TUGAS MERINGKAS BUKU
“NASIONALISASI PERUSAHAAN BELANDA DI
INDONESIA” : Bondan Kanumoyoso
Oleh : Muhammad Ridho Rachman
(0806343973)
Mata kuliah Sejarah Ekonomi Indonesia
MENUJU
EKONOMI NASIONAL
Kegiatan
eksploitasi ekonomi Belanda di Nusantara bisa dikatakan telah dimulai sejak
masa VOC pada akhir abad ke-17, kemudian dilanjutkan oleh Pemerintah kolonial
Hindia-Belanda hingga berlakunya Undang—Undang Agraria tahun 1870. Namun, masuk
masa Politik Etis, kegiatan eksploitasi dilanjutkan oleh pihak swasta-asing
(khususnya pemodal-pemodal Belanda).
Selama
periode kemerdekaan (1945—9), para pemimpin politik Indonesia telah mulai
mencoba merumuskan konsep tentang ekonomi nasional untuk menggantikan warisan
ekonomi kolonial. Secara sederhana, pikiran mereka dibagi dalam dua arus utama,
pertama ialah para ekonom pragmatis yang berpandangan bahwa investasi asing,
sementara dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Mereka tidak setuju
pada ‘para kapitalis jahat’ yang dilakukan para imprealis yang mengeksploitasi
kekayaan alam Indonesia. Pandangan kedua mewakili sikap ekonomi yang lebih
radikal. Kaum komunis dan nasionalis kiri yang berpendapat bahwa penyitaan
asset asinglah yang mampu membebaskan perekonomian Indonesia dari hambatan—hambatan
kaum imprealis. Jalan keluar dalam meredam perbedaan pendapat di antara dua
kelompok itu dengan kemunculan pendapat untuk memberikan peranan utama kepada
negara. Setidaknya, perusahaan—perusahaan negara sajalah yang pada awalnya
memiliki sumber daya ekonomi maupun legitimasi politik yang diperlukan untuk
menempatkan perekonomian di bawah kontrol nasional. Dalam tahun 1950-an, hampir
seluruh pemimpin politik mendukung penguasaan negara atas sektor—sektor ekonomi
yang vital. Pada bulan Februari 1950 Presiden Soekarno menyatakan bahwa
nasionalisasi merupakan soal bagi masa depan yang jauh di muka. Dan penciptaan
perekonomian nasional terlebih dahulu menuntut mobilisasi semua sumber modal,
dari dalam maupun luar negeri.
Di
tahun-tahun awal kemerdekaan, Presiden Soekarno membentuk Panitia Pemikir
Siasat Ekonomi pada tanggal 12 April 1947. Suatu kepanitiaan yang bertugas
menyiapkan rencana dan strategi bagi pemerintah dalam menghadapi perundingan
dengan Belanda dan penyelesaian persoalan—persoalan pembangunan. Setelah
penyerahan kedaulatan pada akhir tahun 1949, masalah—masalah perekonomian yang
dihadapi Indonesia kian kompleks. Pada April 1951 Kabinet Natsir mulai
melaksanakan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) dengan maksud membimbing
berbagai kegiatan pemerintahan di sektor industri, pertanian, dan pengawasan
terhadap pembentukkan perusahaan—perusahaan baru. Gagasan ini membutuhkan
dukungan dari kelas menengah pribumi yang tangguh. Dalam membangun kelas
pribumi ini pemerintah melaksanakan Program Banteng yang dimaksudkan untuk membuka
kesempatan bagi para pedagang pribumi membangun basis modal di bawah
perlindungan proteksi pemerintah.
Dalam
rentang periode Parlementer, secara garis besar terdapat dua fase yang
memperlihatkan perbedaan yang kontras dalam pelaksanaan Program Banteng. Fase
pertama adalah masa kekuasaan tiga kabinet awal yang menitikberatkan pada
rasionalitas dan juga lebih realistis dalam merencanakan program kebijakan.
Fase kedua Program Banteng yang titik tolaknya dengan terbentuknya Kabinet Ali
Sastroamidjojo yang pertama. Kabinet Ali mulai aktif menaikkan posisi Indonesia
dalam perimbangan global dengan menempatkan Indonesia sebagai salah satu
pelopor pemimpin negara—negara dunia ketiga. Di dalam negeri, Ali mengambil
langkah tegas, jika pada awal tahun 1953 para importir pribumi hanya menerima
37,9 % dari total ekspor-impor, maka mereka menerima 80-90 % pada bulan ke-14
Kabinet Ali. Jumlah importir pribumi juga meningkat pesat. Kelompok Benteng
yang berjumlah 700 perusahaan pada awal kabinet, hingga bulan November 1954
jumlahnya meningkat sampai 4000-5000 perusahaan. Namun, justru dalam masa
pemerintahan Kabinet Ali I, timbul inflasi serius yang mengakibatkan
perekonomian menjadi semakin kurang produktif.
Pada
kenyataannya, mulai tahun 1957 keamanan nasional mulai memburuk akibat berbagai
pergolakan di daerah. Dengan terjadinya pergolakan tersebut, telah menyebabkan
terputusnya hubungan antara pusat dengan daerah dan meningkatkan kegiatan
penyelundupan barang ke luar negeri. Dalam situasi demikian, tuntutan—tuntutan ekonomi
yang bercorak radikal terus meraih dukungan politik, terutama akibat
berlanjutnya dominasi perusahaan—perusahaan Belanda terhadap perekonomian.
Keadaan tersebut mengakibatkan pudarnya pengaruh kaum politisi moderat yang
sejauh ini telah mendominasi kebijakan-kebijakan ekonomi.
Masa
pemerintahan di awal tahun 1950-an ditandai dengan adanya ketimpangan anatara
harapan dnegna realita yang dihadapi. Proram—program pembangunan ekonomi
seperti RUP dan Program Benteng telah dilaksanakan dalam kondisi ekonomi dengna
tingkat kemakmuran yang rendah. Situasi ini memperlihatkan bahwa periode
Demokrasi Parlementer, jalannya perubahan struktur ekonomi lebih bersifat evolusioner
ketimbang revolusioner.
Sejak
masa kolonial Hindia-Belanda, pembangunan berjalan timpang antara Pulau Jawa
dengan pulau—pulau di luar Jawa. Jawa menjadi daerah yang paling maju di sektor
infrastruktur pemerintahan, pendidikan, sistem perhubungan, dan sebagainya.
Kondisi di luar Jawa sangat jauh dibandingkan dengan kondisi di Pulau Jawa. Situasi
tersebut secara potensial telah menyulut ketegangan, karena penduduk di luar
Pulau Jawa yang memproduksi barang ekspor merasa dieksploitasi oleh orang Jawa.
Pertengahan
tahun 1950-an, ketidakpuasan yang semakin besar telah mendorong para panglima
daerah, terutama di Sumatera Utara dan Indonesia Timur, melakukan penyelundupan
barang—barang komoditi. Ketegangan ini akhirnya berujung pada pergolakan daerah
yang dikenal dengan PRRI di Sumatera dan PERMESTA di Sulawesi. Pergolakan
tersebut juga menunjukkan adanya konflik politik antara tokoh—tokoh daerah
dengan pusat, dan memperlihatkan bahwa pembangunan integrasi ekonomi nasional
lebih merupakan harapan ketimbang kenyataan.
Modal
asing sebelum tahun 1930, sebagian besar bergerak di bidang perkebunan dan pertambangan
yang memang membawa keuntungan besar. Investasi yang masuk tersebut merambah ke
bidang—bidang selain perkebunan dan pertambangan. Sumber utama investasi asing
kebanyakan berasal dari negeri Belanda. Maksudnya tidak lain adalah untuk
melayani negara induk dalam perekonomian di tanah jajahan.
Sampai
akhir tahun 1957, sektor ekonomi modern Indonesia masih dikuasai oleh modal
Belanda. Keadaan ini mendatangka frustasi bagi sebagian besar pemimpin
Indonesia. Upaya untuk mewujudkan ekonomi nasional akan selalu terhalang selama
modal asing, dalam hal ini Belanda, masih beroperasi di Indonesia. Salah satu
jalan keluar yang dipikirkan untuk mengakhiri dominasi perusahaan Belanda ialah
dengan jalan melakukan nasionalisasi. Namun, untuk melakukan nasionalisasi
dibutuhkan suatu alasan yang kuat yang dapat dijadikan dasar legitimasi.
Momentum itu didapat dengan semakin memburuknya hubungan Indonesia dengan
Belanda berkaitan dengan masalah Irian Barat.
Masalah
Irian Barat terus diperjuangkan oleh Indonesia, setelah dibohongi oleh Belanda
di Perjanjian KMB. Indonesia terus berusaha mencari cara mendapatkan suatu
dukungan dari berbagai pihak soal penyelesaian masalah Irian Barat. Salah
satunya usaha untuk mengangkat isu ke dalam Sidang Umum PBB pada Desember 1954.
Namun, isu Irian Barat gagal masuk ke dalam agenda pembahasan Sidang Umum PBB
karena tidak memenuhi 2/3 total pemungutan suara. Indonesia tetap konsisten
mencari dukungan untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Salah satunya lewat
Konferensi Asia-Afrika, April 1955. Negara-negara Asia-Afrika menyatakan
mendukung tuntutan Indonesia atas Irian Barat.
Dalam
Sidang Umum PBB bulan November 1957, PBB kembali menolak resolusi Indonesia
yang menghimbau agar Belanda mau merundingkan kembali masalah Irian Barat.
Padahal sebelum pelaksanaan pemungutan suara untuk resolusi tersebut, Presiden
Soekarno telah memperingatkan bahwa Indonesia akan mengambil langkah-langkah
yang akan mengguncang dunia apabila resolusi itu gagal. Terbukti, pada tanggal
1 Desember 1957 pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan aksi mogok selama
24 jam terhadap perusahaan—perusahaan Belanda di Indonesia. Tindakan inilah
yang mengawali aksi nasionalisasi perusahaan—perusahaan Belanda secara
besar—besaran.
PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN-PERUSAHAAN
BELANDA
Pada
masa kolonial Hinda-Belanda, sektor ekonomi modern Indonesia sebagian besar
dikuasai modal asing, khususnya Belanda. Sektor ekonomi modern yang
dikembangakan oleh modal asing ini terutama terpusat pada perkebunan, industri
ekstraktif, dan kegiatan—kegiatan yang berkaitan lainnya. Kegiatan ekonomi itu
mengalami kemunduran pada masa pendudukan Jepang. Keadaan itu tidak mengalami
perubahan sampai Indonesia mendapat penyerahan keadaulatan dari Belanda pada
tahun 1949.
Sikap
pemerintah Indonesia terhadap modal asing sepanjang tahun 1950-an sangat kuat
dipengaruhi pengalaman masa kolonial Hindia-Belanda. Pandangan yang berlaku
terhadap modal asing, terutama modal Belanda, secara umum melihat kehadiran
mereka sebagai penghambat bagi terwujudnya kedaulatan di bidang ekonomi. Dalam
situasi demikian, mengemuka pendapat yang mendesak pemerintah Indonesia untuk
secara bertahap mengurangi dominasi perusahaan—perusahaan Belanda dan sekaligus
mendorong munculnya perngusaha—pengusaha pribumi. Masih bercokolnya modal asing
menjadi sangat pelik dan dilematis. Perusahaan—perusahaan itu masih tetap
beroperasi karena Indonesia terikat komitmen yang tercantum dalam KMB. Meskipun
demikian, tekanan politik terus diberikan dengan mengeluarkan
kebijakan—kebijakan yang pro-pribumi, salah satunya ialah Program Benteng yang
ditujukan mengurangi dominasi perusahaan—perusahaan Belanda khususnya the big
five.
Kasus
lahan tembakau Tanjung Morawa di Sumatera Utara dan masalah pertambangan minyak
dan gas di Sumatera Timur dan Aceh merupakan akumulasi tuntutan buruh hingga
mereka secara bersama menduduki perusahaan milik Belanda itu. Telah diketahui
tidak ada bukti yang menjamin jika sektor—sektor ekonomi yang penting dikuasai
modal asing, mereka akan membantu pemerintah dalam mengatasi
kesulitan—kesulitan ekonomi dalam negeri. Modal asing dinilai tidak memiliki
kepentingan yang kuat terhadap kondisi ekonomi dalam negeri.
Sebaliknya
nasionalisasi perusahaan—perusahaan tidak menjamin bahwa jalannya sektor
ekonomi akan menjadi lebih baik. Namun dengna didasari pertimbangan tentang
kedaulatan ekonomi nasional sulit ditegakkan tanpa melakukan nasionalisasi,
maka langkah tersebut mendapat dukungan luas dari seluruh lapisan masyarakat.
Kabinet Ali I menandai awal dari kebijakan pemerintah mengenai masalah modal
asing. Hal ini terlihat antara lain dari usaha Indonesianisasi yang lebih
intensif. Misalnya peran pengusaha pribumi yang lebih besar dalam berbagai
sektor ekonomi.
Kondisi ekonomi pasca
penyerahan kedaulatan memang menitikberatkan unsur—unsur nasional dengan
merombak struktur yang saat itu masih bercorak kolonial. Upaya awal yang
dilakukan dengan mendirikan perusahaan—perusahaan negara dan megambil alih
perusahaan—perusahaan Belanda yang memiliki usaha terkait kepentingan umum. Proses
pengambilalihan secara hukum telah diatur pada tahun 1920 dalam
Onteigeningsordonanntie (peraturan penyitaan hak milik). Yang langsung
diserahkan dalam bentuk perusahaan ialah PLN dan Jawatan Kereta Api.
Pengusahaan pengalihan teknologi dalam dibidang penerbangan domestik,
pemerintah bekerja sama membentuk GIA dengan mengambil alih semua aset dari
perusahaan Belanda KNILM dan KLM). Kemudian pengalihan monopoli perusahaan
pelayaran antarpulau oleh KPM kepada PELNI yang berjalan tidak mulus.
Peristiwa pemogokan
nasional yang dilakukan pada tanggal 1 Desember 1957 oleh buruh yang bekerja di
perusahaan-perusahaan Belanda dan pemutusan seluruh transfer keuangan—keuangan
perusahaan—perusahaan Belanda dibekukan merupakan tindakan keras yang mengancam
perusahan Belanda. Pengambilalihan kantor pusat KPM dan bank—bank milik Belanda
di Jakarta yang dilakukan oleh serikat buruh dilakukan tidak terkendali, namun
bisa diatasi. Seluruh perusahaan itu diambil alih oleh Angkatan Darat untuk
menghindari jatuhnya perusahaan—perusahaan tersebut ke tangan komunis.
Selain pengambilalihan
perusahaan—perusahaan Belanda, juga adanya upaya pengusiran warga negara
Belanda. Tercatat Menteri Kehakiman pada awal bulan Desember mengumumkan bahwa
ada 50.000 warga neara Belanda yang diusir atau dipulangkan.
Pada tahun 1958 Kantor
Urusan Ekspor (KUE) mengeluarkan peraturan larangan ekspor barang—barang
Indonesia ke Belanda dan penggunaan mata uang gulden dalam transaksi
ekspor-impor. Sehingga dari data statistik terlihat bahwa ekspor Indonesia ke
Belanda tinggal kelapa sawit, tembakau, dan teh yang sudah sangat berkurang.
Undang—Undang
nasionalisasi yang baru disahkan pada tanggal 27 Desember 1958. Dalam UU
tersebut ditetapkan bahwa perusahaan—perusahaan milik Belanda yang berada di
wilayah RI menjadi milik penuh dan bebas negara RI. Salama ini ada dua
pandangan dalam menilai latar belakang dan proses pengambilalihan
perusahaan—perusahaan Belanda. Pertama, peristiwa pengambilalihan
perusahaan—perusahaan Belanda merupakan kejadian yang sama sekali tidak
direncanakan sebelumnya. Pandangan ini diperkuat oleh tidak adanya suatu
program pemerintah yang mengatur pelaksanaan pengambilaliha.
Kedua, pemerintah
berada di belakang aksi pengambilalihan tersebut. Suatu scenario telah
dirancang, di mana rakyat yang marah merebut fasilitas yang kemudian
ditempatkan oleh pemerintah dalam penjagaan perlindungan. Pandangan ini
diperkuat oleh pernyataan Presiden Soekarno, bahwa pengambilalihan tersebut
diprakarsai oleh dirinya sendiri.
TERBENTUKNYA KESEIMBANGAN YANG BARU
Tindakan
pengambilalihan terhadap perusahaan—perusahaan Belanda telah mendatangkan
reaksi dari berbagai pihak. Dampak dari pengambilalihan tersebut telah
menyebabkan berakhirnya dominasi modal Belanda dalam ekonomi modern Indonesia.
Perkembangan baru ini tentu berdampak besar terhadap situasi politik dan
ekonomi saat itu.
Meskipun
demikian, tindakan pengambilalihan tidak sepenuhnya mendapatkan sambutan yang
baik. Bagaimanapun juga pengambilalihan perusahaan—perusahaan Belanda tersebut
telah dilakukan tanpa suatu persiapan yang matang. Tidak ada suatu program
terencana yang disiapkan, pengambilalihan terjadi tanpa terkendali.
Berbagai
reaksi terhadap pengambilalihan dari kalangan politisi nasional. Dalam
keterangan resminya, Perdana Menteri Djuanda menyatakan: dengan adanya
pengambilalihan hanya tersedia dua kemungkinan bagi Belanda, pertama,
menyerahkan Irian Barat dan mengadakan hubungan normal dengan Indonesia; kedua,
tetap bersikeras menduduki Irian Barat, tetapi kepentingannya di Indonesia
dilikuidasi sama sekali. Tanggapan yang diperlihatkan pemerintah Belanda adalah
sikap keras kepala. Mereka tidak menanggapi tekanan yang diberikan Indonesia
dengan serius. Di dalam negeri sendiri, tanggapan kritis terhadap
pengambilalihan datang dari Sjafruddin Prawiranegara, Gubernur BI 1953—1958,
dan Muhammad Hatta. Dengan demikian pengambilalihan perusahaan—perusahaan
Belanda pada bulan Desember 1957 telah mendatangkan banyak reaksi dari berbagai
pihak. Mereka yang tidak setuju berargumen bahwa tindakan tanpa perencanaan ini
dapat menyebabkan Indonesia terjerumus ke dalam kesulitan—kesulitan ekonomi. Di
sisi lain, di kalangan yang mendukung perusahaan—perusahaan Belanda mengatakan
sikap itu merupakan upaya mendapatkan kemerdekaan secara ekonomi yang pada
tahun 1945 hanyalah berupa kemerdekaan politik.
Dampak
pengambilan perusahaan—perusahaan Belanda, secara umum menurunkan tingkat
ekspor-impor karena kesukaran—kesukaran dalam menangani perusahan—perusahaan
besar. Akibat yang lebih parah adalah mengakibatkan kekacauan dalam bidang
ekonomi karena tidak adanya program yang terencana. Contohnya adalah
pengambilalihan perusahaan KPM yang membawa dampak ekonomi yang luas dan
mendalam.
Semua permasalah yang
berkaitan dengan pengambilalihan itu masih ditambah lagi oleh protes keras para
pengusaha Belanda yang perusahaannya diambil alih. Para pengusaha mendesak agar
hak milik mereka diberi ganti rugi. Departemen Luar Negeri menjawab dengan
menyatakan bahwa yang dilakukan tidaklah berarti penyitaan atau nasionalisasi.
Sedangkan tindakan yang dilakukan adalah sesuai dengan peraturan keadaan
darurat perang yang berlaku. Dengan melihat kekacauan ekonomi yang terjadi
sebagai akibat dari pengambilalihan perusahaan—perusahaan Belanda, pemerintah
mencarikan jalan keluarnya yakni dengan cara mendirikan perusahaan—perusahaan
baru milik negara yang diharapkan akan berfungsi untuk mewakili kepentingan
rakyat.
Dengan diambilnya
keputusan menasionalisasikan perusahaan—perusahaan Belanda selanjutnya muncul
dua masalah yang harus segera dipecahkan. Pertama, masalah
perusahaan—perusahaan mana saja yang patut dinasionalisasikan; kedua, masalah
pembayaran ganti rugi. Dalam memutuskan perusahaan—perusahaan Belanda mana yang
patut dinasionalisasikan, sebagian masyarakt berpendapat agar nasionalisasi
dibatasi pada perusahaan—perusahaan Belanda yang dianggap vital bagi
kepentingan negara dan rakyat banyak. Sedangkan untuk masalah ganti rugi,
sebagian besar masyarakat berpendapat dan pemerintah sepakat bahwa selayaknya
ganti rugi akan dilakukan setelah tercapainya kesepakatan penyelesaian Irian
Barat. Karena beragamnya bidang usaha perusahaan—perusahaan Belanda yang
diambil alih, maka pemerintah kemudian membentuk badan koordinasi dengan tugas
membina perusahaan—perusahaan yang sudah diambil alih yakni BANAS yang di
dalamnya bernaung empat badan usaha dalam bidang farmasi, perkebunan,
perdagangan, dan industri & tambang.
Dalam perubahan
tersebut, pemerintah mengharapkan kepentingan umum aka dapat lebih terlayani.
Perusahaan-perusahaan itu tidak digerakkan oleh motif mencari keuntungan, namun
lebih didorong oleh fungsi sosial untuk dapat meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Dengan demikian,
pelaksanaan nasionalisasi yang secara resmi diberlakukan perusahaan—perusahaan
Belanda yang telah diambil alih mengakhiri peran istimewa Belanda dalam
perekonomian Indonesia. Dapat dikatakan dominasi Belanda dalam perekonomian
Indonesia telah berakhir sejak diberlakukannya Undang—Undang Nasionalisasi
No.86 tahun 1958.
banyak perusahaan Belanda dinasionalisasi tahun 1950an
BalasHapus👙
BalasHapus