AULA
MANDALAWANGI (DESKRIPSI RUANG)
Muhammad Ridho Rachman (0806343973)
Situasi
semakin dingin ketika ku berhentikan langkah melihat bangunan megah di
tengah-tengah nuansa hutan gunung, suara bising siswa-siswi LDKS yang sedang
berdiskusi perintah dari pengisi acara melawan mesin diesel yang terus
mengganggu konsentrasi setiap orang. Ruangan ini sebenarnya cukup luas
kira-kira empat kali enam meter, tetapi penuhnya ruangan dengan puluhan orang
jadi terlihat sempit. Di sisi timur berjejalan siswa lebih dari 60 berhadapan
dengan dua orang pengisi acara dan beberapa panitia yang mengawasi jalannya
acara. Ketika diperhatikan seksama malah ruangan ini lebih luas kalau dilihat
dari jumlah orang yang ada di dalamnya. Tak dapat ku bayangkan bagaimana dulu material-material
bangunan ini dan bangunan lainnya di sekeliling diangkut ke atas dengan jalan
terjal babatuan yang terus menanjak. Rasanya tidak mungkin suatu jenis
kendaraan bisa naik ke atas dengan kondisi medan yang seperti ini, apa dengan
helikopter? Kalau ditempuh dengan jalan kaki dan tanpa membawa barang bawaan yang
terlalu berat hampir satu jam untuk mencapai tempat ini.
Di
ruangan bergantung dua buah lampu neon kecil yang mati karena memang hari masih
siang yang tepat berada di tengah-tengah ruangan. Di langit-langit terpampang
jelas konstruksi kuda-kuda penyanggah atap yang tidak tertutupi plafon yang di
atasnya ditiduri asbes-asbes besar yang melindungi ruangan dari hujan kecil
yang tak henti merintik. Di pojok kanan bergantung lampu sorot yang diikat tidak
permanen yang tampaknya baru dipasang ketika ada acara di sana. Kabel lampu itu
pun menjuntai ke bawah semakin nampak bukan lampu yang dipasang permanen. Lampu
itu mengarah ke lapangan kecil yang tepat di depan ruangan.
Ketika
kuarahkan pandangan ke depan, ku lompati pengelihatanku dari barisan siswa
tersebut, hanya sisi selatan yang berdinding, yang lainnya langsung tampak
hutan yang mengelilingi bangunan. Ada dua buah pintu, namun hanya pintu yang
tepat di depanku yang terbuka. Itulah sumber suara bising mesin diesel yang
tidak pernah berhenti hingga setiap telinga orang sudah kebal dan tak tersadar
dengan suaranya lagi. Mungkin ruangan itu dapur. Di depan dipajang delapan buah
lukisan tentang bangunan ini, peta ruangan dengan berbagai ukuran, dan satu
buah aturan ruangan yang dilaminating tanpa bingkai. Yang paling menarik adalah
keberadaan tungku api di sudut kiri yang mati tak berbahan bakar. Tungku api
itu sebenarnya berlubang di atasnya, namun lapisan bata dan semen yang terlihat
baru menutupinya. Jadi, asap yang nanti keluar ya lewat bawah.
Di
tengah ruangan, berdiri tegak dua buah tiang penyangga atap yang kaki-kakinya
tertutupi para peserta LDKS. Baru kusadari hampir seluruh bangunan ini terbuat
dari kayu. Kemudian terlintas dalam pikiran bahwa material kayu-kayu ini
diambil dari hutan di sekitar. Tapi tak tahu lah. Seluruh lantai kayu ditutupi beberapa
karpet tebal untuk menghangatkan orang-orang, namun tetap saja dinginnya udara
dan hembusan angin di kaki Gunung Gede menggigilkan semua orang.
Yang
paling mencolok adalah 60-an peserta LDKS yang di depan masing-masing peserta
ada sebuah topi dari setengah bola plastik yang diberi tiang kecil di atasnya,
aneh pasti jika dikenakan di tempat-tempat umum, dan nametaq berwarna putih berbentuk segi lima yang digantungkan di
leher. Mereka tampak seksama mendengarkan setiap kata yang ucapkan dua orang
pengisi acara.
Sentak
keberadaanku mengganggu jalannya acara ketika kehadiranku dilihat panitia,
mereka pun langsung menghampiriku. Panitia-panitia yang berjalan itu kemudian
mengalihkan perhatian para peserta yang sedang seksama mendengarkan. Sambutan
hangat ketika panitia memperkenalkanku kepada para peserta LDKS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar