SHALAWAT RODAT
Oleh : Muhammad Ridho
Rachman (0806343973)
Datangnya agama Islam
secara langsung telah mengganti sistem-sistem
yang telah ada di suatu wilayah, tidak terkecuali di Indonesia. Menurut
Ahmad Fadli dalam tesisnya, [1]Di
Indonesia-dan Asia Tenggara pada umumnya-Islam masuk bermazhab Imam Syafii
beraliran Ahli Sunnah wal Jamaah yang cenderung lebih toleran dan inklusif
serta menghargai budaya dan tradisi lokal.
Percampuran nilai-nilai
kebudayaan lokal dengan ritual keagamaan menghasilkan suatu kemasan baru yang
berbeda dari tempat asal agama Islam di Timur Tengah. Dengan mengenyampingkan
alasan puritansi nilai sebuah agama, pengadaptasian nilai budaya lokal terhadap
agama Islam memang menggambarkan jelas bagaimana sebenarnya tingkat intelektualitas
suatu masyarakat dalam berbudaya.
Peringatan
maulid Nabi Muhamad SAW merupakan perayaan meriah yang di selenggarakan
masyarakat di Indonesia. Acara mengenang hari kelahiran dan kematian dilaksanakan
dengan cara yang berbeda dengan di wilayah asalnya, Timur Tengah. Bahkan di
beberapa wilayah asal Islam, tidak ada perayaan terhadap hari kelahiran
pemimpin agama Islam tersebut.
Banyak
sekali cara-cara yang dilakukan yang pada intinya perayaan maulid merupakan
kegiatan mengenang sosok Nabi Muhammad dengan membaca kitab-kitab yang berisi
kisah hidup Nabi. Namun, cara-cara yang berbeda dilakukan masing-masing wilayah
sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Ada beberapa jenis perayaan yang
dilakukan masyarakat yang berhasil penulis dapatkan, Sholawat Montro yang
berasal dari daerah Bantul, Sholawat Jawi dari daerah Pleret dan juga di daerah
Bantul, Sholawat Maulud, dan Sholawat Rodat dari daerah Jejeran, Wonokromo dan
juga Bantul. Dalam tulisan ini akan dijelaskan mengenai kesenian Sholawat Rodat
yang ternyata tidak hanya ada di wilayah Yogyakarta, namun juga ditemukan di
daerah Palembang.
Rodat merupakan salah satu
kesenian tradisi di kalangan ummat Islam. Kesenian ini berkembang seiring
dengan tradisi memperingati Maulid Nabi dan hari-hari besar Islam lainnya di
kalangan umat Islam. Kesenian ini menggunakan syair atau syiiran berbahasa arab
yang bersumber dari Kitab Al-Berzanji, sebuah kitab sastra yang masyhur di
kalangan ummat Islam. Isi dari shalawat rodat adalah bacaan shalawat yang
merupakan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW.
Sesuatu
yang khas dari kesenian ini ialah tarian yang mengiringi syair (yang dilagukan)
dan musik rebana yang dinyanyikan secara bersama-sama (berjamaah). Tarian ini
ditarikan dengan leyek (menari sambil duduk).
Di
Palembang sendiri Rodat ini biasanya tergabung dalam PSA (Persatuan Syaropal
Anam), di mana selain Rodat juga melakukan arakan pengantin ataupun kegiatan
kesenian islam lainnya.
Di “daerah santri” di Wonokromo, Rodat dapat dengan mudah ditemukan. Di sana
ada perkumpulan dengan nama “Lintang Songo” yang terkenal.
Menurut Sunaryo, seperti dikutip
www.purbalinggakab.go.id. “Rodat lahir pada tahun 1941. Saat
itu Makam dan Panusupan, dua desa yang berada di bawah puncak Ardi Lawet,
adalah desa-desa yang terisolir. Di antara penduduk kedua desa itu pun sulit
mengadakan komunikasi, apalagi dengan dunia luar. Para tokoh ketika itu mencoba
membuat wahana untuk berkomunikasi dengan pertunjukan yang mereka beri nama
rodat. Dengan rodat itulah penduduk kedua desa menjadi ketemu, dan terjalinlah
satu komunikasi yang akrab”.
Namun tidak diketahui secara pasti bagaimana sebuah seni musik ini juga ada di
daerah Palembang.
Rodat berasal dari kata Irodat,
salah satu sifat Allah yang berarti berkehendak. Maksud pemberian nama itu
adalah agar manusia selalu berkehendak untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ada lagi yang mengatakan ia berasal dari kata raudah, yaitu taman nabi yang
terletak di masjid Nabawi, Madinnah. Ada yang berpendapat ia berasal dari nama
alat yang dimainkan dalam kesenian ini. Alat musik tersebut berbentuk bundar
yang dimainkan dengan cara dipukul yang disebutnya tar. Dengan demikian, maka
rodat termasuk seni yang memiliki misi dakwah.
Pada zaman Jepang, kesenian rodat
sangat berperan untuk menjaga persatuan di kalangan penduduk untuk bersama-sama
melawan panjajah Jepang. Cara yang ditempuh antara lain dengan gerak dan lagu
secara simbolis. Gerak yang ditampilkan adalah "konto", yakni semacam
pencak silat, sebagai lambang perlawanan dan pembelaan diri. Di bagian lain,
lagu-lagu yang dikumandangkan adalah lagu-lagu bernuansa dakwah Islam, sebagai
penguat iman dan jati diri penduduk setempat yang memang penganut Islam taat.
Seni rodat adalah perpaduan dari
musik, tari, dan bela diri. Musik yang dimainkan terdiri atas peralatan berupa
empat buah genjring/rebana besar, kendang, bas, kecrek dan jidur/bedug
masing-masing satu buah. Alat-alat sederhana tersebut dipukul untuk mengiringi
lagu, tari maupun konto. Anggota grup rodat selain terdiri atas para penabuh
alat musik masih ditambah dengan 2 orang wiraswara, 8 orang penari, dan 2 orang
pemain konto, dan juga 2 orang badut/santri.
Pertunjukan rodat biasanya dilakukan pada malam hari, dari ba'da Isya sampai menjelang Subuh. Pada zaman dahulu, grup rodat banyak tampil di rumah-rumah penduduk yang hajatan, serta pada acara-acara yang diselenggarakan masyarakat. Penampilan rodat diawali dengan lagu pembuka yang berbahasa Arab. Lagu-lagu berikutnya selain berbahasa Arab, juga berbahasa Indonesia, bahkan ditampilkan pula lagu "ande-ande Lumut" untuk mengiringi konto.
Pertunjukan rodat biasanya dilakukan pada malam hari, dari ba'da Isya sampai menjelang Subuh. Pada zaman dahulu, grup rodat banyak tampil di rumah-rumah penduduk yang hajatan, serta pada acara-acara yang diselenggarakan masyarakat. Penampilan rodat diawali dengan lagu pembuka yang berbahasa Arab. Lagu-lagu berikutnya selain berbahasa Arab, juga berbahasa Indonesia, bahkan ditampilkan pula lagu "ande-ande Lumut" untuk mengiringi konto.
Tampilan pemain rodat biasanya
berganti-ganti, dari sekedar musik dengan wiraswara, disusul babak berikutnya
dengan penari, bahkan dengan konto. Pada saat-saat rodat beristirahat, tampil
pula badut yang akan membanyol dengan gaya mereka untuk menghibur penonton
dengan dagelan yang berisi ajakan kebaikan. Tampilan mereka diakhiri dengan
lagu penutup berbahasa Arab.
Demikianlah kesenian rodat yang
dulu sebenarnya pernah mengalami masa kejayaannya. Seiring waktu, seni ini pun
redup karena tak kuasa melawan berbagai pertunjukkan seni lainnya yang mungkin
lebih modern. Karena itu, sebenarnya, agar rodat tetap bisa bertahan dalam
kondisi apapun, maka ramuannya harus lebih modern. Yang jelas, kita sendiri
harus bisa menghargai peseni rodat dengan harga yang setimpal agar mereka pun
tidak lari ke ladang yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar