Kira-kira jam 10 pagi Pak Franz
masuk dan langsung duduk di kursi depan tanpa berkata sepatah kata pun. Mungkin
ia mau mengumpulkan napas untuk langsung berkata panjang lebar di kuliah kedua
Penulisan Populer, tapi ternyata tidak. Memang biasanya ia seperti itu, sejenak
mengulur waktu menunggu murid-murid yang agak telat.
Singkatnya, kuliah langsung
dimulai. Pak Franz kembali menanyakan buku wajib mata kuliahnya, “menulis
secara popular” yang ditulis oleh Ismail Marahimin (ia merupakan dosen Pak Franz,
yang menurut saya Pak Franz cukup mengagumi beliau dari kata-katanya di kuliah
pengantar senin lau). Beberapa mahasiswa mengangkat tangan, maksudnya mereka it
belum punya buku yang diwajibkan Pak Franz.
Secara pribadi saya cukup
antusias dan serius dengan mata kuliah ini hal itu bisa dilihat dari latihan
yang diberikan Pak Franz di kelas juga saya kerjakan di rumah dan saya sudah
sedikit membaca buku Pak Ismail Marahimin. Tapi tak saya sangka, materi kuliah
langsung masuk pada latihan tulisan deskripsi, longkap ke halaman 62, pastinya
saya belum buka-buka halaman tersebut.
Simple menurut saya materi
kuliah Penpop seperti yang ia jelaskan di kuliah pertama. Mahasiswa tidak
dituntut banyak, cukup beli buku asli (atau pinjam, usahakan untuk tidak foto
kopi) dan menulis apa pun yang ada di pikiran masing-masing muridnya tanpa
memikirkan sumber tulisan yang biasanya diminta sebagai tuntutan sebuah tulisan
ilmiah.
Saya mencoba rileks dengan Pak
Franz, tapi seperti belum karena saya malah pilih duduk di kursi paling
belakang seperti pertemuan pertama. Setelah menjelaskan singkat tentang
deskriptif, saya pikir itu bukan termasuk penjelasan karena sangat singkat dan
hanya penjelasan umum, ia meminta mahasiswa saling berpasangan, “tidak dalam
satu jurusan, kalian saling tanya jawab mengenai informasi tentang kalian
selama 15 menit, kemudian tuliskan informasi tersebut dengan tulisan
deskripsi”. Cukup jelas perintahnya tanpa panjang lebar kelas riuh dengan suara
anak-anak yang mencari pasangannya masing-masing.
Saya agak diam sejenak mencari
orang yang bisa diajak berpasangan, agak ragu dengan anak cewe yang ada di
depan saya karena dia juga diam, bingung, dan tidak berpaling ke belakang. Cewe
yang nge-pink pun nengok, sentak saya ajak dia untuk jadi pasangan tanya jawab
saya. Cewe yang serba pink itu namanya Pipit Seytanintyas. Ternyata ia tipe
cewe yang agak susah akrab dengan teman baru, lihat saja dari bicaranya yang
terbata-bata, diam, dan banyak berpaling ke teman sejurusannya, Putri, yang ada
di sebelahnya.
Mencolok bahwa ia berasal dari
jurusan Sastra Jepang dengan buku-buku yang bertuliskan huruf Jepang yang
sengaja ia tunjukkan yang ditaruh di atas tasnya. Bahasanya agak kejawa-jawaan,
medok, yang dengan cepat pikiran saya tertuju pada suatu desa di suatu pedalaman
Jawa yang menjadi tempatnya berasal. Tetapi pikiran saya salah ketika saya
tanyakan, “Pit, Lu orang Jawa?”. Ia jawab “bukan, aku tinggal di Kampung
Rambutan dari kecil tapi aku lahir di Wonosobo, tapi itu juga numpang lahir
doing karena kemudian keluargaku pindah ke Jakarta”. “Aduh kata ganti aku lagi,
ribet dah..” terlintas dalam benak.
Progres pembicaraan agak lama
karena agak sulitnya ia berbicara santai dengan orang yang baru ia kenal.
Terpaksa pertanyaan bertubi-tubi, saya ganti dengan penjelasan panjang lebar
dengan bercerita tentang diri saya. Penjelasan itu saya mulai dengan perkenalan
nama saya dan panjang lebar tentang jurusan ilmu sejarah, jurusan saya. Panjang
lebar cerita itu saya selingi dengan pertanyaan, “pit, nanti lu niatnya mao ngambil
skripsi atau nonskrip?”. Tapi agaknya pertanyaan ini agak kurang mantap dijawab
oleh mahasiswa sastra semester 3, apalagi anaknya seperti Pipit, ia menjawab
mau nonskrip karena lebih cepat tapi kemudian bingung, malah ia menceritakan
anak Jepang lulusan 2010 kemarin semuanya ambil skripsi.
Tiba-tiba tanya jawab anak-anak
berhenti ketika Pak Franz, “absen sudah selesai belum?”. Absen dioper ke depan
dari Dimas yang duduk paling belakang. Tak lama kemudian, Pak Franz menunjuk
Putri lalu membereskan kertas-kertas di meja, memasukkan pulpen ke saku. Ia
pamit, dan keluar. “waw, aduh” dalam pikiran saya. “waw, ko ditinggal ya… aduh,
belom kelar.” Itu lah yang terpikir. Tapi sebelum keluar ia menyatakan bahwa
kelas akan dimulai lagi tanggal 20 September. Sentak kelas ramai.
Tanpa harus banyak memikirkan
Pak Franz yang keluar duluan, saya kembali memfokuskan pada tulisan yang harus
saya selesaikan dengan baik dan sebelum jam 12. Pipit malah tak terlihat serius
yang juga membuyarkan keseriusan saya. Dimas yang menggerutu dan banyak komen
ditambah putri, ketua kelas yang ditunjuk Pak Franz ikut membuyarkan
konsentrasi sekelas.
Sesekali Pipit bertanya, entah
soal apa, saya lupa. Tapi itu ikut membuyarkan pula konsentrasi saya. “ya
begitu lah, lagi-lagi sudah bel …”. Gerutuan saya yang selalu lambat dalam
mengerjakan tugas di kelas. Anak-anak sudah selesai. Pipit malah menyerah
ketika bel bordering, “udah deh, segini aja…”. Cepat-cepat saya selesaikan
tulisan itu dengan keras mencari kalimat akhir yang cocok. Entah lah, tulisan
permulaan itu dan saya pun masih belajar. Segitu lah kemampuan saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar