Jumat, 09 Februari 2018

Marxisme

Karl Marx adalah seorang filsuf, ekonom, sosiolog sekaligus aktivis politik. Hidupnya tak jauh dari akademik yang membuatnya selalu mengasingkan diri dari rutinitas kehidupan sosial. Atas berbagai pemikirannya yang radikal, Marx menghabiskan umurnya migrasi ke berbagai tempat karena pandangan-pandangannya yang tak diterima oleh penguasa setempat. Lahir hingga besar di Jerman, ia kemudian berpindah-pindah ke Perancis, Belgia, dan Inggris sebagai rangkaian perjalanan untuk menyelesaikan karya-karya penting yang sangat berpengaruh bagi masyarakat.
Dalam berbagai literatur, buah pemikiran Marx sering disebut merupakan karya bersama yang ia ciptakan bersama Friedrich Engels. Keduanya menjadi teman sekaligus kolaborator yang menghasilkan berbagai karya penting selama lebih kurang empat puluh tahun.[1] Engels bukanlah tokoh sekreatif Marx, tetapi ia memiliki pengetahuan sejarah yang luas dan berkepribadian kuat.[2] Namun dalam pendapat yang lain, Marx disebut tokoh pemikir yang dalam. Sehingga lewat bantuan Engels, ia mampu menuangkan berbagai pemikirannya ke dalam tulisan.[3] Terlepas dari hal tersebut, Engels jelas membantu konsentrasi Marx dalam pengerjaan karya-karya besarnya lewat pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Memahami pemikiran Marx tak bisa dilepaskan dari pemikirannya tentang dialektika dan materialisme. Konsep ini menempati posisi sentral dalam tradisi pemikiran Marxis.[4]  Pemikirannya tentang dialektika merupakan inspirasi dari gurunya, Hegel. Antagonisme tesis-antitesis pemikiran milik Hegel digeser Marx ke dunia nyata yang kemudian menghasilkan teori tentang konflik. Pemikiran Marx tentang dialektika dan materialisme sebenarnya bukan merupakan sistem teoritis yang utuh. Bahkan cenderung mendapat perhatian kecil dari Marx. Dalam karya Das Kapital ia lebih menjelaskan secara terperinci mengenai capitalist accumulation dan theory of surplus value.[5]
Dalam memahami pemikiran Marx, sebenarnya kita harus mengetahui tentang pemikiran-pemikiran yang ditentangnya. Marx jelas melawan sistem kapitalistis sebagaimana yang masih bertahan hingga kini. Sebuah sistem ekonomi yang mengakui hak kepemilikan pribadi. Marx hidup dalam proses industrialisasi masif di Eropa yang mempromosikan gagasan-gagasan liberalisme, terutama soal hak milik pribadi. Marx mengkritik habis tentang hak milik karena baginya kebebasan individu untuk mengumpulkan properti yang dilindungi negara justru akan berakibat pada perlombaan individu dalam pengumpulan kapital (capitalist accumulation). Pembiaran oleh negara atas hal itu sama dengan pembiaran negara atas sifat rakus manusia dalam penumpukan kapital tanpa batas yang berdampak buruk bagi golongan individu lain yang tak dapat bersaing dalam pengumpulan kapital.
Sebagai seorang filsuf, Marx membuat keberpihakan kepada golongan yang tertindas oleh sistem kapitalis. Karena baginya kekuatan moral filsuf adalah bertindak untuk mengubah sistem salah.[6] Menurutnya, masyarakat kapitalis justru menghasilkan ketidaksetaraan. Ia melihat sistem yang demikian membuat golongan miskin akan tetap miskin dan golongan kaya akan semakin kaya. Lewat cara pandang yang radikal, ia melihat bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat dengan kepemilikan bersama atas properti. Sebuah sistem yang ia kenalkan dengan istilah komunisme.
Gagasan Marx selanjutnya dikenal dengan istilah “surplus value” atau teori nilai lebih yaitu pertukaran yang tidak proporsional antara nilai pakai dan nilai tukar. Secara menarik, McDonald memberikan komparasi antara konsep surplus value dengan labor value. Merujuk pemikiran Ricardo, labor value menilai setiap komoditas selalu proporsional antara kuantitas yang diberikan dengan hasil pendapatan yang diperoleh. Sebagai pemikir liberalisme awal, Ricardo dkk berasumsi bahwa kompetisi sempurna dapat terjadi secara alamiah dalam pasar tenaga kerja dan pasar komoditas.[7] Menurut Marx, fakta yang terjadi justru berkebalikan. Keuntungan yang didapat para kapitalis lebih tinggi dibanding alat produksi yang diberikan. Kelebihan untung ini didapat dari kelebihan kerja yang diberikan buruh akibat tidak diberikannya kompensasi secara setimpal. Konsep inilah yang ia kenalkan dengan istilah surplus value (teori nilai lebih). Tujuan kapitalis untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya diperoleh dengan cara memaksimalisasi jam kerja buruh dan menekan rendah kesejahteraan mereka. Dalam perhitungan ekonomi, teori nilai lebih Marx gunakan sebagai indikator penindasan yang terjadi di masyarakat kapitalis.
Membaca riwayat dan pemikiran Marx lewat karya McDonald, setidaknya kita dituntut untuk mengetahui lebih dahulu tentang gambaran besar tentang tokoh tersebut. Setidaknya pembaca punya fondasi pengetahuan tentang kondisi sosiohistoris dan pandangan Marx tentang kapitalisme dan komunisme. Pasalnya, McDonald terlihat mencoba menguliti ide-ide penting yang ditelurkan Marx dengan cara lugas namun mendalam.
McDonald menaruh Marx sebagai tokoh sepertiga akhir dalam bukunya, boleh jadi asumsinya para pembaca sudah mempunyai latar belakang sejarah pemikiran Eropa yang cukup ketika masuk dalam pembahasan Marx. Hal yang paling kentara adalah kemunculan istilah bourgeois dan proletariat yang ia gunakan untuk membedakan kelas sosial di masyarakat saat itu. Istilah borjuis digunakan Marx untuk merujuk kepada sebuah kelas sosial baru yang tergolong dalam middle class yang terbentuk lewat kepemilikan unit industri dalam sistem ekonomi kapitalis. Sementara istilah proletar ia gunakan untuk menjelaskan kelas sosial rendah yang merupakan pekerja di pabrik-pabrik milik golongan borjuis. Konteks sosiohistoris sangat penting untuk menjelaskan munculnya dua istilah tersebut, yang digunakan Marx dalam menyusun konsep materialisme dialektis.  
Sebagaimana pengertian liberal yang berasal dari gejala sosial, komunis pada mulanya juga merupakan fenomena sosial yang merujuk pada kelompok tertentu di masyarakat. Hal ini boleh jadi luput dijelaskan oleh McDonald. Dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa Marx telah dijuluki sebagai kaum komunis[8] sebelum ia membuat kerangka konseptual yang lebih mendalam tentang pengertian komunis itu sendiri. Artinya istilah komunis memang telah ada sebelum gagasan Marx tentang komunisme. Dalam sejarah awalnya, komunisme merupakan faham dan gerakan penghapusan sistem monarki di Perancis yang berkembang tahun 1830-an. Istilah ini merujuk pada perkumpulan masyarakat yang menghendaki peran negara dalam mengampu aktivitas-aktivitas penting manusia di tangan negara.[9]

Daftar Rujukan:
McDonald, Lee Cameron. (1962) Western Political Theory: from Its Origins to the Present
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ball, Terence, Richard Dagger, Daniel O’neill (2009) Political Ideologies and The Democratic Ideal. Boston: Pearson.
Noer, Deliar. (1982) Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta: Persada.




[1] Terence Ball dkk, Political Ideologies and The Democratic Ideal (Boston, 2009), 141.
[2] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory: from Its Origins to the Present (New York, 1962), 489.
[3] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Persada, 1982), 150-1.
[4]Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Gramedia Pustaka Utama, 2004), 282.
[5] Op. Cit., McDonald, 491.
[6] Ibid., 492.
[7] Ibid., 499.
[8] Ibid., 489.
[9] Op. Cit., Noer, 153-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar