PERDAGANGAN BUDAK
DI JAWA
ABAD KE-18
DISUSUN OLEH:
ADITIA MUARA
PADIATRA
DIANA
NURWIDIASTUTI
DIEMAS SYAHPUTRA
LISAN SULAIMAN
RYAN PRASETIA BUDIMAN
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA
KULIAH
SEJARAH
EKONOMI INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS
INDONESIA
DEPOK
2010
PENDAHULUAN
Indonesia, di dalam perjalanan sejarahnya, terdapat
bagian yang menarik untuk dibahas, yaitu dalam hal perdagangan. Seperti yang
kita ketahui, “zaman perdagangan” yang dimaksud Anthony Reid dalam bukunya Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara
Jilid II “dari Ekspansi hingga Krisis” terdapat suatu masa di Asia Tenggara
yang disebut sebagai kurun niaga, yaitu pada tahun 1450 sampai dengan tahun
1680. Pada masa itu pulalah, dapat dilihat terdapat periode ekspansi perdagangan
yang berkelanjutan di kawasan Asia Tenggara, khususnya di sini yang kelompok
kami ingin tekankan adalah dinamika perdagangan di Indonesia.
Dalam hal ini, perdagangan yang terjadi tidak hanya
menimbulkan pengaruh terhadap aspek ekonomi suatu wilayah atau antarwilayah
yang melaksanakannya, tetapi juga meliputi aspek sosial dan budaya. Perdagangan
yang dimaksud adalah perdagangan budak,
yang selama hampir 4 abad telah berlangsung khususnya di Indonesia. Secara
tematis pula, kelompok kami ingin memfokuskan penulisan makalah ini pada
perdagangan budak di Pulau Jawa pada abad ke-18. Kami memilih periode abad
ke-18 dikarenakan nantinya dalam periode tersebut terdapat pergantian kekuasaan
yang cukup berpengaruh terhadap kebijakan perdagangan budak atau perbudakan di
Jawa akibat peralihan kekuasaan Belanda ke tangan pemerintah Inggris.
Seperti yang kita ketahui, sebelum abad ke-18,
masuknya bangsa Belanda pada akhir abad ke-16 (1596) di Nusantara membawa
perubahan yang besar khususnya dalam hal perdagangan. Para pedagang Belanda
saat itu segera mendirikan Veerenidge
Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602. Kongsi dagang Belanda ini
nantinya akan memegang hegemoni perdagangan di Nusantara sampai pertengahan
abad ke-18. Pada saat itu pula terjadi perdagangan antar pelabuhan yang membawa
komoditi perdagangan seperti rempah-rempah, yang utama, dan juga budak yang
merupakan salah satu produk utama yang diperdagangkan dari wilayah timur. Budak
menjadi “barang” dagangan yang penting dan diekspor pada saat itu. Mereka
biasanya diperlukan di istana raja dan rumah-rumah bangsawan Eropa dan juga
dipekerjakan sebagai buruh kasar di pelabuhan atau sebagai pendayung kapal,
terutama kapal perang.
Pulau Jawa yang kami ambil sebagai daerah yang akan
kami jelaskan, merupakan daerah yang selalu menjadi salah satu yang utama dalam
lalu lintas perdagangan ditarik jika dari sebelum kedatangan bangsa Eropa, masa
kurun niaga, Belanda hingga pemerintah Inggris berkuasa. Selain Pulau Jawa
adalah pulau tersubur di antara pulau-pulau lainnya di Nusantara, juga sebagai daerah penghasil beras yang
adalah salah satu komoditi perdagangan utama saat itu. Selain itu, pada saat
Belanda berkuasa, adanya perdagangan yang terkonsentrasi di wilayah ramai
Malaka, membuat Belanda berniat untuk mengalahkan rival dagangnya dengan
membuka kota Batavia, dimana sebelumnya mereka membangun benteng, kota, dan
pelabuhan di sana.
Pengkajian juga akan kami lebih persempit secara
tematis dengan melihat perdagangan budak yang terjadi di dua wilayah pelabuhan
ramai pada abad ke-18 di Jawa, yaitu Batavia dan Banten. Pengertian atau
definisi budak, asal mula budak, dan aspek sosial-ekonomi yang menyangkut
perdagangan budak di dua wilayah ini akan kami coba jelaskan dalam bab-bab
berikutnya. Sejauh ini, penulisan sejarah yang pernah diterbitkan dalam bentuk
buku (sumber kedua), yang secara khusus membahas tentang perbudakan dan
perdagangan budak di Jawa khususnya, masih sedikit yang sudah ditulis.
Diharapkan dengan penulisan makalah kami tentang “Perdagangan Budak di Jawa
abad ke-18” ini dapat membantu menggali lebih dalam tentang pengetahuan kita
dalam kajian ini.
BAB II
Definisi Budak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budak adalah
hamba, jongos, atau orang gajian.[1]
Mereka adalah bagian dari masyarakat yang terdiri dari orang-orang asing atau
keturunannya, yang mempunyai fungsi dan kedudukan khas.[2]
Dalam sistem sosial kemasyarakatan Melayu, mereka berada dalam stratifikasi
terendah, dibawah rakyat jelata yang tinggal di pedesaan.
Namun, berbeda dengan sistem perbudakan yang ada di
Eropa maupun India, budak-budak yang berada di Jawa lebih bertugas untuk
menjaga kekayaan majikannya.[3]
Mereka umumnya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga yang bertugas
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ada pula beberapa majikan yang mengajari
budaknya menjahit, membuat kerajinan tangan, atau berdagang, sehingga mereka
dapat menjual hasil karyanya. Bahkan, ada sebagian majikan yang mempercayakan
pengolahan tanah pada budak, atau menyewakannya.
Mayoritas budak bekerja sebagai pembantu rumah
tangga di dalam rumah para pejabat kolonial, pegawai swasta, dan orang-orang
Asia yang berada di bawah kewenangan Belanda. Mereka melayani majikannya dalam
hal memasak, menyalakan lampu, sebagai pelayan rumah, pembantu rumah tangga,
gundik, penjahit, pemanggang roti, pembuat teh, penjaga runah, musisi, masinis,
pengawal, dan lain-lain. Mereka juga menjadi buruh kasar sebagai kuli di
pembangunan benteng, bangunan, jalan, bendungan, dan parit, dan sebagai kuli
angkut barang dan bongkar muat di pelabuhan dan gudang.
Jenis-jenis Budak
Masih dalam koridor sistem sosial masyarakat Melayu,
ada berbagai jenis budak yang bisa diklasifikasikan berdasarkan asal muasal
yang menyebabkan dirinya menjadi budak, atau yang dalam bahasa Melayu disebut
hamba. Ada tiga kategori besar: hamba raja, hamba berhutang, dan hamba abdi.
Hamba raja, adalah para budak yang dimiliki raja,
yang bertugas untuk melayani raja. Kategori kedua, adalah hamba berhutang.
Mereka adalah orang-orang yang menjadi budak karena tidak mampu membayar
hutang, sehingga harus menjadi abdi bagi orang yang memberinya hutang. Namun,
kedudukannya masih lebih tinggi dari hamba abdi karena mereka berpeluang
membebaskan diri karena dengan membayar hutang mereka.[4]
Jenis ketiga adalah hamba abdi, yang terbagi ke
dalam setidaknya 6 klasifikasi. Pertama, hamba diranggah, yaitu hamba yang
bukan bergama Islam. Kedua adalah hamba hulur, yaitu orang yang melakukan
tindakan kriminal dan menyerahkan diri kepada pemerintah karena tidak mampu
membayar hutang darah. Jenis ketiga adalah hamba serah, yaitu orang yang tidak
sanggup membiayai hidup, dan mencari orang yang mampu memberinya makan.
Keempat, hamba habsyi, yaitu orang yang berasal dari Afrika. Kelima adalah anak
hamba, yang otomatis menjadi hamba karena orang tuanya adalah hamba. Dan yang
terakhir adalah hamba tawanan, yaitu para prajurit kalah perang yang ditawan,
kemudian dijadikan hamba oleh kerajaan yang memenangkan peperangan.
Yang
terakhir ini, adalah sumber utama perbudakan di daerah Malaya. Selain itu, ada
pula orang-orang yang memang diculik di daerah pantai, dan para narapidana
kasus hutang dan berbagai pelanggaran hukum ringan.[5]
Para awak kapal yang ditawan oleh bajak laut dan masih hidup, biasanya dijual
di pasar budak.
Banyak dari kapal pedagang Arab yang dinavigasikan
oleh budak-budak pemilik kapal. Semakin jauh perjalanan mereka dari
pualu-pulau, maka para pedagang ini semakin sulit merekrut awak kapal. Oleh
karena itu mereka menggunakan budak. Atau, jika mereka gagal mendapatkan budak,
mereka menculik penduduk.
Sedangkan menurut Steinberg[6],
perbudakan yang dipraktikkan di seluruh Asia Tenggara pada abad ke-18, dibagi
ke dalam empat kategori: budak turun-temurun, non-turun temurun, sementara, dan
permanen. Budak turun temurun yang tidak dapat ditebus biasanya diturunkan dari
tawanan perang, penjahat, pengkhianat, atau hasil dari penyerangan ke daerah
dataran tinggi.
Perbudakan yang dikarenakan hutang jauh lebih umum
di Asia Tenggara pada akhir abad ke-18, dimana ekonomi pedesaan telah termoneterisasi
dengan sangat cepat.
PENUTUP
Kami mengakhiri uraian ini dengan mengambil suatu
kesimpulan bahwa masalah perdagangan budak di jawa ini merupakan suatu fenomena
yang telah ada semenjak kolonialisme tumbuh berkembang di kawasan Asia
Tenggara. Secara khusus, masuknya bangsa Belanda
pada akhir abad ke-16 (1596) di Nusantara cukup mempengaruhi
hal tersebut (perdagangan budak). Melalui kongsi
dagang yang mereka bentuk (VOC) ini
nantinya, hegemoni perdagangan
di Nusantara sampai pertengahan abad ke-18 mengalami
gejolak-gejolak. Pada saat itu mulai berkembang
perdagangan antar pelabuhan yang membawa komoditi perdagangan seperti
rempah-rempah, yang utama, hingga
kemudian Budakpun
menjadi “barang” dagangan yang juga penting
dan diekspor pada saat itu. Mereka biasanya diperlukan di istana raja dan
rumah-rumah bangsawan Eropa dan juga dipekerjakan sebagai buruh kasar di
pelabuhan atau sebagai pendayung kapal, terutama kapal perang.
DAFTAR PUSTAKA
Balwi, Mohd. Koharuddin Mohd. 2005.
Peradaban Melayu. Malaysia:
Universiti Teknologi Malaysia.
Raffles,
Thomas Stamford. 2008. History of Java. Yogyakarta: Penerbit Narasi
Leur, J. C. van. 1983. Indonesian Trade in Society: Essays in Asian
Social and Economic History. Netherland: Foris Publications Holland
Steinberg, David Joel (ed). 1987. In Search of Southeast Asia: A Modern
History. Honolulu: University of Hawaii Press.
Vink, Markus. "The World's Oldest Trade": Dutch Slavery and Slave Trade in
the Indian Ocean in the Seventeenth Century.
http://www.historycooperative.org/cgi-bin/justtop.cgi?act=justtop&url=http://www.historycooperative.org/journals/jwh/14.2/vink.html
[1]
KBBI
[2]
Thomas Stamford Raffles, History of Java.
2008. Yogyakarta: Penerbit Narasi. hal. 47
[3]
Ibid, hal. 67
[4]
Mohd. Koharuddin Mohd. Balwi. 2005. Peradaban
Melayu. Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia. Hlm. 79
[5]
Opcit. Hal. 141
[6]
David Joel Steinberg (ed). 1987. In
Search of Southeast Asia: A Modern History. Honolulu: University of Hawaii
Press. Hlm. 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar