Jumat, 09 Februari 2018

Konsep Negara dan Kekuasaan oleh Montesquieu dan Rousseau

        Setelah kungkungan Arab Skolastik yang penuh dengan dogmatisme Gereja, Eropa memasuki fase baru yang memproduksi antitesis pemikiran sebelumnya. Dalam bab “the Eighteen Century” McDonald menjelaskan secara kronologis bagaimana pemikiran dan filsafat negara-negara modern saat ini sangat bergantung pada Perancis, Inggris, Jerman pada masa itu. Dalam perkembangan teori politik, ia memotret poin-poin pembangunan progresif yang ditorehkan abad tersebut. Salah satunya adalah perubahan orientasi filsafat baru yang disebut dengan Pencerahan (the enlightment), dimana pergerakan kefilsafatan menghasilkan kesadaran tentang penolakan terhadap otoritas agama terhadap seni, moral, politik, dan pengetahuan.[1] Pemikiran mengambil alih kewenangan agama dalam sebagai tolok ukur segala hal.
Perkembangan sains dan teknologi yang begitu cepat mengakibatkan perubahan dalam struktur sosial dan pemikiran secara radikal. Membawa semangat pelepasan diri dari dogma gereja, manusia mengukur segala sesuatu, terutama kebenaran, lewat parameter sains dan teknologi. Kemajuan terjadi di berbagai lini kehidupan. Eropa memulai fase revolusi pemikiran dimana posisi agama atau kepercayaan yang tak masuk akal atau dipahami panca indera dinggap hanya mitos belaka. Dalam bahasa McDonald, segala hal didiskusikan dan dianalisis.[2]
Pada abad ke-18, ketika Inggris menggagas orientasi negara merkantilisme yang ekspansif, Perancis muncul sebagai “lahan subur” penciptaan berbagai pemikiran dan filsafat politik modern yang terkenal hingga saat ini. Tanpa maksud mengabaikan “telur” pemikiran para filsuf Inggris seperti John Locke dan Thomas Hobbes, setidaknya daratan Perancis menjadi penerus filsafat politik yang penting hingga kini. Oleh karena itu, tulisan ini hendak diarahkan pada periode penting tahun 1700-an, yakni buah pemikiran filsuf-filsuf terkenal Perancis.
            The philosophes adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada filsuf besar Perancis. Montesquieu dan Rousseau adalah dua nama besar yang tak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran Abad Pencerahan. Penyandingan nama mereka terjadi bukan semata soal kesamaan sosiohistoris, tetapi ide keduanya tentang “kontrak sosial” merupakan diskursus penting yang terus dipelajari hingga kini.
            Gagasan utama dalam pemikiran politik Montesquieu dan Rousseau adalah tentang pentingnya kontrak sosial sebagai jalan untuk menghentikan keadaan alamiah agar dapat mewujudkan sebuah keberlangsungan hidup yang teratur dan damai. Montesquieu mengonsepsikan dimana adanya pemisahan kekuasaan dengan trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif), ajaran Montesquieu bertujuan untuk melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah negara. Ide ini merupakan modifikasi dari gagasan pembagian kekuasaan milik John Locke. Sedangkan, Rousseau melalui bukunya Du Contract Social mencetuskan pemerintahan harus demokratis dimana kekuasaan berada di tangan rakyat. Namun, negara sebagai mandataris rakyat hadir sebagai penjamin kehidupan masyarakat dari anarki sosial. Gagasan Rousseau tampak mirip dengan pemikiran Hobbes tentang keadaan alamiah manusia pra negara yang mendorong terbentuknya kontrak sosial. Namun, Rousseau bertentangan dengan premis-premis Hobbes soal sifat-sifat alamiah manusia. Pada perkembangan selanjutnya, pemikiran Montesquieu dan Rousseau memberikan dampak yang signifikan dalam kehidupan bernegara, struktur hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, antara kekuasaan negara dan individu.
            Rousseau memberikan argumen dimana kekuasaan dialihkan dari kerajaan kepada kehendak rakyat yang menghasilkan model demokrasi absolut. Sedangkan Montesquieu tidak memusatkan pemikirannya kepada siapa yang memegang tampuk pemerintahan. Bagi Montesquieu, hal yang lebih penting adalah eksistensi sebuah konstitusi yang akan melindungi negara dari kekuataan despotik, dan hal ini bisa dihindari dengan adanya pembagiaan kekuasaan. Secara umum, pemikiran Rousseau terlihat fundamental namun tak teknis. Jika negara menggunakan konsep eksekutif-legislatif-yudikatif, pemikiran Rousseau tak mampu menjelaskan pembagian rakyat yang duduk di jabatan-jabatan tersebut. Namun, gagasan Rousseau menjadi landasan soal tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya, sebagai bagian penting dari prinsip negara modern. Sementara, gagasan Montesquieu menjadi panduan aplikatif dalam pembentukan negara dengan mencakup tentang hukum, pemisahan kekuasaan, bentuk negara, dan lainnya.[3] Namun, kesamaan keduanya terletak pada model ideal sistem negara yang bergantung pada jumlah penguasa yang hendak diakomodasikan.[4] Sebuah pemikiran yang berakar dari gagasan Aristoteles tentang plutokrasi (monarki, aristokrasi, dan demokrasi).
Di tengah pesatnya pemikiran Abad Pencerahan, Rousseau justru muncul untuk mengkritiknya. Terlepas adanya kesamaan dalam filsafat politik di antara mereka, pemikiran Rousseau merupakan sebuah pemberontakan intelektual terhadap zamannya. Laju sains dan teknologi dianggapnya telah menyebabkan kerusakan akhlak dan dekadensi kebudayaan yang berujung pada kehancuran ras manusia. Dikenal sebagai sosok la sensibilite, pemikiran Rousseau menjadi cikal bakal pemikiran Romantisme Eropa yang muncul kemudian dengan mengenalkan konsep manusia kembali ke alam. Dalam fitrahnya, manusia perlu mementingkan emosi dan menekan aspek rasionalitas dalam berpikir. Dari titik ini, terlihat bahwa ia justru membalikkan optimisme pencerahan menjadi pesimisme total.[5]
            Sebagaimana dikemukakan dalam berbagai literatur, sumbangan pemikiran Montesquieu dan Rousseau tentang negara dan kekuasaan sangat berpengaruh pada peristiwa sejarah besar yang dikenal Revolusi Perancis. Bahkan, gagasan keduanya disempurnakan dalam prinsip check and balance di negara-negara demokratis. Dalam sejarah Perancis, pemikiran keduanya tentang “perjanjian rakyat dengan penguasa” menjadi simbol kemenangan rakyat atas sistem monarki absolut lewat penggulingan Raja Louis XIV. Namun ada fakta sejarah yang berkata lain. Kerangka pemikiran mereka tentang konsep kebersamaan justru diejawantahkan pada makna kebersamaan untuk negara. Jalan pemikiran tersebut mudah menghasilkan pemerintahan totaliter yang hanya baik untuk kepentingan negerinya. Revolusi Perancis memunculkan sosok Jenderal Napoleon Bonaparte sebagai pionir pergerakan nasional yang berciri chauvinistis dan ekspansif. Semboyan-semboyan nasionalistik Perancis yang terkenal “liberte, egalite, and fraternite” menjadi legalitas nasional untuk menaklukan Eropa daratan yang kelak menghancurkan Perancis sendiri akibat kalah perang.
           




Daftar Pustaka:
McDonald, Lee Cameron. (1962) Western Political Theory: from Its Origins to the Present
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


[1] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory: from Its Origins to the Present (New York, 1962), 339.
[2] Ibid, 340.
[3] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Gramedia Pustaka Utama, 2004), 226.
[4] Ibid, 254.
[5] Ibid, 243.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar