Sabtu, 25 Agustus 2018

“Dasar-Dasar Sosial dari Demokrasi” oleh Prof. Dr. Maswadi Rauf


Polis (negara kota) Yunani pada kisaran abad kelima sebelum masehi dipercayai merupakan peletak dasar demokrasi sebagai sebuah sistem politik. Sekelompok masyarakat madani yang dikenal dengan tradisi pemikiran dan kebijaksanaan hendak menjawab pertanyaan: bagaimana pengorganisasian kekuasaan dapat mengakomodasi kepentingan dan kesejahteraan bersama. Namun, pemikiran dan praktik demokrasi di ranah politik cenderung “dikubur” oleh praktik kekuasaan-kekuasaan berikutnya sejak redupnya era Yunani pada awal abad masehi. Barulah sekitar dua puluh tiga abad berikutnya, nilai-nilai demokrasi tersebut mulai “ditemukan” kembali lewat respons kontra atas kekuasaan politik yang dirasakan penuh ketidakadilan kepada masyarakat.
Gelombang demokrasi pasca Yunani mempunyai pendekatan yang berbeda dari kondisi sosial politik di negara Athena. Barrington Moore Jr dalam Amien Rais (1986) menyebut jalan demokrasi (the democratic route) tersebut lahir lewat rangkaian revolusi politik yang kini merupakan bagian dari pilar-pilar demokrasi seperti kebebasan-kemerdekaan, pengangungan harkat martabat, rule of law, dan lembaga-lembaga perwakilan. Pembahasan tentang asal usul demokrasi menjadi topik penting untuk melihat mengapa demokrasi menjadi jawaban yang seragam di seluruh darataan Eropa akibat kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami masyarakat secara luas. Oleh karenanya, pada pertemuan awal mata kuliah “Demokrasi dan Demokratisasi” diisi oleh materi tentang sejarah awal mengenai spirit sosial demokrasi. Secara spesifik, bahasan ini diarahkan kepada ceramah Prof. Dr. Maswadi Rauf tentang “Dasar-Dasar Sosial dari Demokrasi”.
“Kedaulatan rakyat” merupakan konsep kunci sistem demokrasi yang tak bergeser hingga kini. Oleh karenanya, pemikir politik yang punya sumbangan pemikiran penting untuk demokrasi seperti Machiavelli, Rousseau, Hobbes dan lainnya tak bisa disebut pemikir demokrasi. Walaupun menawarkan konsep moralitas sekuler dan hakikat hukum dalam politik (Amien Rais, 1986: xii) yang merupakan esensi penting demokrasi, mereka masih melegitimasi absolutisme dan monarki. Prinsip tersebut lah yang kontadiktif terhadap konsep kedaulatan rakyat. Tradisi intelektual pada zaman Pencerahan (Enlightenment) baru benar-benar menyumbangkan ide-ide tentang hakikat kekuasaan rakyat. Terkait hal itu, Maswadi menarik benang merah bahwa para pemikir demokrasi menyampaikan gagasan tentang “rasa ketidakpercayaan lagi pada penguasa (pemerintah)”. Jelas sekali pemikiran ini berakar dari gagasan liberalisme tentang kekuatan individu. Bahwasanya, kepercayaan umum atas kemampuan setiap individu dalam menentukan nasibnya sendiri harus dihargai.
Gagasan tentang “ketidakpercayaan pada penguasa” merupakan elaborasi yang cerdas dalam ceramahnya soal dasar sosial demokrasi. Hal ini sejalan dengan kondisi alamiah seorang penguasa yang cenderung egois. Dampak yang paling ekstrim dari sifat egoistis tersebut menghasilkan kemiskinan, kesengsaraan, dan kebodohan pada rakyat biasa. Sepanjang sejarah dunia, komitmen penguasa yang mementingkan rakyat hanyalah slogan kekuasaan yang memberikan bukti nyata. Rakyat hanya terombang-ambing dari penguasa satu ke penguasa berikutnya. Maswadi mengkritik istilah-istilah utopis tentang “benevolent dictatorship” atau “philosopher king” yang muncul pada masa itu karena secara dominan penguasa mementingkan dirinya sendiri. Hal itulah yang mendorong public distrust lewat inisiasi para filsuf.
Hermeneutika menjadi kemahiran Maswadi dalam interpretasi kondisi sosial demokrasi. Hal ini jelas menunjukkan ketekunannya terhadap subjek tertentu. Dalam bahasanya, para filsuf menghasilkan “ide gila” lewat pewacanaan mekanisme-mekanisme kontrol penguasa. Hal yang menarik, seni kontekstualisasi ke suasana kontemporer Indonesia gaya Maswadi cukup memberikan gambaran jelas atas peristiwa-peristiwa sejarah. Misalnya, betapa akan menghebohkan jika seorang warga Bantul menyampaikan ide kontrol atas kekuasaan Raja Jogja. Atau, fenomena empiris seorang mantan Presiden RI yang mengatakan dirinya begitu terkekang atas sistem kontrol kekuasaan di Indonesia. Tentu penggambaran ini relevan dengan konteks sejarah saat demokrasi mulai dicetuskan. Intinya, pengenalan mekanisme kontrol penguasa jelas menunjukkan bahwa demokrasi memang tidak percaya bahwa penguasa akan berbuat baik terhadap rakyat.
Bagi Maswadi, lahirnya revolusi politik menuju demokrasi merupakan kerja berat para filsuf dengan idealisme nalar yang mencarikan jalan untuk perbaikan masyarakat. Dalam kacamata Moore Jr, the democratic route menunggangi pemikiran kapitalisme sehingga menghasilkan model demokrasi yang terwujud lembaga perwakilan (parlemen) untuk mengakomodasi suara kelompok menengah, pemilik kekuatan kapital. Yang harus diperjelas adalah bahwa pemikiran demokrasi Barat dan liberalisme-kapitalisme merupakan buah pemikiran orang-orang yang sama. Hal itu disampaikan dengan jelas oleh Ball, Dagger, O’Neill (2014) dalam Bab Liberalism yang mengaitkan liberalism, human nature, and freedom (hlm 45-46). Agaknya deskripsi mengenai hal ini terlewatkan dalam penjelasan Maswadi. Namun, tentu dapat dipahami bahwa ceramahnya lebih diarahkan pada gambaran umum dan poin utama pemikiran demokrasi para filsuf.
Hingga kini, demokrasi merupakan sebuah proses mengangkat kedaulatan rakyat di atas segalanya. Proses tersebut dimakna sebagai suatu jalan panjang menuju konsolidasi demokrasi. Dalam ceramahnya, Maswadi menjelaskan bahwa pada awalnya demokrasi berupaya mengubah secara keseluruhan struktur dan kultur politik yang ada. Ia meyakini bahwa dalam rentang panjang sejarah stuktur kekuasaan dunia diisi oleh model monarki absolut dengan kultur yang bercorak feodalistik. Walaupun memang ada variasi lain, seperti model kekuasaan di Amerika Serikat pada awalnya diisi oleh kelompok-kelompok aristokrasi. Lewat komparasi tiga negara, Tocqueville melihat keberhasilan konsolidasi demokrasi Amerika Serikat akibat politik dari sistem desentralisasi administrasi negara yang bersesuaian dengan budaya politik yang berkembang (2005: 67). Intinya, kemenangan demokrasi di manapun adalah keberhasilannya menggantikan absolutisme dan feodalisme.
Jalan menuju konsep demokrasi ideal merupakan sebuah proses panjang bagi semua negara di dunia yang menerapkannya. Konsep demokrasi menurut Ball (2014) adalah “essentially contested concept” sehingga penjelasan terhadapnya disesuaikan dengan konteks zamannya. Seringkali menjadi legitimasi (lip service) penguasa dengan klaim diri sebagai seorang demokrat namun meraih dan menjalankan kekuasaan dengan cara-cara nondemokratis. Lebih jauh, Robert Dahl menyampaikan bias dari demokrasi dengan konsep “diktator mayoritas” dan “tirani mayoritas”. Pada poin ini, pandangan Maswadi jelas menunjukkan keberpihakannya pada demokrasi. Tak terlihat, apa sebenarnya kritik Maswadi terhadap demokrasi itu sendiri. Bahkan lebih jauh, menurutnya, fenomena “kegagalan demokrasi” dalam suatu negara justru karena ketidakmampuan warganegara menjalankan praktik-praktik demokrasi dalam negara. Lepas dari hal tersebut, bagaimanapun, demokrasi memang bukan alat untuk mencapai kesejahteraan. Ia merupakan instrumen yang mengangkat daulat rakyat dalam tataran negara. Sebagaimana menurut Winston Churcill, “No one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, is has been said that democracy is the worst form of Government except all those other forms thath have been tried from time to time” (Ball, 2014: 17).

Referensi
Ball, Terence, Richard Dagger, Daniel O’neill. 2009. Political Ideologies and The Democratic Ideal. Boston: Pearson.
Rais, Amien (Ed). 1989. Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta: LP3ES.
Tocqueville, Alexis de. 2005. Tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat. Jakarta: Buku Obor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar