Kamis, 08 Februari 2018

Langkah Responsif Krisis Kemanusiaan Rohingya: Studi Kebijakan Indonesia-Malaysia

catatan: 
Materi ini adalah tugas mata kuliah perbandingan politik di jurusan Politik UI 2017 yang ditujukan sebagai latihan penggunaan teori dan pendekatan dalam kaidah ilmu politik. Kekurangan dan kealpaan adalah bagian dari proses ini. Sedangkan, preferensi dan argumentasi adalah bentuk kebebasan akademis yang dijunjung dalam iklim ilmu pengetahun, dengan tetap mengacu pada kaidah dan aturan baku keilmuan.
-----------------------

Kekerasan atas etnis Rohingya yang kembali “meledak” di penghujung Agustus 2017 lalu perlu dipandang di luar dimensi krisis kemanusiaan. Cycle of violence ini mempunyai implikasi serius bukan hanya bagi Myanmar, tetapi turut memengaruhi dinamika politik internal negara-negara sekitarnya. Panggilan kemanusiaan Rohingya tak bisa terhindarkan adanya sentimen agama di baliknya. Lewat perspektif ini, cukup masuk akal jika negara-negara dengan mayoritas muslim di Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia terlihat cenderung lebih proaktif menjalankan fungsi rekonsiliasi dan misi kemanusiaan. Krisis yang terjadi di Rakhine State tak bisa semata dipandang sebagai humanitarian policy, tuntutan civil society terhadap tragedi Rohingya merupakan aspek pertimbangan penting bagaimana Indonesia dan Malaysia menjalankan kebijakan internasionalnya.
Menjadi pengetahuan umum bahwa akar masalah dari kompleksitas dan multidimensinya krisis Rohingya ialah tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai salah satu etnis di Myanmar. Rohingya disebut sebagai salah satu etnis terbesar yang tak mempunyai negara (European Commission: 2017). Konsekuensinya mereka cenderung tak mendapat perlindungan hak-hak asasi. Oleh karenanya tidak benar jika masalah Rohingya adalah konflik antaragama. Seolah mengambil momentum konflik sosial yang ada, militer Myanmar melakukan pengusiran dan pembakaran rumah etnis Rohingya, yang kemudian diduga sebagai tindakan yang mengarah pada ethnic cleansing. Sayangnya persepsi soal kekerasaan agama justru yang tersebar ke mancanegara, tak terkecuali di Indonesia dan Malaysia. Sentimen keagamaan pun muncul dari persepsi yang keliru ini.
Sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbesar di ASEAN, pemerintah Indonesia dan Malaysia tercatat memiliki kontribusi dan perhatian paling besar bagi Rohingya. Tak hanya bantuan resmi negara, sumbangan kemanusiaan oleh masyarakat Indonesia dan Malaysia punya peran yang cukup signifikan. Oleh karena itu, tingginya perhatian Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Najib Razak tak bisa dipisahkan dari bagaimana respons penduduk dalam negeri. Secara praktis, kalkulasi politik domestik turut mewarnai kebijakan di level negara. Dengan pendekatan pilihan rasional dan struktural fungsional, setidaknya tulisan ini hendak membangun rasionalisasi-rasionalisasi kebijakan yang diambil kedua pimpinan negara tersebut.
Lepas bahwa perdebatan atas kekurangan-kekurangan pendekatan pilihan rasional, ia dapat menjelaskan suatu kebijakan politik tingkat tinggi dengan cara sederhana. Tak ubahnya cara seorang konsumen memilih produk di pasar, kebijakan politik juga mengaplikasi rasionalitas serupa. Para teorisi pendekatan ini beranggapan bahwa it has had its broadest impact upon political analysis... Political actors consistently choose the most efficient means to achieve their various ends (Heywood: 2004). Dalam kasus dua kepala pemerintahan di atas, Jokowi dan Najib sedari awal menghitung berapa besar biaya ekonomi-politik yang harus dikeluarkan untuk mendapat dukungan politik dalam negeri yang besar. Di sisi lain, aspek-aspek nonrasio juga penting sebagai pertimbangan yang memengaruhi kebijakan. Sebagaimana kritik John Rawl atas pilihan rasional bahwa konsep basic liberties and fair equality of opportunity sebagai kunci bagi pertimbangan moral (nonrasional) yang ikut memengaruhi kebijakan politik (A Theory of Justice: 1999).
         Soal sejarah bantuan untuk Rohingya, pemerintah Indonesia kalah “serius” dibanding Malaysia. Data akumulatif 2013, mencatat pencari suaka Rohingya di negeri Jiran 80.000 berbanding 1.500 orang di Indonesia (foreignpolicy.com). Entah fakta tersebut wajar atau tidak, bagaimanapun jumlah pengungsi Rohingya Indonesia-Malaysia tentu dipengaruhi berbagai faktor. Lepas soal kritik ‘closing one eyes’ policy (HPG Working Paper: 2016), Malaysia menjadi suaka sementara yang secara de facto memberikan pekerjaan nonformal, akses kesehatan, dan peribadatan bagi etnis Rohingya. Karena jumlah yang banyak, kehadiran mereka cukup mencolok dalam aktivitas sosial di Malaysia. Bahkan dalam tragedi Rohingya tahun ini, secara spontan para pekerja asal Rohingya melakukan demonstrasi di depan Kedubes Myanmar di Kuala Lumpur, Agustus lalu.
            Walaupun tak sesederhana alasan politik praktis, tentunya kebijakan intensifikasi bantuan pemerintah Jokowi dan Najib pada tahun ini dipenuhi berbagai pertimbangan politik domestik. Pendapat itu dikuatkan oleh analisis pengamat dan oposan bahwa sikap reaksioner pemerintah dibungkus pencitraan demi meraih simpati rakyat dalam negeri. Faktanya, basis muslim di kedua negara yang besar sangat penting dalam mendukung pemerintah. Oleh karenanya, kebijakan tersebut tak bisa dilepaskan begitu saja dengan motif elektoral jelang pemilu nasional tahun depan. Keduanya berkepentingan untuk meraih dukungan publik untuk mengamankan periode kekuasaan berikutnya.
Dengan pendekatan pilihan rasional, alasan-alasan kedua kepala pemerintah tentu tak ada yang keliru. Jokowi dengan pilihannya dianggap lebih berhasil dibanding langkah Najib. Indonesia menggunakan meja perundingan, sedangkan Malaysia memakai panggung politik. Menggunakan diplomasi jalan damai, hadirnya asistensi Indonesia tak memunculkan resistensi dari internal Myanmar. Tak heran, kebijakan Jokowi banyak mendapatkan apresiasi internasional, dibandingkan Najib dengan karakter faux naïf politics-nya (thediplomat.com). Lepas dari pandangan internasional, pilihan-pilihan kebijakan kedua kepala pemerintahan itu berpulang pada tujuan politik apa yang hendak mereka capai. Sebagaimana pandangan para pengamat, Najib punya kepentingan besar dalam menjaga kepercayaan publik di balik isu korupsi 1MDB yang menyeret namanya. Sementara, posisi Jokowi tak segenting Najib. Kritik politisasi isu Rohingya oleh pemerintahan Jokowi surut dengan sendirinya seiring strategi dan hasil diplomasi yang mampu menjawab espektasi publik nasional.
Namun dalam perspektif lain, kedua kepala pemerintahan ini memperhatikan desakan-desakan publik. Kemarahan jutaan penduduk muslim Indonesia dan Malaysia atas tragedi Rohingya menjadi pertimbangan utama Jokowi dan Najib agar potensi basis muslim tak berubah menjadi ancaman. Hal yang menarik justru muncul dari perubahan drastis respons pemerintahan Jokowi. Saat tragedi Rohingya tahun lalu yang tak kalah besar dibanding tahun ini, Indonesia hanya menyampaikan sikap resmi lewat telepon kepada Menteri Luar Negeri Myanmar. Besar kemungkinan, Presiden Jokowi belajar banyak dari Aksi Bela Islam pada 2017 yang memantik sentimen umat. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia terlihat benar-benar serius terhadap isu agama agar tak berbuah perpecahan di dalam negeri. Tragedi Rohingya termasuk mendapat kebijakan antisipatif demikian.
Selain itu, fakta kekerasan dan keterusiran adalah pelanggaran atas basic liberties yang menggugah respons kemanusiaan Jokowi dan Najib. Selain itu, identitas kedunya sebagai seorang muslim merupakan motivasi lain kebijakan bagi Rohingya lahir. Lewat mekanisme sistem politik, D. Easton menjelaskan secara sederhana tentang proses bagaimana sebuah kebijakan negara (outputs) telah melalui serangkaian pemrosesan kompleks di dalam black box hingga membuat Jokowi dan Najib mengambil langkah masing-masing bagi Rohingya. Easton menganalogikan kebijakan negara dengan tubuh manusia yang dipengaruhi berbagai faktor eksternal. Model analisis Easton relevan diterapkan dalam sistem demokrasi seperti Indonesia dan Malaysia di mana unit-unit di luar sistem bisa terakomodasi ke dalam kebijakan negara.
Secara hukum, Indonesia dan Malaysia merupakan negara yang tak meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951. Oleh karenanya, pengungsi seperti Rohingya adalah imigran ilegal dan subjek penahanan. Namun, nampaknya dorongan humanitas lebih dikedepankan oleh kedua negara. Lembaga pengungsi dunia seperti UNHCR dan IOM pun menyatakan bertanggung jawab atas para pengungsi. Apalagi, motif utama etnis rohingya bukan mencari suaka di kedua negara tersebut, melainkan Australia. Oleh karenanya, tak cukup alasan bagi Indonesia dan Malaysia untuk memagari wilayahnya terhadap “manusia perahu” asal Rakhine.
Dalam sebulan terakhir, fungsi diplomasi Indonesia terlihat lebih efektif dibandingkan Malaysia. Dengan perspektif struktur, pemerintahan Jokowi terlihat sistematis lewat jajaran Kementerian Luar Negeri yang secara intensif melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk dengan para pimpinan Myanmar, hingga menghasilkan “4+1 Formula”. Sistem pemerintahan terlihat berjalan padu ketika rilis resmi Presiden atas tragedi Rohingya diikuti “marathon diplomacy for humanity” selama tiga hari di Myanmar dan Bangladesh. Walhasil, Indonesia menjadi negara pertama yang mampu memberikan bantuan logistik langsung ke berbagai titik di Rakhine. Di sisi lain, Malaysia terkesan menggunakan megaphone diplomacy sejak lama dengan menampilkan Najib sebagai sosok terdepan yang mengutuk kebijakan Myanmar terhadap etnis Rohingya. Ia sendiri pernah memimpin aksi solidaritas Rohingya di negaranya sendiri pada akhir tahun lalu. Malaysia terkesan mengedepankan pendekatan sanksi bagi Myanmar atas kejahatan kemanusiaan kepada Rohingya lewat forum-forum internasional.
Akhirnya, analisis terhadap kebijakan negara ini tak bisa dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai masing-masing. Dikarenakan krisis di Rakhine State menyulut reaksi masyarakat muslim di berbagai negara, tak pelak negara mayoritas muslim seperti Indonesia dan Malaysia mengambil respons akomodatif terhadap tuntutan publik domestik. Dengan melihat kebijakan negara dari sisi aktor kepala pemerintahnya membuat rasionalisasi-rasionalisasi menjadi serba mungkin. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Jokowi dan Najib punya kepentingan politik di balik humanitarian diplomacy untuk etnis Rohingya.

Sumber Rujukan:
European Commission. Oktober 2017. Echo Factsheet The Rohingya Crisis. Regional Office Bangkok
Heywood, Andrew. 2004. Political Theory: An Introduction. New York: Palgrave Macmillan.
Najib’s Dangerous and Self-Serving Rohingya Campaign dalam https://thediplomat.com/2016/12/najibs-dangerous-and-self-serving-rohingya-campaign/ diakses pada 1 November 2017 pukul 06.43 WIB
Rawls, John. 1999. A Theory of Justice: Revised Edition. Massachusetts: Harvard University Press.
Southeast Asia’s Migrant Crisis Explained, in Maps dalam http://foreignpolicy.com/2015/05/18/southeast-asias-migrant-crisis-explained-in-maps-rohingya-boats/ Diakses pada 1 November 2017 pukul 06.36 WIB
Wake, Caitlin. Novembe 2016. ‘Turning a blind eye’ The policy response to Rohingya refugees in Malaysia. London: Overseas Development Institute.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar