Kemiskinan
sebagai faktor yang mendasari terjadinya Trafficking
Muhammad Ridho Rachman
Gender dan Hubungan
Internasional
Ilmu Sejarah
0806343973
Latar
Belakang
Perdagangan
perempuan dan anak (trafficking)
telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan
dengan harkat dan martabat manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia.
Di masa
lalu, perdagangan anak dan perempuan hanya dipandang sebagai pemindahan
secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. Sejumlah konvensi
terdahulu mengenai perdagangan hanya memfokuskan aspek ini. Namun, seiring
dengan perkembangan zaman, perdagangan didefinisikan sebagai pemindahan, khususnya perempuan dan
anak dengan atau tanpa persetujuan orang
yang bersangkutan di dalam suatu negara atau
ke luar negeri untuk semua perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi.
Isi
Trafficking merupakan salah satu masalah yang perlu
penanganan mendesak seluruh komponen bangsa. Hal tersebut perlu, sebab erat
terkait dengan citra bangsa Indonesia di mata internasional. Apalagi, data Departemen Luar Negeri Amerika Serikat
menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ketiga sebagai pemasok perdagangan
perempuan dan anak. Suatu tantangan bagi Indonesia untuk menyelamatkan anak
bangsa dari keterpurukan.
Memang
disadari bahwa penanganan trafficking
tidaklah mudah, karena kasus pengiriman manusia secara ilegal ke luar negeri
sudah terjadi sejak bertahun-tahun lamanya tanpa adanya suatu perubahan
perbaikan. Sebagaimana yang dilaporkan Pemerintahan Malaysia, bahwa 4.268
pekerja seks berasal dari Indonesia. Demikian juga dengan wilayah perbatasan
negara Malaysia dan Singapura. Data menunjukkan sebanyak 4.300 perempuan dan
anak yang dipekerjakan sebagai pekerja seks (Kompas, 10 Mei 2001) di wilayah
tersebut. Kemudian di akhir tahun 2004 muncul lagi kasus yang sama, bahkan
meningkat mencapai angka 300.000.
Permasalahan
perdagangan perempuan dan anak memang merupakan permasalahan yang sangat
kompleks yang tidak lepas dari faktor-faktor ekonomi, sosial, budaya, dan
politik yang berkaitan erat dengan proses industrialisasi dan pembangunan. Di
negara-negara tertentu, perdagangan perempuan dan anak bahkan dijadikan sebagai
bagian dari kebijakan politik perburuhan Cheap
Labour yang dimanfaatkan untuk menekan biaya produksi sehingga cenderung
dieksploitasi. Hal ini jika ditarik sejarahnya di Eropa, bermula dari kebutuhan
akan tenaga kerja besar-besaran pada masa Revolusi Industri.
Trafficking merupakan salah satu jalur terjadinya
perdagangan orang yang korbannya rata-rata berada di bawah garis kemiskinan,
khususnya perempuan dan anak. Apalagi, hingga saat ini posisi perempuan masih
termarjinalisasi, tersubordinasi yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi
kondisi perempuan.
Situasi
semacam ini merupakan santapan sindikat perdagangan perempuan dan anak yang
sudah terorganisir untuk melakukan perekrutan. Bahkan nyaris jauh dari
jangkauan hukum, karena sindikatnya diawali dengan transaksi utang-piutang
antara pemasok tenaga kerja ilegal dengan korban yang mempunyai anak perempuan
yang masih perawan, sehingga jika korban tidak mampu untuk menyelesaikan
transaksi yang telah disepakati, maka agunannya adalah anak perempuan yang
masih bau kencur.
Perdagangan
perempuan dan anak mempunyai jaringan yang sangat luas. Praktik perdagangan
anak yang paling dominan berada di sektor jasa prostitusi, di mana kebanyakan
korbannya adalah anak-anak perempuan. Di Asia Tenggara, dalam beberapa tahun
belakangan ini sejumlah besar anak-anak dari Myanmar, Kamboja, Cina, Laos,
telah diperdagangkan dan dipaksa bekerja di dunia prostitusi di Thailand.
Dari
laporan yang diterima Kementerian Pemberdayaan Perempuan berkaitan dengan
pelecehan, penipuan, pemerkosaan, dan kekerasan, terdapat kurang lebih 1.079
TKI perempuan dari Singapura melarikan diri atau melapor ke KBRI, 235 kasus
bermasalah dari Saudi Arabia, 219 TKI yang dipulangkan karena tidak sesuai dengan
prosedur dan ketentuan yang berlaku, masing-masing dari Kuwait, Kuala Lumpur,
Brunei, Jordania, dan Kolombia. Diskriminasi dalam masyarakat terhadap
perempuan tanpa adanya usaha menyelesaikannya dengan serius membuat kasus-kasus
di atas terus meningkat.
Faktor Kemiskinan
Salah
satu faktor yang mendorong terjadinya trafficking
adalah faktor kemiskinan yang
cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan bisnis, di
mana korban diperjualbelikan bagaikan barang yang tidak berharga melalui tipu
muslihat.
Kemiskinan
yang begitu akut dan langkanya kesempatan kerja mendorong jutaan penduduk Indonesia
untuk melakukan migrasi di dalam dan ke luar negeri guna menemukan cara agar dapat
menghidupi diri mereka dan keluarga mereka sendiri. Sebuah studi mengenai perdagangan
di 41 negara menunjukkan bahwa keinginan untuk memperbaiki situasi ekonomi ditambah
dengan langkanya peluang ekonomi di tempat asal merupakan salah satu alasan utama
mengapa perempuan mencari pekerjaan di luar negeri (Wijers dan Lap-Chew 1999: 61).
Peneliti di Indonesia juga menyatakan bahwa motivasi utama bagi kebanyakan
pekerja untuk bermigrasi adalah motivasi ekonomi (Hugo, 2002: 173; Suryakusuma,
1999: 7).
Peran
Perempuan dalam Keluarga
Di
Indonesia, peran perempuan dalam keluarga terpusat di rumah. Tugas utama
perempuan adalah sebagai istri dan ibu; mengurus keluarga dan rumah. Namun,
tanggung jawab ini juga termasuk memastikan bahwa keluarganya memiliki
penghasilan untuk bertahan hidup. Banyak perempuan yang menjadi pencari nafkah
utama dalam rumah tangga mereka. Jika sebuah keluarga membutuhkan nafkah,
seorang perempuan mungkin akan memutuskan untuk meninggalkan keluarganya, untuk
bermigrasi guna mencari pekerjaan agar dapat mengirim uang ke kampung sehingga
keluarganya dapat bertahan hidup. Dengan meninggalkan keluarganya untuk pergi bermigrasi untuk mencari
pekerjaan, seorang perempuan dapatmenjadi rentan terhadap kekerasan,
eksploitasi, dan perdagangan dalam proses migrasi. Dengan ini, sektor privat
dan publik yang harus digeluti perempuan sekaligus menjadi beban ganda yang
memberatkan perempuan yang berada dalam keluarga ekonomi miskin.
Di dalam
masyarakat Indonesia, anak tidak hanya diharapkan untuk menghormati dan mematuhi
orang tuanya, tetapi juga membantu mereka. Bantuan ini bisa macam-macam bentuknya,
mulai dari menjaga adik, membantu keluarga di ladang seusai sekolah, sampai bekerja
penuh waktu. Sebuah studi menyatakan bahwa di Indonesia, 8,3% anak yang berusia
antara 10-14 tahun dan 38,5% anak yang berumur 15-19 tahun bekerja di luar
rumah (Irwanto et al., 2001: 28). Karena tradisi budaya ini, banyak bentuk perburuhan
anak yang dapat disebut sebagai perdagangan.
Feminisasi
Migrasi di Indonesia
Semakin
banyak buruh migran Indonesia, di dalam negeri maupun di luar negeri, yang
berjenis kelamin perempuan. Jumlah perempuan Indonesia yang bermigrasi untuk
pekerjaan meningkat tajam dalam dekade terakhir. ‘Feminisasi migrasi’ ini
merupakan suatu kecenderungan yang tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi
juga di seluruh dunia. Feminisasi tenaga kerja ini adalah perubahan kondisi
yang memasukkan perempuan dalam sektor-sektor publik namun masih dalam
pemikiran patriarki/gender byas.
Faktor hegemoni pemikiran patriarki inilah yang akan membuat segmentasi
pekerjaan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Tabel di
bawah ini menggambarkan kecenderungan migrasi internal di Indonesia dalam kurun
waktu antara 1990 dan 1995. Tabel ini menunjukkan peningkatan kecenderungan bagi
perempuan untuk bermigrasi dalam rangka pekerjaan, dengan migrasi perempuan meningkat
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan migrasi laki-laki (indeksnya lebih
tinggi 44 Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia dari 100) dan di banyak
provinsi, secara absolut migrasi perempuan sebenarnya lebih tinggi daripada
migrasi laki-laki (rasio jenis kelamin untuk tahun 1990 atau 1995 lebih tinggi
dari 100) (Oey-Gardiner, 1999: 43-44).
Bila
Tabel 10 menggambarkan fenomena feminisasi migrasi internal di Indonesia, Tabel
9 menunjukkan feminisasi migrasi internasional. Tujuh puluh persen buruh migran
Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 adalah perempuan. Buruh migran perempuan
Indonesia yang pergi ke Malaysia hanya sedikit lebih banyak dari buruh migran
laki-laki, tetapi buruh migran perempuan yang berangkat ke Arab Saudi berjumlah
hampir dua belas kali dari jumlah buruh migran laki-laki. Perempuan juga menguasi
sebagian besar arus migrasi ke Singapura dan Hong Kong, sementara laki-laki Indonesia
mendominasi migrasi ke Korea Selatan dan Taiwan (Hugo, 2002:159).
Perbedaan
ini mungkin disebabkan oleh jenis pekerjaan yang terbuka di negara penerima.
Negara-negara yang menjadi tujuan migrasi sebagian besar perempuan memerlukan
banyak pembantu rumah tangga yang tidak terampil, dengan demikian mereka lebih
suka mempekerjakan perempuan karena adanya segmentasi gender yang mengganggap
perempuan lebih cocok bekerja dalam sektor rumah tangga. Sementara negara-negara
seperti Korea Selatan dan Taiwan lebih banyak memerlukan buruh pabrik atau
buruh di sektor formal di mana buruh laki-laki lebih disukai.
Feminisasi
migrasi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Dalam A Comparative Study
of Women Trafficked in Migration Process, para peneliti dari Filipina mencatat
beberapa faktor yang menjadi penyebab meningkatnya migrasi perempuan ke luar
negeri di Filipina (Santos, et al., n.d.). Beberapa dari faktor-faktor ini juga
berlaku bagi Indonesia:
(1)
Perkembangan ekonomi yang pesat di negara-negara tujuan dan meningkatnya
permintaan terhadap buruh migran perempuan.
Bentuk-bentuk
Perdagangan di Indonesia 45 Negara-negara tujuan, seperti Arab Saudi, Hong
Kong, Malaysia, Singapura dan Taiwan meningkatkan permintaan mereka terhadap
buruh perempuan yang tidak terampil, yang kemudian ditanggapi oleh buruh migran
Indonesia. Keadaan ekonomi di negara-negara tujuan memberikan kesempatan kerja
alternatif yang memerlukan keterampilan lebih tinggi bagi perempuan setempat,
sehingga tidak tersisa banyak perempuan yang tertarik dengan bidang pekerjaan
sebagai pembantu rumah tangga yang bergaji rendah. Sementara itu, sejalan
dengan semakin banyaknya perempuan yang menjadi bagian dari angkatan kerja,
makin banyak dari para perempuan ini dan keluarga mereka yang perlu
mempekerjakan orang lain untuk membantu mereka di rumah, sehingga meningkatkan
permintaan akan pembantu rumah tangga dari luar negeri. Banyak negara tujuan,
seperti Singapura, Taiwan dan Hong Kong mempunyai perekenomian yang jauh lebih
maju dan lebih baik daripada Indonesia. Kemakmuran ekonomi, disertai dengan
rendahnya upah buruh migran Indonesia untuk profesi pembantu rumah tangga,
memungkinkan bahkan keluarga kelas menengah di negara-negara tujuan untuk
mempekerjakan pembantu rumah tangga, pengasuh anak, atau perawat bagi orang
lanjut usia di rumah mereka.
LSM-LSM
yang menangani buruh migran di Taiwan dan Hong Kong memberikan bukti anekdotal
yang mengindikasikan bahwa majikan dan perekrut di negara-negara tujuan ini
lebih suka mempekerjakan buruh migran perempuan dari Indonesia karena mereka
yakin bahwa buruh migran Indonesia “cenderung kurang mengetahui hak-hak mereka,
tidak berbicara bahasa Inggris seperti rekanrekan mereka dari Filipina
(sehingga lebih mudah untuk dimanfaatkan), tidak terlalu sering mengajukan
pengaduan dan melaporkan pelanggaran, kurang memperoleh dukungan dari kedutaan
atau konsulat mereka, dan dapat digaji lebih sedikit ketimbang buruh migran
dari negara lain” (ACILS, 2001).
(2)
Kebijakan migrasi tenaga kerja resmi dari pemerintah; di mana perekrutan
perempuan secara aktif digalakkan melalui kerja sama dengan agen perekrut
tenaga kerja. Seperti yang dikemukakan di atas, pemerintah Indonesia secara
eksplisit mendorong penduduk untuk menjadi buruh migran guna mengatasi masalah
pengangguran di dalam negeri. Pengiriman buruh migran sebagai upaya mengatasi
pengangguran ini terlihat tanpa perhatian lebih lanjut sehingga menimbulkan
berbagai permasalahan-permasalahan yang ada. Hugo beranggapan bahwa “[buruh
migran] perempuan Indonesia sering kali secara tidak adil dipersalahkan
habis-habisan atas masalah yang mereka hadapi. Para pejabat di negara tujuan
menyebut ketidakterampilan dan rendahnya tingkat pendidikan sebagai penyebab
masalah mereka.” Menurut Hugo, “Jawaban untuk memperbaiki keadaan [buruh
migran] bukan dengan cara memberlakukan larangan untuk bermigrasi. . .
.Larangan demikian hanya akan mengakibatkan [buruh migran] perempuan terpaksa
berangkat sebagai imigran gelap, yang membuat mereka makin rentan” (Hugo, 2002:
177).
(3)
Stereotip Gender terhadap perempuan dalam situasi kerja yang mencerminkan peran
tradisional mereka sebagai pengasuh dan “penghibur”.
Perempuan
Indonesia sejak dulu dipandang dalam perannya sebagai istri dan ibu, yaitu
mengurus keluarga dan rumah tangga, atau sebagai objek seks. Sebagaimana di
banyak belahan dunia lain, stereotip demikian tetap berlaku dalam pekerjaan yang
dilakukan perempuan di pasar tenaga kerja, baik di Indonesia maupun sebagai buruh
migran, dengan mengambil pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh
bayi, perawat orang lanjut usia, penari dan pekerja seks. Pendidikan yang rendah
dan kurangnya keterampilan yang dapat digunakan untuk bekerja membuat perempuan
tidak banyak mempunyai pilihan lain selain pekerjaan yang mencerminkan
peran-peran tradisional ini.
(4)
Meningkatnya kemiskinan dalam konteks program penyesuaian struktural yang
menyebabkan penduduk pedesaan kehilangan tanah dan menjadi miskin, sehingga
mendorong lebih banyak perempuan untuk memasuki pasar tenaga kerja.
Di
Indonesia, krisis ekonomi di Asia yang dimulai pada tahun 1997 berdampak amat
buruk bagi buruh dan keluarga mereka. Buruh menghadapi bukan hanya pemutusan
hubungan kerja dan tingginya angka pengangguran, tetapi juga hilangnya tanah
mereka (sebagai akibat kebijakan industrialisasi dan reformasi agraria), tingginya
inflasi, penghapusan subsidi, serta privatisasi layanan yang sebelumnya merupakan
layanan umum. Keadaan ini mempengaruhi kemampuan para buruh untuk memberi
nafkah bagi keluarga, menyekolahkan anak, dan memperoleh layanan dasar,
sehingga banyak yang terpaksa mencari nafkah di luar rumah atau desa mereka.
Ini menjadi katalisator untuk bermigrasi agar dapat bekerja di luar negeri, sering
kali melalui saluran yang tidak resmi. Meningkatnya permintaan terhadap buruh
perempuan, ditambah dengan terbatasnya peluang ekonomi di negeri sendiri, menyebabkan
makin banyaknya perempuan yang mencari pekerjaan di luar desa mereka, yaitu di
kota-kota besar, dan di luar negeri.
(5)
Kurangnya kesempatan kerja di dalam negeri yang memungkinkan perempuan untuk
mencari pekerjaan yang lebih baik, meningkatkan keterampilan dan memperoleh
masa depan yang lebih menjamin.
Semakin
sedikit kesempatan kerja di kampung halaman serta di daerah sekitar yang tersedia
bagi perempuan. Sebelumnya, perempuan bekerja di sawah dan di perkebunan. Namun
demikian, pekerjaan seperti ini sudah berkurang jumlahnya dalam satu dekade
terakhir di Indonesia. Selain itu, selama setahun terakhir, peluang kerja di
pabrik bagi perempuan, terutama dalam industri tekstil dan garmen, menurun tajam,
sehingga banyak buruh perempuan yang mengalami pemutusan hubungan kerja dan
kesempatan kerja bagi perempuan muda semakin berkurang. Banyak dari para perempuan
ini kemudian bermigrasi untuk mencari pekerjaan.
(6)
Meningkatnya ketergantungan keluarga pada perempuan untuk pendapatan, khususnya
di dalam rumah tangga yang kurang mampu;
Perempuan
Indonesia dahulu membantu menghidupi keluarga mereka dengan bekerja di sawah
atau di perkebunan, atau dengan bekerja di rumah dalam industry rumah tangga.
Karena pendapatan dari kegiatan-kegiatan ini sudah tidak cukup lagi untuk
menghidupi keluarga, atau karena keluarga tidak mempunyai tanah lagi, anggota
keluarga bermigrasi untuk mencari pekerjaan. Untuk menghidupi keluarga mereka,
perempuan bermigrasi ke kota-kota besar dan ke luar negeri untuk menjadi pembantu
rumah tangga atau pengasuh anak/orang lanjut usia. Walaupun banyak risiko yang
terkandung dalam profesi buruh migran, dan banyak perempuan merasa terdesak
untuk bekerja di luar negeri demi memperoleh cukup uang untuk menghidupi
keluarga mereka, bekerja di luar negeri juga dapat membuat seseorang lebih kuat
dan percaya diri. Dengan bekerja di luar negeri, perempuan menjadi mandiri,
memperoleh penghasilan sendiri dan dapat lebih banyak mengatur penggunaan uang
keluarga, serta merasakan suka duka tinggal dan bekerja di negara lain. Hasil
studi oleh Raharjo menunjukkan bahwa banyak buruh migran perempuan menyatakan
“pelarian dari batasan-batasan yang ditetapkan oleh keluarga” sebagai motivasi
penting untuk bermigrasi (Hugo, 2002: 173). Kita jangan selalu melihat buruh
migran perempuan sebagai korban eksploitasi dan kekerasan atau sebagai perempuan
yang tidak mempunyai kekuasaan atas pilihan dan nasib mereka. Migrasi untuk
menjadi buruh adalah pilihan yang sah, dan kebebasan bergerak adalah hak asasi
manusia yang diakui dunia.
Kendati
demikian, kemiskinan dan keinginan untuk memperbaiki keadaan ekonomi seseorang masih
menjadi faktor penting yang perlu dipertimbangkan ketika menyusun kebijakan dan
program untuk mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan menempatkan orang dalam keputusasaan,
membuat mereka semakin rentan terhadap eksploitasi.
Sumber Referensi
Rosenberg,
Ruth. 2003. Perdagangan Perempuan dan
Anak di Indonesia. Jakarta: ACILS.
http://usupress.usu.ac.id/files/Trafiking_finish_normal_bab%201.pdf
diunduh pada Senin, 28 November 2011, jam 22.00 WIB
rumusan isu masalah
rumusan poin-poin solusinya
dalam presentasi kedua, masih belum
menyentuh makro, multikulturalisme dalam trafficking of women, baaimana
menchalange naik ke tingkatan yang lebih makro.. didekati dengan studi perbandingan,
bagaimana pattern negara yg hampir mirip melihat konteks.
Dalam kerangka dan mapping, konteks
eropa timur dan asia..
Dinamika, patternnya mengarah ke
trafficking kea pa? apakah polanya sama dengan mengara2 yg mirip indo? Kearah
hiburan pembantu.
Pertanyaan besarnya ditarik dalam
konteks global? Ini kan multicausal dan structural, dari semua yg mana yg
paling mempengaruhi, dugaan saya ini bukan faktor utama…
Tapi dipicu oleh…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar