KOMANDO OPERASI
KEAMANAN DAN KETERTIBAN
1965-1969
Oleh:
Ahmad Nakhrowi (0806462205)
Diana Nurwidiastuti (0806343834)
Diemas Syahputra (0806343840)
Muhammad Ridho Rahman (0806343973)
Rachman Nurdin (0806344042)
Ryan Prasetia Budiman (0806344080)
Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Militer Nasional
Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
2010
Bab I
Pendahuluan
Latar Belakang
Situasi politik Indonesia
pascapemilu 1955 ternyata melahirkan ketidakstabilan politik yang
berkepanjangan dan menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa kalangan masyarakat.
Presiden Sukarno yang saat itu terasing secara politik melihat celah untuk
kembali ke panggung politik dengan memanfaatkan situasi tersebut. Salah satu caranya
adalah intervensi di bidang militer.
Beberapa pengaruh
yang ditancapkan Sukarno pada saat Demokrasi Terpimpin mendapat tanggapan
positif dari kalangan militer. Jenderal TNI A. H. Nasution, yang menjabat
sebagai Menteri Keamanan Nasional dan juga Kepala Staff Angkatan Darat
(MKN/KSAD) melalui konsep “Jalan Tengah”nya, memberikan kesempatan bagi tentara
untuk berpartisipasi secara aktif dalam segala bidang non-militer dan
menentukan kebijakan nasional pada tingkat yang lebih tinggi, termasuk bidang
ekonomi.
Sesudah lahirnya
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang membuat Sukarno bangkit dan
mengendalikan pemerintahan, ditandai juga penguasaan terhadap militer
(khususnya AD) yang bertujuan memperkuat Demokrasi Terpimpin.
Pada saat sebuah
gerakan yang menamakan diri G30s melakukan pembersihan terhadap orang-orang
yang dituduh mereka akan melakukan kudeta terhadap presiden, namun dalam
perkembangannya gerakan ini tidaklah sebesar apa yang dilakukan. Dengan mudah
pertumbuhannya dapat dipatahkan oleh militer. Dalam waktu singkat, gerakan yang
kurang terkoordinasi itu dapat diatasi.
Pada tanggal 2
Oktober 1965, Mayjen Soeharto dipanggil oleh Presiden Sukarno di Bogor. Di sana telah hadir Leo
Watimena, Pranoto Reksosamudro, Omar Dhani, dan Chaerul Saleh. Kemudian,
disaksikan beberapa orang tersebut presiden menetapkan Mayjen Pranoto sebagai
Pejabat Pelaksana Harian. Soeharto secara halus menolak ketetapan itu dan
mengusulkan agar presiden memberikan mandat pada pangkostrad untuk
menyelesaikan persoalan pemulihan keamanan. Presiden pun menyetujuinya.
Ketetapan presiden inilah yang kemudian dijadikan pegangan oleh Mayjen Soeharto
untuk melakukan tindakan yang dianggap perlu berkaitan dengan pembersihan
orang-orang yang dicurigai terlibat peristiwa 30 September itu.
Mayjen Soeharto dengan berbekal perintah lisan dari
Sukarno memimpin komando yang dikenal sebagai koopkamtib atau Komando Operasi
Keamanan dan Ketertiban. Gerakan yang diduga didalangi oleh PKI ditumpas dari Jakarta sampai ke daerah-daerah di seluruh indonesia ,
termasuk Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bab II
Kopkamtib 1965-1969
Kedudukan
Kopkamtib
dalam Struktur TNI pada Tahun 1965-1969
Pada tanggal 12 November 1965 dengan Keputusan Presiden
No. 162/Koti/1965 Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dinyatakan
sebagai salah satu Komando Utama Pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban (Koopskamtib). Selanjutnya menurut Keputusan Presiden
No.179/Koti/1965 tanggal 6 Desember 1965 tentang penentuan tugas dan organisasi
Kopkamtib. Berdasarkan keputusan tersebut Kopkamtib menunjuk Staf Umum Angkatan
Darat sebagai Staf Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang
dilengkapi dengan perbantuan unsur-unsur dari Angkatan Laut, Angkatan Udara,
dan Angkatan Kepolisian guna menjamin aspek gabungannya.
Sesuai dengan tugas organisasi Kopkamtib tersebut,
Pangkopkamtib Mayjen Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan No. Kep 69/10/1965
tentang pembentukan Tim Pemeriksa Pusat/Daerah dan susunan organisasi, tata
cara, tata kerja, penyaluran, penampungan serta penyelesaian terhadap
tahanan/tawanan dalam rangka operasi pembersihan/menumpas “Gerakan 30
September”. Team Pemeriksa Pusat (Teperda) berkedudukan di Pusat dan berada di
bawah Pangkopkamtib. Sedang Teperda berada di bawah Pangdam selaku Panglima
Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban di Daerah (Pangkopkamtibda). Kemudian
ditunjuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) sebagai lembaga yang berwenang
untuk memeriksa dan mengadili.
Pada tanggal 3 Juli 1967, Staf Koopskamtib
diintegrasikan dengan Staf Umum Angkatan Darat (SUAD), dan memiliki anggaran
belanja sendiri. Atas dasar Keputusan Presiden No.19 tahun 1969, organisasi
Kopkamtib yang tergabung dalam Staf Umum Angkatan Darat juga disempurnakan
dengan dikeluarkannya Keppres No.90 tahun 1969 tanggal 10 November 1969. Dalam
hal ini jabatan Wapangkopkamtib yang semula dijabat oleh Panglima Angkatan
Darat diganti oleh Perwira Tinggi yang diangkat presiden. Tujuan penyempurnaan
itu agar tercapai efisiensi dan efektivitas dalam melaksanakan tugas pemimpin
dalam pengendalian operasional pemulihan keamanan dan ketertiban. Organisasi
Kopkamtib terdiri atas unsur staf pelaksana dan staf umum yang terdiri atas
staf-staf sosial-politik, intelijen, operasi, teritorial, serta keamanan dan
ketertiban masyarakat. Unsur pelaksana Kopkamtib terdiri atas Satuan Tugas
(Satgas) Intelijen, Dinas Hubungan Masyarakat, Tim Pemeriksa pusat (Teperpu),
dan Tim Oditur/Jaksa Pusat (Todsapu).[1]
Dalam keputusan disebutkan pula bahwa presiden memegang
langsung pimpinan dalam pengendalian operasi pemulihan keamanan dan ketertiban.
Keputusan menyebutkan juga bahwa Pangkopkamtib dalam tugasnya dibantu oleh
wapangkopkamtib. Sedang tugas Staf Kopkamtib dilakukan oleh Staf Hankam yang
sehari-harinya dilaksanakan oleh Staf Harian.
Bersamaan dengan dikeluarkannya Keppres No.90/1969,
Presiden juga yang mengeluarkan keputusan pengangkatan Jend TNI M. Panggabean
sebagai Pangkopkamtib dan Letjen TNI Sumitro sebagai wakilnya. Realisasi
Keppres No.90/1969, dalam hal peralihan Staf Kopkamtib dari Staf Umum Angkatan
Darat (SAUD) ke Staf Hankam. Peralihan tersebut dilaksanakan mulai tanggal 1
April 1970.
Organisasi Kopkamtib
Pasca terjadinya gerakan 30 september 1965 3 hari
kemudian tepatnya pad 3 oktober 1965, Presiden Soekarno menyampaikan amanat
melalui RRI yang menyatakan antara lain: Pimpinan angkatan darat dipegang
langsung Presiden. Mayor jenderal TNI Soeharto, Panglima Kostrad dijunuk
sebagai Pelaksana Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.”
Pada tanggal 12 Nopember 1965 dengan Keputusan Presiden
No. 162/Koti/1965. Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dinyatakan
sebagai salah satu komando Utama pelaksana Komando Operasi Tertinggi (Koti).
Keputusan tersebut menyatakan bahwa Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban disingkat menjadi Ko Ops Pemuliahn Kam/Tib. Selanjutnya menyusul keputusan Presiden No.
179/Koti/1965 tanggal % desember 1965, tentang penentuan tugas dan organisasi
Kopkamtib. Berdasarkan keputusan tersebut tugas pokok Kopkamtib adalah untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban akibat peristiwa Gerakan 30 september 1965,
serta mengembalikan kewibawaan pemerintah dengan cara operasi fisik, militer
dan mental.
Berdasarkan tugas ersebut maka kemudian organisasi
kopkamtib disusun sebagai berikut: pertama, mengangkat Menteri/Panglima
Angkatan Darat Mayor Jenderal TNI Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang bertnaggung jawab lengsung kepada
Presiden/Panglima Besar Komando Operasi Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia/Panglima Besar Komando Operasi Tertinggi. Kedua, menunjuk Staf Umum
Angkatan Darat sebagai Staf Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
yang dilengkapi dengan parbantuan unsure-unsur dari Angkatan Laut. Angkatan
Udara, dan Angkatan Kepolisian guna menjamn Aspek gabungannya. Ketiga, untuk
melaksanakan tugas-tugas khusus dibentuk Staf Khusus sesuai dengan kebutuhan
yang dapat disusun dari tenaga-tenaga ahli departemen lainnya. Keempat, Kmando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ini memiliki unsure-unsur pelaksana
khusus yakni Penguasa Perang Daerah (Peperda) di daerah masing-masing dan
satuan-satuan tugas gabungan atau khusus sesuai denga kebutuhan yang dapat
disiapkan dan diperbantukan. Kelima, pembiayaan Komando ini dibebankan kepada
Anggaran Revolusi, melalui komando Operasi Tertinggi. Keenam, dengan
dikeluarkan keputusan ini, maka keputusan Presiden/Komando Operasi Tertinggi
Nomor. 142/Koti/1965 resmi dicabut.
Sesuai dengan keputusan di atas, Pangkopkamtib Mayor
Jendral Soeharto mengeluarkan surat
Keputusan Nomor Kep.69/10/1965 tentang pembentukan Tim Pemeriksa Pusat/Daerah
dan susuna organisasi, tata cara, tat kerja, penyaluran, penampungan serta
penyelesaian terhadap tahanan/tawanan dalam rangka operasi pembersihan/menumpas
“Gerakan 30 September”.
Team pemeriksa Pusat (Teperpu) adalah suatu tim
pelaksana pemeriksaan yang berkedudukan di pusat dan berada di bawah
Pangkopkamtib. Team Pemeriksa Daerah
(Teperda) adalah suatu tim pelaksana pemeriksaaan yang berkedudukan di
daerah dan berada di bawah Pangdam Selaku Panglima Komando Operasi Kemanan dna
Ketertiban di Daerah (Pangkopkamtibda). Seiring dengan pembentukan tersebut,
dibentuk pula Tim Oditur/Jaksa Pusat (Todsapu) dan Tim Oditur/Jaksa Daerah
(Todsada) yang secara sinergi melaksanakan penyelesaian secara hukum terhadap
orang-orang yang terlibat G 30 S.
Untuk penyelesaian secara hukum tokoh-tokoh G 30 S,
Presiden mengeluarkan Keputusan Nomor 370 tanggal 4 desember 1965 tentang
penunjukkan mahkamah militer Luar Biasa (Mahmiliub) sebagai lembaga yang
berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya.
Pada bulan Juli 1967, Mneteri/Panglima Angkatan Darat
selaku Pangkopkamtib menunjuk para Panglima Komando Antar Daerah (Pangkoanda)
Sumatera, Kalmantan, Indonesia Bagian Timur, dan para Pangdam V, VI,VII, VIII
sebagai pelaksana Khusus Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Laksus Pangkopkamtib). Selanjutnya setelah Jenderal Soeharto
diangkat sebagai pejabat Presiden
RI , maka pejabat Menteri/Panglima
Angkatan Darat Letnan Jenderal M. Panggabean ditunjuk sebagai Wapangkopkamtib.
Sejak itu seluruh unsur pimpinan Angkatan Darat merangkap sebagai bagian dari
pimpinan Kopkamtib, dan staf umum Koanda. Serta staf umum daerah militer
menjadi staf Pelaksana Khusus dan Pangkopkamtib di daerahnya. Kemudian Kodam I
samapai dengan IV, dan Kodam IX sampai dengan XVII menjadi staf Pelaksana
Khusus Pangkopkamtib.
Pada tanggal 3 Maret 1969, dalam rangka penyempurnaan
organisasi kopkamtib, Presiden Mengeluarkan Keputusan No. 19. Keputusan
tersebut menegaskan bahwa Wapngkopkamtib diabat oleh Panglima Angkatan Darat.
Satf Umum Angkatan Darat sebagai Staf Kopkamtib dan pelaksanaan tugasnya
sehari-hari dilakukan oleh staf Harian, serta Angkatan lain yang duduk dalam
satf Kopkamtib disesuaikan dengan kebutuhan. Keputusan presiden tersebut juga
menegaskan bahwa pelaksana khusus Pangkopkamtib di daerah menggunakan staf
komandonya sebagai staf Laksus Pangkopkamtib. Dalam staf Laksus Pangkopkamtib
dapat pula duduk Angkatan lain disesuaikan dengan kebutuhan.
Operasi Kopkamtib 1965-1969
Pemberantasan G 30 S/PKI di Yoyakarta dan Jawa Tengah
Di samping Jawa
Timur, Jawa Tengahdan Yogyakarta merupakan basis PKI yang terkuat di Pulau
Jawa. Biro PKI berhasil menyusupkan para orang didikannya ke dalam militer
khususnya dalam Kodam VII/ Diponegoro. Pada Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 13.00,
kolonel Sahriman mengumumkan pembentukan Komandan G 30 S melalui RRI Semarang.
Letkol. Usman Sastrodibroto yang di tunjuk oleh Sahirman berhasil menguasai
Kodam VII/Diponegoro. Kemudian melalui alat komunikasi yang berada di Kodam,
Letkol Usman berhasil mempengaruhi beberapa satuan di bawahnya, yaitu: Korem
71/Purwokerto di bawah pimpinan Letkol. Sumitro, Korem 72/Yogyakarta di bawah
pimpinan Mayor Mulyono, Korem 73/Salatiga di bawah pimpinan Letkol Idris, dan
brigade Infanteri 6/Surakarta di bawah
Kapten Mintarso.
Ternyata tidak
semua kalangan militer terpengaruh oleh pengumuman kolonel Sahirman. Dengan
cepat Pangdam VII Brigjen Suryosumpeno melakukan pertemuan pada tanggal 1
Oktober di Magelang bersama komandan-komandan setempat untuk mencari cara
menghancurkan gerakan komunis tersebut. Dari hasil pertemuan tersebut terpilih
beberapa satuan untuk menghancurkan gerakan komunis, antara lain: Batalyon II
dan III dari Magelang, Batalyon Armed XI dari Magelang, Batalyon Zipur IV dari
Magelang, sebagian Batalyon 2 Para dari Magelang, Yonif “F” Brigif 4 dari
Gombong dan Batalyon 3 Para dari Semarang. Pasukan yang telah dibentuk tersebut
bergerak pada hari itu juga. Dengan cepat kota
Kodam VII dapat dikuasai kembali, sedangkan Kolonel Sahirman dan pengikutnya
menyingkir ke luar kota
di iringi 2 kompi pasukan dari Yon “K”. Dengan bantuan RPKAD yang dating pada
18 Oktober, Pangdam VII melakukan operasi pengerjaraan sisa komunis yang
ada. Pada tanggal 1 Desember pasukan
Pangdam VII dan RPKAD berhasil menembak mati ex Kolonel Sahirman berserta
pengikutnya, yaitu ex Kolonel Maryono, ex Letkol Usman, ex Mayor Samidi, ex
Kapten Sukarno dan ex Mayor R.W. Sukirno.
Pemberantasan G 30 S di
beberapa kota
di luar Jawa:
1.
Bali
Sebagai
tindakan pengamanan terhadap kemungkinan kekacauan yang ditimbulkan oleh G 30
S/PKI, maka Pangdam XVI/Udayana Brigjen TNI Syaifudin mengadakan pembersihan
dalam diri TNI-AD khususnya dan ABRI pada umunya. Sejak 4 Oktober 1965 telah
diadakan upaya penangkapan yang menghasilkan 76 oknum ABRi yang terlibat dalam
partai komunis. Pada tanggal 6 November diadakan polisionil yang menghasilkan
sebuah penyitaan terkait dokumen-dokumen PKI yang di dalam menunjukkan jelas
bahwa PKI adalah dalang dari peristiwa G 30 S.
2.
Sumatera Utara
Pemberontakan PKI di Jakarta
mengalami kegagalan, karena adanya tindakan cepat dari kalangan TNI. Namun hal
ini tidak berlaku di Sumatera Utara. Proses penangan lama, karena dalam
lembaga-lembaga yang mengatasi masalah ini telah disusupi oleh PKI. Namun pada
akhirnya usaha mereka dapat digagalkan. Pada tanggal 2 Oktober, Pangdam Mandala
I/Deputi Wilayah Sumatera Mayjen TNI A.J. Mokoginta mengeluarkan perintah yang
berisi tentang peningkatan kewaspadaan serta tetap mengikuti intruksi yang
diberikan oleh Pangdam. Kemudian pada tanggal 10 Oktober sehubungan dengan
keamanan, Mayjen TNI A.J. Mokoginta mengeluarkan surat perintah No. Prin-031/10/1965 yang
ditujukan kepada para pemimpin ormas dan parpol. Isi surat perintah tersebut adalah larangan bagi
pemimpin parpol maupun ormas untuk keluar dari tempat tinggal dan apabila ingin
keluar maka harus melapor ke instasi militer setempat sambil memberikan alamat
tujuan. Setelah mendengartindakan yang dilakukan oleh PKI, masyarkat Sumatera
Utara tidak dapat diam. Mereka dengan anarakis mendatangi tempat-tempat dan
kantor –kantor yang terkait PKI, kemudian merusak dan menghancurkannya. Pada
tanggal 18 November, ex Gubernur Sumatera Utara Brigjen TNI Ulung Sitepu
berhasil ditangkap terkait hubungannya dengan PKI. Kemudian pada tanggal 27
November, ex Komando Batalyon Infantri 205 Korem 23/Dataran Tinggi Letkol
Inf.Maniso berhasil diamankan.
3.
Maluku
Sementara
itu, Penguasa Pelaksana Perang Daerah (Pepelrada) Maluku mewajibkan pimpinan
PKI dan ormasnya melapor setiap pagi ke Kodim setempat. Juga semua proyak
instansi vital di daerah Maluku diamankan dari kemungkinan sabotase oleh pihak
G 30 S. Pada tanggal 12 Oktober, orpol/ormas di daerah Maluku menyatakan
antipati serta mengutuk “Gerakan 30 September”. Mereka meminta kepada yang
berwajib, agar PKI beserta ormas-ormasnya dibubarkan.
4. Kalimantan Barat
Penumpasan
Gerakan 30 September di Kalimantan Barat diwujudkan dalam bentuk
penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh PKI. Pada tanggal 21 Oktober,
Panglima/Deyah Kalimantan dengan radiogramnya No.Tr. 281/1965, memerintahkan
kepada Pangdam/Pangkodahan di Kalimantan agar disamping tugasnya dalam rangka
Dwikora juga mengadakan langkah-langkah seperti mempertinggi pengamanan dan melakukan
penangkapan-penangkapan terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam G 30 S yang
melarikan diri ke Kalimantan, sebagai akibat pengejaran di Jakarta dan daerah
Jawa lainnya.
Penanganan masalah sosial
politik
Keamanan dan
ketertiban saat itu diutamakan untuk menghancurkan PKI dan
organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Keputusan Presiden No.
1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 dibuat sebagai payung hukum pembubaran Partai
Komunis Indonesia, termasuk segala kegiatan organisasinya dari tingkat pusat
sampai ke daerah, serta organisasi yang
seazas dan berlindung di bawah partai tersebut. Keputusan Presiden itu juga
menyatakan bahwa PKI adalah organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan
Negara Republik Indonesia .
Keppres tersebut dikukuhkan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.
XXV/MPRS/1966. payung hukum ini dibuat unutk menstabilkan keadaan sebagai
tindak lanjut dari tuntutan rakyat atau yang dikenal dengan amanat penderitaan
rakyat.
Operasi Militer di Jawa
Timur
Pembubaran dan
pelarangan PKI di seluruh wilayah Indonesia tidak benar-benar membuat
organisasi ini mati. Para pemimpin PKI dan
kadernya yang belum tertangkap ternyata berusaha untuk membangkitkan kembali
partai ini. Mereka pun berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya secara
illegal. Strategi yang mereka jalankan bernama Tri Panji. Isinya yaitu, pertama,
membangun kembali partai; kedua,
perjuangan bersenjata, (disingkat Perjuta)
di bawah pimpinan kelas buruh, ketiga;
menggalang Front Persatuan Revolusioner atas dasar persekutuan buruh dan tani
di bawah pimpinan kaum buruh.[2]
Dibawah konsolidasi
pimpinan-pimpinan PKI, dibuat suatu penilaian tentang daerah-daerah yang tepat
untuk dijadikan basis guna melaksanakan taktik dan strategi PKI gaya baru. Daerah yang
mereka pilih adalah Blitar Selatan sesuai dengan pertimbangan geografis dan
historis. Secara geografis daerah ini jauh dari pusat angkatan Bersenjata atau
negara, dan secara historis masyarakat daerah ini berada dalam genggaman PKI
karena kader-kader mereka dapat dibilang masih utuh.
Untuk menumpas
gerakan ini, ABRI khususnya Kodam VII/Brawijaya sebagai inti kekuatan Pelaksana
Khusus (Laksus) Kopkamtibda Jawa Timur sejak tahun 1967 terus mengadakan
pembersihan dan pengamatan terhadap sisa-sisa kekuatan G.30.S, baik dalam masyarakat
maupun unsur ABRI dan aparatur pemerintah daerah.
Komando Resor
Militer se-Jawa Timur diperintahkan untuk melakukan operasi intelijen di daerah
operasi masing-masing. Hasilnya diketahui bahwa sisa-sisa anggota PKI membentuk
Triko atau Trio Kota di Surabaya,
Malang dan beberapa Comite Proyek (Compro)
yaitu, Blitar Selatan, Semeru Selatan, Kelud-Kawi-Arjuna (KKA), Lawu, Pandan,
Raung Argopuro, dan Kendeng.[3]
Di antara basis-basis kekuatan tersebut, Compro Blitar Selatan melakukan
aktivitas yang paling menonjol berupa aksi propaganda bersenjata disingkat Prota. Kegiatan meliputi perampokan
terhadap penduduk dan aktivitas pengumpulan senjata.
Berdasarkan hasil
evaluasi di daerah Blitar Selatan, Pangdam VIII/Brawijaya Mayjen M. Jasin
mengeluarkan Rencana Operasi No. 01 dan 02 yang dikukuhkan dengan Surat
Pangkopkamtib No. X-16/2/1968 tanggal 16 Februari 1968 yang kemudian menjadi
Perintah Operasi No. 03 tanggal 20 Februari 1968. pelaksana perintah ini
diserahkan kepada Komandan Resor Militer 081/Madiun. Tugasnya antara lain
melaksanakan operasi combat/tempur, penggunaan satuan tempur yang disusun dalam
satuan-satuan infanteri kodim, dan operasi teritorial yang mengikutsertakan
aparatur pemerintahan sipil.
Berdasarkan hasil
evaluasi terhadap tugas operasi ini, diketahui bahwa aktivitas
kegiatan-kegiatan perjuangan bersenjata (perjuta) PKI masih meningkat. Kemudian
berdasarkan Perintah Operasi No 02/5/1968 tanggal 28 Mei 1968 dibentuklah
komando operasi Trisula dengan komandan operasinya yaitu Kolonel Witarmin dan
wakil komandannya Letkol B. Sasmito.
Satgas Operasi
Trisula mulai bergerak pada tanggal 3 Juni 1968 di daerah yang diperkirakan
tempat berkumpulnya tokoh Comite Central PKI yang sekaligus tempat pelatihan
kadernya, yaitu Kemantren Suruhwadang, Ngeni, dan Maron. Prajurit ABRI yang
melaksanakan operasi ini selain melaksanakan usaha penangkapan tokoh-tokoh PKI
juga berusaha menyadarkan masyarakat agar membantu pasukan ABRI.
Satgas Operasi
Trisula menggunakan taktik meniru cara kerja “mesin penggilas jalan”, yaitu
bolak-balik atau berulang-ulang membersihkan satu wilayah meskipun wilayah
tersebut pernah dijadikan sasaran operasi. Langkah ini diambil untuk menghadapi
anggota PKI yang memakai taktik “kucing-kucingan” seperti taktik gerilya
komunis di Vietnam Utara ketika menghadapi Amerika.[4]
Pertama-tama dilancarkan operasi di Ringin Bandulan. Sayangnya, target operasi
yaitu Ir. Surachman berhasil lolos. Namun pada tanggal 15 Juli, Ir Suracman
tertangkap di tempat yang sama. Operasi selanjutnya yang berhasil menangkap
anggota Comite Central PKI adalah operasi di
Kaligrenjeng tanggal 13 Juli 1968. Operasi ini berhasil menangkap Roeslan
Wijayasastra. Operasi-operasi Trisula ini berhasil menangkap atau membunuh
tokoh-tokoh PKI seperti Kapten Sutjiptadi, mantan anggota Brigif 13/Galuh,
Moenir, tokoh PKI setempat, Joko Soeryoto, Oloan Hutapea, Tjugito, Kalimin
Suparto.
Operasi Trisula
yang berlangsung selama satu setengah bulan ini berhasil menguasai daerah
Blitar Selatan serta meringkus sekitar 850 orang tokoh dan anggota PKI. Di
antara mereka terdapat tokoh-tokoh tingkat Comite Central dan Comite Daerah
Besar Jawa Timur.
Secara keseluruhan
operasi ini dinyatakan berhasil. Keberhasilan ini disebabkan dukungan
masyarakat yang semulanya dipengaruhi PKI kemudian berbalik membantu
pemerintah. Mereka memberikan informasi yang menguntungkan, bahkan kadang
membantu pengepungan. Dalam operasi pembersihan ini, ABRI mengikutsertakan
kurang lebih 10.000 orang anggota Hansip dan masyarakat setempat.
Operasi
Yustisional
Operasi ini merupakan operasi yang
dilakukan oleh Kopkamtib yang meliputi bidang pemeriksaan dan mengadili perkara
yang ruang lingkupnya menyangkut keamanan dan kelangsungan hidup bangsa.
Sasarannya adalah para tokoh dan otak penggerak perbuatan makar. Bentuk-bentuk
operasi yustisional:
·
Penyiapan perkara,
penyidikan, dan penentuan golongan keterlibatan seseorang dalam peristiwa G30S
·
Penyidangan
penyelesaian perkara-perkara G30S
Tata urut pelaksanaan operasi yustisional ini
adalah: berkas tahanan diperiksaoleh badan/team pemeriksa lalu dilakukan
interogasi dan pemeriksaan pro justisia. Dari situ, Pangkopkamtib menentukan
apakah orang tersebut tokoh dalam G30S atau bukan. Hasilnya kemudian diserahkan
kepada tim oditur/jaksa untuk diadakan pemeriksaan persiapan penuntutan. Hasil
pemeriksaan tersebut kemudian diserahkan ke Mahmilub jika orang tersebut adalah
tokoh, diserahkan ke mahkamah militer jika ia anggota militer, atau ke
pengadilan negeri jika ia warga sipil. Dalam rangka operasi ini, Kopkamtib
kembali mengaktifkan Mahkamah Militer Luar Biasa melalui Penetapan Presiden
Nomor 16 tanggal 24 Desember 1963.
Operasi-operasi
di Tempat Lain
a.
Kalimantan Barat
Pasca konfrontasi Indonesia-Malaysia,
mereka yang tergabung dalam Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) yang semula
dikoordinasikan oleh Brigadir Jenderal TNI Supardjo membangkang dan membentuk
kesatuan sendiri. Mereka melakukan pengacauan di daerah sekitar perbatasan
Indonesia-Malaysia khususnya di daerah-daerah yang tidak terdapat kesatuan
militer. Mereka juga berafiliasi dengan PKI illegal dan PKI Cina di Semenanjung
Malaysia.
Hal ini menyebabkan ABRI menempuh jalan kekerasan
melalui operasi penumpasan yang disebut Operasi Tertib. Awalnya, operasi ini
mendapat kesulitan karena PGRS berhasil mendapat simpati suku Dayak untuk
memusuhi pemerintah RI. Namun, ketika salah satu pimpinan suku Dayak dibunuh
oleh kelompok ini, suku Dayak berbalik melakukan perlawanan terhadapkelompok
ini.
Untuk menghancurkan rencana Cina Komunis yang akan
menjadikan Kalimantan Barat basis kekuatan, diadakanlah Operasi Sapu Bersih I.
Awalnya, operasi ini berjalan lancar karena musuh belum sepenuhnya
mengkonsolidasikan diri. Namun, kelebihan musuh yang mempunyai masyarakat dan
bahasa sendiri mengakibatkan mereka sulit ditembus tim intel Kodam. Untuk
mengatasinya, disusunlah kembali tim intel yang memanfaatkan orang-orang
kepercayaan yang disusupkan ke Cina Komunis. Operasi ini belum mampu
menghancurkan musuh karena musuh terpencar di sepanjang perbatasan Kalimantan
Barat dan tersebar di daerah yang sebagian besar penduduknya keturunan Cina.
Oleh karena itu, didatangkanlah
bantuan dan dilaksanakanlah Operasi Sapu Bersih II. Operasi ini meliputi
pencarian data tentang tempat dan kekuatan kelompok tersebut, penyusunan
kembali jaringan intel, dan pembinaan teritorial untuk merebut kembali
kepercayaan rakyat. Sejak Januari 1968, dilaksanakanlah operasi penghancuran
yang bertujuan untuk menghancurkan seluruh gerombolan Cina bersenjata dan
memaksa mereka untuk menyerah. Tahap selanjutnya adalah konsolidasi dan
pembangunan yang dilakukan secara timbal balik untuk mensukseskan
operasi-operasi pengintaian dan penghancuran. Pelaksanaan operasi ini mencapai
hasil setelah suku Dayak menyatakan perang terhadap PGRS.
Selanjutnya diadakanlah Operasi Sapu
Bersih III yang bertujuan untuk merehabilitasi keadaan ipoleksosbud demi
kelancaran pelaksanaan Pelita di
Kalimantan Barat, membersihakan Kalimantan Barat dari gerakan ekstrim,
melanjutkan operasi taktis penumpasan PGRS, dan mengamankan Panca Krida Kabinet
Pembangunan.
b.
Operasi Penumpasan
Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) di Irian Jaya
Pasca kembalinya Irian Barat ke
wilayah Indonesia, muncul organisasi-organisasi ilegal yang bertujuan membentuk
Negara Papua Merdeka. Sejak tahun 1965, Organisasi Papua Merdeka (OPM)
melakukan serangkaian kegiatan pemberontakan bersenjata. Operasi-operasi ABRI
secara fisik dapat memecah kekuatan OPM menjadi kelompok-kelompok kecil. Namun,
karena kekurangan pasukan dan peralatan, serta persembunyian OPM yang sulit
ditembus, operasi ini tidak sampai tuntas.
Untuk mengatasi aksi-aksi OPM,
diadakanlah Operasi Sadar. Pelaksanaan operasi dibagi menjadi tiga tahap. Tahap
pertama adalah mengamankan objek vital, mengkonsolidasi pasukan, dan
melokalisasi lawan. Tahap kedua bertujuan untuk mengisolasi gerombolan dari
masyarakat dan manjauhkan mereka dari daerah subur. Sedangkan tahap ketiga
bertujuan untuk mengkonsolidasi wilayah sebagai persiapan memenangkan Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera).
Bab III
Kesimpulan
Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban merupakan upaya
represif dari kalangan tentara, khususnya Angkatan Darat, dalam menghadapi
gerakan komunis di Indonesia .
Pengorganisasian Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban pada intinya merupakan
usaha efektivitas dan efisiensi demi tercapainya usaha pengamanan dan pemulihan
ketertiban.
Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban tahun 1965-1969
dikomandoi oleh Mayjen Soeharto. Pangkopkamtib Mayjen Soeharto merupakan
panglima tertinggi dalam operasi menegakkan keamanan dan ketertiban di Indonesia
ketika itu. Sedangkan ditingkat daerah para panglima Komando Daerah Militer
merupakan pejabat yang berwenang dalam Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Daerah.
Berbagai operasi militer dan tindakan-tindakan pemulihan
keamanan dilakukan di daerah-daerah. Berbagai daerah yang disinyalir masih
memiliki anasir-anasir komunis segera dijadikan objek operasi militer. Hasilnya
adalah dapat ditumpasnya para tokoh militer yang masih bertahan di berbagai
daerah.
Daftar Pustaka
Buku
Djamhari, DRS. Saleh As’ad. Ikhtisar Sejarah Perjuangan ABRI
(1945-Sekarang). Cetakan III. Jakarta :
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. 1995.
Notosusanto, Nugroho. Konsensus Nasional 1966 – 1969. Jakarta : Balai Pustaka. 1991.
Poesponegoro, Marwati Djoened. dkk. Sejarah Nasional Indonesia
VI. Jakarta : Balai Pustaka. 1993.
Sundhasussen, Ulf. Politik
Militer Indonesia
1945 – 1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta :
LP3ES. 1982
Pusat Sejarah dan Tradisi TNI. Sejarah TNI jilid IV. Jakarta: Mabes TNI. 2000.
Karya
tidak diterbitkan
Abas, Saleh. Kopkamtib Membangun
Kekuasaan Orde Baru 1965 – 1974. Depok: Skripsi pada
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia . 2001.
Kopkamtib didukung unit intelijen terlatih
BalasHapusartikel menarik, komentar juga ya ke blog saya www.belajarbahasaasing.com
BalasHapus