JENDELA BELUM DITUTUP
Muhammad Ridho Rachman,
Ilmu Sejarah (0806343973)
Aku belum mandi juga sampai jam sepuluh, hingga rasa
kantuk itu menyerang akut. Bahkan jam segini pun aku belum solat isya. Namun
entah mengapa tiba-tiba aku terteleportasi seolah memasuki lorong waktu hingga
sampaiku di tengah hutan di gelapnya malam.
Sungguh aku sangat takut, ini pasti mimpi. Di sini seperti
bau bangkai dan bau kembang melati, keduanya bergantian masuk hidungku
tergantung pada angin. Dan sesekali kesemua bau itu bercampur masuk hidung. Aku
yakinkan diri bahwa ini mimpi dengan mencubit pipi berkali-kali. Tapi diriku
serasa terjebak dalam tubuh kaku yang tidak bisa berontak dan harus ikut dalam
skenario. Aku masih yakin bahwa ini mimpi. Hingga keyakinanku berubah bahwa ini
memang nyata.
Di kegelapan kulihat seseorang di sampingku. Tak kukenali
dia. Entah mengapa aku tahu bahwa ia orang baik dan ia temanku. Tanpa kusapa,
kami terus berjalan lurus. Pikiranku menyuruhku untuk memberi ia nama Suri.
Nama itu menakutkan ku, mengapa harus eeemm (aku tak berani mengucapkannya,
dalam batin sekalipun). Tubuh kurus tinggi ditutup kaus lusuh dan celana bahan
dekil, barangkali sudah seminggu dikenakannya. Wajahnya samar bagiku. Entah,
padahal mataku baik-baik saja melihat sekitar, bahkan pakaian yang ia kenakan.
Tapi mengapa wajahnya tersamarkan?
Di
hadapan kami ada sebuah biliik tua. Tak terurus nampaknya. Aku sangat takut dan
rasanya ingin pulang padahal aku tidak tahu bahwa aku punya rumah atau tidak di
‘dunia’ ini.
Jeritan sentak terdengar di dalam rumah itu. Suara
tangisan lirih perempuan tua meratap-ratap. Aku semakin takut. Sebenarnya apa
yang harus kulakukan. Aku bukan ksatria yang harus menolong orang di dalam, bahkan
aku juga tak mau melihat. Tapi kami
malah terus mendekat. Mengendap-endap mencari celah untuk mengintip. Rumah itu tak berlistrik, hanya
lilin temaram yang menjelaskan bentuk bangun itu dari luar.
Kami temukan dua celah kecil yang berjauhan kemudian kami
hadapkan keduanya pada wajah kami. Tidak terlihat jelas sesuatu yang ada di
dalam. Kuluruskan pandangan, tidak ada apa-apa. Rumah itu tidak berisi banyak
perabot. Tepat di tengah langit-langit rumah ada sebuah obor kecil, bentuk aneh
dibuat dari setengah batok kelapa yang pinggirnya menjuntai sehelai sumbu
kompor sebagai pusat sinar. Rumah itu tak berlantai, memang sangat wajar di
tempat seperti ini. Hanya bertegel tanah keras yang dibuat rata. Kujelajahi
rumah dengan pandangan ke arah kiri, tak tampak apa-apa. Hanya terlihat pintu
yang mengarah ke dapur. Kulihat ke arah kanan. Nah, Hanya ada seorang wanita
tua yang suaranya kudengar tadi sedang menangis di atas bale-bale. Namun, kini
ia tak mengeluarkan suara apapun. Wajahnya sangat jelas tersorot cahaya lilin
yang ada di sebuah nampan di hadapannya. Sangat menakutkan, di atas nampan di
sekeliling lilin, banyak rupa bunga dan semangkuk nasi putih lengkap dengan
lauk. Ini seperti sesajen pikirku. Perasaanku sangat tak enak, apa sebenarnya
ini semua? Ia seperti sedang memohon kepada seseorang, tapi tidak terlihat
orang dihadapannya. Lalu, kukeluarkan pandanganku dari dalam dengan memutar
badan dan bersandar ke dinding bilik itu. Lalu pandangan kualihkan ke sisi
kanan, mencari teman misteriusku. Namun ia tak ada. Secara cepat aku menoleh ke
arah kiri kemudian aku sangat kaget, berinding, dan kaku tepat di hadapanku
sesosok manusia aneh berbadan hitam kekar, rambut panjang, bulu lebat hanya
mengenakan celana pendek setengah paha berwarna putih yang sangat kotor.
Kagetan itu sontak melemparkan kukembali ke dunia nyata.
Kemudian kutersadar bahwa itu benar hanya mimpi namun rasanya begitu dekat dan
nyata. Wajahku bercucur keringat dan tubuhku lemas. Sangat nyatanya cerita itu,
pakaianku kotor membuatku bingung dan ketakutan. Namun, ingatanku kembali bahwa
semalam aku tidak sempat ganti baju. Barulah pikiranku agak tenang. Kemudian
kulihat ke jendela, ternyata belum ditutup. Aku teringat cerita orang dulu
tentang makhluk halus yang masuk dan mengganggu mimpi. Kuberanikan menutupnya
dan kuteruskan tidur malam itu dengan hati yang ketakutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar