Perbaikan Nilai UTS
Manajemen
Muhammad Ridho Rachman, 0806343973
Pemimpin
dengan Budaya Organisasi dan Lingkungan
Dalam kehidupan, masyarakat tidak
bisa terlepas dari ikatan budaya yang diciptakannya. Budaya dicipta oleh
masyarakat demi membentuk tatanan kehidupan bersama yang lebih baik. Budaya
mengikat setiap individu dalam kelompoknya baik dalam keluarga, lingkungan, organisasi,
bisnis, maupun negara. Seiring bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam
organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi
efektivitas organisasi secara keseluruhan.
Budaya organisasi secara umum
diartikan nilai, prinsip, tradisi, dan cara pandang yang mempengaruhi perilaku
anggota organisasi itu sendiri (Robbins, 2009:62). Dalam penulisan ini arti
budaya organisasi adalah suatu nilai organisasi yang dianut oleh anggota
organisasi, yang kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para
anggotanya sendiri. Dalam hal ini diharapkan berbagai nilai, prinsip, tradisi,
dan cara pandang suatu organisasi/perusahaan yang diinginkan terus bertahan
bisa ditularkan dan menjadi suatu nilai yang juga dianut oleh seluruh anggota
atau karyawan.
Budaya pada hakekatnya
merupakan pondasi bagi suatu organisasi. Jika pondasi yang dibuat tidak cukup
kokoh, maka betapapun bagusnya suatu bangunan, tidak akan cukup kokoh untuk
menopangnya. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bagiamana budaya itu
seharusnya dibentuk. Dari berbagai pendapat tersebut yang tidak bisa dipungkiri
adalah peran pimpinan. dalam ilmu manajemen, keberadaan budaya organisasi
dikaitkan dengan pimpinan/manajer. Bagaimana seorang manajer mampu menciptakan
budaya yang diinginkan dan menularkan kepada seluruh anggota.
Ada sejumlah tahapan
bila suatu perusahaan ingin membentuk kulturnya. Pertama-tama perusahaan tadi
harus melihat ke depan mengenai visi misi organisasi. karyawan
baru perlu banyak belajar mengenai budaya organisasi demi mencapai kesamaan
visi misi dalam mencapai tujuan perusahaan. tentu, sosialisasi menjadi kunci
utama penyerapan budaya perusahaan; yakni suatu proses yang membantu karyawan
beradaptasi dengan budaya organisasi. berbagai wadah yang digunakan dalam
penyerapan budaya organisasi oleh karyawan, antara lain melalui kisah; misalnya mengenai usaha pendiri
perusahaan yang begitu keras dalam membangun usaha dulu. kemudian melalui ritual perusahaan; misalnya perusahaan
menerapkan budaya makan siang bersama seluruh jajaran perusahaan dari level
atas sampai terbawah di kantin perusahaan. Di balik ini ada suatu rasa
kebersamaan yang dianggap penting dalam menumbuhkan rasa kekeluargaan di
samping hubungan berdasarkan profesionalitas. selanjutnya melalui simbol-simbol fisik/material, misalnya
dari tata letak perlengkapan di kantor dan seragam yang digunakan mengandung
suatu nilai yang dianut dan menjadi ciri khas suatu perusahaan tersendiri. Yang
terakhir melalui bahasa, terutama
perusahaan jasa yang sangat mengutamakan pelayanan konsumen, ada bentuk
pelayanan prima yang membuat orang-orang di luar merasakan suatu nilai yang ada
yang menjadi kekhasan perusahaan tersebut.
Menurut Susanto (1997) bahwa budaya organisasi dapat
dihidupkan pertama-tama melalui seleksi, yaitu memperoleh anggota yang
setidak-tidaknya memiliki nilai-nilai yang sama dengan budaya organisasi yang
ada. Setelah itu barulah penanaman nilai-nilai lainnya bisa diterapkan.
Mengenai pendiri, lebih lanjut dikatakan bahwa pendiri
memiliki peran yang sangat besar, karena bagaimanapun visi dan misi organisasi
yang bersangkutan tidak terlepas dari bagaimana nilai-nilai pendiri tersebut.
Pada akhirnya nilai-nilai tersebut harus diaktualisasikan dan menjadi nafas
bagi organisasi yang ada. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana
pemimpin memiliki pengaruh besar karena harus dapat bertindak sebagai model
bagi terciptanya nilai-nilai yang ada.
Lebih lanjut, setiap organisasi memiliki budayanya
masing-masing, tetapi tidak semua budaya mampu memberikan pengaruh bagi setiap
aksi dan prilaku semua karyawan. Istilah strong
culture ditengahkan, yakni budaya organisasi yang menjadi kunci nilai-nilai
yang secara kuat dipegang dan disebarkan secara luas (Robbins, 2009). Strong culture ini yang mampu
mempengaruhi aksi dan prilaku karyawan dibanding budaya lain yang cenderung
lemah. Peran vital pimpinan di sini dalam menerapkan budaya-budaya yang baik
demi mencapai produktivitas perusahaan yang diinginkan.
Dalam sebuah perusahaan, seorang pimpinan
harus mampu membaca semua keadaan dalam membuat suatu keputusan. Secara umum,
selain memiliki berbagai kemampuan secara teori dan pengalaman, mengenai budaya
organisasi dan lingkungan organisasi perlu menjadi bahan pertimbangan dalam
perumusan arahan kebijakan.
Secara
spesifik, peranan budaya organisasi adalah membantu menciptakan rasa memiliki
terhadap organisasi, menciptakan jatidiri anggota organisasi, menciptakan
keterikatan emosional antara organisasi dan karyawan yang terlibat di dalamnya,
membantu menciptakan stabilitas organisasi dalam keseharian. Dengan demikian
budaya organisasi berpengaruh kuat terhadap perilaku para anggotanya.
Budaya yang dimiliki
oleh suatu organisasi memiliki peran yang tidak kecil. Heskett dan Schlesinger
(dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) mengatakan bahwa pemimpin
turut berperan dalam menciptakan kondisi budya yang menjamin penciptaan
prestasi kerja. Hal ini disebabkan anggota dengan jelas mampu membaca apa yang
dikehendaki dari mereka sehingga mereka tahu dengan tepat apa yang harus mereka
lakukan dan sadar dalam membawakan peran mereka. Steere, Jr. (dalam Hesselbein,
Goldsmith dan Beckhard, 1996) berpendapat bahwa budaya memiliki peran dalam
memberi identifikasi dan prinsip-prinsip yang mengarahkan perilaku organisasi, membuat
keputusan, mengembangkan suatu metode sehingga individu dapat menerima feedback atas prestasi mereka, dan menjaga
sistem reward dan reinforcement yang diberlakukan dalam
organisasi. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana budaya mampu memberi suatu
identitas dan arah bagi keberlangsungan hidup organisasi.
Sepuluh
karakteristik yang menggambarkan esensi budaya organisasi, menurut Dharma,
2004: 1) Identitas anggota, dimana karyawan lebih mengidentifikasi organisasi secara menyeluruh; 2) penekanaan kelompok,
dimana aktivitas tugas lebih diorganisir untuk seluruh kelompok dari pada
individu; 3) Fokus orang, dimana keputusan manajemen memperhatikan dampak
luaran yang dihasilkan oleh karyawan dalam organisasi; 4) penyatuan unit,
dimana unit-unit dalam organisasi didorong agar berfungsi dengan cara yang
terkoordinasi atau bebas; 5) pengendalian, dimana peraturan, regulasi dan
pengendalian langsung digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan karyawan; 6)
toleransi resiko, dimana pekerja didorong untuk agresif, kreatif, inovatif dan
mau mengambil resiko; 7) kriteria ganjaran, dimana ganjaran seperti peringatan,
pembayaran dan promosi lebih dialokasikan menurut kinerja karyawan dari pada
senioritas, favoritisme atau faktor non-kinerja lainnya; 8) toleransi konflik, dimana karyawan didorong dan diarahkan untuk menunjukkan
konflik dan kritik secara terbuka; 9) orientasi sarana tujuan, dimana manajemen
lebih terfokus pada hasil atau luaran dari pada teknik dan proses yang
digunakan untuk mencapai luaran tersebut; 10) fokus pada sistem terbuka, dimana
organisasi memonitor dan merespons perubahan dalam lingkungan eksternal.
Kondisi yang terjadi
akhir-akhir ini di Indonesia yang terlihat oleh betapa rentannya masyarakat
terhadap berbagai macam isu menunjukkan betapa lemahnya kohesivitas yang ada
dan betapa lemahnya peran pemimpin sebagai sumber inspirasi bagi kehidupan
berbangsa. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bersifat paternalistik,
sehingga dalam hal ini peran pemimpin adalah sebagai bapak yang mengayomi dan
membina anak buahnya. Figur inilah yang pada akhirnya menjadi panutan bagi
seluruh anggotanya. Istilah ing ngarso sung tuladha nampaknya tepat guna
mengambarkan bagaimana pola hubungan antara pimpinan dengan anak buah. Efek
yang timbul adalah jika panutan ini hilang atau kabur fungsinya, maka yang
timbul adalah kegelisahan karena orang menjadi kehilangan pegangannya. Sejak
awal ditegaskan bagaimana peran pemimpin dalam menciptakan budaya yang kondusif
dalam organisasinya. Dalam hal ini peran pemimpin sangat besar karena dialah
yang harus mensosialisasikan nilai-nilai yang ada atau menyatukan nilai-nilai
yang berbeda karena didasari oleh kepentingan yang berbeda sehingga akan
tercipta nilai-nilai yang dihayati bersama. Mampu tidaknya seseorang tampil
sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki serta
komitmen yang jelas terhadap orang lain. Hal ini sejak awal telah diantisipasi
oleh Crosby (1996). Ia menekankan perlunya seorang pemimpin untuk memiliki
agenda yang jelas yang menyangkut diri dan organisasis sehingga ia tahu kemana
arah yang dituju. Agenda tersebut seyogyanya menyangkut tujuan jangka panjang
dan strtaegi jangka pendek yang hendak dicapai dengan mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika situasi menjadi rancu dan ambigu.
Justru dalam kondisi inilah akan nampak bagaimana peran pemimpin tersebut.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa ada hubungan yang sangat vital antara budaya dan
kepemimpinan. Keberhasilan seorang pemimpin justru akan dilihat dalam pengaruh
mereka secara langsung terhadap budaya organisasi. Menurut Turner (Taliziduhu
Ndraha : 2005) Pada dasarnya pemimpin berperan dalam pembentukan budaya,
budaya membantu membentuk anggota-anggotanya (Turner, 1994). Pembentukan budaya
hanya akan dapat dilihat lebih dekat melalui perilaku-perilaku para anggota
serta semangat yang mendorongnya. Pada akhirnya disadari bahwa pemimpin
hendaknya memiliki suatu komitmen yang jelas, baik komitmen pada diri pribadi
maupun komitmen terhadap organisasi. Jika nilai-nilai yang dimiliki adalah
nilai-nilai kebersamaan dan kesejahteraan bersama, maka hal itu akan
sungguh-sunguh terlihat pada spirit yang ada pada anggotanya. Ketika peran ini
diabaikan, tidak akan heran jika keberadaan organisasi akan hancur justru karena
orang cenderung meninggalkan budaya yang dimiliki. Malah memakai budaya negara
lain yang menurutnya dianggap lebih baik. Dalam situasi yang demikian, refleksi
dan introspeksi perlu dilakukan semua pihak dan keberanian mengakui kekurangan
adalah tindakan bijaksana sehingga dapat dipastikan anggota akan kembali timbul
kepercayaan.
Berdasarkan pembahasan diatas maka
dapat disimpulkan :
Budaya organisasi secara umum
diartikan nilai, prinsip, tradisi, dan cara pandang yang mempengaruhi perilaku
anggota organisasi itu sendiri. Yang diharapkan budaya organisasi yang
diinginkan terus bertahan bisa ditularkan dan menjadi suatu nilai yang juga
dianut oleh seluruh anggota atau karyawan. Pemimpin turut berperan dalam
menciptakan kondisi budaya yang menjamin penciptaan prestasi kerja. Dalam
hal ini, peran pemimpin tidak kecil dalam mensosialisasikan budaya yang
dimiliki. Karena peranannya seorang pemimpin dalam budaya bukanlah proses
yang pasif. Namun ia melibatkan peran proaktif dari orang-orang yang terkait.
Hal ini memiliki arti bahwa orang dengan sadar menerima budaya yang ada dan
menjadi suatu dasar bagi perilaku kesehriannya.
Kuat lemahnya suatu budaya dalam
organisasi akan terlihat pada sejauh mana oganisasi mampu bertahan dalam
situasi yang sulit. Di samping itu, kuat lemahnya budaya organisasi juga
terletak pada sejauh mana anggota meletakkan kepercayaannya pada pemimpin
mereka. Ketika dalam situasi yang turbulance, kepercayaan anggota lemah,
maka hal itu merupakan indikasi bahwa peran pemimpin dipertanyakan dan budaya
yang diinternalisasi mengalami suatu tantangan. Kini yang terpenting dalam
melihat teori-teori kepemimpin tidak lagi didasarkan pada gaya pemimpin
semata-mata, namun yang terpenting adalah mampukan pemimpin menggunakan
emosinya dan tidak semata-mata mengandalkan rasio karena hal ini berarti dengan
komitmen yang tinggi didasarkan pada hati nurani, pemimpin menjalankan
perannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar