KESENANGANNYA ADALAH
KESENANGAN ANAK-ANAKNYA
“Ido udah makan
siang belom?” pertanyaan itu rasanya
tidak bosan keluar dari mulut ibu.
“iya bu, sebentar, dikit
lagi kelar.” Jawabku dengan cepat agar beliau tidak lagi mengkhawatirkanku yang
baru sembuh dari sakit beberapa hari lalu.
“yaudah, langsung makan aja ntar ya, obatnya
jangan lupa, ibu mao rebahan dulu …”
kata-kata terakhir yang diucapkan sebelum beliau beristirahat siang buah
kerjanya membereskan rumah sejak pagi tadi.
Hari ini untungnya libur. Bisa kusiapkan waktu untuk
mengerjakan tugas dengan santai di rumah tanpa harus bergelut dengan kegiatan
di kampus. Tugas-tugas tetap menumpuk tanpa pilih kasih, walaupun seseorang
sedang sakit sekalipun. Makanya dengan setengah energiku, kutegapkan badan
menghadapi tugas-tugas yang dikirim temanku kemarin. “Buah tangan dari dosen
nih” perkataanku membatin. Tak kusangka, mereka baik sekali, di sela-sela
kesibukkan mereka tetap memperhatikanku.
“heheeee…”
tiba-tiba aku tertawa sendiri.
Kuakhiri
sementara tugasku. Nanti setelah istirahat akan kulanjutkan.
Rumah
hari ini sepi, jelas saja tak ada adik-adikku di rumah. Ketiganya sedang sekolah
di tempatnya masing-masing. Membayangkan begitu beratnya karena masih ada tiga
adikku yang harus ditanggung hidupnya oleh ibu seorang diri setelah kutamat
sarjana kelak.
Untung
saja, bapak meninggal setelah kedua abangku lulus dan sudah bekerja, kalau
tidak mungkin bisa sangat sulit sekali kenyataannya. Yah, memang. Masih
kubilang untung kalau dibandingkan dengan hal itu.
Pikiranku
melayang jauh lima tahun lalu, saat bapak meninggal. Memang betapa beratnya
situasi itu. Apalagi jika dihadapkan dengan kenyataan ibu harus menjadi singel parent yang mengurusi empat anak
yang masih kecil-kecil, aku lah yang paling besar, kelas 2 SMA. Tetap saja itu
tak bisa membantu ibu banyak. Malah semakin menyusahkan karena masa itulah aku
banyak menyita kas pengeluaran ibu.
Pikiranku
tak pernah membayangkan peristiwa demi peristiwa yang terjadi sedalam ini, di mana
situasinya sangat menyulitkan pastinya. Kedua abangku pun tidak bisa membantu
banyak, mereka harus mengurusi keluarga kecilnya masing-masing. Posisi ibu lah
yang paling menyulitkan.
Ia
harus berdiri menjadi seorang ayah yang mencari nafkah dengan keras dan seorang
bunda yang memberikan perhatian lembut kepada anak-anaknya. Ia lalui itu dengan
diamnya dan ia mengerjakan semuanya.
Aku
pribadi tak pernah melihatnya banyak bercerita soal masalah-masalah dalam rumah
tangga. Aku hanya dilibatkan sedikit dari menggantikan tugas seorang bapak.
Kadang diminta membayar listrik rumah, mengantarnya pergi ke pasar, dan yang
paling terasa jelas adalah mengantarnya pergi ke resepsi pernikahan.
Hal
itu sangat mengena hati. Biasanya orang tua-orang tua bersama pasangannya
masing-masing pergi ke pesta pernikahan tapi kali ini dan untuk jangka waktu
yang lama, ibu harus ke pesta pernikahan dengan anaknya.
Kulalui
dapur dengan mengambil piring dan kembali ke meja makan untuk menyendok nasi
dan lauk-pauk. Dalam sendokan demi sendokanku pikiran kembali melayang,
mengingat situasi pelik yang kemarin-kemarin terjadi. Untungnya kehidupan
keluarga kami yang single parent
tidaklah serumit dan semerana yang dikisahkan televisi. Tapi sama sajalah. Ibu
tak punya pekerjaan, sepertinya memang itu yang terbaik. Biarlah ia di rumah,
mengurus semua urusan rumah. Soal pemasukan biarpun sedikit, dua buah rumah
kontrakan peninggalan bapak masih bisa menopang kami sekeluarga. Biar saja
hidup dengan keterbatasan. Ibu yang selalu ada di rumah lebih aku inginkan,
mungkin itu juga yang dipikirkan kakak-adikku.
Ternyata
lamunan menyita waktuku di meja makan. Langsung saja kupergegas, kutinggalkan
meja makan dengan niatan melewati kamar ibu lagi, sekedar melihat badannya yang
memunggungi pintu.
Pikiranku
masih mengawang. Entah karena memikirkan ibu atau karena sisa-sisa efek sakit
atau karena habis mengerjakan tugas atau mungkin gabungan semuanya. Tapi yang
pasti adalah pikiran ini masih saja menerobos ingatan-ingatan masa lalu,
beberapa tahun silam.
Tiba-tiba
teringat peristiwa lain, ketika hari-hari kami diisi berempat saja. Adikku yang
kedua tidak tinggal bersama. Ia tinggal di pesantren, mengingat ia satu-satunya
perempuan milik ibu. Ya ibu memberikan perhatian lebih kepadanya, begitu pula
aku dan saudara-saudaraku.
Tak
ada manusia yang seperasaan dengannya di rumah, sesama perempuan. Mungkin
banyak kemauan ibu yang tidak anak laki-lakinya mengerti. Itulah yang pernah
aku pikirkan. Maka tak akan kami larang sedikit pun ketika teman-teman masa
lalu ibu datang berkunjung. Kadang mereka habiskan waktu sepanjang siang
ngobrol di ruang tamu. Bahkan, kami, anak-anaknya, tak merasa keberatan bahkan
senang ketika ada teman ibu yang mau menginap semalam saja di rumah.
Sebenarnya
apa yang ibu inginkan? Mungkin ia ingin melihat anak-anaknya cepat tumbuh
dewasa. Rasanya kelak, aku ingin memberikan segala sesuatu yang ia inginkan.
Apapun itu.
“Namun,
apa yah kira-kira keinginannya atau apa yang membuatnya senang?” aku memikirkan
dalam hati. Rasanya tak ada keinginan khusus yang pernah diucapkannya.
“Kesenangannya adalah kesenangan anak-anaknya …” sebersit dalam hatiku
membayangkan wajahnya yang sejuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar