Gabungan Organisasi dan Strategi
Kooperasi: Pergerakan Nasional Indonesia Menjelang Runtuhnya Hindia-Belanda
(1930-1942)
Disusun oleh:
Indah Farani
Lisan Sulaiman
M. Ridho Rachman
Dalam Rangka Pemenuhan Tugas Mata Kuliah
Sejarah Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia
Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Depok, 2009
BAB I
PENDAHULUAN
Perjuangan bangsa Indonesia memasuki era baru pada
awal abad ke-20. Era ini ditandai dengan munculnya kesadaran berbangsa di
kalangan elit masyarakat pribumi. Secara perlahan kaum elit ini mencoba
mempengaruhi masyarakat lewat jalur baru yaitu organisasi modern. Mereka
mencoba memberikan pemahaman tentang rasa kebangsaan.[1]
Sejak saat itu pola perjuangan bangsa Indonesia berubah, tidak lagi
bersifat kedaerahan, namun mulai muncul rasa kebersamaan antar satu sama lain.
Alhasil, sejak tahun 1908 sejarah Indonesia memulai babak baru, yaitu
babak pergerakan nasional. Hal itu ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo,
organisasi yang merupakan wadah pergerakan bagi tokoh-tokoh nasional dalam
berinteraksi dan menyalurkan aspirasi di masa awal pergerakan nasional Indonesia .
Berdasarkan periodesasinya, masa pergerakan nasional di
Indonesia dapat dibagi menjadi tiga masa yaitu masa kooperatif, masa radikal, dan terakhir disebut masa bertahan. Tiga tahun
setelah Boedi Oetomo lahir, tahun 1911 berdiri organisasi bagi orang-orang
Islam di Indonesia, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo oleh Haji
Samanhudi. Lalu namanya diubah menjadi Sarekat Islam untuk menarik anggota
lebih banyak. Selain organisasi yang disebut di atas masih banyak organisasi
lain yang didirikan baik bersifat kooperatif maupun radikal. Tetapi tujuan dari
organisasi tersebut hampir sama yaitu kemerdekaan Indonesia walaupun tidak
terang-terangan diungkapkan. Banyak sekali organisasi radikal yang melakukan
aksinya. Namun, Gubernur Jenderal pada saat itu sangat reaksioner terhadap
pergerakan, maka organisasi-organisasi pada masa itu dinyatakan terlarang dan
tokoh-tokohnya diasingkan. PNI merupakan organisasi terakhir yang sekaligus
menandai berakhirnya masa pergerakan radikal.
Dalam tulisan ini kami akan mencoba menggambarkan
mengenai permulaan sikap lunak kaum nasionalis bangsa dengan mau bekerja sama
dengan pemerintah Hindia Belanda (kooperatif). Namun, dengan tujuan yang sama
yang tidak tergoyahkan, menuju Indonesia Berparlemen, dan Indonesia merdeka. Berdasarkan buku
Sejarah Nasional Indonesia jilid 5 yang kami pakai sebagai rujukan utama,
penulisan ini diawali dengan berbagai aktivitas yang dilakukan pada masa
bertahan: pembentukan fraksi nasional, sebuah organisasi pergerakan yang berada
dalam tubuh organisasi buatan Belanda (volksraad),
yang tetap berjuang bagi terciptanya kemerdekaan nasional sesingkat-singkatnya,
Petisi Soetardjo yang bertujuan mengusahakan pemberian pemerintahan yang
mandiri kepada Indonesia. Dan pembentukan GAPI sebagai Pembina kerja sama
antarpartai politik yang dengan semboyannya “Indonesia Berparlemen”. Yang jelas
tidak menuntut kemerdekaan penuh, melainkan suatu parlemen yang berdasarkan
kepada sendi-sendi demokrasi.[2]
BAB II
ISI
A.
Masa Bertahan
Pada masa awal tahun
1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia
mengalami masa krisis. Keadaan seperti itu disebabkan beberapa hal. Pertama,
akibat krisis ekonomi atau malaise yang melanda dunia yang memaksa Hindia
Belanda untuk bertindak reaksioner dengan tujuan menjaga ketertiban dan
keamanan. Dalam rangka kebijakan itu, pemerintah Hindia Belanda membuat
peratuaran-peraturan yang digunakan untuk menindas pergerakan nasional:[3]
1. mengeluarkan beberapa pasal karet dari kitab undang-undang pidana
yang dapat dengan mudah menjerat pembicara di rapat-rapat atau penulis di surat kabar yang
kata-katanya menyindir, samar-samar, dan mengganggu keamanan umum.
2. exorbitante rechten
yang artinya hak kekuasaan yang luar biasa dari Gubernur Jendral mengenai externering (mengusir keluar Hindia
Belanda), Internering (mengasingkan), dan verbanning (melarang seseorang untuk
tinggal). Contohnya seperti pengasingan kepada Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.
3. penindasan hak berserikat, yang dimuat dalam Keputusan Raja (Koninklijk Besluit) tanggal 17 Desember
1918, dalam pasal tiga melarang:
a. yang beradanya atau tujuannya dirahasiakan,
b. yang oleh Gubernur Jendral dinyatakan
bertentangan dengan keamanan umum. Misalnya PKI dan sarikat Rakyat yang terkena
larangan sub.b tahun 1927.
4. Sirkuler-Pemberangusan (Muilkorf-Circulaire),
oleh Gubernur Jendral ditetapkan tanggal 27 Septeber 1919 yang melarang pegawai negeri melahirkan pikirannya
dengan lisan dan tulisan. Sanksinya adalah bagi siapa yang melanggar atau
dianggap melangggar, ddipindahkan ke tempat terpencil, diturunkan jabatannya, bahkan
bisa dicopot jabatannya.
Hal di atas menjadi
semakin parah ketika Hindia Belanda diperintah Gubernur Jenderal yang konservatif
dan reaksioner yaitu de Jonge (1931-1936). Periode awal 1932 sampai dengan
pertengahan 1933 tidak hanya ditandai oleh perpecahan gerakan nasionalis serta
kegagalan usaha pengintegerasian organisasi-organisasi nasionalis, tetapi juga
oleh aksi politik yang semakin meningkat terutama sebagai dampak politik
agitasi yang dijalankan oleh Soekarno. Tetapi dalam hal ini, Gubernur Jenderal
de Jonge secara konsekuen menjalankan politik “purifikasi” atau “pemurnian”
artinya menumpas segala kecenderungan ke arah radikalisasi dengan agitasi massa
dan semua bentuk nonkooperasi. Dengan tangan besinya, Gubernur Jenderal de
Jonge hendak mempertahankan otoritasnya, sehingga setiap gerakan yang bernada
radikal atau revolusioner tanpa ampun ditindasnya dengan alasan bahwa
pemerintah kolonial bertanggung jawab atas keadaan di Hindia Belanda, dan
baginya dibayangkan bahwa pemerintah Belanda telah memerintah selama 300 tahun
dan selama 300 tahun berikutnya pemerintah itu masih akan tegak berdiri.
Politik represifnya berhasil menghentikan gerakan politik nonkooperasi (radikal-revolusioner)
sama sekali.
Pemerintah Belanda
memang tidak secara langsung melarang setiap perkumpulan, namun dengan
vergaderverbond (larangan berkumpul) membuat sulitnya memulihkan semangat
mengenai cita-cita nasional. Karena terlalu riskan kalau pemerintah
mengeluarkan peraturan yang dengan tegas melarang segala bentuk perkumpulan.
Ditakutkan akan adanya perebutan secara eksplosif dari rakyat Indonesia . Ditambah lagi di Eropa
sedang giat-giatnya paham demokrasi digalakkan.
Di
sisi lain, adanya ancaman dari Jepang yang mulai menjalankan politik
ekspansionisme di daerah Pasifik. Maka mulailah melunak hubungan di antara
keduanya, di samping soal menjunjung demokrasi, adalah kerja sama dalam
mengahadapi ancaman dari fasisme Jepang. Oleh karena itu, mulai timbul
kesadaran untuk berkooperasi di pihak kaum nasionalis dengan pemerintah Hindia
Belanda. Kesadaran itu muncul lebih dahulu di kalangan Perhimpunan Indonesia
yang pada awalnya memang berhaluan kooperatif. Di samping itu pula, adalah menjaga
eksistensi perjuangan pergerakan bangsa yang kian terciutkan dengan
peraturan-peraturan buatan Belanda. Oleh karena itu, masa pergerakan ini
disebut masa bertahan.
B. Aktivitas Gerakan Selama
Masa Bertahan
Sejak tahun
1930-an, peran lembaga parlemen buatan kolonial (volksraad) makin meningkat.
Satu-satunya organisasi yang benar-benar menyuarakan suara tiap-tiap golongan
melalui perwakilannya. Dalam kisaran tahun 1930-an Indonesia menjalankan politik yang
moderat, yang mulai bersikap lunak terhadap pemerintah dengan mau bekerja sama
dengan pemerintah Hindia Belanda. Memang kalau dilihat, hanya organisasi inilah
yang bisa lolos dari intaian pengawas-pengawas yang menjalankan peraturan ketat
bagi organisasi yang berisikan orang pribumi. Dan memang melalui lobi-lobi
politik lah sarana yang tepat bagi waktu itu, ketimbang dengan organisasi yang
bermasa besar. Yang mengusahakan perbaikan dengan jalan yang halus dari dalam,
ketimbang dengan pengerahan masa pada waktu-waktu sebelumnya.
Di dalam tubuh
oraganisasi itu lah, sebuah fraksi nasional muncul. Fraksi ini ketuai oleh MH.
Thamrin yang hanya terdiri dari 10 orang dari wakil tiap golongan di volksraad
yang terdiri dari perwakilan daerah Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan . Dengan sebuah cita-cita besar yang
diusungnya, yaitu menjamin adanya kemerdekaan nasional dalam waktu
sesingkat-singkatnya, dengan jalan:
1.
mengusahakan perubahan
ketatanegaraan
2.
berusaha menghapus perbedaan-perbadaan
politik, ekonomi, dan intelektual sebagai antitesis kolonial
3.
mengusahakan kedua hal tersebut
dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.[4]
Tindakan pertama
yang mereka lakukan adalah upaya pembelaan atas tokoh-tokoh PNI yang ditangkap pemerintah
Belanda. Menurut MH. Thamrin penggeledahan dan pengangkapan tersebut tidak
dapat dipertanggungjawabkan bahkan banyak orang-oarang yang bukan anggota PNI
ikut digeledah. Dengan peristiwa ini terbukti bahwa pemerintah tidak adil dan
berbuat curang terhadap organisasi pergerakan Indonesia . Segala tindakan
preventif pemerintah adalah karena pasal 169 swb, 153 bis, dan 161 bis. Oleh
karena itu, ia mengajukan mosi terhadap pasal-pasal tersebut, kemudian
ditindaklanjuti dengan pembuatan komisi yang bertugas untuk meninjau kebali
pasal-pasal tersebut. Namun, pada akhirnya usul itu ditolak dengan alasan bahwa
majelis tertinggi (Hooggerecthscof)
tidak menangani bukti-bukti yang sifatnya berkenaan dengan hukum pidana.[5]
Sementara itu,
dalam masalah lain, ada kegiatan penaikkan biaya anggaran di bidanng pertahanan
demi meingkatkan system pengamanan. Maksud ini ditentang oleh anggota fraksi
nasional karena menurut mereka, penaikkan anggaran itu tidak tepat sasaran
karena peningkatan keamanan dari pihak mana sedangkan status Indonesia
adalah sebuah wilayah jajahan. Oleh karena itu lebih baik dana tersebut
digunakan untuk meingkatkan kesejahteraan sosial. Rencana tersebut sangat
bertentangan dengan kondisi yang ada, mengingat pula keadaan dunia yang sedang
dalam keadaan malaise.
Bahkan, Thamrin dan
anggota-anggota lain mengancam akan keluar dari volksraad ketika masalah tentang diberlakukannya peraturan mengenai
sekolah-sekolah liar oleh pemerintah. Kalau sampai hal itu terjadi, tidak lah
lagi berguna parlemen buatan Belanda itu yang tidak diduduki oleh perwakilan
pribumi. Pada akhirnya, peraturan tesebut dicabut oleh pemerintah Belanda.
Peristiwa penting
lainnya adalah sebuah gagasan yang dicetuskan oleh Soetardjo Kartohadikusumo,
seorang wakil ketua volksraad dan
ketua Persatuan Pegawai Bestur/Pamongpraja Bumiputra (PPBB) pada bulan Juli
1936. sebuah usul yang dikenal dengan nama Petisi Soetardjo yang berisi
permohonan agar diadakan suatu rapat untuk membicarakan rencana-rencana
perkembangan evolusioner untuk Indonesia
selama satu periode sepuluhtahunan ke arah pemerintahan sendiri dalam batas
undang-undang dasar belanda yang sudah ada.[6]
Landasan usul itu adalah pasal 1 undang-undang dasar kerajaan belanda yang
berbunyi bahwa kerajaan belanda meliputi Nederland, hindia belanda, suriname,
dan curacao; dan yang menurut pendapatnya keempat wilayah tersebut dalam
kerajaan Nederland mempunyai derajat yang sama. Dukungan dari banyak golongan
suku bangsa dan agama, menurut soetardjo mencerminkan golongan-golongan tersebut.[7]
Usul mengenai
perubahan mengenai susunan ketatanegeraan ini muncul karena adanya perasaan
tidak puas rakyat terhadap gubernur jendral de Jonge. Apalagi menurut
soetardjo, hubungan yang baik harus terjalin antara hindia dengan pemerintah
kerajaan belanda demi menghadapi ancaman perang pasifik.
Adapun
tuntutan-tuntutan perubahan yang diinginkannya adalah sebagai berikut:
-
pulau Jawa dijakdikan satu
provinsi, sedangkan daerah-daerah di luar Pulau Jawa dijadikan
kelompok-kelompok daerah yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi.
-
Sifat dualisme dalam peemrintah
daerah dihapus.
-
Gubernur jendral diangkat oleh
raja dan mempunyai hak kekebalan
-
Direktur depaetemen mempunyai
tanggung jawab
-
Volksraad dijadikan parlemen
sesungguhnya
-
Raad van Indie: anggota-anggota
biasa dan seorang vice president diangkat oleh raja; di samping itu ketua dan
wakil volksraad sebagai anggota
mempunyai hak suara
-
Dibentuk dewan kerajaan sebagai
badan tertinggi antara antara belanda dan Indonesia , yang anggota-anggotanya
terdiridari wakil-wakil kedua daerah dengan satu pimpinan yang diangkat,
pimpinan mana bukan seorang mentri atau direktur atau salah seorang dari ketua
parlemen
-
Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena
kelahirannya, asal-usul dan cita-citanya adalah untuk Indonesia . Terhadap orang asing
yang dilahirkan di sini diadaka seleksi yang ketat.[8]
Usul ini dianggap
menyimpang dari cita-cita kalangan pergerkan umumnya mendapat reaksi, baik dari
pihak Indonesia
maupun pihak Belanda. Golongan reaksioner Belanda, Vaderlandsche Club berpendapat bahwa Indonesia belum mampu unutk berdiri
sendiri. Tetapi ada juga pihak-pihak Belanda yang menyutujui petisi dengan
mengirimkan surat
kepadanya. Di kalangan Indonesia
sendiri ada yang pro dan kontra beberapa anggota volksraad berpendapat usul
petisi kurang jelas, kurang lengkap, dan tidak memiliki kekuatan.
Banyak pendapat
yang mengiringi perjuangan tuntutan petisi sutardjo ini, tetapi yang dimaksud
olehnya adalah keadaan dalam negeri bukanlah masalah primer tetapi sekunder.
Masalah yang poko adalah hubungan kerajaan anatara negeri Belanda dengan Indonesia
harus berdiri sendiri sehingga dapat berkembang ke arah yang lebih maju.
Sedangkan masalah-masalah yang bersifat internasional dan yang menjadi
kepentingan bersamaakan tetap diurus oleh kerajaan. Namun pada akhirnya, petisi
soetardjo ditolak oleh ratu Belanda pada bulan November 1938.
C. Strategi Kooperatif
Pergerakan Nasional Indonesia
Antara tahun 1930-1936 wajah pergerakan nasional Indonesia
memperlihatkan suatu kemerosotan pada aksi-aksinya. Krisis ekonomi karena
pecahnya perang pasifik dan tindakan keras dari pemerintah belanda terhadap
gerakan non-kooperasi tak lain adalah penyebabnya. Sesudah
tahun 1930-an organisasi-organisasi
pergerakan nasional di Indonesia seaakan telah berada pada titik nadirnya. Sehingga,
akibat dari Kebijakan-kebijakan dan sikap pemerintah belanda yang sangat
reaksioner di bawah kepemimpinan Jendral de Jonge tersebut, golongan kooperator
sepakat menciptakan kerjasama yang lebih terorganisir.
Budi Utomo (BU) pada akhir tahun 1920-an menjadi radikal
dalam artian bahwa organisasi itu berubah menjadi perkumpulan Indonesia, tidak
hanya orang Jawa yang diterima dalam organisasi tersebut, pada tahun 1927 BU
menyatakan bahwa yang diterima menjadi angotanya adalah orang-orang Indonesia
dari Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan rakyat Indonesia lainnya yang mempunyai
persamaan kebudayaan. [9]
Sangat pesatnya jalan pengaruh aliran persatuan Indonesia dalam kalangan BU (yang
antara lainnya menimbulkan cita-cita pemusatan
tenaga kebangsaan dengan lebih sempurna) . Dalam kongres BU tahun 1932,
diterima usul untuk mendasarkan fusi pada nasionalisme Indonesia
untuk Indonesia
bersatu dan berdaulat. Ternyata pula pada keputusan kongres tersebut
memperhasil usulan untuk menerima suatu badan persatuan (fusi) dengan
perkumpulan lain-lain yang juga berdasarkan kooperasi.[10]
Namun nampaknya baru bulan juli 1934 setelah rapat Persatuan Bangsa Indonesia
(PBI) secara tegas diungkapakan bahwa BU akan berfusi dengan PBI. Akhirnya
dalam suatu kongres fusi yang diadakan di Solo, Desember 1935 BU dan PBI
berfusi dan lahirlah partai baru yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra). Dr.
Sutomo berkesempatan menjadi ketua partai baru tersebut. Beberapa pemimpin
terkenal seperti MH Thamrin (dari kaum betawi), Mr Sunaryo dan Mr. Iskaq
Cokroadisuryo (dari Partindo) masuk dalam partai baru itu.
Seperti halnya organisasi-organisasi yang meleburkan
diri tersebut, Parindra menganut politik perjuangan kooperasi. Menurut Anggaran
Dasarnya (pasal 2) partai itu bertujuan “Indonesia Raya”[11]
dan untuk mencapai tujuan itu berbagai cara dilakukan, antara lain adalah
dengan memperkuat semangat persatuan, menjalankan aksi politik untuk memperoleh
hak-hak politik seluas-luasnya dan tercapainya suatu sistem pemerintahan yang
berdasarkan atas demokrasi dan nasionalisme, dan memajukan peri kehidupan
rakyat dalam bidang sosial dan ekonomi.[12]
D. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
GAPI adalah organisasi yang merupakan
kerjasama partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang terbentuk pada
tanggal 21 Mei 1939 atas usul Mohammad Husni Thamrin, dalam rapat pendirian
konsentrasi nasional yang diadakan di Jakarta. Anggotanya terdiri dari:
Parindra, Gerindo, Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII, PII, dan Perhimpunan
Politik Katholik Indonesia .
Pengurus pertamanya adalah Muhammad Husni Thamrin, Mr Amir Sjarifuddin dan
abikusno Tjokrosuyoso. Walaupun GAPI merupakan organisasi kerjsama program
kerja tetap berdasarkan partai masing-masing. Karena GAPI hanya merupakan wadah
untuk bekerjasama. GAPI tidak menuntut kemerdekaan penuh terhadap
kekuasaan Belanda yang masih menduduki Indonesia pada saat itu, namun
keinginan GAPI dinilai terlalu dini untuk direalisasikan, parlemen Belanda
menganggap Indonesia belum siap untuk itu. GAPI dikenal radikal dalam
pelaksanaan misinya karena GAPI terdiri dari semua lapisan masyarakat yang
tergabung dalam partai-partai politik.
Sebuah gagasan yang lahir dari pemikiran Mohammad Husni Thamrin, di
mana berdirinya GAPI disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Kegagalan Petisi Sutardjo
2. Kepentingan internasional dalam membendung fasisime
3. Sikap pemerintah yang dinilai kurang memperhatika kepeningan rakyat Indonesia .
Untuk pertama
kalinya pimpinan dipegang oleh Muhammad Husni Thamrin, Mr. Amir Syarifuddin, Abikiusno
Tjokrosuyoso.
Di
dalam anggaran dasar di terangkan bahwa GAPI berdasar kepada:
1. Hak untuk menentukan diri sendiri
2. Persatuan nasional dari seluruh, bangsa Indonesia dengan berdasarkan
kerakyatan dalam paham politik, ekonomi dan sosial.
3. Persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia
Di dalam
konfrensi pertama GAPI pada tanggal 4 Juli 1939 dibicarakan mengenai semboyan
GAPI, yaitu “Indonesia Berparlemen”. GAPI tidak menuntut kemerdekaan penuh
seperti apa yang sudah dikatakan di atas, melainkan suatu parlemen yang
berdasarkan sendi-sendi demokrasi. GAPI juga mengeluarkan manifest GAPI yang
berisikan menolak gerkan fasisime dan mengajak rakyat Indonesia dan Belanda untuk
melawannya. Selanjutnya GAPI membentuk Kongres
Rakyat Indonesia (KRI). Kongres Rakyat Indonesia
diresmikan sewaktu diadakannya pada tanggal25 Desember 1939 di Jakarta.
Tujuannya adalah "Indonesia Raya" bertujuan untuk kesejahteraan
rakyat Indonesia
dan kesempatan cita-citanya. Dalam kongres ini berdengunglah suara dan tututan
"Indonesia berparlemen".Keputusan yang lain yang penting diantaranya,
penerapan Bendera Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu
persatuan Indonesia dan peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia. pada
tanggal 5 Februari dan 5 Maret 1940 yang menyatakan bahwa tuntutan Indonesia
berparlemen akan diteruskan sampai berhasil. Aksi lainnya yang dilakukan GAPI
antara lain adalah dengan mengeluarka resolusi yang menuntut diadakannya perubahan
ketatanegaraan di Indonesia
dengan menggunakan hokum tatanegara dalam masa genting (nood staatsrecht). Isis resolusi
tersebut yaitu mengganti volksraad dengan parlemen sejati yang
anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, merubah fungsi kepala-kepala
departemen (departemenshoofden) menjadi menteri yang
bertanggungjawab kepada parlemen tersebut. Tuntutan ini dikirimkan kepada
Gubernur Jenderal, volksraad, Ratu Wilhelmina, dan cabinet Belanda
di London. Atas dasar itulah maka pada tanggal 14 September 1940 dibentuklah
komisi untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan
(Commissie totbestudeering van staatsrechtelijke). Komisi ini diketuai oleh Dr.
F.H Visman, selanjutnya dikenal dengan nama Komisi Visman. Pada awal
pembentukannya, kalangan pergerakan mempertanyakan keberadaan kegunaan komisi
itu. Akhirnya Komisi Visman menghasilkan laporan yang cukup tebal tentang
berbagai tuntutan dan harapan-harapan rakyat Indonesia . Laporan itu terbit pada
tahun 1942 hanya beberapa minggu sebelum kedatangan tentara Jepang ke Indonesia ,
sehingga laporan tersebut tidak jelas nasibnya. Pada tanggal 14 Februari 1941
di gedung Raad Van Indie di Jakarta diadakan pertemuan antara wakil-wakil GAPI
dengan Komisi Visman yang bertujuan untuk memperjelas tuntutan. Namun pertemuan
yang diharapkan menghasilkan sesuatu yang baru ternyata mengecewakan dan tidak
menghasilkan apa-apa. Ini menimbulkan tanggapan bahwa GAPI tidak
konsisten dalam mencapai tujuannya.
Pergerakan GAPI makin sulit dengan adanya peraturan wajib bela (inheemse milittie), ditambah lagi
pemerintah kolonial memperketat izin mengadakan rapat-rapat.
- Sikap Pemerintah
Kolonial Di akhir Masa Pendudukannya
Dalam menanggapi berbagai bentuk petisi dan mosi dari berbagai tokoh pergerakan
yang melakukan kooperasi di dalam volksraad,
ternyata sikap pemerintahan kolonial sangat mengecewakan. Akibatnya bagi bangsa
Indonesia
ialah pada satu pihak jurang antara pemerintah dan rakyat semakin besar dan
dipihak lain gerakan nasionalis semakin menyadari bahwa tidak dapat lagi orang
menaruh harapan kepada penguasa kolonial. Jadi harus semakin berpaling kepada
masyarakat sendiri. Pada saat Belanda dikuasai Jerman sedangkan di Asia terhadap ancaman Jepang semakin nyata, ternyata
sikap pemrintahan Belanda tetap tidak berubah. Pemerintahan kolonial Belanda
ternyata tidaklah sekhawatir yang diduga orang Indonesia mengenai situasi
Internasional. Pemerintah kolonial meremehkan ancaman dari Jepang. Andaikata
mereka takut kalah, tidak ada kemungkinan ketakutan ini akan mendorong para
penguasa kolonial untuk merangkul kaum nasionalis, yang mereka benci dan
curigai. Yang paling mungkin dijanjikan Belanda ialah untuk mempertimbangkan
perubahan konstistusi setelah perang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada masa awal tahun 1930-an pergerakan
kebangsaan Indonesia
mengalami masa krisis. Keadaan seperti itu disebabkan beberapa hal. Pertama,
akibat krisis ekonomi atau malaise yang melanda dunia yang memaksa Hindia
Belanda untuk bertindak reaksioner dengan tujuan menjaga ketertiban dan
keamanan.
Sejak tahun 1930-an, peran lembaga parlemen
buatan kolonial (volksraad) makin meningkat. Satu-satunya organisasi yang
benar-benar menyuarakan suara tiap-tiap golongan melalui perwakilannya. Dalam
kisaran tahun 1930-an Indonesia
menjalankan politik yang moderat, yang mulai bersikap lunak terhadap pemerintah
dengan mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda.
Di dalam tubuh oraganisasi itu lah, sebuah
fraksi nasional muncul. Fraksi ini ketuai oleh MH. Thamrin yang hanya terdiri
dari 10 orang dari wakil tiap golongan di volksraad yang terdiri dari
perwakilan daerah Jawa, Sumatra, Sulawesi , dan
Kalim.antan. Dengan sebuah cita-cita besar yang diusungnya.
Peristiwa penting lainnya adalah sebuah gagasan yang
dicetuskan oleh Soetardjo Kartohadikusumo, seorang wakil ketua volksraad dan ketua Persatuan Pegawai
Bestur/Pamongpraja Bumiputra (PPBB) pada bulan Juli 1936. sebuah usul yang
dikenal dengan nama Petisi Soetardjo yang berisi permohonan agar diadakan suatu
rapat untuk membicarakan rencana-rencana perkembangan evolusioner untuk Indonesia
selama satu periode sepuluhtahunan ke arah pemerintahan sendiri dalam batas
undang-undang dasar belanda yang sudah ada. Yang namun pada akhirnya, petisi
soetardjo ditolak oleh ratu Belanda pada bulan November 1938.
GAPI adalah organisasi yang merupakan
kerjasama partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang terbentuk pada
tanggal 21 Mei 1939 atas usul Mohammad Husni Thamrin, dalam rapat pendirian
konsentrasi nasional yang diadakan di Jakarta. Anggotanya terdiri dari:
Parindra, Gerindo, Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII, PII, dan Perhimpunan
Politik Katholik Indonesia .
Dalam menanggapi berbagai bentuk petisi dan
mosi dari berbagai tokoh pergerakan yang melakukan kooperasi di dalam volksraad, ternyata sikap pemerintahan
kolonial sangat mengecewakan. Akibatnya bagi bangsa Indonesia ialah pada satu pihak
jurang antara pemerintah dan rakyat semakin besar dan dipihak lain gerakan
nasionalis semakin menyadari bahwa tidak dapat lagi orang menaruh harapan
kepada penguasa kolonial. Jadi harus semakin berpaling kepada masyarakat
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ingleson,
John. 1988. Jalan ke Pengasingan. Jakarta : Lembaga
Penelitian, Pendidikan
dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Poesponegoro,
Marwati Joened. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta :
Balai Pustaka.
Pringgodigdo,
A. K. 1991. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia . Jakarta : Dian Rakyat.
Suharto.
1996. Gerakan Rakyat Indonesia
1937-1942. Depok: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia .
Tirtoprodjo,
Susanto. 1970. Sejarah Pergerakan
Nasional Indonesia .
Jakarta : PT.
Pembangunan.
[1] Robert Van Niel, Elit Modern, Jakarta :
Pustaka Jaya, 2009
[2] Marwati djoened dan nugroho notosusanto, sejarah nasional Indonesia
V (balai pustaka, 1975), 231-232
[3] Susanto tirtoprodjo, sejarah pergerakan nasional Indonesia , cetakan kelima, 1970,
52-56
[4] Ibid. 218.
[5] Ibid. 219.
[6] George mcturnan kahin, nasionalisme dan revolusi di Indonesia
(sinar harapan, 1995), 122
[7] Djoened, op. cit, 221
[8] Ibid, 222.
[9] Suharto, Gerakan Rakyat Indonesia 1937-1942, Fakultas
Sastra UI Depok, 1966, hlm.16
[10] A.K. Pringdigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia , Jakarta :
IKAPI, 1991, hlm. 131
[11] Suharto, Op.Cit.
[12] Ibid, A.K. Pringdigdo hlm.134
Tidak ada komentar:
Posting Komentar