PELABUHAN
CIREBON DAN JALUR SUTERA
Suatu
Kajian Aspek Perdagangan Nusantara Masa Klasik
Disusun
Oleh: Muhammad Ridho Rachman (0806343973)
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA
KULIAH
SEJARAH
EKONOMI INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS
INDONESIA
DEPOK
2010
1.
PENDAHULUAN
Sebelum kedatangan bangsa Barat, kegiatan
perdagangan di wilayah kepulauan Nusantara telah berkembang menjadi wilayah
perdagangan internasional. Jalur perdagangan darat dimulai dari Cina (Tiongkok)
melalui Asia Tengah, Turkestan sampai ke Laut Tengah. Jalur ini juga
berhubungan dengan jalan—jalan kalifah dari India. Jalur ini terkenal dengan
sebutan “Jalur Sutera”. Penamaan ini menurut Sedyawati, dkk (1993) didasarkan
pada kenyataan bahwa selain sutera yang menjadi komoditi penting, juga penamaan
ini bermakna figuratif yang melambangkan jalinan—jalinan lembut (selembut
sutera) dari hubungan budaya yang senatiasa terjadi mengikuti jalannya
pedagangan tersebut. Sejauh ini, jalur perdagangan lewat darat inilah yang
merupakan jalur tertua yang menghubungkan Cina dengan Eropa.
Jalur perniagaan melalui jalur laut juga dimulai
melalui Laut Cina Selatan, Calicut (India), lalu ke Teluk Persia, melalui Syam
sampai ke Laut Tengah; atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut
Tengah (Iskandar: 2005). Bertambahnya varian jalur yakni melalui jalur laut
merupakan hasil modernisasi yang berkembang pada masanya dan merupakan pilihan
bijak menghindari kerasnya iklim darat dan perampokan pedagang di jalan, walau
nantinya modus perampokan juga berkembang dengan istilah perompak atau bajak
laut. Jalur laut dikenal dengan sebutan “Jalur Sutera” juga. Suatu jalur yang
dalam bahasa Inggris disebut Silk Road yang antara tahun 1988—1997 menjadi
program UNESCO dalam rangka Pengembangan Kebudayaan yang turut diprakarsai oleh
Indonesia (Lapian: 1996). Singkatnya Silk Road menjadi suatu kajian penting
dunia yang mencoba digali oleh UNESCO demi menjaga peninggalan suatu peradaban
besar dunia kala itu.
Perjalanan menuju Eropa dari Laut Cina tidak bisa
tidak, pasti melintasi suatu perairan di Asia Tenggara. Perjalanan bolak—balik
antara Cina—Eropa menyentuh suatu “dunia kecil” di kawasan itu yang telah
bergulat lama dengan laut yang menghubungkan antarpenduduknya, walau hanya menyusuri pantai antarpusat pemerintahan
(kerajaan). Teknologi perkapalan dan pengetahuan navigasi sederhana telah
diketahui oleh penduduk kawasan tersebut.
Menjadi tempat persilangan jaringan lalu lintas yang
menghubungkan benua Barat dan benua Timur membuat wilayah ini bergeliat dan
menanggapinya dengan respon positif. Kajian konfrehensif telah dilalukan oleh
J.C van Leur dalam disertasinya mengenai perdagangan Asia Tenggara masa awal
sampai keterlibatan VOC. Ia menemukan bahwa perdagangan di masa itu lebih
banyak bersifat perdagangan barang—barang lux, dengan kata lain volume barang
kecil namun bernilai tinggi (pedlling trade). Teorinya kemudian disanggah oleh
Meilink-Roelofsz dengan Bulk Trade-nya
(1962) yang kemudian diperkuat oleh Manguin yang mengatakan bahwa pada masa
awal itu sudah ada kapal—kapal Asia Tenggara yang berukuran besar. Namun, dalam
tulisan ini tidak akan membahas hal itu lebih jauh.
Letak geografis kepulauan Indonesia yang berada
dalam jalur pelayaran dan perdagangan dunia membuat laut, selat, dan pulau—pulau
yang berada di sekitar Selat Karimata dan Selat Malaka menjadi tempat
persinggahan kapal dagang dari berbagai penjuru dunia. selain itu yang menarik
kedatangan bangsa asing ke kepulauan Nusanatara adalah hasil produk yang
terkenal sebagai mata dagangan ekspor yang sangat laris di pasaran adalah
cengkeh, pala, bunga pala, kayu cendana, dan lada (Didik: 2001)
Jalur Sutera dengan rute lalu lintas melalui Laut
Tengah, Samudera Hindia, dan Laut Cina Selatan meramaikan jalur pelayaran Selat
Malaka. Pada konteks inilah muncul Kota Pasai yang terletak di ujung Pulau
Sumatera yang berperan sebagai Bandar niaga dalam jaringan perdagangan
tersebut. Pasai sebagai Kerajaan Islam mulai memainkan peranan penting yang
menghubungkan Malaka, Jawa, dan Kejaan—kerajaan Islam lainnya. Perkembangan
lebih lanjut ialah bermunculannya kota—kota di Jawa, termasuk di dalamnya kota
pelabuhan Cirebon yang aktif memainkan peranan penting terutama di dunia
perdagangan. Kota Cirebon yang terletak di tepi sungai merupakan pelabuhan yang
baik sebab dapat dilayari kapal—kapal besar sampai jauh ke pedalaman. Di daerah
pedalaman dihasilkan beras dan bahan pangan lainnya sebagai komoditi ekspor,
ditambah pula dengan pemerintahan yang stabil mendorong Cirebon sebagai salah
satu kota pelabuhan yang penting tempat berkembangnya perdagangan, agama, dan
kebudayaan.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menemukan
faktor—faktor yang mendukung terbentuknya Cirebon sebagai kota pelabuhan di
Jalur Sutera peran aktif masyakatnya dalam mendukung pelabuhan Cirebon dalam
meramaikan hubungan dagang internasional dilihat dari sejarah pertumbuhan
masyarakat dan kawasan.
2.
ISI
Cirebon sebagai
Pelabuhan
Pelabuhan bukan hanya sempat untuk berlabuh,
melainkan juga, sebagaimana terkandung dalam kata bandar, tempat berkumpul
untuk berdagang. Istilah dalam bahasa Inggris, seperti harbour mengacu kepada
fungsinya sebagai tempat berlindung atau berteduh, sedangkan kata port melihat
peranan pelabuhan sebagai pintu gerbang, tempat kapal dan perahu keluar masuk.
Dengan kata lain pelabuhan merupakan penghubung antara dunia seberang laut
dengan daerah pedalaman (Lapian:LIPI). Cirebon memang sebuah kota yang tidak
bisa dilepaskan dari citranya sebagai Kota Pelabuhan. Sejak awal sekali,
kehidupan “perairan” sudah melekat dengan kota ini. Adapun cikal—bakal kota
Cirebon berawal dari abad kelima sejalan dengan dicanangkannya program
pembangunan sungai—sungai di seluruh Jawa Barat oleh Purmawarman. Program
pembangunan itu berupa memperkokoh, memperlebar, dan memperdalam sungai yang
dilakukan oleh seluruh masyarakat sebagi karya bakti. Pelaksanaannya dimulai
dengan memperkokoh pinggiran Sungai Gangga di wilayah Indraprahasta (Cirebon
Girang) tahun 332 Saka (411 Masehi).
Dimulai dari ketertarikan pihak Cina dengan
pelabuhan Cirebon. Hal ini terlihat mercusuar buatan mereka. Kemudian mereka
membuat perwakilan dagang Cina untuk Nagari Singapura (pelabuhan yang terletak
di Teluk Cirebon). Pembukaan ini memang didasarkan pada kenyataan bahwa Cirebon
merupakan pelabuhan yang ramai.
Keramaian itu tentu saja tidak terlepas dari
perkembangan perdagangan internasional, khususnya yang berhubungan dengan
“Jalur Sutera” lautan. Hal itu menemui bentuknya dalam sistem transportasi
laut, setelah sistem pelayaran laut yang lebih baik ditemukan (mengenal
perkembangan, lebih jauh lihat sejarah
nasional Indonesia jilid III). Yang jelas faktor ekonomi ini yang menjadi
motivasi yang kuat dibukanya pusat—pusat perdagangan baru, seperti dijelaskan
oleh Sedyawati, dkk. (1992:2) berikut ini:
“Sudah
sejak lama terjadi perdagangan antara kawasan dunia Barat dan Timur. Para
pedagang yang melintasi berbagai negara menempuh beribu—ribu mil, didorong
untuk memperoleh barang—barang dagangan dari negeri—negeri jauh, yang dinilai
amat berharga. Bagi orang—orang Eropa, daya tarik utama dari dunia Timur adalah
sutera dan rempah—rempah. Berbagai jalan yang ditempuh untuk menghubungkan
Timur dengan Barat dalam upaya perdagangan itu. Jalan darat melintasi dataran
Asian ditempuh dengan kuda (untuk daerah padang rumput) atau unta (untuk daerah
padang pasir), sedangkan jalan laut melalui Laut Tengah, Samudera India, dan
Laut Cina Selatan ditempuh dengan kapal…”
Dengan ditemukannya jalur sutera lewat laut, maka
muncul pelabuhan—pelabuhan baru sebagai psaut—pusat perdagangan yang membentang
dari Cina sampai ke Eropa. Di nama Nusantara termasuk ke dalam jaringan
perdagangan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan melalui sumber sejarah Majapahit
yang berasal pada masa Hayam Wuruk yang menyebutkan 33 tempat yang dinamai nusa
(artinya temmpat—tempat di sisi laut) dan 47 tempat yang disebut
“naditirapradesa” (artinya tempat—tempat di sisi sungai) yang berperan sebagai
pangkalan dalam jaringan lalu lintas air (Pigeaud, 1960: 108—112; Sedyawati,
1985: 350). Begitu juga dengan Cirebon, letak geografisnya di daerah pesisir
pantai Pulau Jawa tentu saja termasuk ke dalam mata rantai dalam perdagangan
internasional (jalur sutera) pada masa itu.
Tak dapat disangkal lagi bahwa Cirebon merupakan
pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarbangsa. Lokasinya
di antara Jawa Barat dan Jawa Timur membuatnya berperan sebagai jembatan antara
kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas.
Terbentuknya Cirebon tidak dapat dipisahkan dari
sejarah pesisir utara Pulau Jawa secara keseluruhan. Cirebon tidak hanya
mempunyai hubungan dengan Demak, Banten, Tuban, dan Gresik, melainkan juga
dengan bandar—bandar seberang lautan seperti Pasai dan Campa. Hal tersebut
berkaitan erat pula dengan sejarah persebaran agama Islam dan peranan Cirebon
dalam hal itu di Jawa Barat. Berkenaan dengan persebaran Islam itu tokoh Sunan
Gunung Jati yang bersemayam di Cirebon, yang juga mendirikan kerajaan Banten,
menduduki peranan sentral, baik sebagai tokoh yang memimpin perkembangan
politik di kawasan ini.
Sejarah kota Cirebon inherent dengan sejarah
sosialisasi Islam di wilayah Jawa Barat, Nusantara, dan Asia Tenggara, dimana
hampir seluruh wilayah tersebut, sekaligus menjadi perferi dan imbasan
perdagangan internasional jarak jauh (Jalur Sutera).
Hubungan Pelabuhan
Dengan Pedalaman
Kota—kota dagang biasanya berperan sebagai pusat
ekonomi di wilayahnya, denga fungsinya sebagai jalur ekspor-impor ke daerah
pedalaman terpencil, yang dihubungkan dengan jalan sungai dan darat. Hal ini
sejalan dengan pendapa T.D. Sudjana (1995) yang mengatakan bahwa terbentuknya
pelabuhan sangat dimungkinkan dengan adanya kebutuhan: jasa angkutan, berkenaan
dengan adanya arus perdagangan melalui transportasi kelautan.
Adanya hubungan timbal-balik itu membuat pelabuhan dan
pedalaman pada posisi saling membutuhkan. Untuk itulah dimana sarana dan
prasarana transportasi dibangun agar memudahkan arus barang baik dari pelabuhan
maupun ke pelabuhan.
Wilayah Cirebon memang didukung oleh wilayah
pedalaman yang dapat diandalkan sebagai pemasok bahan—bahan pertanian. Daerah
pedalaman yang mengelilingi Cirebon merupakan wilayah penyangga yang tanahnya
subur dan terdiri atas dataran rendah, dataran tinggi, bahkan beberapa buah
gunung berapi, seperti Gunung Ciremai, Gunung Tampomas, dan Gunung Sawal. Dari
wilayah ini dihasilkan produksi pertanian dalam jumlah besar, seperti
sayur—mayur, buah—buahan, macam—macam daging serta terutama padi dan indigo.[1] Dari berbagai catatan
sejak abad ke-15 sampai awal abad ke-20 ternyata komoditi ekspor yang paling
banyak yaitu gula, beras, kopi, dan indigo.[2]
Dari produksi pertanian yang berasal dari daerah
pedalaman ini, Cirebon menjadi pelabuhan yang ramai sebab bahan—bahan pertanian
ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat internasional. Kenyataan ini menjadikan Cirebon
terkenal sebagai salah satu penghasil beras di Jawa. Semua itu bisa dilihat
dari tulisan Uka Tjandrasasmita (1996), ia mengatakan bahwa Cirebon sudah
menjadi bandar dagang yang terkenal di Pulau Jawa pada masa pra-Islam, dimana
waktu itu masih di bawah kekuasaan kerajaan Sunda Padjajaran. Dan mengalami
masa pertumbuhan dan perkembangannya pada masa Kerajaan Islam yakni pada
kisaran abad ke-17. Bandar Cirebon masuk dalam perdagangan dunia melalui Sunda
Kelapa dalam catatan harian (Dagh Regioster) dari abad tersebut.
Dengan banyaknya para pedagan dari mancanegara ke
Pelabuhan Cirebon, tentu saja banyak pula barang—barang yang berasal dari luar
masuk ke Cirebon. Barang—barang itulah yang sangat dibutuhkan masyarakat di
wilayah pedalaman sebab masyarakat pedalan tidak memproduksi barang—barang
tersebut. Adapun barang—barang tersebut meliputi: barang—barang yang asing dan
menarik, yang pasti barang—barang itu belum dapat diporduksi oleh masyarakaat
pedesaan, seperti logam besi, emas, dan perak. Serta tekstil halus seperti
sutera dan barang—barang keramik halus. Di samping barang—barang impor, ada
juga barang—barang produksi khas daerah pantai yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat pedalaman, yaitu garam, terasi, dan ikan asin.
Perkembangan Cirebon sebagai kota pelabuhan didukung
oleh sistem pemerintahan yang cukup baik, serta adanya jalan—jalan darat
meskipun kondisinya belum tentu baik. Jalan darat yang menghubungkan
Cirebon dengan daerah—daerah di
pedalaman itu mungkin telah dibuat sejak masa kekuasaan Kerajaan Padjajaran.
Jaringan darat yang sudah ada ditambah lagi dengan adanya jalur transportasi
sungai yang menghubungkan pusat—pusat ekonomi yang mendorong para petani,
pedagang, dan pengrajin untuk meningkatkan aktivitas mereka. Kegiatan para petani
dan pengrajin mengikuti perkembangan perdagangan di pelabuhan. Pantaslah bila
dikatakan bahwa Cirebon merupakan sebuah kerajaan maritim yang juga sekaligus
kerajaan agraris.
Sarana Transportasi
Sarana yang paling menunjang dalam aktivitas
perniagaan adalah alat transportasi. Mengenai alat transportasi itu, para
antropolog memperkirakan bahwa perahu (alat transpotasi air yang paling
sederhana) sudah dipergunakan manusia
sejak kurang lebih 25.000 tahun yang lalu, ketika manusia purba dari dataran
Asia Tenggara bermigrasi menyebar ke pulau—pulau di selatan sampai ke Irian,
Australia, dan pasifik.
Masyarakat Cirebon memiliki tradisi maritim yang
kuat. Posisinya di jalur perdagangan internasional yang menghubungkan jaur
perniagaan Malaka dan Maluku mendorong Cirebon menjadi pelabuhan transito.
Keadaan ini didukung oleh kondisi masyarakatnya yang telah memiliki tradisi
maritim yang bentuknya berupa teknologi pembuatan perahu. Kemampuannya
melahirkan berbagai jenis perahu seperti perahu layar, perahu bercadik, perahu
lesung, dan rakit. Pengetahuan, kemahiran, dan pengalaman mereka telah dapat
mengusai kesukaran alam laut sehingga perahu—perahu yang dihasilkan bentuknya
disesuaikan dengan jenis keperluannya. Jenis perahu menangkap ikan di pesisir
pantai dan di muara—muara tentunya berbeda dengan perahu-perahu yang digunakan
di laut yang dalam. Begitupun, untuk jenis perahu sebagai alat pengangkut
barang dan penumpang jarak dekat berbeda dengan eprahu untuk pelayaran jarak
jauh.[3]
3.
PENUTUP
Terbentuknay dan berperannya Cirebon sebagai bandar
niaga tidak terlepas dari perkembangan dunia internasional, yang disebabkan
oleh motif ekonomi, politik, dan agama (walaupun dua aspek terakhir tidak
dijelaskan secara konfrenesif). Ketiga unsur itu membentuk suatu formula yang berperan
sebagai prime mover yang melandasi
prilaku dan aktivitas setiap bangsa. Motif ekonomi mendorong bangsa untuk
mencari komoditas yang bernilai tinggi, tidak peduli sejauh apa pun keberadaan
komoditas itu. Hasrat ini memacu teknologi perkapalan dan navigasi yang
mendorong pencarian wilayah—wilayah baru.
Peranan Cirebon sebagai bandar niaga atau kota
pelabuhan di jalur sutera hendaknya dipahami pada konstelasi perkembangan dunia
internasional. Pada konteks itulah, peranan Cirebon sebagai kota pelabuhan (sebagaimana
kota pelabuhan di kota—kota lain) dapat dikatakan mempunyai tiga peran, yaitu
sebagai centre of change, centre of integration, dan centre of culture.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar