DARI MOSCOW-BEIJING KE
SOVIET-VIETNAM:
Jejakan Awal Dominasi
Uni Soviet Kepada Negara-Negara Dunia Ketiga
Muhammad Ridho Rachman,
0806343973
Tenggelamnya negara-negara fasis pasca-Perang Dunia II
mengembalikan perseteruan klasik antara dua kubu yang terpolarisasi secara
alami. Blok Amerika Serikat di Barat dan
Blok Uni Soviet di Timur bersaing memperebutkan dominasi seluas-luasnya
ke seluruh dunia. Ketegangan tanpa peperangan ini melahirnya sebuah ide baru
yang dikenal luas dengan sebutan “Perang Dingin”. Saling menunjukkan
eksistensi, penancapan pengaruh ideologi, perlombaan sistem teknologi senjata
yang tidak ada habisnya itu selesai dengan pecahnya negara Uni Soviet sebagai
pemimpin Blok Timur.
Republik Rakyat Cina (PRC) yang beraliran komunis
mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara merdeka pada tanggal 18 Agustus
1950. Pengaruh PRC di sebuah negara potensial itu menguatkan posisi Soviet sebagai
pemimpin Blok Timur. Dari peristiwa tersebut, tugas penyebaran pengaruh Komunis
dimasifkan ke Benua Kuning melalui tangan Cina yang berada di kawasan Asia.
Perubahan kekuatan di Cina yang sangat kuat
dipengaruhi cara pandang Moskow terhadap kawasan Asia Tenggara, dan sebagai
hasilnya, memaksa pimpinan Moskow memberikan perhatian lebih pada benua Asia.
Jadi, selama dekade 1950, komunis mendapatkan kemenangan di Cina dan
menjadikannya sebagai suatu negara baru yang berideologi komunis di benua Asia yang
akan memberikan pengaruh yang sangat besar di masa depan sebagai pelaksana
kebijakan-kebijakan Soviet di Vietnam.
Sebelumnya
telah ada pertemuan pada Juli 1949. Yakni beberapa saat sebelum Kemenangan
komunis di Cina, Liu Shaoqi, salah
seorang letnan kepala Mao Zedong, membuat kunjungan rahasia ke Moskow. Selama
pertemuan di Moskow, Liu dan Stalin membincangkan hubungan Moskow-Beijing dan
peran Cina di masa depan. Salah satu pembahasan di dalamnya, Stalin mengusulkan
bahwa Cina harus bertanggung jawab dalam membantu ‘kaum nasionalis dan
pergerakan revolusi demokrasi di kolonial, semi-kolonial, dan negara
subordinat. Ia menekankan bahwa Cina harus mengambil peranan lebih baik di Asia
daripada Uni Soviet.(Olsen, 2006:xv).
Bagaimanapun
juga, kebijakan Soviet pada tahun 1950-an hanya fokus pada kawasan Eropa.
Kepentingan mengenai Asia Tenggara, Soviet mendukung penuh kebijakan Cina yang
salah satunya adalah bantuan kekuatan militer dan ekonomi kepada Vietnam Utara
yang secara garis politik membentuk garis kebijakan Moscow-Beijing-Hanoi.
Dalam kerangka kebijakan luar negeri
Soviet, peran Moskow di Vietnam tergolong hanya pasif pada awal-awal tahun
kemerdekaan, didikte oleh hubungannya dengan Cina. Namun, kebijakan-kebijakan
Soviet membuat Vietnam tergelincir secara khusus ke dalam pengaruh Cina.
Kesimpulan umum adalah bahwa walaupun rendah kepentingan Soviet pada kawasan,
Moskow memiliki pengaruh yang tinggi pada komunis Vietnam dan bahwa Hanoi tidak
akan membuat suatu keputusan untuk melanjutkan perjuangan bersenjata untuk
mereunifikasi Vietnam kecuali kalau sudah mendapat persetujuan Soviet dahulu.
Pada pidato dalam acara pendirian Communist Information Bureau (Cominform)
pada September 1947 di Polandia, Andrei Zhdanov mengenalkan tesis yang disebut
dengan “Dua Kamp”. Ia membagi dunia
ke dalam dua kamp, imperialis di bawah Amerika Serikat dan Anti-Imperialis,
sosialisme, dan damai. Dalam konteks DRV diasosiasikan dengan kamp
Anti-Imperialis, dan perang Vietminh dimasukkan ‘pergerakan pembebasan nasional
dari koloni dan ketergantungan’. Pidatonya tersebut merupakan suatu titik yang
menentukan dalam strategi pasca PD II. Hal itu menyatakan suatu kebijakan yang
menentukan oleh Stalin dan Komite Pusat CPSU dan sekiranya telah membangun
persekutuan internasional selama Perang Dingin. (Olsen, 2006:5)
Sumber Soviet menjelaskan bagaimana
pertemuan pertama antara pemerintah Soviet dan Vietnam pada awal musim semi
1947. Dari 23 Maret sampai 2 April pada acara Asian Relation Conference di New
Delhi. Pada acara tersebut Soviet bertemu dengan Tran Van Giau, mantan Kepala
Revolusi Agustus di Saigon dan Vietnam Selatan, yang memimpin delegasi Vietnam
pada konferensi tersebut. Tran
menjelaskan situasi bencana di Vietnam dan permintaan dari Ho Chi Minh
untuk bantuan Moskow. Ia menekankan bahwa masalah utama adalah kekurangan
senjata. Pemerintah Vietnam terutama sekali membutuhkan uang untuk membeli
senjata Cina.
Di sisi lain, masalah bagi Cina adalah
pemimpin Beijing membutuhkan kontrol terhadap seluruh suplai yang dikirim ke
DRV melalui perbatasan Cina. Cina meminta terutama sekali kontribusi besar
terhadap penundaan kedatangan bantuan Soviet ke DRV. Penundaan tersebut menjadi
jelas sekali terutama pada Maret 1956 ketika pemimpin DRV, mempercepat transfer
militer ke Vietnam, khususnya meminta dengan menggunakan bantuan udara. Moskow
setuju tapi Beijing menolak proposal tersebut. Kemudian diadakan pembicaraan
antara Cina dan Soviet yang pada prinsipnya, Cina setuju-setuju saja dengan
bantuan yang diberikan Soviet tapi mereka ‘mungkin tak menyetujui cara yang
dilakukan Soviet’. Pham Van Dong juga menambahkan bahwa ia mendesak adanya
negosiasi militer antara Soviet dan Cina mengenai pengangkutan senjata
menggunakan kereta api. Kemudian, Moskow secara jelas berbalik haluan mengenai
pandangannya bahwa harus membantu DRV untuk melawan agresi Amerika. Masalah
utama sekarang adalah bagaimana menyusun bantuan yang cukup untuk DRV ketika
pada saat yang sama menjaga alasan yang masuk akal untuk menjaga hubungannya
dengan Cina.
Satu
sisi Cina setuju dengan kebijakan Soviet yang berbalik haluan dan keputusan
mereka membantu Vietnam, namun di sisi lain Cina segan dalam mengakomodir
Soviet dalam memberikan bantuannya kepada DRV. Mereka merasa segan ketika
suplai senjata Soviet melewati teritori Cina. Permasalahan dimulai pada
Februari 1965 saat pasokan senjata Soviet tertahan di perbatasan Sino-Soviet.
Untuk menyelesaikan masalah ini, ambasador Shcherbakov menyampaikan masalah ini
ke Perdana Menteri Pham Van Dong, dan ia berjanji akan menyelesaikan itu
tersebut.
Pemimpin
DRV berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi, mereka sangat membutuhkan
bantuan Soviet, di sisi lain, kasus Sino-Soviet membuat hubungannya dengan Cina
menjadi rumit, dan mencegah bantuan Soviet mencapai Vietnam.
Menurut Gaiduk, setelah Konferensi Jenewa,
Soviet berkeinginan kuat untuk ikut campur dalam permasalahan di Vietnam
melalui sekutunya Cina. Dengan kata lain, membuat Cina sebagai agen Soviet di
Asia. Bagaimanapun juga, akhir tahun 1950-an mendapati situasi Vietnam yang
sangat sulit. Pemimpin Soviet menjanjikan bantuan militer kepada pimpinan
Vietnam Selatan dalam usaha untuk mempersatukan seluruh Vietnam.
Satu tahun setelah Jenewa, Soviet fokus
pada dua isu utama di Vietnam: pertama, rekonstruksi ekonomi sosial DRV, yang
dalam hal ini, membangun sosialisme di Vietnam bagian selatan. Yang kedua,
reunifikasi di antara dua zona di masa yang akan datang. Rakyat Vietnam diyakinkan
bahwa Soviet, dan juga Cina, membentukkan suatu model yang dibutuhkan Vietnam
untuk membangun negara dan ekonomi. Kemudian Soviet mengenalkan rencana tiga
dan lima tahun untuk ekonomi DRV sesuai dengan model Soviet. Hal itu menjadi
bukti bagaimana ideologi akan memainkan peranan sebagai bagian dari hubungan
Soviet-Vietnam.
Tahap baru dalam hubungan Soviet-Vietnam
dimulai tahun 1956. Kongres ke-20 Partai Komunis Soviet memberikan akibat
secara langsung dan tidak langsung bagi hubungan keduanya. Efek yang paling
jelas terlihat adalah direfleksikan dalam pembukaan garis kebijakan luar negeri
baru Uni Soviet. Di dalamnya ditekankan kembali selama kongres, sebuah
kebijakan luar negeri yang baku dengan menekankan pada ‘peaceful coexistence’
(hidup damai secara berdampingan) yang menyebabkan alasan utama di samping
kebijakan Soviet yang tidak tegas pada implementasi politik berdasarkan
Persetujuan Jenewa. Efek tidak langsung adalah implikasi ideologi yang membuka
kesalahan-kesalahan Stalin selama kongres dan itu merefleksikan pada hubungan
Sino-Soviet.
Satu pondasi utama hubungan Soviet-Vietnam
adalah memfungsikan hubungan ekonomi dan militer Sino-Soviet. Walaupun dengan
menandatangani beberapa kesepakatan ekonomi dan militer di antara Uni Soviet
dan DRV, para pemimpin Soviet cenderung untuk meninggalkan sebagian besar
bantuan ke Cina.
Ditutupnya hubungan di antara Soviet dan
Cina di Vietnam selama paruh kedua tahun 1950-an menimbulkan masalah yang
sangat besar. Pertanda awal keretakan hubungan antara Moskow dan Beijing
dimulai saat Ho Chi Minh membangun hubungan secara langsung dengan Uni Soviet.
Hal itu membuat ia berhasil menjaga keseimbangan pengaruh yang diberikan pada
kedua negara tersebut yang tengah mengalami percekcokan ideologi.(Jstor.org,
Chen, 2010:1035). Walaupun pemimpin Vietnam secara pandangan politik semakin
dekat ke arah Soviet, dalam isu pertentangan ini serta konsentrasi penuh kepada
masalah perjuangan Vietnam—interpretasi mengenai peaceful
coexistence—mengindikansikan kesepakatan dengan Cina. (Keleman, 1984:336)
Penambahan kekuatan militer dan pengaruh
politik Soviet di Vietnam menggambarkan tren umum hubungan Soviet-Dunia Ketiga.
Walaupun dalam teknologi persenjataan, Soviet kalah dari negara-negara Barat,
penanaman bantuan ekonomi yang kuat kepada negara Dunia Ketiga membuatnya berhasil
dalam mentransfer pengaruh politik. Pengaruh ini sangat terlihat pada Vietnam,
di mana negara tersebut sangat bergantung dalam bidang ekonomi dan militer
kepada Soviet. Suplai senjata menjadi instrumen dalam pembangunan ekonomi yang
kuat dalam hubungan kedua negara tersebut. Hal ini terlihat dalam perkembangan
Veitnam selanjutnya, ketika negara ini masuk dalam organisasi COMECON pada
tahun 1978. Organisasi bentukan Soviet yang membantu negara berkembang dalam Blok
Soviet. Organisasi yang dibuat Stalin pada tahun 1949 dalam menyaingi Marshall
Plan bentukan Amerika. (Olsen, 2006:45).
Daftar
Pustaka
Chen, King North Vietnam in the
Sino-Soviet Dispute, 1962-64 2010 Journal Digital Publishing
Olsen, Mari. 2006. Soviet-Vietnam Relations and The Role of China,
1949-64. New York: Routledge.
Kelemen, Paul. 1984. Soviet Strategy in Southeast Asia: The Vietnam
Factor. University of California Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar