KONSEP PEMIKIRAN EKONOMI H. SAMANHUDI
Oleh: Muhammad Ridho Rachman, 0806343973
Keadaan Masyarakat
Indonesia pada Masa Hidup H. Samanhudi
Ketika H. Samanhudi mendirikan Sarekat Islam di
Surakarta, masyarakat Indonesia adalah masyarakat jajahan yang dikuasai oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah ini tidak bertanggung jawab kepada
rakyat, tetapi hanya sebagai badan penyelenggara yang bekerja di bawah dan atas
tanggung jawab pemerintah Netherland. Dalam kaitan ini pemerintah Netherland
mempunyai kementrian sendiri yang diberi nama Ministrie van Kolonien dan berkedudukan di Den Haag.
Di
tanah air kita ini hanya diadakan wali
negara atau landvoogd, yang dengan
bantuan para anggota Raad van Nederlands
Indie, menyerahkan segala tugas kewajibannya kepada Departement van Algemeen Bestuur. Di daerah-daerah terdapat gouverneur yang mengepalai provincie, resident yang mengepalai residentie,
dan assistent resident, yang mengepalai afdeiling.
Semua kepala negara daerah tersebut adalah orang
Belanda.
Daerah-daerah
yang lebih rendah tingkatnya dari yang sudah disebutkan itu, terdapat
pejabat-pejabat bumiputera yang tidak mempunyai kebebasan. Bupati yang
mengepalai daerah kebupaten selalu berada di bawah pengawasan dan selalu
menerima perintah dan pejabat Belanda yang bergelar controuler, yaitu pengawas atau pengontrol.
Orang
bumiputera tidak dapat menjadi controuler.
Sebagai contoh, RMA. Kusmodudjo yang sudah tamat dari Fakultas Indologi
Universitas Leiden, tidak diperbolehkan seperti teman-temannya yang
berkebangsaan Belanda belajar menjadi controuler
BB, sebab ia adalah seorang Inlander.
Pada
masa itu sebenarnya hampir semua pekerjaan dikerjakan oleh para pegawai
bumiputera, tetapi jiwa kebangsaan belum dapat memasuki pemerintahan. Hal itu
disebabkan oleh adanya sistem dan organisasi pemrintah yang bersifat kolonial.
Dalam
sistem itu, di satu pihak bupati sangat dimanjakan, dijadikan raja kecil, dan
ia diberi hak mewariskan jabatannya sebagai bupati kepada anaknya. Tetapi di
pihak lain bupati dijadikan alat untuk mempertahankan kedudukan Belanda, dalam
pengertian ia harus menekan dan menindas rakyat. Sementara itu, pihak kolonial
mempunyai bermacam-macam alat unutk mempertahankan kekuasaannya. Alat-alat itu
di antaranya adalah tentara, yaitu koninlijk
Leger (KL) serta Koninlijk
Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) dan polisi, baik yang rahasia maupun yang
tidak. Polisi rahasia disebut Polisi PID (Politiek Inlichtening Dients). Semua
alat kekuasaan tersebut bertugas menjaga keamanan. Biasanya mereka bertindak
keras, malah sering melampaui batas prikemanusiaan, misalnya menangkap,
membelenggu, membuang, menembak, dan sebagainya.
Dengan
demikian, mudah untuk kita fahami bahwa pada masa itu rakyat sama sekali tidak
sejahtera, dan menderita secara lahir batin. Mereka kekurangan sandang, pangan,
kesehatan dan lain-lain, sedang jiwa mereka sangat tertekan, sehingga harga
diri dan kepercayaan diri sendiri tidak ada. Puncak penderitaan rakyat dialami
pada masa sistem Tanam Paksa.
Tentang
akibat psikis yang ditimbulkan oleh sistem Tanam Paksa, DMG Koch mengatakan
bahwa, meskipun sistem tersebut telah dihapuskan, rakyat masih tidak mempunyai
kepercayaan kepada diri sendiri, tidak mempunyai rasa berbangsa dan bertanah
air, tidak mempunyai minat belajar, bersifat sabar dan suka menunduk. Mereka
sadar bahwa mereka berada dalam cengkaraman, tetapi mereka tidak mempunyai
kemauan untuk melepaskan diri, sebab tidak adanya keyakinan bahwa cengkraman
itu dapat dipatahkan. Menurutnya, pada masa itu di atas lapisan rakyat terdapat
lapisan pegawai kolonial yang selau bekerja sama satu dengan lainnya dalam
kegiatan menindas rakyat. Terhadap penindasan tersebtu rakyat menaruh kebencian
yang mendalam, tetapi penggalangan persatuan untuk melawan penindasantersebut
belum terpikirkan oleh mereka.
Pada
masa pemerintahan Raja Paku Buwono II (1717-1724) terjadi pemberontakan yang
dilakukan oleh gabungan tentara Jawa dengan orang-orang Cina. Pada akhir abad
ke-19 orang-orang Cina banyak didatangkan dari negeri Cina, sebab tenaga mereka
sangat dibutuhkan untuk menambah jumlah tenaga bumiputera yang dirasakan sangat
kurang. Kebanyakan dari mereka berkerja di perkebunan tembakau di Sumatera
Timur, di kebun gambir dan lada di sebelah selatan Riau dan Lingga, mengambil
timah putih di Bangka dan Belitung, dan di perkebunan Kalimantan Barat.
Tetapi
di antara orang Cina yang berdatangan itu banyak yang masuk ke pulau Jawa. Hal
itu menyebabkan jumlah orang Cina mengalami pertambahan yang sangat cepat.
Sebagai contoh, pada tahun 1900 jumlah mereka sekitar 280.000 jiwa, pada saat
pertambahan ini jumlah mereka menjadi dua kali lipat. Pertambahan itu telah
memberikan kesulitan bagi pemerintah. Keadaan yang menyulitkan pemeritah
menjadi leibh berat sesuadah orang-orang Cian mendirikan sekolah-sekolah Cina
dan mengirimkan inspektur-inspekturnya sendiri untuk sekolah-sekolahnya.
Pertumbuhan
sekolah berlangsung sangat cepat. Dalam kurun waktu 10 tahun kira-kira sudah
terdapat 400 buah. Guru-gurunya yang merupakan alumni perguruan tinggi di
Amerika dan Eropa yang ternyata menajadikan sekolah-sekolah sebagai tempat
penggemblengan kader-kader Cina. Kemudian lahirlah perkumpulan terpelajar Cina
yang kelak mendirikan Young Cina.
Dalam
bidang perekonomian, orang-orang cian mempunyai kedudukan yang makin lama makin
kokoh. Sehingga pemerintah Hindia Belanda yang pada masa itu membutuhkan uang
menyewakan tana-tanah yang luas kepada mereka. Sebagai tuan tanah, orang-orang
Cina mempunyai penjaga keamanan sendiri, membeli hasil bumi rakyat, dan
mempunyai hak dengan membungakan uang dan melakukan sistem ijon. Keuntungan
lain mereka peroleh dari sewa jalan, penjualan garam, dan dari penarikan pajak
masuk dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Dengan demikian dapatlah kita
bayangkan betapa penderitaan dan kemiskinan rakyat yang hidup di tanah yang
sudah disewa oleh para tuan tanah Cina itu.
Dalam
bidang perdagangan orang-orang Cina banyak yang mencapai kemajuan. Di
pantai-pantai bagian utara pulau Jawa, mereka mempunyai perkumpulan-perkumpulan
dagang. Di samping iut, banyak orang Cina yang mendapat hak monopoli dalam
penjualan berang degangan firma-firma Eropa. Dengan demikian maikn terdesaklah
rakyat bumiputera.
H.
Samanhudi Menjadi Salah Seorang Pelopor Kebangkitan Politik Umat Islam
Indonesia dan Bangsa Indonesia
Kira-kira
tahun 1911, di Surakarta ada sebuah perkumpulan dengan nama Kong Sing.
Perkumpulan ini mempunyai dua golongan, bangsa Jawa dan Cina. Perkumpulan yang
bersifat koperasi ini mempunyai tujuan mengadakan kerja sama dalam bidang
usaha, terutama untuk melakukan pembelian dan penjualan bahan-bahan batik, dan
untuk melakukan kerukunan dalam urusan kematian.
Secara
ringkasnya, peningkatan jumlahorang cina menjadi 60 persen membuat seolah
hendak menguasai sendiri perkumulan tersebut. Maka keluarlah golongan bangsa
Jawa secara beramai-ramai untuk kemudian membentuk perkumpulan yang baru dengan
nama Sarekat Dagang Islam.
SDI
didirikan oleh H. Samanhudi yang merupakan salah seorang pedagang kain batik
dengan bantuan RM. Tirtodisurdjo dan para pedagang lainnya. Kemudian H. Samanhudi
sendiri yang menjadi pemimpin sarekat tersebut. Dalam rapat pembentukan Sarekat
Dagang Islam, H. Samanhudi berpidato sebagai bentuk pengarahan dan pernyataan
pikiran dan perasaannya. Ketika itu ia mengatakan, di negeri kita ini penduduk
dibuat bertingkat-tingkat, yang paling tinggi bangsa Belanda, di bawahnya
terdapat bangsa Cina, sedangkan bangsa bumiputera berada di bawah Cina. Dengan
kata lain, bangsa bumiputera adalah bangsa yang dipandang sebagai bangsa yang
paling rendah derajatnya, atau bangsa kelas kambing, padahal mereka hidup di
tanah mereka sendiri. H. Samanhudi juga menambahkan bahwa pihak penjajah telah
menanamkan jiwa budak pada diri bangsa kita. Hal itu dilakukan dengan maksud
agar bangsa kita dapat dijajah terus. Oleh sebab itu, untuk menjadi bangsa yang
mulia, bangsa kita harus dapat membuang juwa budak tersebut.
Pidato
H. Samanhudi terdengar sederhana, tetapi mempunyai arti yang luar biasa. Sebab
pada masa itu, penduduk bumiputera tidak saja miskin dan terbelakang, tetapi
juga tidak mempunyai kepercayaan pada diri sendiri dan harga diri. Pidato
tersebut merupakan ungkapan jiwa H. Samanhudi yang memberontak terhadap keadaan
pada waktu itu, atau jiwa yang menghendaki perubahan keadaan sehingga bangsanya
pada saat itu disebut inlander dan
diperbudak oleh bangsa asing dapat menjadi tuan tanah di tanah airnya sendiri.
Bertambahnya
jumlah anggota Sarekat Islam berlangsung secara cepat disebabkan oleh para
pengurusnya yang berusaha keras dalam melebarkan sayap. Pendek kata, Sareakt
Islam yang didirikan dan dipimpin langsung H. Samanhudi tumbuh dengan cepat
menjadi perkumpulan yang besar dengan anggota yang banyak jumlahnya. Anggota
tidak hanya terbatas pada para pedagang batik saja, tetapi meliputi segala
jenis perdagangan bumiputera, malah juga rakyat pada umumnya. Sejalan dengan
berkembangnya perkumpulan itu secara kuantitatif maupun kualitatif, kata
“dagang” pada namanya berangsur-angsur kehilangan arti, sehingga disingkat
menjadi Sarekat Islam saja, padahal nama Sarekat Islam baru mendapat pengesahan
dalam anggaran dasarnya pada 10 September 1912.
Tumbuhnya
Sarekat Islam menjadi perkumpulan yang besar secara pesat itu dipandang sebagai
pertanda bangkitnya masyarakat bumiputera di Hindia Belanda yang ingin
mendapatkan pembaharuan dalam segala bidang. Hal itu berkat jasa H. Samanhudi.
Jelaslah
bahwa H. Samanhudi adalah pelopor kebangkitan politik umat Islam Indonesia dan
bangsa Indonesia seluruhnya. Dalam kedudukannya sebagai pelopor tersebut, ia
telah memberikan seluruh pikiran, tenaga, dan hartanya kepada perjuangan untuk
mencapai kesejahteraan lahir batin bangsa Indonesia. Meskipun seorang
pengusaha, dalam perjuangan untuk memperbaiki nasib bangsanya ia tidak mengenal
untung rugi, sebab keuntungan yang hendak dicapainya adalah keuntungan bagi
bangsanya. Menurut H. Samanhudi, jika bangsanya sudah menjadi keadaan yang
lebih baik, itu adalah keuntungan baginya.
Sikap
demikianlah yang menyebabkan Sarekat Dagang Islam yang semula kecil dan
anggotanya hanya terdiri dari para pedagang bumiputera penduduk Karesidenan Surakarta
saja, segera menjadi perkumpulan yang besar. Apalagi sesudah Sarekat Dagang
Islam menjadi Sarekat Islam perkumpulan tersebut dengan cepat menjadi
perkumpulan yang sangat besar.
Pada
awal 1913 anggotanya sudah berjumlah tidak kurang 80.000 orang. Pada
pertengahan 1916 jumlah tersebut sudah meningkat menjadi 360.000 orang, sedang
organisasinya sudah berkembang meliputi daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Pada
tahun 1918 jumlah anggotanya meningkat menjadi 450.000 orang, sedang Sarekat
Islam lokal tergabung di dalamnya sudah mencapai 87 buah. Kemudian pada tahun
1919 jumlah Sarekat Islam terus berkembang menjadi organisasi pergerakan rakyat
Indonesia yang sangat besar.
Seiring
dengan organisasinya yang berkembang pesat, peranan yang dimainkan oleh Sarekat
Islam bagi perkembangan masyarakat Indonesia makin lama maki berarti. Kareana
jasa Sarekat Islam, maka secara berangsur-angsur rakyat Indonesia yang pada
masa itu disebut inlanders dan dihina
oleh bangsa-bangsa asing, memeroleh nilai sebagai manusia yang sebenarnya.
Kareana jasa Sarekat Islam pula, maka rakyat Indonesia mempunyai kesadaran
berpolitik dan bertekad untuk lepas dari kungkungan penjajah. Demikian pula
jasa Sarekat Islam, maka rakyat Indonesia yang tinggal di berbagai pulau dan
terdiri atas berbagai suku, adat, serta bahasa, dapat bersatu padu untuk
mencapai citra-cita bersama, yaitu kesejahteraaan lahir dan batin dalam wadah
kebangsaan.
Begitulah
kebesaran dan jasa Sarekat Islam yang berarti pula kebesaran dan jasa H. Samanhudi.
Dengan demikian jelaslah bahwa H. Samanhudi adalah seorang tokoh yang sangat
berprestasi atau seorang pahlawan bangsa Indonesia yang sangat berjasa.
Sumber: Muljono dan Sutrisno Kutoyo,
Haji SAMANHUDI, Depdikbud, Jakarta, 1980.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar