LEBARAN
Muhammad Ridho Rachman (0806343973)
Azan subuh pertama di bulan Syawal
terdengar berkumandang, biasalah, itu suaranya pak Khomsin, insinyur yang juga
fasih melantunkan azan. Di rumah orang-orang masih tertidur karena semalam asik
begadang menyambut kedatangan Hari Raya Idul Fitri. Tapi mendengar azan, ibu
paksakan dirinya bangun. Perlahan ia menuju dapur, menyalakan kompor sebelum
bergegas mengambil wudu untuk solat subuh. Ia hendak masak air dan memanaskan
sayur godok buatannya kemarin sore. Baiknya beliau, begitulah kesehariannya.
Setelah azan, takbiran kembali menghiasi
langit-langit masjid yang masuk ke dalam rumah-rumah di sekitarnya. Sahut
menyahut terdengar oleh spiker-spiker masjid di kesunyian pagi. Di rumah ibu
sedang merapikan mukena yang ia gunakan solat kemudian ke dapur mematikan
kompor. Keempat anaknya masih terlelap langsung ia bangunkan satu per satu.
Agak sulit membangunkan mereka lantaran tidurnya yang terlalu larut. Tapi
mereka pun bangun dan mandi bergantian. Terbersit pikirannya pada kedua anaknya
yang telah menikah dan pisah rumah dengan kami. Ia hilangkan pikiran itu dan
kembali ke dapur untuk buat air teh dan menyiapkan piring makan untuk mereka
sarapan.
Suara takbir terus terdengar, apalagi dari
masjid Al-Akhyar di depan rumah. Anak-anak ibu telah rapi setelah menunaikan
solat subuh. Disuruh mereka sarapan sebelum berangkat menuju masjid. Ternyata
ibu belum mandi. Ia yang bangun pertama malah sibuk mengurusi orang lain sedang
ia sendiri masih mengenakan baju lusuh yang gunakan tidur semalam. Ia menyuruh
anak perempuannya untuk membawa dua sejadah dan mukena, yang satu untuk ibu.
Bukan suara insinyur Khomsin yang
terdengar, sepertinya ia digantikan orang lain setelah cukup lama bertakbir.
Pasti kelelahan. Di rumah, empat anak ibu telah berangkat ke masjid bersama.
Tinggal ibu di rumah. Lantas ia mandi kemudian berangkat ke masjid. Namun,
masih sempat ia merapikan kue-kue di atas meja tamu sebelum mengunci rapat
rumah dan meninggalkannya.
Anak-anak ibu telah sampai duluan ke
masjid. Ani, anaknya yang perempuan menggelar dua sejadah yang posisinya
bersebelahan. Yang satu ditempatinya dan satu lagi untuk ibu yang masih di
rumah. Ketiga anak laki terpisah karena ketika mereka datang masjid sudah
banyak orang.
Tak lama ibu di jalan, tiba ia di masjid
kemudian mencari Ani yang berada di pojok kanan barisan sesuai dengan
perintahnya sebelum Ani berangkat duluan. Ibu cepat menemukan Ani yang sudah
rapi dengan mukena merah muda. Mudah sekali dicarinya.
Sinar matahari perlahan telah menembus
jendela-jendela masjid. Tepat jam setengah tujuh solat ied dimulai setelah
bilal masjid berkumandang. Solat ied dilanjutkan dengan ceramah yang diakhiri
dengan doa oleh kotib.
Seluruh jamaah saling bersalaman meminta
maaf dan memberi maaf dengan haru. Namun, ibu tak lama bersalaman. Ia bergegas
kembali ke rumah sebelum anak-anaknya datang. Ani ikut ibu. Sesampainya, ibu
ganti pakaian yang akan ia gunakan untuk pergi lebaran di hari pertama.
Tak ada sungkeman dalam kebiasaan keluarga.
Ibu menunggu di depan pintu rumah ketiga anak-anaknya yang belum datang. Haru
sekali melihat ketiga anaknya mencium tangan, pipi, dan memeluk ibu satu per
satu. Air mata menetes dari mata mereka terutama ibu yang sulit sekali
dibayangkan apa yang ia rasakan.
Di hari raya yang ketiga tampaknya mereka
tak lagi menangisi kepergian sosok seorang kepala keluarga. Mereka tinggal
menunngu kedua anaknya yang tinggal jauh sebelum berangkat ke rumah sanak
saudara.
Di umurnya yang sudah setengah abad ini,
semangat lebaran ibu terasa berbeda. Ia tidak lagi disibukan memilih-milih baju
yang akan dikenakannya di hari-hari lebaran. Uang yang biasa diberikan anak
pertamanya untuk membeli pakaian tidak ia gunakan. Tak satu potong pakaian pun
dibelinya. Ia habiskan untuk membeli kue-kue hantaran lebaran.
Suara motor anak pertamanya terdengar
memasuki rumah. Benar, anak bersama menantu dan cucu pertamanya datang. Bersalaman,
berpelukan, dan sujud mencium kaki seorang perempuan yang telah membesarkannya
selama tiga puluh tahun lebih. Berlinangan lah air pada mata seluruh keluarga.
Begitu mendalam bakti seorang anak pertama dan bangganya seorang ibu terhadap
anak pertamanya.
Anak kedua ibu pun datang dengan istri dan
anak laki-laki yang masih berumur tiga tahun. Tak kalah mengharukan, eratnya pelukan,
ciuman, dan sujud mencium kaki seorang perempuan yang tak lelah-lelah mengasuh
sampai anak keduanya beranak satu.
Air mata terus saja mengalir apalagi ketika
ibu menyampaikan keinginannya. Beliau sangat senang dan bersukur melihat
anak-anaknya kumpul tanpa ada pertengkaran lagi menghiasi seperti sebelumnya.
Ia sudah tidak ingin baju, sepatu, dan make up seperti tahun-tahun sebelumnya.
Ia hanya ingin melihat semua anaknya kumpul dan hidup rukun satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar