekretariat
PBB dipindah dan namanya diubah menjadi Forum Solidaritas Buruh Serang (FORSOL
BUSER).
Setelah insiden pertama yang terjadi
di Februari 2000 pengurus Serikat Pekerja PT. PLE mendapat kekerasan fisik dan
diawasi sampai ke rumah mereka oleh orang bayaran perusahaan. Teror tersebut
mendorong sebagian pengurus Serikat Pekerja PT. PLE untuk mengundurkan diri.
Kekerasan dalam hubungan industrial tidak hanya terjadi di PT. PLE. Salah
satunya dialami oleh Ketua DPC SP TSK Serang pada 21 Maret 2001 yang dibacok
kepalanya dua kali dan mendapatkan 17 jahitan pada di telapak kaki kiri dan
kanan.[2] Sampai dengan bulan Juni 2000 tindak kekerasan yang dialami oleh
buruh PT. PLE yang diterima sebagai respon pengusaha terhadap sejumlah tuntutan
buruh. Dalam berbagai konfrontasi antara buruh PT. PLE dengan orang bayaran
yang dipekerjakan oleh pengusaha tidak ada usaha pengamanan dan perlindungan
dari petugas keamanan yang sedang bertugas saat itu.
Peran FORSOL BUSER sebagai motor
pergerakan buruh PT. PLE bukan tanpa resiko. Serangan dan tindak kekerasan
selanjutnya juga dialami oleh pengurus FORSOS BUSER. Tidak sedikit dari
pengurus FORSOL BUSER yang kemudian mengundurkan diri atau bahkan memilih
pulang kampung. FORSOL BUSER ini sendiri sebenarnya adalah sebuah organisasi
informal, forum, yang memiliki keanggotaan terbuka. Artinya siapa saja, dari
serikat buruh atau serikat pekerja manapun dapat bergabung dalam FORSOL BUSER
tanpa diikat oleh aturan seperti AD/ART.[3] Hal ini dilakukan karena pada saat itu masih ada kekhawatiran dari
serikat buruh (SB) atau serikat pekerja (SP) lain bahwa FORSOL BUSER akan
merebut anggota mereka. Strategi tersebut membuahkan hasil. Tidak hanya jumlah
anggota FORSOL BUSER yang bertambah tetapi mereka juga kemudian memberikan
inspirasi kepada SB/SP dimana mereka berafiliasi untuk memiliki komitmen
perjuangan yang selaras dengan FORSOL BUSER. Hal ini menunjukkan bahwa
perubahan itu diawali dari individu dimana merekalah yang kemudian mengubah
warna dalam internal organisasinya. Kegiatan FORSOL BUSER tidak hanya ditujukan
pada anggotanya saja tetapi juga kepada keluarga anggota dimana terdapat
kegiatan seperti pemberian materi ketenagakerjaan, kursus bahasa Inggris dan
bimbingan belajar.[4] Dibawah kepengurusan Chaerudin Shaleh, pada tahun 2002, FORSOL
BUSER berubah nama menjadi FSBS. Agenda FSBS pada saat itu adalah mengangkat
isu tentang kriminalitas kasus perburuhan ke permukaan. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan kepekaan seluruh anggota FSBS tentang terjadinya kriminalitas
kasus perburuhan serta tentang pola terjadinya dan pihak yang terlibat. Selain
itu juga untuk meningkatkan kesadaran berbagai pihak tentang terjadinya
kriminalitas kasus perburuhan serta dampaknya dari kriminalitas kasus
perburuhan tersebut dan berbagai aspeknya.[5] Kriminalitas kasus perburuhan nyata terjadi. Tidak hanya adanya
tenaga bayaran yang dipakai oleh pengusaha untuk mengintimidasi pihak buruh
tetapi juga adanya intimidasi dari sejumlah pihak kepada perusahaan untuk
mempekerjakan orang-orang yang tidak kompeten dimana hal ini tentunya akan
berujung kerugian bagi pengusaha. Dampaknya adalah tidak tumbuhnya budaya
interaksi yang sehat antara buruh dan pengusaha.[6] Konflik yang terus menerus terjadi juga akan mempengaruhi prospek
investasi di wilayah Serang. Disisi lain, konflik yang berkelanjutan semakin
merekatkan solidaritas antara buruh dan menjadi dasar bagi SB/SP yang ada untuk
melakukan advokasi pada konflik-konflik buruh yang terjadi. Akan tetapi,
kekhawatiran sejumlah SB/SP bahwa FSBS akan berubah menjadi serikat pekerja dan
merebut anggota mereka mengakibatkan lumpuhnya FSBS.
Pada tahun 2005 besarnya UMK yang
dinilai sangat rendah mendorong kalangan pekerja memiliki perasaan senasib dan
melakukan konsolidasi untuk melakukan perjuangan bersama. FSBS bangkit kembali
sebagai wadah perjuangan buruh di Serang. Tidak jarang pemikiran yang muncul
dalam diskusi di FSBS dibawa anggota ke SB/SP tempat mereka berafiliasi dan
selanjutnya menginspirasi SB/SP tersebut. Pada tahun 2008 FSBS berhasil
memperjuangkan nasib buruh Serang dengan mendorong Pemkab Serang untuk membuat
Perda Ketenagakerjaan untuk melindungi buruh kontrak dan outsourcing dari ketidakadilan hubungan industrial.[7]
Hal ini sesuai dengan tema besar Program Kerja FSBS tahun 2008 yaitu “Memperkuat Posisi Tawar Organisasi Buruh
Dalam Mengantisipasi Dampak Labour Market Flexibility”. Pada tahun 2009
FSBS mengusung tema “Membangun Tradisi
Politik Demokratis Sebagai Upaya Dalam Memperjuangkan Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya”. Tidak hanya pergantian tema program kerja yang terus berubah. FSBS
juga membentuk kepengurusan yang heterogen dengan pembagian kerja yang jelas
sehingga FSBS dapat lebih tertata. Selain itu, FSBS juga melibatkan aktivis
SB/SP di tingkat basis (PUK) agar dapat menjaring aspirasi dari ‘arus bawah’.
Dalam perkembangannya FSBS juga melakukan serangkaian kegiatan seperti
pendataan/riset, kampanye isu ketenagakerjaan, rapat organisasi, serta
peningkatan kapasitas organisasi. Harapannya dengan demikian FSBS dapat menjadi
wadah perjuangan buruh yang efektif dan optimal.
Mobilisasi dan Sumberdaya
Teori mobilisasi sumberdaya merupakan upaya kelompok untuk
mengumpulkan berbagai sumberdaya, baik material maupun non-material dengan
menempatkannya dalam kendali kelompok tersebut, dengan tujuan untuk mencapai
tujuan kelompok. Dalam kaitannya tersebut, teori mobilisasi sumberdaya
membutuhkan adanya taktik, strategi, dsb dari aktor dan konteksnya mendukung,
yaitu konteks organisasi dan konteks sistem politik. Seperti yang terlihat
dalam kasus di Serang. Dimana dalam kasus tersebut terdapat serangkaian
kekerasan yang terjadi terhadap pengurus SP/SB. Pada saat itu, tepat tanggal 16
hingga 19 Juni 2000 terdapat desakan terhadap pengurus agar mereka mampu untuk menepati
janji mereka untuk tidak lagi melakukan intimidasi terhadap pengurus serikat
pekerja serta menekan mereka agar mengundurkan diri dari perusahaan oleh para
preman yang didukung oleh pihak aparat serta wartawan Bantani pos. Selain itu
pun dijelaskan bahwa pada awal era 2000-an, banyak sekali kekerasan yang
terjadi di Serang. Yang berawal dari kasus Marsinah hingga adanya percobaan
pembunuhan serta kasus penyerangan terhadap buruh PT Kadera, Pulogadung. Dari
kasus tersebut, memperlihatkan adanya perebutan sumberdaya, seperti hukum yang
ada tidak dapat ditegakkan, aturan yang berlaku di perusahaan tidak lagi
merupakan aturan hukum melainkan aturan yang diistilahkan sebagai aturan tangan
besi. Sehingga mengakibatkan tidak berhasilnya mobilisasi sumberdaya karena
banyak sekali aktor-aktor yang berperan di dalamnya tidak memiliki sebuah
strategi untuk melakukan suatu perlindungan dan kepastian terhadap hak-hak
buruh. Dari adanya kasus tersebut apabila terus dibiarkan tidak hanya akan
merugikan masyarakat secara luas, namun akan mendorong terbentuknya aktor-aktor
(masyarakat) yang anarkis.
Dari kasus mengenai Serang tersebut, maka disini akan lebih mengarah
pada salah satu pendekatan yang terdapat dalam teori mobilisasi sumberdaya,
yaitu mengenai interaksi politik. Dimana interaksi politik itu sendiri lebih
menjelaskan mengenai kepemilikan organisasi akan jaringan, baik yang sifatnya
vertikal maupun horizontal yang akan dimanfaatkan secara luas untuk kepentingan
organisasi. Dalam artikel, terlihat bahwa sejak pasca terjadinya kasus yang
menimpa pengurus SP/SB, disini terbentuk suatu solidaritas yang justru dengan
munculnya kekerasan yang ada membuat mereka terus berjuang untuk semakin
memperkuat jaringan mereka melalui sebuah barisan Forum Solidaritas Buruh Serang
(FSBS). Sejak terbentuknya FSBS tersebut, menjadikan strategi yang mereka
gunakan berhasil, dan banyak dari aktor-aktor (masyarakat) yang bergabung di
dalamnya untuk memberikan inspirasi mereka kepada serikat pekerja/serikat buruh
dalam memperjuangkan kesejahteraan pekerja/buruh serta keluarga mereka melalui
FSBS yang diharapkan dapat memberikan motivasi bagi organisasi internal yang
telah mereka bangun. Mereka beranggapan bahwa sebuah perubahan akan terjadi
apabila dalam masing-masing aktivis di dalamnya dapat berkerjasama untuk
menciptakan suatu perubahan. Karena aktivis buruhlah yang menjadi nyawa dalam
menggerakkan organisasi tersebut.
Menjadi dasar bahwa kasus yang terjadi di Serang menunjukkan adanya
faktor yang mempengaruhi terjadinya mobilisasi sumberdaya. Hal ini terbukti
dari terbentuknya organisasi dalam FSBS yang
merupakan salah satu bukti adanya kepemilikan jaringan dan kekuatan
internal yang berusaha untuk meningkatkan kepekaan semua anggota FSBS mengenai
terjadinya kriminalitas kasus perburuhan di Serang. Hal ini juga didukung oleh
adanya peningkatan akan kesadaran berbagai pihak untuk melihat dampak tersebut
sebagai dampak negatif maupun positif FSBS, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang sebagai sebuah aspek yang tetap harus ditangani bersama sebagai
kekuatan internal setiap anggotanya. Selanjutnya dalam pembentukkannya pun, hal
ini dapat dilihat sebagai sebuah motor penggerak untuk menyusun strategi
organisasi dan mobilisasi anggotanya dalam hal leadership. Dimana pada tanggal 14
April 2011 terlihat adanya upaya dalam FSBS untuk melepaskan diri mereka dari
konflik horizontal dan kekerasan yang terjadi di dalam gerakan buruh Serang.
Sebagai bukti bahwa anggota-anggota yang tergabung di dalam FSBS berusaha untuk
bagaimana bersama-sama mengantisipasi adanya kemungkinan akan meluasnya
kejadian yang serupa di wilayah lain. Hal serupa juga dilakukan oleh FSBS
sebagai strategi mereka untuk membentuk struktur kesempatan politik, yaitu
dalam mengoptimalisasikan jaringan Serang Barat. Mengingat bahwa hampir
sebagian besar gerakan buruh yang muncul merupakan gerakan buruh yang berada di
Serang Timur. Selanjutnya FSBS juga berusaha untuk melibatkan perempuan dalam
setiap kegiatan FSBS karena pada saat ini, sejak terjadinya kasus Marsinah seakan-akan
keterlibatan buruh perempuan dalam FSBS dianggap kurang aktif. Sehingga dalam
struktur kesempatan politiknya, FSBS berusaha untuk memberikan ruang diskusi
sebesar 70% bagi buruh perempuan di Serang-Banten dan 30% bagi buruh laki-laki. Pada sistem politiknya, disini FSBS mencoba
untuk menggunakan sistem otonomi untuk membahas mengenai rancangan peraturan
daerah dengan melibatkan kaum/wakil yang tergabung dalam kelompok buruh dalam
mendorong adanya ketetapan UMR provinsi Serang-Banten. Mengingat bahwa dalam
bidang pekerjaannya, banyak dari pekerjaan yang buruh wilayah Serang lakukan
merupakan pekerjaan yang memiliki resiko keselamatan kerja minim.
Organisasi dan Jaringan
Organisasi dalam kasus FSBS dilihat melalui perubahan struktur
organisasi dimana Fungsi terbentuknya organisasi dalam jaringan sosial ini
adalah menjamin kesinambungan identitas kolektif dan tindakan, mengumpulkan
sumber daya dari lingkungan, mengelola dan mnegkoordinir sumbangan-sumbangan
dan memilih dan menggatikan anggota yang ada sebelumnya. Struktur organisasi
tersebut dipengaruhi oleh struktur yang sudah ada sebelumnya, warisan dan
gagasan yang muncul, hambatan dan fasilitas yang ada. Hal ini dilihat dari pada
awal pembentukan FSBS mempunyai tujuan untuk membantu penanganan kasus perburuhan,
melahirkan serikat buruh bagu perusahaan yang belum memiliki serikat buruh,
juga memiliki cita-cita untuk mempersatukan serikat pekerja/serikat buruh di
Kabupaten Serang. Walaupun kadang mencuat isu untuk mengganti nama FSBS menjadi
beberapa nama atau mengubah gerakan tersebut menjadi gerakan formal. Tetapi,
FSBS tetap teguh pada struktur sebelumnya menjadi organisasi informal yang
longgar.
Organisasi ini dalam mengumpulkan, mengelola dan mengkoordinir
sumberdaya bersifat longgar karena bentuknya hanya kelompok kecil yang
informal. Jika menjadi kelompok kecil dan informal, FSBS tidak membutuhkan
status formal. FSBS juga tidak dianggap pesaing oleh (federasi) serikat buruh
lain. Keanggotaan FSBS juga akan longgar, entah buruh biasa atau pengurus PUK
bisa menjadi anggota. Struktur kepengurusan organisasi ini berganti periode
dengan menjalankanfunsi dan program yang belum terselesaikan, karena sifatnya
yang informal dan hanya berbentuk kelompok kecil maka pengurus juga tidak perlu
terlalu besar. Yang penting, fungsi-fungsi yang perlu untuk mencapai cita-cita
forum berjalan dengan baik.
Jaringan sosial dalam gerakan ini Jaringan sosial mempengaruhi
partisipasi dalam tindakan kolektif dan menciptkan kecendrungan untuk aksi
serta jaringan mempenagruhi keputusan untuk mobilisasi. . Jaringan sosial bukan
hanya menjadi fasilitator tapi juga produk dari tindakan kolektif.
Hal ini dilihat beberpa kali FSBS memperjuangkan nasib ketidakadilan
buruh seperti kenaikan UMR buruh di Serang karena perbandingan UMR di serang
lebih kecil dibanding di wilayah Jabotabek dan Buruh di serang lebih rentan
akan resiko keselamatan kerja. Aksi premanisme yang disewa oleh pemilik
perusahaan agar buruh tidak dapat meminta haknya dan menerima kebijakan apasaja
yang diberikan oleh perusahaan sekalipun itu merugikan mereka.
Jaringan sosial itu dibangun melalui hubungan keluarga, lingkar
pertemanan, pribadi dan kolega. Dalam kasus ini jaringan sosial pada FSBS di
bentuk melalui beberapa Serikat Pekerja atau Serikat Buruh yang berbeda di Serang (SP/SB) dan tergabung
semua dalam suatu forum yaitu FSBS. Jaringan sosial adalah sumber rekruitment
utama dari tindakan kolektif. Anggota FSBS terbentuk melalui jaringan-jaringan
antara sesama SP/SB yang berbeda kemudian mereka memiliki satu tindakan
kolektif yang sama memiliki perasaan senasib dan besama-sama melakukan
konsolidasi untuk memperjuangkan kepentingan buruh. Jaringan sosial informal
yang intensif membentuk subkultur oposisional dan menjaga identitas kolektif
untuk selalu dapat diaktifkan kala di perlukan. Jaringan sosial tersebut juga
terliha pada FSBS dimana jaringan-jaringan itu tetap menjaga keutuhan FSBS
sesuai dengan tujuan awalnya.
Framing
Adapun masalah Forum
Solidaritas Buruh Serang (FSBS), awalnya muncul ketika para buruh PT PLE pada
tanggal 9 Februari 2000 meminta pengusaha untuk mengakui keberadaan serikat
pekerja di PT PLE, membayar uang makan dan transportasi yang telah dijanjikan,
memberikan cuti hamil dan melahirkan, membayar upah lembur serta
mengikutsertakan buruh- buruhnya dalam program jamsostek.[8]
Ketika para buruh datang ke pabrik untuk meminta upah yang sebelumnya sudah
dijanjikan oleh pengusaha untuk dibagikan, ternyata yang didapat adalah
kekecewaan karena ternyata pembayaran upah yang seharusnya diberikan pada hari
itu ditunda. Isu awal yang muncul adalah
masalah upah yang belum juga dapat diselesaikan.
Kekecewaan yang
muncul dihati para buruh menyebabkan para buruh kemudia memaksa masuk menuju
kantor perusahaan untuk bertemu dengan pemilik perusahaan, namun sejumlah
aparat keamanan sudah memblokir jalan masuk kantor sehingga para buruh memilih
untuk mundur. Mengetahui massa di luar pagar semakin banyak karena terdapat
masyarakat sekitar yang berkumpul melihat kejadian tersebut, aparat melempar
gas air mata ke arah kurumunan yang kemusian terdengar suara tembakan yang
ternyata seorang buruh perempuan roboh tertembak. Menyadari tuntutannya dijawab
dengan senjata, buruh PT PLE, melalui paguyuban Buruh Bangkit (PBB) mengadukan
permasalahan ini ke Komnas HAM.[9] Menanggapi pelaporan ke Komnas HAM, pihak
penguasa merasa kurang nyaman sehingga menggunakan jago pukul bayaran untuk
melakukan intimidasi secara fisik terhadap pengurus Serikat Pekerja PT PLE,
bahkan diawasi sampai ke rumah mereka oleh orang- orang bayaran perusahaan.
Akibatnya, muncul ketidak adanya perlindungan dan kepastian terhadap hak- hak
buruh.
Dampak terhadap isu mengenai kriminalitas pada kasus
perburuhan PT PLE yaitu tidak tumbuhnya budaya interaksi yang sehat antara
pengusaha dan buruh. Kapan pun dan di mana pun, serikat buruh akan terus
berusaha untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka, berhadapan dengan
berbagai kebijakan dan tindakan yang sewenang- wenang. Kenyataannya adalah
sudah banyak serikat buruh yang ditekan bahkan dihabisi yang kebanyakan
pelakunya adalah pihak perusahaan itu sendiri. Isu sebenarnya adalah pihak penguasa yang tidak menepati janji yang
telah disepakati dengan pengurus serikat buruh. Akan tetapi isu ini malah berbelok menjadi pertentangan antara buruh
melawan penduduk karena seringkali orang- orang yang dipesan perusahaan
tersebut adalah penduduk sekitar pabrik.[10] Akibat tidak
tumbuhnya budaya interaksi yang sehat antara buruh dan pengusaha, tidak
tercapainya suatu keputusan dan kesepakatan bersama antara buruh dan pengusaha,
maka pengusaha mencoba mengalihkan masalah ini dengan menggunakan jasa preman
penduduk sekitar, sehingga yang terjadi adalah muncul pertentangan antara buruh
dengan penduduk.
Struktur
Kesempatan Politik studi kasus Forum Solidaritas Buruh Serang
Setiap gerakan sosial atau aksi
kolektif memerlukan adanya peluang/kesempatan untuk memungkinkan kemunculan
gerakan tersebut. Kesempatan yang ada bukan hanya kesempatan dalam intern
gerakan tersebut. Tetapi juga keadaan eksternal yakni lingungan masyakarat
sekitar bahkan juga nasional dan internasional. Jadi, suatu gerakan sosial yang
berhasil memanfaatkan struktur kesempatan yang ada bisa menghasilkan kekuatan
yang cukup efektif dalam mencapai tujuan gerakan tersebut.
Durkheimian beranggapan bahwa relasi
antara aktor-aktor gerakan dengan lingkungan ada faktor kontrol sosial. Kontrol
sosial yang dimaksud adalah bagaimana upaya dari otoritas masyarakat dan
lembaga (misalnya pemerintah) untuk membuat suatu tindakan dimungkinkan atau
tidak untuk muncul.
Gerakan sosial jelas harus mengatur timming dalam melancarkan gerakan
sehingga berbagai upaya cukup bernilai dan efektif, tidak hanya menghabiskan
tenaga dan materi. Hal yang menjadi pertimbangan di sini adalah perhitungan
‘biaya’. Bagaimana ‘biaya’ yang keluarkan diperhitungkan dalam struktur
kesempatan yang ada demi mengejar efek manfaat dalam meraih tujuan.
Forum Solidaritas Buruh Serang
merupakan contoh kasus yang baik untuk menganalisis struktur kesempatan politik
suatu aksi buruh Serang dalam gerakan untuk meraih tujuan lahirnya Perda
tentang ketenagakerjaan di Kabupaten Serang. Berbagai kejadian historis yang
melatarbelakangi kekuatan buruh menjadi fondasi utama gerakan ini. Usaha-usaha
meredam gerakan buruh PT. PLE melalui tindakan subversif menguatkan ikatan
solidaritas antaranggota forum tersebut. Bingkai FSBS sendiri yang berbeda dari
serikat buruh, sebagai suatu forum informal dari anggota-anggota aliansi buruh
menjadi suatu jalan lain perjuangan hak-hak buruh, menjadi kekuatan pendorong gerakan
buruh di Serang. FSBS sebagai forum informal menjadi wadah silaturahmi dan
komunikasi bagai pekerja dan keluarganya. Hal inilah yang cukup efektif dalam
menanamkan isu terkait perundang-undangan ketenagakerjaan kepada para
anggotanya. Dapat dipilah bahwa FSBS lebih fokus pada kerja sama dengan pihak
pendukung, sedang aliansi buruh yang berurusan dengan kekuasaan. Sehingga di
antara keduanya saling memberi kekuatan bagi gerakan buruh, tidak saling
berebut pengaruh.
Gerakan dan kesempatan yang ada saling
berinteraksi. Kesempatan bisa menciptakan mobilisasi gerakan. Begitu pula
sebaliknya. Dalam kasus buruh di Serang, kekerasan yang terjadi terhadap buruh
diangkat menjadi isu nasional oleh Forum Peduli Buruh hingga melahirkan UU No.
21 tahun 2000 tentang Serikat pekerja/Serikat Buruh. Gerakan FSBS semakin
bergigi dengan berbagai kesempatan politik yang ada. Gerakan menutut UMR Serang
yang berbeda jauh dibanding UMR Jabodetabek hingga nanti lahir UU No. 13/2003
tentang ketenagakerjaannya, yang disambut lagi dengan gerakan pentingnya Perda
Ketenagakerjaan dalam diskusi publik tanggal 18 September 2003 yang merupakan
salah satu cara mem-blow up berbagai
gerakan mereka yang semakin masif. Hingga tahun 2008, gerakan FSBS mengusung
tema “Memperkuat Posisi Tawar Buruh dalam Mengantisipasi Dampak Labour Market Flexibility”. Dan pada
tanggal 27 April 2009, Kabupaten Serang resmi memiliki sebuah Peraturan Daerah
Ketenagakerjaan.
Kesimpulan
Kasus pemogokan buruh PT. LPE
memberikan gambaran umum bagaimana proses gerakan buruh terjadi. Gerakan
tersebut dilakukan dengan alasan untuk menuntut hak mereka yakni salah satunya
adalah upah yang sebagaimana mestinya menjadi kewajiban perusahaan tersebut.
Namun, lain halnya dengan perusahaan tersebut yang tidak memberikan hak para
buruh hingga membuat buruh mereka melakukan protes. Menjadi ironis ketika para
buruh melakukan gerakan, justru mereka mendapatkan perlawanan dari perusahaan
sehingga menjatuhkan korban tewas. Berawal dari permasalahan tersebut,
muncullah gerakan Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS) yang dianggap sebagai
salah satu jaringan organisasi yang bertujuan untuk mempertahankan hak para
buruh di Serang tersebut.
Dengan hadirnya FSBS, memberikan
semangat bagi buruh untuk membangkitkan motivasi mereka agar gerakan buruh
tersebut dapat diterima dengan baik dimasyarakat maupun perusahaan-perusahaan
industri. Tetapi, untuk berdiri ditengah permasalahan buruh dengan perusahaan,
FSBS tidak akan jauh dari resiko yang mengancam keberadaan mereka. Hal tersebut
dapat dilihat pada teror yang dilakukan oleh perusahaan terhadap kepala
koordinator FSBS yang mengancam bahwa perusahaan akan membunuh kepala
koordinator FSBS karena telah berhasil memprovokasi para buruh. Dengan adanya
ancaman tersebut, kepala koordinator FSBS pun bersembunyi ditempat yang aman.
Dengan persembunyiaannya tersebut, ternyata menghasilkan tindakan yang positif.
Namun, tidak hanya berenti disitu saja, kepala koordinator FSBS mengalami
kendala lainnya yaitu kehilangan anggotanya karena para anggota memilih untuk
pulang kampung daripada harus berhadapan dengan teror dari perusahaan. Dapat
dilihat bahwa keberadaan FSBS tidak dapat berjalan dengan lancar dalam mencapai
tujuannya.
Adapun dengan adanya kendala tersebut, FSBS tidak berdiam diri, hal
tersebut dilakukan dengan perubahan-perubahan yang membawa dampak positif.
Perubahan-perubahan yang terjadi diantaranya: setelah FSBS berdiri
ditengah-tengah buruh di Serang, FSBS telah berhasil memperjuangkan nasib buruh
Serang dengan mendorong Pemkab Serang untuk membuat Perda Ketenagakerjaan untuk
melindungi buruh kontrak dan outsourcing
dari ketidakadilan hubungan industrial yang tercapai pada tahun 2008, meskipun perubahan
tersebut tidak terwujud secara singkat, namun perubahan tersebut tetap tercapai
pada puncaknya yakni tahun 2008. Kedua, persatuan buruh yang pada awalnya
berdiri untuk mempertahankan hak nya dari perusahaan PT. LPE, mereka mengalami
kekalahan yang dalam arti para buruh membubarkan massa mereka karena salah
satunya adalah ancaman yang terus diluncurkan oleh perusahaan tersebut. Namun,
dengan adanya FSBS ini, persatuan buruh ini kembali bangkit dan organisasi yang
mereka miliki pun mulai dilegitimasi oleh masyarakat dan perusahaan. Selain
itu, FSBS pun hingga kini mendapati anggota yang kian bertambah dari tahun ke
tahun.
Adanya perubahan FSBS yang lebih baik untuk masa depan, maka
memerlukan kebertahanan dari FSBS. Adapun yang dupayakan FSBS agar tetap
bertahan, diantaranya dengan melakukan beberapa evaluasi program yang mereka
rencanakan. Evaluasi program tersebut dimulai dengan penyusunan pengurusan
anggota FSBS, strategi media FSBS, strategi mobilitas FSBS dan strategi
advokasi FSBS.
REFERENSI
Cahyono, Kahar S. 2010. Buruh Bergerak! Pengalaman Aliansi Serikat
Buruh Serang. Jakarta: TURC
[1] Cahyono,
Kahar S. 2010. Buruh Bergerak! Pengalaman
Aliansi Serikat Buruh Serang. Jakarta: TURC, halaman 19
[2] Ibid., 21
[3] Ibid., 29
[4] Ibid., 30
[5] Ibid., 31
[6] Ibid.,
[7] Ibid., 45
[8] Bagian 1: Pintasan
Waktu Perjalanan Forum Solidaritas Buruh Serang. Tahun Membara di Tanah Jawara.
Hal 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar