UJIAN AKHIR SEMESTER
KAPSEL B
ILMU SEJARAH UI
MUHAMMAD RIDHO RACHMAN,
0806343973
1. Jelaskan dinamika
hubungan Indonesia-Jepang yang terjalin sejak akhir abad ke-19 M hingga
pertengahan tahun 1970-an!
Hubungan Indonesia-Jepang telah terlacak
jauh sebelum kemerdekaan Indonesia Agustus 1945. Dalam hubungan ini orang-orang
Jepang lebih berperan aktif—Indonesia hanya aktor pasif—khususnya dalam
hubungan awal sejak akhir abad ke-19 M. Dalam rentang waktu selama lebih dari
satu abad ini, motif ekonomi adalah alasan utama kerjasama kedua negara Asia
tersebut. Barulah menjelang akhir paruh pertama abad ke-20 motif politik
(ekspansi) mulai timbul dengan kepercayaan diri yang dimiliki Jepang yang saat
itu sedang maju sangat pesat, khususnya dalam bidang industri dan militernya.
Dalam konteks indonesia masih Hindia
Belanda, hubungan terjalin antara orang-orang Belanda dengan Jepang adalah
sebatas hubungan perdagangan. Pada masa sebelum abad kaisar Meiji memimpin,
Jepang dengan Politik negara Isolasi (sakoku) menerapkan kebijakan hanya
melakukan hubungan dagang dengan VOC yang merupakan kongsi dagang swasta
Belanda. Pulau Deshima pada masa itu ditempatkan sebagai pulau transit Belanda
di Jepang. Barang-barang dagangan dibongkar muat di pulau tersebut.
Pandangan Kaisar Meiji (1862—1912) yang
terbuka terhadap dunia Barat merupakan dasar dari berbagai perubahan yang
dibawanya. Ia melihat pesatnya kemajuan bangsa Barat dalam bidang teknologi dan
persenjataan dan di sisi lain mulai mundurnya kekaisaran Cina yang telah
berkuasa selama berabad-abad yang telah dijadikan selama ini. Dari sana lah,
modernisasi Jepang berawal dan pada perkembangannya memberikan pengaruh besar
bagi Indonesia sekarang ini.
Hubungan Indonesia-Jepang di tanah Hindia
Belanda pada konteks itu, diawali dengan kedatangan imigran ilegal yang tidak
terorganisir yang disebut dengan kimin (Shiraishi,
1998: 4). Kepergian para kimin
tersebut diakui oleh Kaisar pada bulan April 1896 (Pangastoeti, 2009: 138)
karena memang pada masa itu Jepang lebih konsen pada kepentingan kemajuan
teknologi industri dan menelantarkan rakyatnya. Jelas alasan perbaikan ekonomi
lah yang menjadi alasan utama eksodus warga Jepang, khususnya orang-orang dari
Pulau Kyushu yang gersang, ke berbagai penjuru dunia.
Para kimin
ini sebagaian besar adalah perempuan. Di Indonesia, pada tahun 1897 terdapat
125 orang Jepang yang terdiri dari 25 laki-laki dan 100 perempuan. Sementara
itu, menurut survei dari Konsulat Jepang di Indonesia pada tahun 1909 terdapat
782 orang Jepang, 56% adalah perempuan (Hiroshi, 1992: 19—20). Mereka terlibat
dalam aktivitas pertanian, perikanan, perdagangan, dan juga dalah improper trades seperti pelacuran dan
usaha rumah-rumah bordil (Pangastoeti, 2009: 139). Kehadiran pelacur-pelacur
yang datang dari Jepang (karayuki-san)
merupakan dinamika sosial tersendiri dalam hubungan Indonesia-Jepang awal.
Lahirnya Jepang sebagai kekuatan perang sejajar dengan
bangsa-bangsa Barat merupakan kesuksesan yang telah dicapai oleh Jepang itu
sendiri. Kalangan militer secara struktural masuk dalam birokrat pemerintahan
sehingga arah kebijakan semakin cenderung militer nasionalis yang lebih
mengarah ultranasionalis. Untuk tujuan ini pemerintah menggalakan politik
“ekspansi ke selatan” untuk mencari wilayah penghasil minyak, sebagai sumber
penting pendukung perang. Sejak paruh keduan tahun 1910-an, armada laut Jepang
telah mengimpor minyak dari Tarakan Borneo (Goto, 1997: 8)
Hubungan
Indonesia-Jepang pada tahun 1930-an semankin terlihat intesif terutama dalam
hubungan ekonomi dan industri. Muncullah para pengusaha besar Jepang yang sukses
menanamkan saham di Indonesia seperti Mitsui, Mitsubishi, dan Sumitomo. Para
pengusaha besar itu melakukan ekspansi usaha dengan mendirikan cabang-cabangnya
di Indonesia. Kegiatan ekspansi pengusaha sangat didukung oleh pemerintah
Jepang. Bantuan keuangan besar ditawarkan untuk para pengusaha, tercatat bahwa
Bank of Taiwan dan Yokohama
Specie Bank yang didirikan karena
adanya perdagangan gula dengan orang Jepang (Shiraishi, 1998:12). Pada masa ini
berbagai pengusaha kecil dan besar berkembang pesat di berbagai daerah di
Indonesia.
Desember 1942, Jepang menggertak dunia
dengan penyerangan terhadap pangkalan militer AS di Pearl Harbour. Tanpa
menunggu reaksi Jepang terus merangsek masuk kedalam wilayah kekuasaaan blok AS
salah satunya ke Indonesia melalui Tarakan, 11 Januari 1942 (Poesponegoro,
1984: 1) untuk menguasai ladang minyak besar yang dikuasai oleh Inggris.
Selanjutnya dengan cepat, Belanda dapat dipaksa menyerah dan meninggalkan
Indonesia. Mulailah saat itu, Indonesia berada dalam pendudukan Jepang.
Awal kedatangannya, Jepang menyebarkan
propaganda dengan menyebut epang
adalah saudara tua Indonesia. Paham propaganda bermaksud untuk mengambil hati
rakyat Indonesia agar mendukung Jepang dalam Perang Pasifik. Berbagai macam
propaganda dalam bidang politik, ekonomi, militer, pendidikan, dan kebudayaan
dilancarkan. Pada masa ini, hubungan Indonesia-Jepang masuk dalam tataran
politik—selain pula ekonomi. Jepang menduduki Indonesia lalu mengatur sistem
pemerintahan dan mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia.
Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II dan
kemerdekaan Indonesia merupakan masa renggangnya hubungan antardua negara
tersebut. Ambisi ekspansi Jepang terhenti dan sibuk dengan masa perbaikan setelah
kehancuran negara besar-besaran akibat perang. Arah kebijakan beralih menjadi
nonmiliter (fokus pada rehabilitasi) sebagai usaha membangun kembali negara.
Maksud Jepang mendapat bantuan besar dari Amerika. Motif Amerika membantu
Jepang bisa dipastikan untuk menjadikan Jepang sebagai agen AS membendung paham
komunisme di Asia Tenggara.
Hubungan Indonesia-Jepang kembali dijalin
ketika Jepang diikutsertakan AS dalam Konferensi San Fransisco tahun 1951.
Pertemuan yang membahas masalah pampasan perang Jepang terhadap negara-negara
pada masa Perang Pasifik, tak terkecuali ganti rugi perang terhadap Indonesia.
Walaupun dalam proses pelobian yang bersebrangan ini, hubungan Indonesia-Jepang
terjalin dengan intens.
Pakta
perdamaian dan perjanjian pampasan antara Jepang dan Indonesia ditandatangani
pada 20 Januari 1958 dan hubungan diplomatik secara resmi dimulai pada 15 April (Nishihara, 1994: 52). Perundingan ini merupakan
perundingan terlama Jepang mengenai masalah pampasan perang hal ini terkait
dengan banyaknya konstelasi dan tarik ulur politik di negara Indonesia sendiri
karena sangat membutuhkan pasokan bantuan. Pada Desember 1957,
disusun Memorandum Kobayashi-Djuanda yang isinya bahwa rampasan Jepang akan
berjumlah $230 juta selama 12 tahun.
Di tahun 1958 memorandum tersebut
akhirnya disetuji oleh pemerintahan Jepang dan akhirnya diratifikasi ditukar di
Tokyo pada 15 April 1958. Pada hari itu. Jepang dan Indonesia secara resmi
melakukan hubungan diplomatik.
Pergantian rezim dari pemerintahan Soekarno kepada
presiden Soehato meninggalkan kekacauan ekonomi yang parah. Oleh karena itu, dibutuhkan perbaikan
yang sangat cepat dan radikal demi menyelamakan negara yang diambang kehancuran, menurut Widjojo Nitisastro. Menurutnya, dibutuhkan bantuan
pendanaan lain untuk pembaikan dan pembangunan ekonomi, oleh karena itu menurut
tim yang dibuat oleh Soeharto, “Mafia Berkeley”
menyarankan untuk menerima bantuan Luar Negeri dalam bentuk pinjaman baik dari
IMF, World Bank maupun IGGI yang salah satu anggotanya adalah Jepang.
Isu ketergantungan pada
kekuatan ekonomi asing yang berasal dari modal besar Amerika Serikat dan Jepang berkembang di kalangan mahasiswa. Tokoh peritiwa
kekacaun yang dikenal dengan Peristiwa Malari, Hariman Siregar, mengatakan dengan bergantung pada
modal asing tersebut maka negara akan terjerumus dalam “jerat” ekonomi
negara-negara pemodal besar tersebut dengan perangkap “persyaratan” bantuan,
dan kemungkinan juga masih adanya senimen anti Jepang akibat pendudukan Jepang
pada masa Perang Dunia II. Oleh karena, momen kedatangan Perdana Menteri Tanaka
ke Jakarta malah di sambut
dengan demonstrasi, cemoohan, pengrusakan terutama barang-barang yang bermerek Jepang.
Puncak dari keadaan ini adalah terjadinya
Peristiwa Malari atau Malapetaka Januari tahun 1974. Peristiwa yang memaksa
Pemerintah Indonesia mengambil berbagai tindakan guna menstabilkan situasi dan
kondisi salah satunya dikeluarkannya peraturan baru pada tanggal 22 Januari
1974 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
2. A. aspek apa yang
paling tampak mendominasi hubungan kedua negara tersebut? mengapa?
Dalam hubungan panjang Indonesia-Jepang
memang mengandung berbagai polemik yang bergejolak. Di awal hubungan pada abad
ke-18, motif ekonomi yang menghubungkan orang-orang di antara kedua negara
tersebut. Dalam tulisan Shiraishi diceritakan, golongan kimin yang katakan
sebagai golongan pertama migrasi Jepang ke Indonesia, datang untuk mencari
harapan hidup di tempat lain karena di negaranya kemiskinan melanda sebagian
golongan yang berada dalam kelas sosial bawah, petani. Para kimin sebagian
besar bermata pencaharian sebagai pedagang kelontong atau pedagang keliling di
berbagai kota besar di Indonesia pada masa itu.
Kemudian, mulai berdatangannya
pengusaha-pengusaha besar Jepang yang mendirikan cabang-cabag perusahaan di
Indonesia karena melihat SDA dan SMA yang sangat potensial. Shiraishi
mengatakan pemerintah sangat mendukung pihak swastanya untuk ekspansi usaha
keluar, salah satu dengan mendirikan bank-bank di Indonesia untuk memudahkan
pemberian pinjaman kepada pengusaha-pengusaha Jepang di Indonesia.
Selanjutnya, modernisasi besar-besaran
dalam bidang teknologi dan militer membuat kebutuhan akan sumber minyak menjadi
prioritas penting bagi Jepang. Arah orientasi ini sudah terlihat pada masa
Kaisar Meiji kemudian pada masa Taisho muncul golongan militer revolusioner
yang menanamkan faham superioritas bangsa dan Ultranasionalisme Jepang.
Mulailah ambisi ekspansi berkobar dalam orang-orang Jepang.
Goto mengatakan, keterbatasan pasokan
minyak reguler tidak bisa memenuhi pesatnya perkembangan militer Jepang. Armada
laut mulai melirik wilayah selatan, Indonesia, untuk mencari sumber minyak baru
dengan cara pendudukan paksa dan eksploitasi. Dari sana lah hubungan
Indonesia-Jepang masuk dalam hubungan sebagai kolonialisme. Terlihat dari
peristiwa ini, aspek ekonomi ditunggangi kepentingan politik untuk ambisi
Jepang dalam memenangkan Perang Pasifik. Dari sisi ekonomi, Jepang mengeruk
habis sumber daya alam dan dari sisi politik, Jepang meminta dukungan Indonesia
dalam menjadikan Asia berada sejajar dengan bangsa Barat di bawah pimpinan
bangsa Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, dalam buku SNI
VI, indoktrinasi yang diterapkan Jepang di Indonesia dalam bidang politik,
ekonomi, militer, pendidikan, dan kebudayaan. Semua jelas ditujukan untuk
kepentingan Jepang semata.
Pada masa selanjutnya, ketika Indonesia
telah merdeka, baru lah Indonesia mempunyai posisi tawar yang lebih kuat dalam menjalin
hubungan dengan Jepang. Posisi Jepang sebagai negara maju dimanfaatkan oleh
bangsa Indonesia untuk membantu perekonomian. Terutama dengan membawa isu-isu
ganti rugi atas kesengsaraan yang telah diciptakan Jepang di Indonesia.
Dari sisi Jepang, membantu Indonesia
berarti mengembangkan perekonomian bangsanya. Terlebih Indonesia sangat
potensial dari sisi SDA maupun SDM-nya. Berbagai bantuan yang diberikan Jepang
pada hakikatnya malah menguntungkan Jepang karena pinjaman yang diberikan untuk
pembangunan berbagai proyek harus menggunakan produk industri Jepang. Maka dari
itu, pinjaman yang berikan seperti tidak ada habis-habisnya. Telebih bangsa
Indonesia harus bolak-balik meminjam karena bangkitnya ekonomi bangsa sangat
lamban.
B. apa manfaat dan kerugiannya bagi Indonesia?
Dalam hubungan bilateral Indonesia-Jepang selama
ini tentu tidak semua membawa keuntungan bagi Indonesia. Malah bisa dikatakan
keuntungan lebih banyak didapatkan oleh Jepang. Berikut akan dipaparkan
keuntungan dan kerugian hubungan Indonesia-Jepang bagi Indonesia.
Keuntungan bagi Indonesia yang paling utama
adalah keuntungan dari segi ekonomi. Pada dasarnya ketidakmampuan Indonesia
dalam memaksimalkan berbagai potensi yang dimiliki memang sangat logis ketika
ada pihak luar yang ingin membantu dengan sistem kerjasama. Jepang dalam hal
ini sejak awal kedatangan orang-orang kimin
telah menggerakkkan ekonomi masyarakat di tingat bawah. Kemudian cabang-cabang
perusahaan yang milik daibatsu Jepang
yang didirikan di Indonesia telah membantu Indonesia dalam mengelola sumber
daya yang dimiliki Indonesia. Masyarakat Indonesia pun ikut direkrut dalam
perusahaan yang didirikan oleh orang-orang Jepang tersebut. Namun,
permasalahannya adalah apakah keuntungan yang didapat Indonesia itu sebanding
dengan sumber daya yang telah dikeluarkan.
Kemudian pada masa kemerdekaan, Indonesia
memanfatkan perjanjian pampasan perang dengan Jepang dalam membangun berbagai
proyek industri dan infrastruktur di Indonesia. Namun, nominal ganti rugi yang
diberikan sebenarnya meringankan bagi bangsa Jepang karena berbagai
barang-barang industrinya didatangkan dari Jepang.
pada masa Soeharto diambil kebijakan
pembukaan keran investasi asing dengan latar belakang kajian yang mendalam oleh
para ekonom bangsa dalam menyikapi kekacauan ekonomi bangsa. Namun, peristiwa
Malari yang pada 1973 merupakan titik nadir kembali hubungan Indonesia-Jepang
dengan pengerusakan berbagai aset asing, terutama Jepang, di Jakarta. Sampai
sekarang, bantuan pinjaman luar negeri dari Jepang terus diberikan kepada
Indonesia yang bantuan tersebut merupakan kebutuhan. Namun perlu pula
berhati-hati dengan motif di balik bantuan pinjaman yang diberiakan oleh pihak
luar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar