UJIAN
AKHIR SEMESTER
Kebudayaan Lenong
OLEH:
MUHAMMAD
RIDHO RACHMAN
0806343973
ILMU
SEJARAH
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS
MATA KULIAH KEBUDAYAAN INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2009
Pedahuluan
Dilihat dari asal katanya, budaya
berasal dari kata budh dalam bahasa Sansakerta
yang berarti pencerahan. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa budaya merupakan
cerminan dari suatu masyarakat yang telah tercerahkan. Adanya budaya dalam
masyarakat menunjukkan tingkat peradaban (kecerahan) yang dimiliknya. Dari
kajian tentang konsep kebudayaan, Koenjtaraningrat mengembangkan konsep yang
dibuat oleh B. Malinowski, dan menggolongkannya kedalam tujuh bentuk yang
secara global dimiliki oleh seluruh elemen masyakarat di manapun mereka berada,
yakni: (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem mata pencaharian hidup atau
ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) religi, (7)
kesenian. Tata urut dari unsur-unsur yang tercantum memiliki maksud tertentu,
yaitu berdasarkan teori bahwa bahasa itu rupanya merupakan unsur kebudayaan
yang paling terdahulu timbul dalam kebudayaan manusia. Dan selanjutnya diikuti
yang lainnya sesuai urutannya. Namun, dalam tulisan ini akan melewati keenam
unsur di awal, dan lebih concern
kepada kesenian, yang merupakan jantungnya kehidupan suatu mayarakat yang
menjadi indikator hidup matinya sebuah kelompok manusia yang disebut masyarakat.
Di masyarakat Bali sendiri, dalam tulisannya Clifford Geertz menjelaskan
bagaimana kesenian menjadi sebuah pertaruhan penting bagi ada tidaknya
kekuasaan sebuah kerajaan dilihat dari kesenian yang berhasil ditampilkannya
secara konsisten pada masa itu.
Masyarakat dan kesenian merupakan
dua komponen yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Kesenian merupakan
buah karya dari budaya masyarakat. Manusia memiliki akal, manusia berkumpul
dengan manusia lainnya, mereka berinteraksi dengan bahasa, mereka menciptakan
suatu karya bersama yang bermanfaaat bagi mudahnya kehidupan mereka. Inilah hasil
dari kebudayaan.
Budaya masyarakat mewadahi pikiran
kolektif masyarakat. Apa keinginan mereka dituangkan lewat kebudayaan itu.
Dalam kajian ilmu, budaya adalah hasil rasa, karya, karsa
masyarakat, selalu memiliki tiga fungsi yaitu ekspresi, gagasan, dan hiburan.
Dalam suatu kesenian wayang orang di Jawa, kesenian ini mengekspresikan apa yang
dirasakan oleh masyarakatnya, menyampaikan apa yang dipikirkan (gagasan) oleh
masyarakatnya, dan juga merupakan suatu sarana hiburan bentukan masyarakat.
Isi
Zaman terus berkembang, perubahan
pasti dialami setiap masyarakat. Perubahan pada masyarakat secara otomatis ikut
menggoyang berbagai macam hal yang dimilikinya, dalam hal ini kesenian. Entah
berapa banyak macam-macam kesenian hilang tak berbekas tersapu arus modernisasi.
Setiap
kelompok masyarakat memiliki kebudayaan dan tradisi tertentu sesuai dengan ciri
khas masyarakat setempat, kebudayaan tersebut merupakan hasil dari karya,
karsa, dan rasa. Dari sinilah sebuah kaum menghasilkan perangkat-perangkat
kehidupan untuk memudahkan mereka mengatasi dan menguasai alam semesta serta
mengatur kehidupan dengan menyusun norma, etika, dan hukum yang menjadi acuan
ketertiban.
Pada
konteks mayarakat Betawi banyak melahirkan seni kerakyatan, memang kalau kita
telusuri garis sejarah terciptanya tidak terlepas dari proses akulturasi seni
yang datang dari luar, sebab secara geografis masyarakat Betawi sejak masa
kolonial sampai sekarang menjadi pintu atau corong perdagangan yang akan masuk
ke Nusantara sehingga realitas ini mempunyai peran untuk membentuk kesadaran
mayarakat yang lebih terbuka terhadap budaya yang datang dari luar, sebab
masyarakat yang berada pada jalur perdagangan lebih mudah terjadi penyerapan
budaya yang prosesnya nanti akan terjadi proses pembentukan kesenian, ini
terjadi pada masyarakat Indonesia secara umum khususnya Betawi.
Salah satu
kesenian rakyat yang terjadi akulturasi adalah lenong, untuk saat ini kesenian
lenong cukup populer di mata penduduk Jakarta karena sudah terjadi
pempublikasian lewat media dan acara-acara pertunjukan dalam ruang lingkup
kesejarahan masyarakat Cina mempunyai banyak kontribusi untuk lenong itu
sendiri sehingga banyak pencorakan yang bersentuhan dengan ke Cina-an. Hal ini
disebabkan pada awal pertumbuhannya dibina dan dikembangkan oleh
masyarakat Cina, walaupun demikian dapat diramu oleh masyarakat Betawi dan
menjadikan sebuah kekayaan kebudayaan, jika kita telaah lebih dalam mengenai
lenong maka kesenian ini bertujuan menggambarkan sebuah realitas sehari-hari
kemasyarakatan, lenong merupakan pematerialan dari teater tutur gambang rancak
menjadi teater peran sehingga terbentuklah lenong, dalam pertunjukan lenong
diperlukan pendekoran panggung, pemakaian pakaian dan iringan musik sesuai
dengan tema yang diangkat, untuk mengawali pertunjukan biasanya dimulai dengan
permainan musik gambang kromong untuk memanggil penonton supaya datang, atau
dalam pembukaan dimainkan lagu angkat selamat sebagai tanda penghormatan,
sementara dalam hal cara esktra dibawakan lagu-lagu khas Betawi seperti
jali-jali, persi, stambul, center manis, seret balok, renggong manis dan
lain-lain.
Pada zaman
dahulu lenong diperuntukkan untuk stratifikasi sosial tertentu yaitu raja dan
bangsawan sehingga penyajiannya pun hanya bekutat pada lingkaran kaum tersebut
sehingga timbul ungkapan “kaya raja lenong” untuk menunjukan orang yang bergaya
feodal. Dalam perkembangan lenong itu sendiri terdapat beberapa macam jenis
lenong sesuai dengan tema dan realitas yang mau diangkat diantaranya adalah :
Lenong Dines, Wayang Senggol, Wayang Sumedar, Lenong Preman, dan Wayang Si
Ronda.
a.
Lenong Dines
Pada
bentuk penyajian lenong dines menampilkan, menggambarkan dan menceritakan
kehidupan para raja dan kaum bangsawan. Oleh sebab itu dinamakan lenong dines,
sesuai dengan alur ceritanya yang mengisahkan orang-orang dan tokoh-tokoh yang
berkedudukan tinggi sesuai dengan stereotip kebangsawanan, maka perangkat
lenong pun disinergiskan dengan pencitraan tersebut, dimulai dari pendekoran
panggung serta penggunaan pakaian yang menggunakan pakaian kerajaan
dengan menggunakan bahasa “melayu tinggi” seperti kata-kata: Hamba, Kakanda,
Adinda, Beliau, Syahdan, Berdatang Sembah, dsb. Oleh karena itu, sangat sulit
dimengerti oleh para penonton bahkan pemain lenong itu sendiri disebabkan oleh
penyajian yang sangat kaku sehingga sulit menampilkan guyonan yang diminati
oleh khalayak banyak yang dampaknya mengalami kemorosotan peminat untuk
menonton lenong.
Sekarang
ini lenong dihadirkan kepada seluruh komponen mayarakat dengan tinjauan perspektif
ekonomi, hingga saat ini rombongan lenong yang ada antara lain lenong dines
pimpinan Rais di Cakung, pimpinan Samad Modo di Pekayon, pimpinan Tohir di
Ceger dan pimpinan Mis Bulet Babelan.
b. Wayang
Senggol
Pada
wayang senggol mempunyai perbedaan tersendiri dengan wayang dines terlihat dari
bentuk pembawaannya dengan menggunakan kain sebagai alat pengganti benda-benda
pertunjukan seperti golok, gada, dll. Nantinya selendang tersebut hanya
disegol-sengol saja dalam bentuk gerak-gerak tari yang luwes terutama pada
pembawaan memperagakan perkelahian di atas pentas. Lakon-lakon yang dibawakan
oleh wayang senggol terutama diambil dari cerita-cerita panji seperti “Candrakirana”
Jaka Sembung, dll. Perlengkapan panggungnya dengan saben yaitu penutup sebelah samping
agar penonton tidak dapat melihat ke belakang panggung, layar-layar seperti ini
disebut “kere”. Memang jika dilihat untuk saat ini wayang senggol pada tiga
dasawarsa ini sudah hampir menghilang dan ada dibeberapa tempat yang masih
tetap bertahan seperi wayang senggol pimpinan Seng Lun di Karang Anyar, di
Krikut pimpinan Pak Utan, dan di Pasar Baru pimpinan Abdurahman.
c.
Wayang Sumedar
Untuk
Wayang Sumedar memiliki dekor layar berwarna polos yang dijadikan penghalang
antara pentas dengan tempat duduk pemain di belakang panggung, dalam pergelaran
Wayang Sumedar kadang kala disajikan cerita-cerita komedi kaum bangsawan
seperti : Jula Jali Bintang Tiga, Saiful Muluk, dsb. Sebelum perang dunia kedua
Wayang Sumedar masih terdapat di Kebun Jeruk pimpinan Ahmad Batafi, pada
dasawarsa ini sulit mengetahui secara lengkap jenis teater seperti ini.
d.
Lenong Preman
Sesuai
dengan namanya, lenong ini menampilkan cerita tentang kehidupan
sehari-hari para jagoan jagoan, tuan tanah, drama rumah tangga, dll. Sesuai
dengan ceritanya wayang preman menggunakn pakaian pentas pun seperti para
jawara berbentuk celana dan baju potong koko serta pangsi, kaos oblong, ikat
kepala yang istilah setempat diberi nama ”setangan” dan penggunaan bahasanya
pun menggunakan bahasa sehari-hari Betawi, bagi pemain yang memiliki
keterampilan silat biasanya acap kali melontarkan kata-kata yang humoris supaya
mudah dicerna oleh penonton, untuk pendekoran panggung disesuaikan dengan alur
cerita, lenong preman terdapat pada wilayah Kabupaten Bekasi, Tangerang, Bogor
dan wilayah DKI Jakarta, diantara rombongan lenong antara lain: Gaya Baru di
Gunung Sundar milik Liem Kim Song, di Teluk Gong milik Nion Hak San, Tiga
Saudara di Mauk Tangerang milik Pak Ayon, Sinar Subur di Bojong Sari milik Asim.
e. Wayang Si
Ronda
Mengenai Wayang
Si Ronda ini ada sedikit berdebatan yaitu tentang awal terbentuknya. Ada yang
menyatakan bahwa Wanyang Si Ronda merupakan bentuk degradasi dari Lenong Preman
akan tetapi pembuktiannya secara ilmiah tidak bisa diungkapkan, yang jelas
kesenian ini mempunyai corak dalam pementasannya dengan bermain di atas
tanah serta menggunakan sebuah layar yang menjadi penghalang antar pentas
dan bagian belakang panggung untuk mengganti pakaian, berias, dan tempat duduk
pemain sambil menunggu maju ke atas panggung. Rombongan lenong jenis ini yang
masih ada antara lain: Samad Modo, Amsar, Iman, dan Kami dengan penyebarannya
pada wilayah pinggiran Kelapa Dua, Parung dan di Kresek Tangerang.
Seperti
teater rakyat lainnya, lenong juga merupakan bagian akrab dari masyarakat. Ia
tumbuh bersama unusr-unsur lainnya yang membangun keutuhan dan keseimbangan
masyarakat itu. Pada satu waktu, mungkin menjelang awal abad ini (abad ke-20),
pada waktu unsur-unsur Cina dan pribumi (yang entah terdiri dari campuran Jawa,
Sunda, dan apa lagi) mencapai keseimbangan dalam bentuk musik gambang Kromong
pada waktu lingkungan Betawi terbentuk. Pada waktu itu pula lenong muncul, yang
merupakan perpaduan landskap, kampung dan kota yang mulai tumbuh.
Dengan
sederhana bisa dikatakan: kota mengorganisasikan kembali seni pertujukan. Seni
pertujukan sekarang ditempatkan di dalam tempo dan teknik yang lebih padat dan
rumit daripada sebelumnya. Khalayaknya pun ditempatkan berlainan dari posisi
sebelumnya. Ia berada dalam keadaan yang lebih “terpecah”, perhatiannya
dihadapkan ke depan, lurus ke arah panggung, tak lagi berputar ke mana-mana.
Penonton itu sekarang perhatiannya banyak dipecah oleh berbagai unsur dalam
tontonan di panggung. Yang ditampilkan di panggung itu sekarang adalah berbagai
hal secara sekaligus.
Ujian lenong dalam terus
mengibarkan bendera kejayaannya terus ditegakkan para pemainnya. Dalam gilasan
zaman, lenong bisa termasuk dikatakan berhasil dari berubah-ubah wujud mengikuti kemauan pasar. Ada faktor yang
membuat kelanggengan pesan si Pitung dan Nyai Dasima dalam menghimbau kembali
penonton lenong. Sebagai teater rakyat, meskipun mungkin lulus dalam uji
kelanggengan pesan ceritanya, namun nampaknya masih harus mengalami ujian lain.
Yakni ujian lingkungan.
Kalau tadi di atas sudah disinggung
tentang lingkungan yang menumbuhkan lenong sedang mengalami masa pancaroba yang
hebat, kita bisa menduga bagaimana lingkungan mengujii “barang lama” seperti
lenong ini. Dulu lingkungan itu satu dengan lenong karena lenong adalah
penerjemah yang langsung dari kehidupan lingkungan yang utuh. Maka tempat
penampilan yang paling logis untuk sang penerjemah itu adalah di tengah
lingkungan sendiri.
Perkembangan masyarakat diikuti
perkembangan keseniaannya, namun perkembangan masyarakat dan kesenian tidak
selalu berbarengan. Ada saat di mana satu kesenian tidak dapat mengimbangi
pergerakan cepat dari sang masyakarat. Dari hal itu konsekuensi yang tak
terhindarkan adalah kekosongan kesenian itu, tidak pasnya lagi kebutuhan
masyarakat terhadap kesenian yang menjadi hak dasar yang dimilikinya.
Kesenian pada hakikatnya tidak
langsung kosong, pasti ada satu model kesenian baru yang mengisinya. Ibarat majikan-pembantu,
majikan tak akan sendiri mengurusi rumah tangganya, adalah pembantu yang membantunya,
siapa pun ia. Begitu juga kesenian mengikuti suatu masyarakat. Ia berubah dari
model yang sudah tidak mewakili keinginan dari masyarakat tersebut, entah
lahirnya kesenian baru atau adanya modifikasi dari kesenian tersebut mengikuti
kemauan dari “tuannya”. Adanya suatu modifikasi seni yang menjadi satu wadah
yang sesuai dengan cipta rasa mereka. Suatu seni yang popular yang sesuai
dengan selera masyarakat itu.
Kesenian yang
berfungsi tidak saja sebagai hiburan tetapi di dalamnya terkandung berbagai
kegunaan (dulce et utile) adalah
representasi dari ekspresi budaya masyarakat itu sendiri. Norma dan nilai
kehidupan disampaikan dan mendapat salurannya melalui kesenian. Artinya,
kesenian akan hidup dan berkembang manakala masyarakatnya memelihara,
mengembangkan, melakukan secara aktif, dan mengapresiasi. Dalam konteks itulah,
secara kritis perlu dilihat bagaimana kesenian tradisional Betawi pada era
globalisasi ini.
Pemodernan terhadap
kesenian tradisional bukan suatu usaha yang haram, justru dengan pemodernan itu
terkandung suatu upaya mengembangkan kesenian itu sejalan dengan pola pikir dan
kebutuhan masyarakat Betawi yang semakin modern. Kompetisi kesenian tradisional
dengan kesenian modern yang datang kemudian sangat perlu karena salah satu ciri
dari masyarakat modern adalah bergerak dalam kompetisi menciptakan
inovasi-inovasi yang berorientasi pasar. Nature kesenian tradisional memang bukan berorientasi pasar,
tetapi ketika masyarakat dan lingkungan perkotaan menuntut pasar, maka kreativitas
seniman tradisional harus pula mempertimbangkannya. Produk-produk budaya modern
(budaya popular) dikemas sedemikian rupa sehingga masyarakat berada dalam
situasi “demam” secara terus-menerus. Pengemasan produk kesenian yang
disesuaikan dengan target pasar menjadi andalan, sehingga semua kelas
masyarakat dapat menikmati dan mengapresiasi produk-produk kesenian itu. Selera
pasar terbentuk sejalan dengan tawaran produk budaya populer yang dikemas,
tidak saja dengan teknologi tinggi tetapi juga dengan variasi yang tinggi.
Di sisi lain,
kesenian tradisional Betawi, seperti lenong, topeng betawi, tanjidor, cokek,
dan gambang kromong sedikit demi sedikit terlupakan dan tidak dilihat lagi
sebagai media hiburan. Kesan bahwa kesenian tradisional semakin ditinggalkan
terlihat dari frekuensi kemunculanya
jika ditinjau dari aspek kuantitatif. Dari aspek kualitas,
kesenian-kesenian tersebut dapat dikatakan tidak mengalami perubahan berarti.
Hal itu, boleh jadi sebagai sebuah upaya pemeliharaan terhadap kekayaan budaya
tradisi. Kontroversi antara konvensi dan inovasi dalam kesenian tradisional
sampai sekarang pun senantiasa terus dibicarakan dan memang tidak akan pernah
selesai; dan memang bukan untuk diselesaikan. Kreativitas berkesenian akan
selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Di situlah denyut
nadi dinamika kesenian.
Situasi yang
dihadapi kesenian tradisional Betawi itu terutama dipandang oleh masyarakat
Jakarta secara umum. Secara khusus, masyarakat Betawi pun sudah mengalihkan
perhatiannya ke produk-produk kesenian modern yang relatif mudah diakses. Lalu
bagaimana dengan perkembangan yang terjadi dengan kesenian lenong pada
khususnya?apakah ia berhasil memodifikasi diri agar sesuai dengan kebutuhan
pasar? Atau ia tenggelam tak terlihat lagi dan digantikan oleh kesenian lain?
Akan halnya dengan
teater tradisional Betawi—seni pertunjukan—yang mungkin lebih dikenal
masyarakat secara umum, sekarang ini nampaknya semakin terkubur oleh arus
zaman. Pendekar-pendekar kesenian lenong dan topeng Betawi, seperti Haji Bokir,
Nasir, Mpok Siti, dan para pemain lenong “Setia Warga” lainnya yang hampir
seluruh hidupnya mengabdikan diri pada kesenian itu, nampaknya tidak diikuti
oleh generasi berikutnya. Bahkan, Mandra yang dibesarkan oleh kesenian tradisional
itu, kini meloncat ke ekspresi seni modern (film, sinetron, dan musik).
Demikian pula setelah kepergian Sumantri Sastrosuwondo dan SM Ardan, misalnya,
lenong seolah kehilangan induk semang. Taman Ismail Marzuki dan TVRI yang
dahulu secara rutin menayangkan kesenian tradisional Betawi itu, kini tidak
lagi rutin. TVRI Stasiun Jakarta yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan
dalam hal promosi budaya Betawi—sebagaimana TVRI stasiun lokal (daerah)
lainnya—dirasakan kurang menaruh perhatian pada kebudayaan Betawi.
Dari sisi ini bisa dilihat, fungsi
satu kesenian satu waktu tidak akan sama dengan waktu lain. Begitu juga dengan
perkembangan lenong sekarang ini. Perkembangan lenong sebagai salah satu seni
hiburan telah menjelma menjadi sebuah trendsetter dari seni hiburan lain.
Alasan jelasnya karena perkembangannya dan kuatnya bertahan dalam panggung TIM
yang mengubah para pejalan-budaya yang rata-rata merupakan anak muda
mengikutinya, gaya bicara para lakon di panggung menjadi tiruan bagi para muda-mudi
dalam dunia pergaulannya menjadikan orientasi pasar masih menghadapnya dengan
berbagai modifikasi di sana-sini.
Teater
kontemporer adalah teater kota dan teater Indonesia. Artinya, ia lahir dan
dikembangkan di kota dan dijabarkan dan dilaksanakan dalam bangsa Indonesia.
Misalnya ia bercerita tentang kondisi kontemporer dari masyarakat kita. Ia
dicetak dengan kitsch dan spectacle yang sengaja untuk kantong
komersial warga kota yang juga mengerti akan hal itu. Hanya karena package itu package komersial yang berfungsi menghibur, maka penjabaran cerita
itu juga menjadi lain.
Teater
seperti juga kesusastraan adaah satu cara untuk memahami kehidupan. Maka setiap
teater adalah juga wahana untuk memahami kehidupan pada zamannya. Teater
kontemporer kita mempunyai satu kedudukan yang istimewa. Ia hidup dalam satu
latar belakang kebudayaan pancaroba dan peraliahan. Ia berbeda dari teater
tradisional, sedikitnya dalam dua hal. Pertama, ia berbeda dari sudut posisi
wahana komunikasi kultur. Kedua, ia berbeda dari sudut pemahaman dan
penghayatan.
Dari sudut wahana komunikasi kultur
ia mempunyai tugas pembangunan solidaritas yang jauh lebih luas jangkauannya
daripada sebelumnya. Teater komtemporer yang dikemukanakan di atas itu adalah
teater Indonesia dan teater kota. Ini berarti solidaritas yang dibangunnya
adalah solidaritas dari unsur-unsur yang jauh lebih beragam dan yang lebih
penting adalah baru. Sebagai teater Indonesia, teater ini bicara tentang idiom
kebangasaan, bukan lagi idiom masyarakat lama. Ia menuntut penyesuaian baru
dengan nilai-nilai lain yang mulai sekarang diperhitungkan dan diusahakan
perangkumannya. Makanya menggunakan bahasa Indonesia, juga dalam teater
kontemporer, adalah tidak sekedar penjernihan bahasa daerah ke dalam bahasa
baru yang disebut dengan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa melayu Riau.
Secara struktural
kesenian lenong (denes dan preman) memiliki kekhasan dalam pertunjukannya.
Lenong preman mungkin dapat dikatakan lebih terpelihara untuk beberapa saat
dibandingkan dengan lenong denes. “Kepunahan” lenong denes tidak saja
disebabkan oleh lunturnya ingatan tentang cerita-cerita hikayat yang menjadi
sumber cerita, tetapi juga penguasaan bahasa Melayu Tinggi dari para pemain
yang semakin asing. Dibandingkan dengan lenong preman yang lebih seru
ceritanya, bahasa yang lebih ekspresif karena menggunakan bahasa percakapan
sehari-hari. Dari segi panggung, lenong menuntut panggung procenium. Lain halnya dengan topeng betawi. Teater tradisional ini
lebih menarik karena unsur humor, musik, dan tarian yang dikemas dengan unsur
cerita (drama), dan tidak memerlukan panggung procenium, tetapi arena yang
dikelilingi oleh penonton. Namun semua itu, kini sangat sulit kita lihat dan
apresiasi. Kita sedang kehilangan sebuah kekayaan budaya karena komunitas
masyarakatnya sedang melaju dalam era globalisasi, yang merasa tidak lagi perlu
membawa warisan leluhurnya.
Sebuah gagasan dari
Rendra dalam proses berkeseniannya yang senantiasa mempertimbangkan tradisi
(Jawa) telah menciptakan sebuah bentuk kesenian hibrid, yaitu ia memanfaatkan
bentuk kesenian ketoprak dengan isi yang modern dan berbahasa Indonesia. Di
pihak lain, Timbul mengemas ketoprak sepenuhnya menjadi pertunjukan humor
dengan bahasa Indonesia dalam “Ketoprak Humor” yang sudah terbukti diminati
pemirsa televisi secara nasional. Dalam hal bahasa, kesenian tradisional tentu
sangat erat kaitannya dengan bahasa daerah, sehingga sangat terbatas pada
lingkungan budaya asal kesenian itu. Penggunaan bahasa Indonesia untuk
pertunjukan kesenian tradisional, seperti ludruk, ketoprak, wayang orang,
randai, atau arja akan merusak emosi pemain dan penonton. Namun demikian, pada
kesenian-kesenian yang menggunakan dialek Melayu, seperti Lenong (Melayu
Betawi), Mamanda (Melayu Banjar), Mak Yong (Melayu Riau) ketika diubah ke bahasa Indonesia relatif
tidak akan terasa perbedaannya.
Avant garde; seni muncul ketika
suatu seni tidak lagi memenuhi keinginan dari satu masyarakat, suatu yang masih
bisa dikatakan modifikasi dari kesenian yang dahulu ada di masyarakat. Dengan
kemasan yang lebih sesuai dengan keinginan pasar, yang secara otomatis
menaikkan biayanya, dan masyarakat berani membayar.
Seni pertujukan tetap menjadi
primadona bagi kesenian di masyarakat, melalui televisi ia lebih mudah membumi,
dikenal oleh seluruh rakyat. Dengan garapan yang berbeda, gaya bahasa lenong
tetap dipertahankan dengan berbagai modifikasi yang ada. Lenong tetap ada,
dengan modifikasi yang ada, pada awalnya kita bisa lihat eksisnya dua buah
Lenong yang memainkan anak-anak sebagai lakonnya seperti lenong bocah dan
lenong rumpi. Keduanya sempat berjaya beberapa tahun, namun sempat redup
ditinggal beberapa pemainnya yang lebih berhasil dengan bersolo karir ( keluar
dari lonong Bocah atau Lenong Rumpi). Sekarang masyarakat lebih menginginkan
suatu pertujukkan yang secara ringan menghibur mereka. Melalui studio yang
sorot berbagai sinar yang bergemerlapan, properti luar biasa, dan penampilan
yang dikemas lebih “menjual”.
Ngelenong nyok, suguhan menarik
yang masih menampilkan kelenongannya. EkstraVaganza, empat mata, sampai pada opera van java yang tidak secara
khusus menampilakan ciri-ciri kelenongannya. Lebih terlihat menampiklan ciri berbagai
jenis hiburan dari indonsia seacara uumun, namun merupakan sebuah jenis wujud
lenong gaya baru yang tela bermetamorfosis. Yang sebelumnya didahului oleh
warkop DKI yang sempat membooming di era 1980-90an.
Walaupun lebih menampilkan unsur
kebudayaan Indonesia secara umum, namun kebudayaan lenong telah
menginspirasikan seni pertunjukkan daerah lain untuk mengubah diri seperti
lenong dengan bahasa Indonesia agar bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia dan
pengemasan yang lebih profesional.
Penutup
Masyarakat dan kesenian merupakan
dua komponen yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Zaman terus
berkembang, perubahan pasti dialami setiap masyarakat. Perubahan pada
masyarakat secara otomatis ikut menggoyang berbagai macam hal yang dimilikinya,
dalam hal ini kesenian. Entah berapa banyak macam-macam kesenian hilang tak
berbekas tersapu arus modernisasi.
Dari sisi ini bisa dilihat, fungsi
satu kesenian satu waktu tidak akan sama dengan waktu lain. Begitu juga dengan
perkembangan lenong sekarang ini. Perkembangan lenong sebagai salah satu seni
hiburan telah menjelma menjadi sebuah trendsetter dari seni hiburan lain.
Kesenian pada hakikatnya tidak
langsung kosong, pasti ada satu model kesenian baru yang mengisinya. Ibarat
majikan-pembantu, majikan tak akan sendiri mengurusi rumah tangganya, adalah
pembantu yang membantunya, siapa pun ia. Begitu juga kesenian mengikuti suatu
masyarakat. Ia berubah dari model yang sudah tidak mewakili keinginan dari
masyarakat tersebut, entah lahirnya kesenian baru atau adanya modifikasi dari
kesenian tersebut mengikuti kemauan dari “tuannya”. Adanya suatu modifikasi
seni yang menjadi satu wadah yang sesuai dengan cipta rasa mereka. Suatu seni
yang popular yang sesuai dengan selera masyarakat itu.
Teater
kontemporer adalah teater kota dan teater Indonesia. Artinya, ia lahir dan
dikembangkan di kota dan dijabarkan dan dilaksanakan dalam bangsa Indonesia.
Misalnya ia bercerita tentang kondisi kontemporer dari masyarakat kita. Ia
dicetak dengan kitsch dan spectacle yang sengaja untuk kantong
komersial warga kota yang juga mengerti akan hal itu. Hanya karena package itu package komersial yang berfungsi menghibur, maka penjabaran cerita
itu juga menjadi lain.
Teater
seperti juga kesusastraan adaah satu cara untuk memahami kehidupan. Maka setiap
teater adalah juga wahana untuk memahami kehidupan pada zamannya. Teater
kontemporer kita mempunyai satu kedudukan yang istimewa. Ia hidup dalam satu
latar belakang kebudayaan pancaroba dan peraliahan. Ia berbeda dari teater
tradisional, sedikitnya dalam dua hal. Pertama, ia berbeda dari sudut posisi
wahana komunikasi kultur. Kedua, ia berbeda dari sudut pemahaman dan
penghayatan.
Di sisi lain,
kesenian tradisional Betawi, seperti lenong, topeng betawi, tanjidor, cokek,
dan gambang kromong sedikit demi sedikit terlupakan dan tidak dilihat lagi
sebagai media hiburan. Kesan bahwa kesenian tradisional semakin ditinggalkan
terlihat dari frekuensi kemunculanya
jika ditinjau dari aspek kuantitatif. Dari aspek kualitas,
kesenian-kesenian tersebut dapat dikatakan tidak mengalami perubahan berarti.
Situasi yang dihadapi kesenian tradisional Betawi itu
terutama dipandang oleh masyarakat Jakarta secara umum. Secara khusus,
masyarakat Betawi pun sudah mengalihkan perhatiannya ke produk-produk kesenian
modern yang relatif mudah diakses. Lalu bagaimana
dengan perkembangan yang terjadi dengan kesenian lenong pada khususnya?apakah
ia berhasil memodifikasi diri agar sesuai dengan kebutuhan pasar? Atau ia
tenggelam tak terlihat lagi dan digantikan oleh kesenian lain?
Ngelenong nyok, suguhan menarik
yang masih menampilkan kelenongannya. EkstraVaganza, Empat Mata, sampai pada Opera Van Java yang tidak secara
khusus menampilakan ciri-ciri kelenongannya. Lebih terlihat menampiklan ciri berbagai
jenis hiburan dari indonsia seacara umum, namun merupakan sebuah jenis wujud
lenong gaya baru yang telah bermetamorfosis. Yang sebelumnya didahului oleh
warkop DKI yang sempat membooming di
era 1980-90an.
Walaupun lebih menampilkan unsur
kebudayaan Indonesia secara umum, namun kebudayaan lenong telah
menginspirasikan seni pertunjukkan daerah lain untuk mengubah diri seperti
lenong dengan bahasa Indonesia agar bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia dan
pengemasan yang lebih profesional.