BAGIAN I
TITIK TOLAK,
MENURUT TEORI DAN FAKTA
1. PENDEKATAN EKOLOGIS DALAM ANTROPOLOGI
Batas-batas
Kemampuan Pendekatan Tradisional
Ada 3 pendekatan yang dipakai untuk membahas tentang terbentuknya
kebudayaan manusia di suatu wilayah. Pertama, pendekatan antropogeografis yang
menyatakan bahwa kebudayaan manusia itu dibentuk oleh kondisi-kondisi
lingkungan. Contoh yang paling terkenal dari pendekatan ini adalah teori
klimatologi Elsworth Huntington. Kedua, pendekatan posibilis yang menyatakan
bahwa lingkungan itu tidak dipandang sebagai sebab, melainkan hanya sebagai
pembatasan atau penyeleksi. Dan ketiga, pendekatan ekoloogs. Pendekatan yang
terakhir ini berusaha untuk mencapai spesifikasi yang lebih tepat mengenai
hubungan antara kegiatan manusia, transaksi biologism dan proses alam
memasukkan semua itu ke dalam satu sistem analisa, yaitu ekosistem. Konsep
ekoistem ini menekankan tentang kesalingtergantungan yang begitu penting antara
kelompok organisme yang merupakan satu komunitas dengan keadaan alam yang
bersangkutan di mana organisme-organisme itu hidup.
Ekologi
Budaya
Perbedaan utama antara pendekatan ekologi budaya dengan pendekatan-pendekatan
lainnya adalah Julian Steward, yang telah mengembangkan cara analisa ini,
dengan keras membatasi penerapan konsep dan asas ekologi tersebut pada
aspek-aspek tertentu saja dari kehidupan sosial kebudayaan manusia yang
benar-benar cocok, bukan kepada seluruh kehidupan manusia secara luas dan
besar-besaran. Tetapi berbeda dengan anggapan bahwa segala aspek kebudayaan itu
saling berhubungan secara fungsional—seperti dalam doktrin antropologi yang
masih sangat kuat, “holisme”—Steward berpendapat bahwa tingkat dan macam
saling-hubungan itu tidaklah sama dalam segala aspek kebudayaan, melainkan
bermacam-macam. Aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas, seperti pola-pola
kebudayaan dan hubungan organisme, dinamakan oleh Steward “inti kebudayaan”
atau cultural core, sedangkan aspek-aspe yang tidak begitu erat
hubugannya dengan proses penyesuaian itu hanya diberi sebutan “aspek kebudayaan
selebihnya”.
2. DUA BENTUK EKOSISTEM
Indonesia
Dalam versus Indonesia Luar
Geertz membagi Indonesia dalam dua macam, yaitu Indonesia Dalam dan
Indonesia Luar seperti dari arti kata “nusantara” yaitu pulau-pulau luar yang
dimaksudkan pulau-pulau di luar Pulau Jawa. Geertz memaksudkan kata Indonesia
Dalam adalah daerah yang memakai sistem pertanian “Pola Jawa” yaitu seluruh
Pulau Jawa (kecuali Banten Selatan dan Priangan Selatan), Bali Selatan, Madura,
dan Lombok Barat. Sedangkan Indonesia Luar adalah yang tidak memakai “Pola
Jawa”.
Ladang
Gourou menyatakan ada empat ciri perladangan: 1) dijalankan di tanah
tropis yang gersang; 2) berupa teknik pertanian yang elementer tanpa
menggunakan alat-alat kecuali kampak; 3) kepadatan penduduk rendah; dan 4)
menyangkut tingkat konsumsi yang rendah. Dari segi ekologi, ciri yang paling
positif dari perladangan adalah perladangan lebih berintegrasi ke dalam
struktur umum dari ekosistem alami yang sudah ada sebelum perladangan tersebut
direncanakan.
Pembakaran hutan yang sudah ditebang pada dasarnya adalah cara untuk
mempercepat proses pembusukan dan sekaligus untuk mengarahkan proses tersebut
sedemikian rupa sehingga zat makanan yang dilepaskan tersalur sebanyak mungkin
ke dalam tanaman pangan yang sudah dipilih. Dapat dikatakan bahwa perladangan
merupakan suatu sistem yang di mana hutan alam dirubah mejadi hutan yang dapat
dinikmati hasilnya.
Sawah
Sawah memiliki perbedaan yang sangat kontras dengan ladang karena sawah
adalah suatu struktur buatan, sangat khusus, terus-menerus ditanami, dan
terbuka. Menarik mengenai sawah adalah sawah sangat stabil atau tahan lama,
sawah dapat menghasilkan hasil panen yang dapat dikatakan tidak berkurang dari
tahun ke tahun, bahkan sering kali dua kali dalam setahun.
Dalam buku “Involusi Pertanian” karya Clifford Geertz dikatakan bahwa
tanah sawah adalah tanah yang tipis tetapi hal ini tidak menjadi penghambat
berkurangnya hasil produksi sawah. Tanah yang tipis ini diatasi dengan
memasukkan zat hara yang diambil dari tanah, dengan penambahan nitrogen oleh
ganggang kehijau-hijauan yang berkembang biak di dalam air yang hangat, dengan
pembusukan kimiawi dan bakteriil dari bahan organik, termasuk sisa-sisa tanaman
yang sudah dituai yang tertinggal di dalam air, dengan pengisian udara pada
tanah dengan gerakan air sawah yang pelan-pelan, dan tentu saja, dengan
fungsi-fungsi ekologis lainnya yang dilaksanakan oleh irigasi. Penyediaan dan
pengontrolan air adalah aspek yang paling
penting dari penanaman padi, jika persediaan air cukup banyak dan
terkontrol dengan baik, padi dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah dalam berbagai
iklim. Bagi sawah, air merupakan faktor yang sangat penting daripada tipe
tanah.
Karena air merupakan faktor penting, maka penyediaan dan pengontrolan air
juga menjadi penting. Drainase menjadi lebih sulit dibandingkan irigasi karena
air yang berlebih sama bahayanya dengan kekurangan air. Pengaturan air yang
rumit inilah yang menyebabkan adanya pembangunan sistem pengontrolan air dan
diperlukannya pengawasan serta perawatan yang baik bagi sistem ini.
Stabilitas yang tetap, zat makanan yang diambil dari “medium” (komunitas
biotis) dan bukan dari “substratum” (tempat), kompleksitas teknis dan investasi
karya yang cukup besar untuk membangun prasarana, ciri-ciri ini menimbulkan,
dari segi sosiologi, sesuatu yang paling penting dari pertanian padi sawah:
kecenderungan dan kemampuan untuk menyikapi meningkatnya jumlah penduduk dengan
pemadatan (intesifikasi), maksudnya menyerap tenaga kerja lebih banyak di tanah
yang diusahakan. Dalam perladangan, jika jumlah penduduk naik maka terjadi
perluasan wilayah ladang. Berbeda dengan sawah, ekspansi wilayah persawahan
terjadi lebih lambat dan kurang pasti. Para petani sawah lebih mementingkan
bekerja lebih keras di sawah yang lama daripada membuat sawah yang baru.
Apabila meningkatnya penduduk menyebabkan merosotnya habitat di ladang, maka
sebaliknya dengan sawah, yang menyebabkan jumlah penduduk semakin meningkat. Kemudian,
terjadi integrasi ekologis yang kompleks yang disebabkan oleh sifat sawah yang
berfokus pada medium yang membatasi antara kawasan topografi, sumber daya air,
dan zat-zat makanan yang terlarut.
Seperti telah disebutkan di atas, orang lebih cenderung memilih bekerja
lebih keras untuk sawah baru seperti pembangunan sistem irigasi dan sebagainya
dibandingkan dengan membuat sawah baru karena mereka berpikir bahwa hal ini
lebih menguntungkan. Membuat sawah yang baru belum tentu akan mendapatkan hasil
yang baik. Mereka, para petani, tidak ingin mengambil risiko dengan membuat
sawah baru yang membutuhkan dana besar.
Ladang dan sawah merupakan dua sistem yang paling penting dan merupaka
kerangka di mana ekonomi pertanian umum di neeri ini berkembang. Kedua sistem
ini memberikan tanggapan yang berlawanan terhadap kekuatan-kekuatan yang
menimbulkan kenaikan jumlah penduduk. Sistem yang satu bersifat dispersive
(menyebarkan) dan tidak elastis, sedangkan yang lain bersifat concentrative
(memusatkan) dan elastis. Hal ini memberikan penjelasan-penjelasan mengenai
penyebaran penduduk yang tidak merata di Indonesia serta kerumitan sosial dan
kebudayaan yang tidak terhindarkan sebagai akibat penyebara yang seperti itu.
BAGIAN II
PERWUJUDAN POLA TETAP
3. ZAMAN PURBA
Kenyataan geografis memainkan peran besar dalam
mencegah orang membuka sawah di luar Jawa, di mana perladangan lebih mudah
digarap dan dapat diterapkan secara lebih luas; lembah-lembah sungai yang kecil
di celah-celah gunung berapi merupakan faktor pendorong kuat untuk menempatkan
sawah disitu.
Mekarnya persawahan di Jawa sebelum Masehi pada
umumnya diterangkan bahwa hal itu disebabkan oleh adanya kombinasi yang
menguntungkan dari empat elemen dunia purba, yaitu api, air, tanah, api, udara.
Api diperoleh dari gunung-gunung api yang berderet-deret di pulau Jawa yang
menyediakan makanan untuk tumbuhan yang tidak terdapat pada yanah yang tipis.
Air berasal dari sungai-sungai panjang maupun pendek, deras, dan mengandung
lumpur alluvial. Tanah merupakan dataran tertutup yang landai dengan drainase
yang baik, terbentuk oleh alur sungai dan gunung tersebut sangat cocok untuk
teknik irigasi tradisional. Dan udara adalah hasil iklim yang agak lembab,
dimana peralihan dari barat ke timur mengkondisikan agar udara tidak terlalu
kering seperti gurun dan terlalu lembab seperti daerah-daerah lain di muka
Bumi.
Persawahan di Jawa tidak seperti dataran yang
maha luas seperti di China, tapi merupakan kantong-kantong alluvial yang
terpisah dan merupakan kesatuan tersendiri yang masing-masing di garap secara
intensif. Yang mula-mula boleh jadi telah muncul di dalam dan sekitar segiempat
yang dibentuk oleh gunung Sumbing, Sindoro, Merbabu, dan Merapi, daerah yang
sesudah abad ke-8 menjadi kemaharajaan Mataram. Persawahan yang telah maju
hamper dapat dipastikan telah muncul untuk pertama kalinya.
Ekspansi persawahan diluar batas-batas kawasan ini
dalam zaman pra-kolonial, belangsung secara lambat laun, coba-cona,
setengah-setengah, dan maju-mundur. Dan pada dasarnya perluasan itu dapat
terjadi dalam tiga jurusan; ke utara ke arah pantai laut Jawa dengan
delta-deltanya, ke barat ke arah dataran Sunda, dank e timur kea rah kawasan
(Pasuruan, Probolinggo, Banyuwangi, Besuki). Setiap kawasan itu memiliki
kendala teknis masing-masing, tanah di panati laut Jawa merupakan tanah yang
subur karena banyak endapan alluvial dan air sangat banyak, namun tanah cepat
sekali menjadi paya-paya karena tanahnya terendam air laut dan banjir tidak
dapat ditanggulangi dan dicegah. Tanah Sunda memilki air yang cukup banyak dan
drainase yang baik namun tingkat kesuburan tanahnya rendah dan susunan
topografinya tidak cocok untuk sawah. Dan daerah bagian timur kekurangan air.
Pada waktu persawahan meluas dari daerah asalnya, di dataran-dataran tertutup
kejawen, maka yang dihadapinya bukan hanya satumasalah saja, melainkan tiga
masalah secara teknis yang berbeda-beda. Yaitu fungsi irigasi seringkali tidak
cukup disadari: menyediakan air untuk tanah yang kalu kekurangan air akan
menjadi gersang (fungsi pengairan), mengatur persediaan air yang cukup banyak
namun tidak dapat dipastikan dan sangat sukar dikelola sehingga banjir tidak
dapat dihindari dan dicegah (fungsi pengontrol), menyuburkan tanah dengan zat
hara yang diangkutnya (fungsi penyburan). Dengan demikian, dapat dipahami
mengapa perluasan sawah berlangsung dengan sangat lambat.
Karena hebatnya maslah-masalah air, panati
utara tak pernah berhasil menjadi pusat pertanian yang setara dengan daerah
pedalaman. Setelah peradaban itu mekar, dengan ragu-ragu ia akan maju kea rah
panatai karena tertarik dengan ekonomi perdagangan di laut Jawa, namun
semata-mata hanya selingan dari kegiatan bersawah yang terbatas. Ketika belanda
tiba pada abad ke-17 pisat gaya berat pertaian masih tetap berada di
pedalaman, di daerah Mataram Purba, dimana terdapat berbagai kota dengan
penduduk yang padat, sawah yang penuh dengan padi dan tanaman lainnya. Semua
beras yang diangkut di sepanjang laut Jawa ke Maluku, Johor, Ambon, Banda
biasanya berasal dari sini. (JP Coen)
4. ZAMAN PENJAJAHAN: LANDASAN
VOC
VOC (Kompeni)
Ekonomi kolonial adalah ekonomi yang lahir dari
perkawinan antara ekonomi dengan politik dan merupakan suatu ekonomi di mana
hampir tidak ada perbedaan yang taam antara perdagangan bebas, pemboongan,
kuota, dan monopoli, yang kesemuanya itu dilakukan di bawah bayang-bayang mulut
meriam. Cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk
melaksanakan usaha tersebut adalah dengan menjaga agar penduduk pribumi itetap
dalam keadaan semula tetapi juga membuat mereka itu menghasilkan produk untuk
pasaran dunia berupa pembentukan struktur ekonomi yang kadang-kadang disebut
“dua muka” (dual), yang secara kronis, bahkan memang secara intrinsik,
merupakan struktur yang tidak seimbang.
Hasil dari penetapan struktur ekonomi yang “dua
muka” adalah ditetapkannya sistem Tanam Paksa atau dalam bahasa Inggris adalah cultivation
system. Untuk lebih jauh, sistem dari Tanam Paksa ini secara garis besar
dapat dijabarkan sebagai berikut: pertama, petani dibebaskan dari pajak tanah
dan sebagai gantinya para petani harus menanam tanaman ekspor milik pemerintah
pada seperlima luas tanahnya atau, sebagai alternatif, bekerja selama 66 hari
setiap tahun di perkebunan-perkebunan milik pemerinah atau proyek lain.
Pada dasarnya, sistem tanam paksa ini berfokus
kepada ekspor yang laku di pasaran dunia seperti nila, kopi, teh, tembaka,
lada, kina, kayu manis, kapas, sutera, cochenille (sebangsa bahan pewarna
berasal dari serangga). Namun, dari kesemuanya hanya tebu dan kopi saja yang
berhasil, sisanya mengalami kegagalan. Pada segi jenis tanaman yang dipaksakan
ada dua kategori besar yaitu tanaman tahunan yang dapat ditanam di sawah
bergiliran dengan padi, dan tanaman keras (tanaman yang berumur panjang) yang
tidak dapat digilirkan dengan padi.
Dari perbedaan pada dua kategori besar tanaman
yang dipaksakan akan memberi akibat pada komunias biotis yang sudah mapan, di
mana kedua jenis tanman itu dimasukkan. Tanman yang cenderung membentuk
hubungan mutualistis dengan komunitas serupa, bersama-sama mempergunakan
habitat tanpa menimbulkan ketegangan pada kedua belah pihak. Tanaman keras
(tanaman yang dipaksakan bukan rempah-rempah yang memang sudah ada sebelum
Bekanda datang) sebaliknya cenderng ke arah hubungan insuler, menempati habitat
yang belum dipergunakan dan menutup diri dari sistem-sistem pribumi sebagai
kantong-kantong yang bebas. Akan tetapi, diperkirakan adalah seperti suatu
ironi yang memang wajar, suatu parable yang sudah semestinya, bahwa hubungan
yang mutualistis itulah yang dalam jangka panjang ternyata justru meugikan
vitalitas ekonomi Indonesia.
Kedua tanaman utama itu memiliki perbedaan
dalam hal tanah dan tenaga kerja. Tebu yang merupakan tanaman tahunan menyukai
tanah dan lingkungan yang hampir sama dengan padi yaitu memerlukan irigasi dan
tenaga kerja yang dibutuhkan selalu berubah-ubah tergantug dari musim. Sedang
kopi yang termasuk tanaman keras lebih menyukai tempat-tempat pegunungan, tidak
memerlukan irigasi, serta tenaga kerja yag dibutuhkan dalam penanaman kopi
relatif tetap.
Dengan adanya sentra-sentra produksi tebu dan
kopi membuat banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Pada tebu,
kawedanaan-kawedanaan gula biasanya padat penduduk (biasanya kawedanaan yang
padat penduduk adalah kawedanaan gula) amun tidak semua kawedanaan yang padat
adalah kawedanaan gula. Kedua, meskipun kawedanaan gula biasanya adalah
kawedanaan beras yang produktif, tetapi tidak semua kawedanaan beras adalah
kawedanaan gula. Ketiga, pernyataan serupa itu berlaku juga untuk presentasi
dari semua tanah yang dapat ditanami yang mendapat irigasi. Keempat, kalau
kawedanaan-kawedanaan gula sama seklali tidak turut diperhitungkan, maka
korelasi yang erat antara padi per hektar, kepadatan penduduk, dan presentasi
dari luas tanah yang dapat ditanami yang mendapat irigasi akan menghilang atau
sekurang-kurangnya sangat berkurang.
Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
statistik pertanian mengenai sektor petani dalam abad kesembilan belas tidak
dapat diandalkan (dan juga sangat langka), baik yang mengenai luasnya tanah
garapan maupun produksi tanaman makanan, menyebabkan kita mengalami kesukaran
untuk menurut dengan bagaimana caranya orang-orang Jawa menangani masalah
demgrafi. Di mana luas tanah semakin kecil namun penduduk semakin bertambah
banyak secara signfikan.
5. ZAMAN PENJAJAHAN: MEKAR
Munculnya
kaum Industrialis besar.
Periode ini menceritakan tentang pergantian konsep lahan pertanian, yang
sudah tereksploitasi pada masa tanam paksa dengan sistem yang dikelola oleh
Pemerintahan Hindia Belanda dan diganti sistem penguasaan lahan pertanian yang
dikelola oleh para pengusaha perkebunan besar di Hindia Belanda. Hal ini
berkaitan dengan harga beberapa komoditas agraris yang meningkat pesat dalam
beberapa dekade tahun terakhir belakangan, seperti Gula, Kopi, tembakau dan
sebagainya sehingga menyebabkan pangsa pasar yang harus dikelola menjadi besar
dan memberikan suatu kesulitan tersendiri bagi pemerintahan Hindia Belanda
untuk mengatasinya. Di sisi lain, konsep Cultuurstelsel yang dijalankan
dirasa tidak efisien lagi dan ketinggalan zaman, sehingga akhirnya pemerintah
Hindia Belanda mengganti konsep tersebut dengan sistem yang lebih fleksibel dan
menghendaki kurikulum pasar.
Konsep ini menyebabkan terjadinya suatu pengalihan besar-besaran
keuntungan ke tangan para pengusaha besar yang menjalankan roda perekonomiannya
di Hindia Belanda. Di tambah dengan beberapa UU yang mendukung, seperti UU
Tanah Agraria. Maka dengan cepatnya, tanah-tanah yang tadinya milik para petani
disewa dan dijadikan laha-lahan tanaman komersial yang laku di pasaran. Hal
ini, tak pelak menyebabkan suatu perubahan paradigma yang cukup tajam di kalangan
petani, antara lain karena pada saat itu konsep tanam paksa yang dijalankan
seolah-olah tereduksi dengan sendirinya dan digantikan oleh sistem kapitalis
yang mementingkan laba dan hasil panen dengan menggunakan tenaga buruh-buruh
upahan, yang pada waktu itu bekerja di perusahaan-perusahaan pengolah Tebu
untuk menjadikannya sebagai Gula.
Dalam perkembangannya kemudian, terjadi pembelahan pada konsep masyarakat
pedesaan yang ada pada waktu itu, terutama di daerah Jawa yang menjadi pusat
daripada eksploitasi yang ada. Konsep tersebut dibagi menjadi dua, yang menurut
istilahnya Geertz ialah kelompok masyarakat tuan tanah besar, yang mempunyai
lahan dan ladang pertanian, dan kelompok masyarakat setengah budak yang
diperas, dan sesuai dengan konteks pada waktu itu, yaitu dengan meningkat
pesatnya jumlah penduduk yang ada, sedangkan lahan yang dikerjakan sedikit,
menyebabkan terjadinya pembagian rezeki yang ada dengan membagi-bagikan jatah
lahan yang harus digarap oleh para kelompok masyarakat ini, sehingga terjadilah
suatu kemiskinan bersama yang berlarut-larut dari tahun ke tahun. Dalam
kehidupan petani, pembagian ini juga dikenal dengan istilah golongan “Cukupan”
dan golongan “Kekurangan”.
Pengembangan Indonesia Luar
Perkembangan yang berbeda terjadi di luar jawa ( Indonesia Luar). Di sini
yang berkembang adalah pila-kantong, bukan pola yang mutualistis. Setidaknya
ada tiga ciri khas dari pengembangan Indonesia Luar untuk menetapkan polanya.
Pertama, pengembangan yang terjadi di Indonesia Luar secara geografis
hanya terbatas di tempat-tempat tertentu, lebih-lebih pada pengembangan sektor
padat modal. Dari nilai ekspor Luar jawa tahun 1930 senilai f 600.000.000
sepertiganya berasal dari Sumatra pantai timur sendiri, dimana
perkebunan-perkebunan tembakau, karet, teh, dan minyak palma yang besar terpusat di satu daerah
(yakni Deli dan sekitarnya) yang luasnya tak kurang dari 10.000 km2 atau kurang
dari 1% dari luas jawa.
Kedua, fokus pengembangan tidak lagi ditujukan pada rempah-rempah,
manis-manisan, dan bahan-bahan perangsang, melainkan dipusat pada produksi
bahan mentah industri. Pada tahun 1900, karet, timah, dan minyak bumi, yang
hamper seluruhnya hasil dari luar jawa, merupakan kira-kira 17 persen dari
nilai ekspor Indonesia, 20 persen pada 1920; 37 persen pada 1930, dan 66 persen pada 1940. Ketiga, Kaum petani
memainkan peranan yang relatif besar dalam ekonomi ekspor; dari seluruh ekspor
Luar Jawa, pemilik tanah kecil mempunyai andil kira-kira 35 persen dibandingkan
dengan kira-kira 15 persen untuk petani jawa.
Perkembangan Indonesia luar ini dapat dikatakan dimulai pada tahun 1863
kecuali penambangan timah yang sudah dimulai sejak abad 17. Seeorang pengusaha schumpeteria
bernama Jacob Nienhuys yang memulai membuka usaha perkebunan di Deli, setelah
ia tidak berhasil di Jawa Timur, di kantor dagangnya di Surabaya dan kemudian
datang kepadanya seorang Arab yang mengaku Putra Raja Sumatera menceritakan
tembakau tanaman rakyat di pantai timur laut Sumatera yang saat itu sedikit
sekali diketahui orang, dan keuntungan yang dapat diperoleh dari penanaman
tembakau.
Sehingga mulailah perkembangan tembakau yang menjadi perkebunan yang
dikemudian hari menjadi komoditas yang
sangat menguntungkan. Tembakau yang di jawa ditanam sebagai tanaman palawija,
oleh Nienhuys tembakau diintegrasikan ke dalam kerangka serba tanam dari system
lading. Karena memang secara ekologis tanaman tembakau adalah tanaman yang
tidak terlalu membutuhkan irigasi dan menjadi tanaman yang menjembatani antara
sawah di jawa dengan lading di Indonesia Luar.
Di Deli perkebunan tembakau dan pertanian rakyat yang asli berjalan
sejajar; keduanya tidak berintegrasi kedalan satu ekosistem tetapi terpisah
menjadi sua ekosistem yang agak serupa jenisnya. Berbeda dengan Jawa yang
menduduki hubungan saling komplimenter antara sawah dan tebu. Masing-masing
adalah alternatif yang fungsional, yang satu bukan hanya pelengkap yang lain;
dan bahwa keduanya tetap hidup bersama bukanlah karena adaptasi timbale balik
yang positif, melainkan karena rencana yang teliti agar yang satu tidak
merintangi yang lain.
Pada perkembangannya, pengusaha perkebunan tembakau yang membuka
perkebunan dengan melakukan konsensi atas tanah dengan para sultan setempat di
satu sisi kemudian merugikan bagi para petani peladang yang telah lebih dulu menggarap
tanah yang kemudian dikonsensikan, meskipun jumlah mereka tidak banyak, namun
di sisi lain menjadi jalan bagi para pengusaha perkebunan untuk terus memacu
produksi mereka.
Tahap berikutnya adalah pada 1919 ketika pemerintah Hindia Belanda
menghapuskan sistem konsensi tanah oleh para raja setempat diganti dengan jenis
penyewaan tanah bera yang secara hukum membebaskan pengusaha perkebunan dari
hambatan-hambatan karena hak-hak pribumi berdasarkan adat. Sehingga kemudian
para pengusaha memilih menyerahkan sebagian tanah konsensi mereka dan
sepenuhnya diberikan kepada para petani sebagai ganti izin untuk mencegah para
petani pribumi bercocok tanam di tanah perkebunan sama sekali. Di mana hal ini
menjadi talak tiga antara sektor perkebunan dan sektor rakyat petani. Demikian
pula halnya dalam tenaga kerja yang keudian pengusaha perkebunan lebih banyak
mendatangkan pra buruh dari luar pulau, orang-orang Cina, kemudian orang-orang
Jawa sebagai angkatan kerja kontrakan.
BAGIAN III
WALHASIL
6. PERBANDINGAN DAN HARAPAN
Keadaan
Dewasa ini
Indonesia mengalami berbagai macam peristiwa dimulai tahun 1930 hingga
1949 yaitu dimulai dengan malaise atau krisis, kemudian tahun 1942
penyerahan Hindia Timur dari Belanda ke Jepang, Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada Agustus 1945, dan masa Revolusi hingga tahun 1949. Segala
kekacauan ini tidak berdampak begitu buruk terhadap pola dasar perekonomian
Indonesia. Tetapi terjadi banyak perubahan di bidang sosial, bahkan pada
pertanian itu sendiri. Involusi juga terus berlangsung tanpa henti, terus meluas,
karena proses yang pada mulanya terasa terutama di daerah gula, sekarang hampir
terasa di sleuruh Jawa. Kondisi demografis dan sosial di Pulau Jawa makin sama
dengan kondisi yang berlaku di tempat-tempat yang paling padat penduduknya di
masa lalu. Rata-rata distribusi dari daerah-daerah itu kurang lebih sama,
tetapi daerah yang dulu merupakan minoritas, yaitu daerah yang terlalu padat
penduduknya, maka sekarang menjadi semakin lumrah, sedangkan yang dulu lumrah,
sekarang menjadi minoritas. Singkat saja, perbedaan tajam antara “Indonesia
Luar” dan “Indonesia Dalam” kini semakin kabur. Hal ini diakibatkan oleh
urbanisasi atau perpindahan penduduk ke kota berpenduduk padat dari daerah yang
menderita malaise, dan transmigrasi antar-daerah dan antar-pulau.
Indonesia Luar pada umumnya berciri: 1) kantong atau enklave
perkebunan dan pertambangan yang terpusat di tempat-tempat tertentu, yang
mempergunakan cara kerja yang padat-modal dan angkatan kerja yang tercabut di
daerah asalnya; 2) kebun tanaman ekspor yang diusahakan rakyat petani yang
terpusat di beberapa daerah tertentu—dan yang sekarang mengalami berbagai
hambatan serius karena kebijaksanaan ekonomi pemerintah; dan 3) perladangan
tradisional, yang pada umumnya dikerjakan secara kekeluargaan, dan kini meluas ke
hutan-hutan di pedalaman pulau-pulau yang besar di sebelah barat, serta ke
daerah yang berbukit-bukit dan berhutan-hutan musim di pulau-pulau yang kecil
di sebelah timur.
Jawa dan
Jepang
Jawa dan Jepang adalah pengibaratan kutub utara dan kutub selatan,
berbanding tajam seratus delapan puluh derajat, apalagi pada periode 1830
hingga akhir Perang Dunia I. Dalam hal teknik, Jawa mengalami perbaikan yang
lambat tetapi dengan cara yang sepenuhnya padat karya. Sebaliknya Jepang,
pertumbuhan yang sangat pesat dimulai setelah tahun 1870, sebagai akibat dari
turunnya angka kematian karena kenaikan standar hidup nasional, dan sebagai
akibat dari fertilitas karena disebabkan oleh meluasnya lapangan kerja dalam
sektor manufaktur. Dalam hal lapangan kerja, di Jawa tidak ada perluasan yang
berarti di luar lapangan kerja pertanian tradisional, tetapi dalam sektor ini
perluasan pesat telah dimungkinkan oleh penyempurnaan teknik produksi yang
menyerap-kerja, yang menaikkan produktivitas kerja. Petani menyediakan tenaga
kerja sambilan yang tidak berketerampilan untuk perkebunan, tetapi dengan harga
di bawah produktivitas marginalnya, karena biaya hidup mereka sebagian besar
dipikul ekonomi desa. Sedangkan Jepang mengalami perluasan lapangan kerja
dengan pesat dalam sektor industri, yang menyera seluruh pertambahan penduduk.
Lapangan kerja pertanian bisa dikatakan konstan, baik produktivitas tanah
maupun produktivitas kerja meningkat.
Di Jawa, kota-kota besar maupun kecil bergerak lambat dibandingkan dengan
pertambahan penduduknya. Sedangkan Jepang berkembang pesat, lebih-lebih setelah
zaman Restorasi Meiji. Kota-kota besar dan kecil berkembang lebih cepat
dibandingkan dengan pertambahan penduduknya. Pendapatan per kapita pada periode
ini, pada sektor pertanian, Jawa mengalami kekonstanan sedangkan meningkat pada
sektor perkebunan. Jepang mengalami peningkatan pesat pada sektor pertanian,
dan peningkatan ini digunakan untuk membiayai untuk pengembangan sektor industri.
Di Jawa mengalami dualisme ekonomi yang semakin tajam pada Input modal dala
sektor perkebunan, sedangkan sektor pertanian, input kerjalah yang meningkat.
Perpisahan antara kedua sektor itu terjadi sekaligus dalam bidang kebudayaan,
sosial, dan teknologi, dengan aktivitas industri yang sedikit saja. Dualisme
ekonomi ini juga nampak jelas di Jepang, tetapi diperlunak oleh hubungan yang
erat dalam bidang kebudayaan, sosial, dan ekonomi di antara kedua sektor itu,
dan oleh berkembang-mekarnya aktivitas industri-industri kecil.
Garis Besar
Masa Depan
Yang dimaksud dengan Garis Besar Masa Depan di dalam buku ini adalah
sebuah kondisi agraria setelah Revolusi Pertanian. Faktor yang menyebabkan
terjadinya Revolusi Pertanian adalah konsumsi per kapita di Indonesia pada masa
setelah kemerdekaan merosot. Namun, keadaan ini masih lebih baik dibandingkn
dengan kondisi di India, Maroko, Tanganyika, dan Birma.
Nyatanya, di Indonesia khususnya Pulau Jawa, ada juga investor asing yang
asih menginginkan untuk menanamkan modalnya untuk pertanian. Faktor-faktor yang
mendorong investor-investor asing tersebut adalah:
1.
Kemajuan teknis pertanian
Yaitu suatu teknik pemilihan bibit unggul yang merupakan
peninggalan sistem Jepang untuk memilih bibit-bibit yang berkualitas. Kenyataan
bahwa pemupukan dan pemilihan bibit unggul dapat cukup tinggi meningkatan hasil
sawah di Indonesia termasuk Jawa, agaknya tidak usah diragukan lagi.
2.
Revolusi Pertanian
Yaitu sebuah pengalihan dari perladangan ke pengusaha
kebun-kebun perdagangan. Namun sejak ini, proporsi yang lebih besar dari
kenaikan jumlah penduduk itu telah diserap ke kota-kota besar sehingga terjadi
kekurangan SDM (Sumber Data Manusia) untuk bidang pertanian.
3.
Pengalihan Sistem Onderneming ke Manajemen
Negara
Adalah sebuah pengalihan kepemilikan perkebunan dari milik
asing (terutama Belanda) menjadi milik negara.
4.
Penyempurnaan Irigasi
5.
Perbaikan Teknik Penanaman
Selain dalam bidang pertanian yang fokus pada padi atau persawahan,
potensi yang dimiliki Indonesia pada saat itu juga meliputi bidang perkebunan,
seperti:
1.Karet
Dalam 1925-1940, luas tanaman karet rakyat meloncat lebih dari
300% dan telah menghasilkan arus uang yang besarnya belum pernah terlihat di
Indonesia sebelumnya. Namun antusiasme itu menjadi berkurang oleh karena
Indonesia Luar itu, bagaimanapun juga adalah bagian dari Indonesia sebagai
suatu keseluruhan. Proses involusi yang terjadi di Jawa merupakan bagian yang
langsung dari alam ekonomi di mana penanaman tanaman industri tersebut terjadi,
dan hal ini lebih besar pengaruhnya daripada pergeseran dunia atau perubahan
teknologi.
2.Kopi
3.Kopra
4.Tembakau
5.Teh
KESIMPULAN
Seperti dikatakan dalam bagian pertama tentang sawah, penduduk Indonesia
lebih memilih mengusahakan sawahnya lebih keras karena menurut mereka hal
tersebut lebih menguntungkan dibandingkan dengan membuat lahan persawahan baru.
Kepadatan penduduk menjadi masalah sekarang karena sawah menyebabkan kepadatan
penduduk semakin meningkat dibandingkan dengan perladangan. Pertambahan
penduduk ini diperparah dengan munculnya perkebunan-perkebunan besar.
Perkebunan kopi, dengan pekerja tanam paksa bukanlah pengganti dari pertanian
subsistensi yang sesungguhnya; dan semua tanaman lain yang diusahakan pada
Sistem Tanam Paksa juga demikian halnya. Orang-orang Jawa tidak dapat menjadi
bagian dari ekonomi perkebunan, dan mereka juga tidak dapat mengubah bentuk
pola umum pertanian mereka yang sudah intensif menjadi ekstensif karena mereka
tidak memiliki modal, tidak memiliki jalan untuk memindahkan kelebihan tenaga
kerja, dan secara administratif terhalang oleh sebagian terbesar dari daerah
pinggiran mereka, apa yang disebut dengan tanah bera atau “tanah kosong” yang
sebetulnya dipenuhi dengan pohon kopi. Seperti itulah, dengan lambat, tetap,
dan tiada henti, mereka terpaksa memasuki pola sawah yang semakin lama semakin
sesak-karya. Penduduk yang luar biasa besarnya diserap ke sawah yang terlampau
sempit, terutama yang memiliki sistem irigasi yang baik. Persawahan, dengan
kemampuannya yang luar biasa untuk tetap mempertahankan tingkat produktivitas
karya yang marginal dengan selalu berhasil mempekerjakan seorang lagi tanpa
menyebabkan kemerosotan pendapatan per kapita dengan serius, telah menyerap
hampir sleuruh penduduk. Walaupun mengalami kenaikan sedikit demi sedikit,
tetapi pada akhirnya aka mengalami kemerosotan juga. Hal inilah yang disebut
Geetz sebagai “involusi pertanian”. Geertz memeroleh konsep ini dari Alexander
Goldenweiser, ahli antropolog Amerika, yang menciptakannya untuk melukiskan
pola-pola kebudayaan yang sesudah mencapai bentuk yag nampaknya telah pasti
tidak berhasil menyetabilisasinya atau mengubahnya menjadi suatu pola baru,
tetapi terus berkembang ke dalam sehingga menjadi semakin rumit. Jadi, involusi
adalah kerumitan yang semakin lama semakin hebat, keanekaragaman dalam
keseragaman, keahlian seni dalam monotomi. Selain itu, bertambahnya keuletan
pola dasar, penggarapan intern yang kelewat teliti dan terlalu penuh dengan
hiasan, penjelimatan teknis, dan keahlian teknis yang tidak ada habisnya.
Karena hal tersebut, pertanian semakin lama semakin meresapi seluruh ekonomi
pedesaan: sistem hak milik makin rumit, hubungan sewa-menyewa tanah yang
bertambah ruwet, pengaturan kerja gotong royong semakin kompleks—semua hal ini
adalah suatu usaha untuk menyediakan ruang bagi setiap orang dalam keseluruhan
sistem, sekecil apapun ruang tersebut.
Tetapi salah jika dikatakan bahwa petani Indonesia adalah petani-petani
yang malas karena mereka selama berabad-abad tetap miskin dan masih memakai
teknologi pertanian tradisional. Mereka bukanlah malas, hanya takut untuk
mengambil risiko yang lebih besar dan tentu saja, kekurangan modal. Mengambil
istilah Boeke yang dikutip dari buku ini, orang Jawa itu bukan jatuh miskin
karena mereka “statis”, melainkan mereka “statis” karena miskin. Tidak mungkin
kita membandingkan petani Barat, yang menggarap sekian hektar tanah dengan
hanya beberapa orang dan teknologi canggih, dengan petani Indonesia yang
menggarap tanah beberapa hektar dibantu dengan beberapa puluh orang. Jika
menginginkan petani Indonesia seperti petani Barat, akan terjadi pengangguran
besar-besaran.
LAPORAN
BACAAN SEJARAH AGRARIA
INVOLUSI
PERTANIAN: PROSES PERUBAHAN EKOLOGI DI INDONESIA
CLIFFORD
GEERTZ
DISUSUN OLEH:
ADE PRADANA
ADITYA MUARA P.
ADRIANUS W. MUNTU
AGUNG
AHMAD NAKHROWI
AHMAD SOFYAN
ALLAN AKBAR
ANIEK NURFITRIANI
ARYA NUGRAHA
BENAYA ADIGUNA
PROGRAM
STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS
ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS
INDONESIA
2010
dapusnya mana ?
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut