Muhammad Ridho Rachman
0806343973
TINJAUAN
KRITIS POSTUR PERTAHANAN NEGARA:
KEKUATAN
POKOK MINIMUM (MINIMUM ESSENTIAL FORCES)
I.
DASAR PEMIKIRAN
1.1. Anggaran belanja
sektor pertahanan Negara terus-menerus mengalami penurunan, dari sekitar 29%
GDP ditahun 1970 menjadi tidak lebih dari 1.5% GDP tahun 2010. Akibatnya
Departemen Pertahanan hanya mampu memenuhi sekitar 25%-30% dari total kebutuhan
pertahanan nasional. Hal ini menjadi sangat sulit untuk membuat angkatan
bersenjata yang tangguh dan profesional.
1.2. Postur
pertahanan adalah gambaran tentang kekuatan pertahanan yang mencakup kemampuan,
kekuatan, gelar kekuatan, serta sumber-sumber daya nasional. Dengan dihadapkan
pada kemampuan anggaran negara, serta kemungkinan ancaman berupa invasi asing
relatif kecil, maka pembangungan kekuatan pertahanan lebih difokuskan untuk
membangun kekuatan TNI (Minimum Required Essential Force)—arah dan sasaran
pembangunan pertahanan negara bukan untuk memperbesar kekuatan, melainkan dalam
rangka mengisi kesenjangan—yang dimaksudkan adalah kekuatan dan kemampuan TNI
yang diperlukan untuk mengatasi ancaman keamanan yang bersifat mendesak.
1.3. Menurut versi
Dephan, Minimum Essential Forces
adalah kekuatan pertahanan minimal yang mampu menimbulkan dampak penangkalan
(mengatasi ancaman keamanan yang bersifat mendesak). Minimum Essential Forces merupakan suatu kekuatan standar dan
minimum TNI yang mutlak disiapkan sebagai prasyarat utama serta mendasar bagi
terlaksananya secara efektif tugas pokok dan fungsi TNI.
II.
KRITIK UMUM
2.1. Sepintas, sistem
ini dianggap arif melihat dari kekurangan anggaran yang dimiliki Negara untuk
sektor pertahanan. Tetapi
langkah ini sebenarnya bukan saja mengabaikan pentingnya kekuatan militer,
melainkan pula merupakan jalan pikir yang tidak membangun.
2.2. Soal minimal tentu sangat relatif, seberapa minimal? Apa yang disebut essential bagi suatu negara, bisa jadi
tidak essential bagi negara lain. Untuk
AL misalnya, apakah 10 fregat dan korvet dengan teknologi terbaru sudah dapat
digolongkan sebagai kekuatan yang dapat menimbulkan penangkalan?
2.3. Kebijakan
pemerintah untuk menghapus sejumlah sistem senjata yang sudah lewat usia
ekonomisnya berkonsekuensi terhadap konsep Minimum
Essential Forces. Sebab kebijakan ini berimplikasi terhadap kuantitas
sistem senjata dalam konsep tersebut.
III.
KRITIK KHUSUS
3.1. Dalam
tahun-tahun terakhir Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI tampak telah
melakukan kejanggalan cara berpikir dalam kebijakan pertahanan nasional,
khususnya melalui konsep kekuatan pokok minimum (MEF). Jalan pikir MEF sama
seperti jalan pikir orang miskin yang malas berupaya, yang bukan menjawab
problem kemiskinan dengan cara memutar otak, atau bekerja keras untuk
meningkatkan pendapatan, melainkan menjawabnya dengan menyerah dalam
penghematan. Apakah si miskin harus menghemat dengan cara mengurangi makannya
dengan hanya menjadi satu kali sehari? Analog dengan ini, dalam suasana
pemerintah yang hanya sanggup memenuhi sepertiga saja dari anggaran minimum
Departemen Pertahamam dan Markas Besar TNI (Rp30 triliun dari Rp100 triliun
yang diajukan) sekarang ini, apakah mereka memang perlu untuk lebih melakukan
penghematan lagi? Rasanya dengan mengubah posisi pertahanan yang semula
merupakan cost center agar menjadi profit center melalui pengembangan
industri pertahanan merupakan langkah nyata mengakali probem kemiskinan dalam
anggaran pertahanan. Yang ingin dikatakan adalah industri pertahanan berpeluang
besar untuk menjawab problema yang dihadapi bangsa saat ini. Padahal kita
pernah punya landasan sejarah ketika masa pemerintahan Presiden Soeharto,
Indonesia menjual hasil industri pertahanan ke luar negeri. Secara ekonomi, pendekatan yang harus ditempuh adalah menyediakan
fasilitas pembiayaan bagi calon pembeli, misalnya kredit ekspor yang memudahkan calon konsumen. Terlebih lagi mayoritas calon konsumen produk industri pertahanan
Indonesia adalah negara-negara berkembang. Pemberian fasilitas pembiayaan bagi
calon konsumen berarti pula investasi politik Indonesia terhadap negara
tersebut, setidaknya melebarkan pengaruh Indonesia ke negara itu dan harus
"dibayar" ketika Indonesia membutuhkan dukungan di panggung
internasional. Setidaknya, langkah transfer teknologi dari pembuatan-pembuatan alat
pertahanan yang tengah dilakukan negara bisa dikatakan menjadi pijakan awal
bagi center profit dalam melihat
prospek industri pertahanan yang mengubah sudut pandang negara kita.
3.2. Mengenai
seberapa minimal dan sebagainya dijawab harus dengan memasukkan berbagai faktor
determinan dan dikaji secara mendalam. Jadi, MEF tidak sekadar minimum. Arah
dari MEF akan menjadi jelas jika pemerintah segera menentukan tujuan pertahanan
dan strategi pertahanan yang akan ditempuh. Jika hal ini sudah ditentukan,
pengembangan komponen utama, komponen cadangan, dan komponen pendukung dapat
diarahkan pada satu tujuan yang jelas sehingga apa yang disebut minimum dapat
dielaborasi dengan kriteria dan kebutuhan yang jelas. Menurut pendapat saya, Minimum Essential Forces lebih
menitikberatkan pada preventing the war.
Jadi belum sampai winning the war.
Strategi maritim AS lebih maju lagi, preventing
the war as equal as winning the war. Memang benar kelahiran konsep Minimum Essential Force tidak lepas dari
perimbangan ekonomi, yaitu anggaran pertahanan yang terbatas.
3.3. Berdasarkan
rumus Minimum Essential Forces saat
ini, dari segi jumlah, akan terjadi pengurangan kuantitas persenjataan.
Sehingga jumlah kekuatan dalam minimum essential forces berkurang. Dalam Minimum Essential Force, pendekatan
yang dianut adalah ancaman plus anggaran. Masalah kualitas sistem senjata
nampaknya bukan menjadi perhatian utama, sebab yang didahulukan lebih pada
kuantitas. Bisa
saja dikatakan Minimum Essential Forces
sama dengan pemeliharaan alutsista lama. Di
situlah masalahnya terletak, yakni meskipun kuantitas sistem senjata dalam minimum
essential force terhitung banyak, namun secara kualitas tidak berbanding lurus. Sebab tulang punggung kekuatan pada konsep
itu adalah sistem senjata buatan 1980-an ke bawah yang usia ekonomisnya telah
terlampaui. Sekarang menjadi pertanyaan apakah dengan kebijakan pemerintah
untuk menghapus sejumlah sistem senjata buatan 1980-an ke bawah, lalu
pendekatan dalam penyusunan minimum essential force masih akan
tetap mengandalkan pada kuantitas sistem senjata? Sebaiknya ada perimbangan
antara kuantitas sistem senjata dengan kualitas sistem senjata. Untuk
menciptakan perimbangan, realisasi pengadaan sistem senjata baru sebagaimana
dicantumkan dalam Renstra harus sesuai jadwal. Selain itu, nampaknya perlu
penambahan kuantitas pengadaan sistem senjata baru dalam Renstra. Pendapat ini
berangkat dari basis pemikiran mendasar yaitu kepentingan nasional. Kepentingan
nasional harus mendasari perencanaan kekuatan, bukan anggaran yang mendasari
perencanaan kekuatan. Paradigma inilah yang banyak tidak dipahami oleh pihak-pihak
terkait di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar